Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular obligat
distribusi di seluruh dunia. Pengembangan diperantarai sel kekebalan setelah infeksi
akut. Toxoplasma gondii merupakan salah satu penyebab paling umum infeksi kronis dengan
organisme intraseluler pada manusia.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan kerusakan
neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai
SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang
diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai
meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis
danbiologis berjangkauan luas.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik
yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 15-
29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien yang terinfeksi
HIV di Amerika Serikat pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma.
Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan)
atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku
emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi dan ditemukannya takizoit dan bradizoit.
Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun
demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yangn yata
bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus,
periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan
berdiameter 1 - 3 cm.
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun2002
diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan
pengguna obat narkotika  (intravenous drug users). Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi
HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.
Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah
ensefalitis toksoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal, CMV ensefalitis dan progressive
multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV
adalah ensefalitis toksoplasma.
1.2         Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis.

1.3         Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis.
1.3.2        Tujuan Khusus
1.      Menjelaskan definisi HIV/AIDS dan Toksoplasmosis
2.      Menjelaskan etiologi klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
3.      Menjelaskan daur hidup Toxoplasma gondii
4.      Menjelaskan patofisiologi klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
5.      Menjelaskan manifestasi klinis klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
6.      Menjelaskan pemeriksaan penunjang klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
7.      Menjelaskan penatalaksanaan klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
8.      Menjelaskan WOC klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis
9.      Menjelaskan asuhan keperawatan klien HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis

1.4         Manfaat Penulisan
1.4.1        Manfaat teoritis
Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
HIV/AIDS dengan komplikasi Toksoplasmosis.
1.4.2        Manfaat praktis  
1.    Tenaga keperawatan
Dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan tepat pada klien HIV/AIDS dengan
komplikasi Toksoplasmosis.
2.    Mahasiswa
Menambah wawasan bagi semua mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada klien HIV/AIDS
dengan komplikasi Toksoplasmosis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan
dan syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut dapat
diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami dengan
perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala simtomatik maupun
asimtomatik.
Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis AIDS pada
SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat infeksi oportunistik atau
neoplasma.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik
yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma muncul pada kurang lebih
10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii yang
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar
oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah penyakit.
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan,
lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan,
pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian.

2.2     Etiologi
Ensefalitis toksoplasma  disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh
kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing
dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem
kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat
melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan dapat mencegah terjadinya suatu penyakit. Namun,
pada orang pasien HIV/AIDS mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga tidak mampu
melawan parasit tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi oleh parasit tersebut.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang
mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa juga dari sayur
yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi
lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah
dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.

2.3     Daur Hidup Toxoplasma gondii


Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit
diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu
definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara (termasuk
manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst  atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel
usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi
menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau
limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk
ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC,
didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial
dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging
yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang
berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi (pembentukan
spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah
diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung
dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental,transfusi darah, dan
transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue
cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yangmungkin
terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 < 100 sel/mL
adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium Complex, sehingga diindikasikan
untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan
infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
Gambar 2.1  Daur hidup Toxoplasma gondii
Patofisiologi
2.4.1    Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa
sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah sel monosit, sel makrofag, sel folikular
dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi
oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan
tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada
saraf.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan
bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel
yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan
limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper
(T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper tidak
berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut.
Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah
dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga
reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus memindahkan
HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang
RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan
melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari HIV
dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga
menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper. Sampai
suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV akan aktif
membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit
AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer,
sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau sindroma kegagalan kekebalan.

2.4.2    Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS


Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan
kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma
gonii menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka
berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel kekebalan terhadap T
gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang menyebabkan infeksi
kronis seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat
kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma,
kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan
penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154
sebagai respon terhadap Toxoplasma gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan
CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi
klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung atau
kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global
dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70%
kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara.
Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi
serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk
validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4< 200sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.

2.5     Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis
fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini
hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-
penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya
cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan
kesadaran.

2.6     Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan
dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi
kemudian bertahan seumur hidup.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain Reaction (PCR)
untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau
aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak  berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di
otak setelah infeksi akut.
d.  CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya ditemukan
lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak 
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak 

2.7     Penatalaksanaan
a.    Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini
dapat melalui sawar-darah otak. 
b.    Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
c.    Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin1-2 g tiap 6
jam.
d.   Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari
dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e.    Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
f.     Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200mg/hr, atau
claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam
4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
g.    Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIVdengan CD4
kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit totalkurang dari 1200. Pada pasien
ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN KOMPLIKASI
TOKSOPLASMOSIS

3.1     Pengkajian
3.1.1 Kebiasaan sehari-hari
1. Aktivitas/istirahat
a)    Gejala    : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan.
b)   Tanda    : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
a) Gejala    : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila cedera
b)  Tanda    : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung, anemis, perubahan tekanan darah
postural, volume nadi perifer menurun, pengisian kapiler memanjang.
3. Integritas ego
a) Gejala    : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri, dan depresi.
b)  Tanda    : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis, kontak mata kurang.
4. Eliminasi
a) Gejala    : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
b)  Tanda    : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi pada rectal, ikterus, perubahan
dalam jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan
a) Gejala    : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
b)  Tanda    : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut,
adanya selaput putih/perubahan warna mukosa mulut
6.  Hygiene
a)    Tanda    : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan yang tidak rapi.
7.  Neurosensorik
a) Gejala    : pusing, sakit kepala, photofobia.
b)  Tanda    : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi, kelemahan  otot, tremor,
penurunan visus, bebal, kesemutan pada ekstrimitas.
8.  Nyeri/kenyamanan
a) Gejala    : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri dada pleuritis,
nyeri abdomen.
b)  Tanda    : pembengkakan pada sendi, hepatomegali,  nyeri tekan, penurunan ROM, pincang.
9.  Pernapasan
a) Tanda    : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak pada dada, takipneu, bunyi
napas tambahan, sputum kuning.
10.          Keamanan
a)  Gejala    : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.
b)  Tanda    : demam berulang
11.  Seksualitas
a) Tanda     : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan kondom yang tdk
konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.

12.  Interaksi social


a) Tanda     : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tidak terorganisir

3.2.2  Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik toksoplasma, yaitu IgG, IgM
dan IgG affinity.
      IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi infeksi toksoplasma.
      IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan menetap seumur hidup pada
orang yang terinfeksi atau pernah terinfeksi.
      IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan organisme penyebab
infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada wanita yang hamil atau akan hamil karena
pada keadaan IgG dan IgM positif diperlukan pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan
kapan infeksi terjadi, apakah sebelum atau pada saat hamil. Infeksi yang terjadi sebelum
kehamilan tidak perlu dirisaukan, hanya infeksi primer yang terjadi pada saat ibu hamil yang
berbahaya, khususnya pada trimester I.
      Bila IgG (-) dan IgM (+)
Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan merupakan awal infeksi. Harus diperiksa kembali 3
minggu kemudian dilihat apakah IgG berubah jadi (+). Bila tidak berubah, maka IgM tidak
spesifik, yang bersangkutan tidak terinfeksi toksoplasma.
      Bila IgG (-) dan IgM (-)
Belum pernah terinfeksi dan beresiko untuk terinfeksi.
Bila sedang hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan pada sisa kehamilan (dokter mengetahui kondisi
dan kebutuhan pemeriksaan anda). Lakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi infeksi.
      Bila IgG (+) dan IgM (+)
Kemungkinan mengalami infeksi primer baru atau mungkin juga infeksi lampau tapi IgM nya
masih terdeteksi. Oleh sebab itu perlu dilakukan tes IgG affinity langsung pada serum yang sama
untuk memperkirakan kapan infeksinya terjadi, apakah sebelum atau sesudah hamil.
      Bila IgG (+) dan IgM (-)
Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan dilakukan pada awal kehamilan, berarti
infeksinya terjadi sudah lama (sebelum hamil) dan sekarang telah memiliki kekebalan, untuk
selanjutnya tidak perlu diperiksa lagi.
b)   Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
c)    Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain Reaction (PCR)
untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau
aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak  berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di
otak setelah infeksi akut.
d)   CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya ditemukan
lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
e)    Biopsi otak 
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.
3.2     Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi
b.  Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit, ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil
c.  Kekurangan volume caiaran berhubungan dengan tidak adekuat masukan makanan dan cairan.

3.4     Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
No INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri kronik berhubungan 1.      Selidiki keluhan nyeri, 1.     Nyeri insisi bermakna pada
dengan adanya proses perhatikan lokasi, itensitas pasca operasi awal
infeksi/inflamasi. nyeri, dan skala diperberat oleh gerakan
2.      Anjurkan pasien untuk 2.     Intervensi dini pada kontrol
Tujuan: melaporkan nyeri segera saat nyeri memudahkan
Setelah dilakukan tindakan mulai pemulihan otot dengan
keperawatan selama 2 x 24 menurunkan tegangan otot
jam nyeri dapat berkurang, 3.     Respon autonomik meliputi,
pasien dapat tenang dan 3.      Pantau tanda-tanda vital perubahan pada TD, nadi,
keadaan umum cukup baik RR, yang berhubungan
dengan penghilangan nyeri
Kriteria Hasil: 4.      Dengan sebab dan akibat
nyeri diharapkan klien
  Klien mengungkapakan
berpartisipasi dalam
nyeri yang dirasakan hilang
4.        Jelaskan sebab dan akibat perawatan untuk mengurangi
dan terkontrol
nyeri pada klien  serta nyeri
  Klien tidak menyeringai
keluarganya 5.     Mengurangi nyeri yang
kesakitan
diperberat oleh gerakan
  TTV dalam batasan normal 6.     Menurunkan tegangan otot,
  Intensitas nyeri berkurang meningkatkan relaksasi, dan
(skala nyeri berkurang 1-10)5.      Anjurkan istirahat selama meningkatkan rasa kontrol
  Klien menunjukkan rileks, fase akut dan kemampuan koping
istirahat tidur, peningkatan 6.      Anjurkan teknik distruksi 7.     Menurunkan gerakan yang
aktivitas dengan cepat dan relaksasi dapat meningkatkan nyeri
8.     Memberikan dukungan
(fisik, emosional,
meningkatkan rasa kontrol,
dan kemampuan koping)
7.      Tingkatkan tirah baring,
bantulah kebutuhan 9.     Dapat membantu
perawatan diri merelaksasikan ketegangan
8.      Berikan situasi lingkungan otot yang meningkatkan
yang kondusif reduksi nyeri/rasa tidak
nyaman tersebut
10. Menghilangkan
atau mengurangi keluhan
nyeri klien
9.      Berikan latihan rentang
gerak aktif/pasif secara tepat
dan masase otot daerah
leher/bahu

10.  Kolaborasi dengan tim


medis dalam pemberian
tindakan
2. Hipertermi berhubungan 1.     Monitor tanda-tanda infeksi.1.     Infeksi pada umumnya
dengan peningkatan menyebabkan peningkatan
metabolisme dan penyakit, 2.     Monitor tanda-tanda vital suhu tubuh
ditandai dengan peningkatan tiap 2 jam. 2.     Deteksi resiko peningkatan
suhu tubuh, tubuh suhu tubuh yang ekstrem,
menggigil. pola yang dihubungkan
dengan patogen tertentu,
Tujuan: menurun dihubungkan
Setelah dilakukan tindakan dengan resolusi infeksi.
keperawatan selama 1x24 3.     Berikan suhu lingkungan 3.     Kehilangan panas tubuh
jam suhu tubuh dapat yang nyaman bagi pasien. melalui konveksi dan
dipertahankan dalam batas Kenakan pakaian tipis pada evaporasi
normal. pasien.
4.     Kompres hangat, hindari 4.     Dapat membantu
penggunaan alkohol mengurangi demam,
Kriteria Hasil: penggunaan air es atau
  Suhu antara 36o-37o c alkohol dapat menyebabkan
  RR dan nadi dalam batas peningkatan suhu secara
normal aktual
  Membran mukosa lembab 5.     Menggantikan cairan yang
  Kulit dingin dan bebas dari 5.     Berikan cairan iv sesuai hilang lewat keringat.
keringat yang berlebih. order atau anjurkan intake
  Pakaian dan tempat tidur cairan yang adekuat. 6.     Aspirin bersiko terjadi
pasien kering 6.     Berikan antipiretik, jangan perdarahan GI yang
berikan aspirin. menetap.
7.     Febril dan enselopati bisa
7.     Monitor komplikasi terjadi bila suhu tubuh yang
neurologis akibat demam. meningkat.

3. Kekurangan volume caiaran 1.     Kaji tanda-tanda dehidrasi. 1.     Intervensi lebih dini


berhubungan dengan tidak 2.     Pantau Tanda-tanda vital,
adekuat masukan makanan status membran mukosa dan2.     Sebagai indikator ke
dan cairan turgor kulit adekuatan sirkulasi
3.     Pantau tekanan darah atau
Tujuan: denyut jantung 3.     Pengurangan dalam
Setelah dilakukan tindakan sirkulasi volume cairan
keperawatan selama 1x24 dapat mengurangi tekanan
jam, asupan cairan adekuat 4.     Palpasi denyut perifer darah.
4.     Denyut yang lemah dan
mudah hilang dapat
Kriteria hasil: menyebabkan hipovolemia.
  Memiliki keseimbangan 5.     Berikan minum per oral 5.      Mempertahankan intake
asupan dan haluaran yang sesuai toleransi. yang adekuat
seimbang dalam 24 jam.
6.     Atur pemberian cairan infus 6.      Melakukan rehidrasi
  Tanda-tanda vita, dalam
batas normal sesuai order.
  Membran mukosa lembab 7.      Ukur semua cairan output 7.     Mengatur keseimbangan
  Nadi perifer teraba (muntah, urine, diare). Ukur antara intake dan output
  Menampilkan hidrasi yang semua intake cairan.   Mengetahui status nutrisi
baik misalnya membran pasien
mukosa yang lembab.   Mengetahui keseimbangan
  Memiliki asupan cairan oral
nutrisi pasien
dan atau intravena yang
adekuat.

BAB 4
PENUTUP
4.1     Kesimpulan
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular obligat
distribusi di seluruh dunia. Pengembangan diperantarai sel kekebalan setelah infeksi
akut. Toxoplasma gondii merupakan salah satu penyebab paling umum infeksi kronis dengan
organisme intraseluler pada manusia.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan kerusakan
neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai
SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang
diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai
meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis
danbiologis berjangkauan luas.
Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum terinfeksi, dapat
menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak memakan daging atau ikan mentah, dan dengan
kewaspadaan lebih lanjut ketika membersihkan kandang kucing, atau dapat memakai obat anti-
HIV yang untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan
yang diakibatkan oleh Toxoplasma gondii. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, Toxoplasma
gondii dapat diobati secara efektif.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit- penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan
oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan. Pengobatan
untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status
kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki
fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat
menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan atau rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada
pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhada virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik,
kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.

4.2     Saran
1.    Bagi institusi 
Diharapkan dapat memberikan penanganan dan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
HIV/AIDS dengan komplikasi toksoplasmosis. Serta terus meningkatkan kualitas pelayanan bagi
klien.
2.         Bagi klien HIV/AIDS
Diharapkan klien dapat memahami tentang penyakit HIV/AIDS dengan komplikasi
toksoplasmosis yang meliputi penyebab, pencegahan, serta penanganannya sehingga bisa
meningakatkan status kesehatan dan dapat beraktivitas seperti biasa.
DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006

Manjur,A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Syahlan, JH (1997)  AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media

Wilkinson,J.M. 2006. Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.

Athur, Frank. 2010. Toxoplasmosis. http://www.scribd.com/doc/81494363/BAB-I-II-III-Edit-


Toxoplasmosis. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012.

Sandy, Indah. 2011. Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat Pada Pasien


AIDS. http://www.scribd.com/doc/49900217/Infeksi-Oportunistik-Susunan-Saraf-Pusat-Pada-
AIDS. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012.

Anda mungkin juga menyukai