Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu solid.
Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang
kemudian akan terlepas dari sediaannya dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti
dengan absorpsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons klinis
(Siregar, 2010).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif
dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh
kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer
massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan
padat. Teori disolusi yang umum adalah (Amir, 2007). :
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan
mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan
berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat
terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan
sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi
terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus menembus pembatas membran.
Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena
karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut
tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah
pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau
saluran usus halus (Martin, 1993).
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan (Shargel dan Andrew, 1988):
1) Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan
bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat
memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah,
sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-
obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat
menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat
fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari
system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan
protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system
pemberian (Martin, 1993).
VII. Pembahasan
Difusi bebas atau transport aktif suatu zat melalui suatu cairan, zat padat atau melalui
membran adalah suatu proses yang sangat penting dalam ilmu farmasi, pokok dari fenomena
transport massa yang diterapkan dalam bidang farmasi adalah disolusi obat dari tablet, serbuk
serta granul, liofulisasi, ultrafiltrasi dan proses mekanik lainnya, termasuk distribusi molekul
obat di dalam jaringan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat,
seperti salep, kapsul atau tablet. Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus
memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif
tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak
menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan
dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut,
seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Mengingat pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka sudah sewajarnya jika
mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan disolusi suatu obat, termasuk cara-cara
dalam menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat kecepatan disolusi suatu zat,
dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.
Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem biologis
mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh. Oleh karena itu konsentrasi obat,
bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-
faktor kimia dan fisika yang harus dipahami untuk mendesain suatu sediaan.Hal ini meliputi
faktor difusi dan disolusi obat.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi
ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila
zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan
juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu seorang farmasis akan dapat mengetahui
efek yang akan ditimbulkan pada obat tersebut. Sehingga penggunaan optimal obat dapat
tercapai. Preformulasi yang bik tentunya harus mengetahui sediaan yang baik dan benar, dengan
mengetahui laju disolusi suatu obat kita dapat mengontrol waktu disolusi suatu obat sehingga
dapat tercipta suatu sediaan yang bermutu.
Pada percobaan ini ditentukan tetapan disolusi dari tablet CTM atau klorfeniramin maleat
dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi
atau kelarutan dari tablet CTM tersebut. Disini digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia. Jadi, diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena CTM kelarutannya dalam air agak sukar larut.
Pada percobaan ini dilakukan pemanasan yang dipertahankan pada suhu 37°C, disesuaikan
dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37°C-38°C.
Uji disolusi digunakan untuk menetukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang
tertera dalam masing-masing monografi, untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket
dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin
lunak kecuali bila dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing
monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan
bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk sediaanepas lambat seperti yang tertera
pada uji pelepasan obat, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan
komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia, jadi obat seakan-akan berdisolusi
di dalam tubuh, selain itu karena mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume
dari labu disolusi yang digunakan adalah 500 ml, hal ini karena menurut literatur yaitu FI IV
media disolusi yang digunakan untuk CTM adalah 500 ml.
Pada percobaan ini, digunakan alat tipe 2 dengan metode dayung karena tablet CTM
dapat terendam secara sempurna didalam air. Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan
putarannya sebesar 50 rpm. Kecepatan pengadukan dianalogikan sebagai kecepatan gerak
peristaltik pada lambung.
Pada percobaan ini, 4 tablet CTM masukkan pada tabung yang telah berisi aquadest dan
tabung satunya juga berisi aquadest setelah alat dinyalakan pada selang waktu 1 menit diambil
cuplikannya 5 ml dilakukan sampai menit kelima kemudian dilanjutkan dengan selang waktu 5
menit sampai menit ke 45.
Pada waktu larutan diambil, harus diusahakan pada bagian yang sama dari cairan.
Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat
aktif yang sangat besar. Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat
kapan obat CTM akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Setelah pemipetan
dilakukan selanjutnya yaitu pengecekan absorbansi di spektrofotometer uv-vis, hal ini bertujuan
untuk ngetahui kadar yang terdapat dalam sampel yang diambil tersebut.
Dari hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula obat CTM akan terdisolusi
dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif
akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan memberikan efek terapi jika obat berada
dalam tubuh. Pada grafik persentase kelarutan dihasilkan grafik naik turun akan tetapi sebaiknya
grafik yang diperoleh adalah naik yang kemudian konstan atau turun. Hal itu disebabkan karena
adanya beberapa kesalahan diantaranya: pemipetan yang salah, pengambilan cuplikan ditempat
yang berbeda-beda dan waktu pengambilan yang tidak tepat. Adapun faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi suatu zat, yaitu; suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertikel
poros, goyangnya poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambil cuplikan, formulasi
bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa CTM atau
klorfeniramin maleat memiliki laju disolusi yang baik karena dapat larut secara sempurna dalam
waktu 45 menit, berdasarkan literatur bahwa 4 mg CTM dapat larut secara sempurna dalam
waktu 45 menit.
Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang sediaan obat
supaya mampu menrancang terobosan baru dalam menciptakan suati produk yang berkualitas, baik dari
segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai seorang farmasis
kita harus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.
Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi.Preformulasi merupakan metode perancangan
suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru yang nantinya harusmampu menghasilkan suatu maha
karya yang bernilai.Dibutuhkan kearifan dan kecerdasan yang mumpuni dalam menyusun preformulasi
suatu sediaan. Terutama dalam mengenal monografi,spesifikasi mencakup sifat-sifat suatu zat dan reaksi
yang mungkin terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat dikombinasikan.
Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami soroti
disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat.Dimana ini merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan
penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh Manusia.Laju disolusi atau kecepatan
melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi.
Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya.
Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi
seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk
kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin
memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon
terapeutik yang minimum.Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai
dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti
mikronisasi obat atau kompleksasi.
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi
masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat
demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau
bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna.
Oleh karena itu pengetahuan mengenai disolusi dirasa sangat penting dalam pembuatan sediaan obat.
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam
pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat
padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti,2008) :
dM.dt-1 : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
H : tebal lapisan difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi
berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang
stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada
kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs.
Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu:
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik
serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui
persamaan berikut (Astuti,2008) :
D =
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan
disolusi (Astuti,2008).
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan
disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan
disolusi juga meningkat (Astuti,2008).
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan
berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang (Astuti,2008).
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan
disolusi meningkat (Astuti,2008).
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih
mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar (Astuti,2008).
Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung
pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang
biasanya lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan
tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai
kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai
tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi
sistemik (Martin,2008).
Untuk memulai setiap analisis ukuran partikel harus diambil dari umunya jumlah bahan besar
(ditandai dengan junlah dasar) suatu contoh yang Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut
pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor berlangsung
maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam
zat murni, ada tiga dasar model fisika yang umum, yaitu:
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model).
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu
lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang
berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu
model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”, pencampuran secara cepat akan terjadi dan
gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari
molekul dalam liguid film.
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi air atau
dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam
larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami
diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami pemecahan menjadi partikel halus.
Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di
tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Pemikiran dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya
menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan, dan lewatnya
seluruh partikel melalui saringan berukuran mesh-10. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-
partikel itu akan melepaskan bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Itu
sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.Laju absorbsi
dari obat-obat bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan
dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi
dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Karena itu
laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan
bioavailabilitas dari berbagai formula (Lachman, 1994).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
1. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media
pelarut. Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau seyawa obat dari sediaan
padat kedalam suatu medium tertentu.
2.Untuk hasil praktikum kali ini diperoleh nilai k = 7,9 x 10-3 mg/menit.
V.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan percobaan guna mengurangi kesalahan yang
terjadi.