Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN TOPIK MINGGUAN

Pengukuran Tumbuh Kembang

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak I

Disusun Oleh

Gilang Putra Ramadhan 1610913310012

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

2021
Masa balita merupakan fase yang penting, karena menentukan kualitas kesehatan,
kesejahteraan, pembelajaran dan perilaku di masa mendatang (WHO, 2014). Secara garis
besar ranah perkembangan anak terdiri atas motorik kasar, motorik halus, bahasa/bicara, dan
personal sosial/kemandirian. Masa balita berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang
lagi, maka masa balita disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela
kesempatan” (window of opportunity) dan “masa kritis” (critical period). (Kemenkes RI,
2016).
Pada masa balita akan sangat mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya, untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas
hidup anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal baik fisik, mental, emosional
maupun sosial, karena itu masa balita sangat penting untuk diperhatikan agar balita tidak
mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan (Kemenkes RI, 2016).
Angka kejadian keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan balita secara umum belum
diketahui dengan pasti, namun menurut United International Children’s Emergency Fund
(UNICEF) rata-rata 40% anak balita di daerah pedesaan terlambat pertumbuhannya
(UNICEF, 2012). Diperkirakan sekitar 1-3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami
keterlambatan tumbuh kembang (IDAI, 2016).
Menurut Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (2016), cakupan pemantauan tumbuh
kembang balita dengan jumlah balita yang ditimbang berdasarkan jenis kelamin. Kabupaten
Gunung Kidul sebesar 76,1% dengan jumlah balita sebanyak 40.225, Kabupaten Sleman
sebesar 78,9% dengan jumlah balita sebanyak 61.182, Kabupaten Bantul 80,6% dengan
jumlah balita sebanyak 60.058, Kabupaten Kulon Progo sebesar 83,2% dengan jumlah balita
sebanyak 21.532, dari data tersebut Kabupaten Sleman menunjukkan posisi terendah dengan
dilihat berdasarkan jumlah balita terbanyak dari seluruh Kabupaten yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta, angka tersebut belum mencapai target yaitu 83,5% Kabupaten Sleman.
Sedangkan jika dilihat dari data tahun 2013-2015 berdasarkan jumlah balita yang ditimbang
menurut jenis kelamin Kabupaten Sleman mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar
74,2% dan tahun 2014 sebesar 77,5% (Dinkes DIY, 2016).

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman (2016), diantara Puskemas yang ada di Sleman,
Puskemas Gamping I merupakan Puskesmas dengan angka kejadian Bawah Garis Merah (BGM)
yang mengalami peningkatan tersendiri dengan hasil angka kejadian di tahun 2014 sebesar 0,42%
dan di tahun 2015 sebesar 0,60%. Hal ini menunjukan masih kurangnya pemantauan tumbuh
kembang balita yang belum mencapai target. Dengan ini pemerintah mengambil beberapa
tindakan untuk mengurangi angka kejadian keterlambatan tumbuh kembang pada balita (Dinkes
Sleman, 2016).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014 Tentang
Pemantauan Pertumbuhan Perkembangan dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak merupakan
bagian dari kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap bayi, anak balita, dan anak
Prasekolah. Pemantauan harus diselenggarakan secara komprehensif dan berkualitas melalui
kegiatan stimulasi yang memadai deteksi dini dan intervensi dini untuk meningkatkan
kualitas tumbuh kembang anak usia dini dan kesiapan anak memasuki jenjang pendidikan
formal serta status kesehatan, gizi, kognitif, mental, dan psikososial anak, oleh karena itu di
perlukan adanya pemantauan tumbuh kembang balita (Kemenkes RI, 2014).
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita sangat penting dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Pemantauan
tumbuh kembang setiap anak tidak sama karena banyak faktor yang yang mempengaruhi baik
faktor dalam (Internal) maupun faktor luar (Eksternal). Salah satu faktor yang mempengaruhi
tumbuh kembang balita adalah faktor luar yaitu lingkungan pengasuhan dimana interaksi ibu
dan anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak (Rivanica dan Oxyandi, 2016).

Untuk mencapai interaksi yang efektif antara ibu dan anak maka ibu harus memperhatikan
sikapnya karena sikap itu muncul dari adanya interaksi dalam memahami, merasakan dan
berperilaku pada suatu objek yang di nilai dengan positif dan negatif. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa sikap positif bila ibu merespon, menerima dan mau melaksanakan
pemantauan tumbuh kembang balita sedangkan sikap negatif bila ibu tidak merespon, tidak
menerima dan tidak mau melaksanakan pemantauan tumbuh kembang balita maka sikap ibu
balita harus diperhatikan untuk mendeteksi secara dini kerterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan pada balita (Azwar, 2016).
Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan balita, dapat terdeteksi dengan memantau
pertumbuhan dan perkembangan balita melalui penimbangan balita setiap bulan.
Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti posyandu, ibu dapat
memantau tumbuh kembang balitanya dengan pengawasan dari petugas kesehatan. Sikap ibu
untuk menyadari bahwa posyandu merupakan hal yang utama untuk meningkatkan derajat
kesehatan balita, ibu dapat memantau tumbuh kembang balitanya dengan pengawasan dari
petugas kesehatan. Bila sikap ibu balita tentang posyandu positif maka ibu balita akan hadir
secara rutin ke posyandu tiap bulannya dan sebaliknya jika sikap ibu balita tentang posyandu
negatif maka kehadiran ibu balita tidak akan rutin tiap bulannya (Notoatmodjo, 2007).

Anda mungkin juga menyukai