Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Pada dasarnya, Pembelajaran Kelas Rangkap adalah penggabungan sekelompok siswa


yang mempunyai perbedaan usia, kemampuan, minat, dan tingkatan kelas, di mana dikelola
oleh seorang guru atau beberapa guru yang dalam pembelajarannya difokuskan pada
kemajuan individual para siswa. Djalil (2012) menyatakan Pembelajaran Kelas Rangkap
(PKR) adalah bentuk pembelajaran yang mempersyaratkan seorang guru mengajar dalam satu
ruang kelas atau lebih, dalam saat yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas
yang berbeda. Pembelajaran kelas rangkap juga mengandung makna, seorang guru mengajar
dalam satu ruang kelas atau lebih dan menghadapi murid dengan kemampuan belajar yang
berbeda-beda.
Pengelolaan pembelajaran kelas rangkap tidak dapat dilakukan dengan paradigma
dalam kelas tunggal mengingat jumlah kelas maupun peserta didiknya yang berbeda. Djalil
(2012), menyampaikan beberapa alasan mengapa pembelajaran kelas rangkap diperlukan
yaitu: (1) alasan geografis; (2) alasan demografis; (3) kurang guru; (4) terbatasnya ruang
kelas; 5) adanya guru yang tidak hadir; 6) alasan lain.
Djalil, (2012) menyatakan PKR dimungkinkan memilah peserta didik menjadi dua
atau lebih sub kelas yang terdiri atas 10-20 peserta didik. Pengertian perangkapan tidak lagi
semata-mata dilihat dari dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda, tetapi juga dalam satu
tingkat kelas yang sama, namun terdiri dari peserta didik dengan tingkat kemampuan dan
kemajuan yang berbeda. Pembelajaran kelas rangkap adalah pembelajaran yang dilakukan
oleh guru dalam satu ruang kelas atau lebih pada waktu dan dalam mata pelajaran atau
tingkat kelas yang sama atau berbeda dengan tingkat kemampuan dan kemajuan belajar
berbeda.
Ciri-ciri dan model pengelolaan PKR menurut Djalil (2012), ciri-ciri utama PKR
sebagai berikut: (1) Seorang guru; (2) Menghadapi dua kelas atau lebih; (3) Satu kelas
dengan dua atau beberapa kelompok peserta didik yang berbeda kemampuan; (4) Untuk
membimbing belajar dalam satu mata pelajaran atau lebih; 5) Beberapa topik yang berbeda
dalam satu mata pelajaran; 6) Dalam satu atau lebih dari satu ruangan; Pada jam pelajaran
yang bersamaan.

Pembahasan
Pembelajaran kelas rangkap merupakan suatu kajian strategi pembelajaran, yang
menjadi pilihan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran kelas rangkap yang
disingkat (PKR) memiliki pengertian pembelajaran kelas rangkap sesungguhnya di mana
seorang guru atau sekelompok guru mengelola kelas, yang terdapat berbagai siswa dari
tingkatan kelas yang berbeda atau usia yang bervariasi dengan kemampuan yang bervariasi
pula dalam satu ruangan untuk tujuan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Berikut
alasan perlunya praktik pembelajaran kelas rangkap.
1. Alasan Psikologis-Pedagogis
Menurut statistik persekolahan tahun 1990 di Indonesia sedikitnya terdapat 12.000 SD
yang hanya memiliki guru-3 orang per SD. Sedangkan menurut UNESCO (Djalil: 1997) pada
tahun 1980-an di Indonesia terdapat sekitar 20.000 SD yang memiliki guru 1-3 orang. SD-SD
tersebut pada umumnya memiliki jumlah murid yang sedikit. Karena jumlah guru dan jumlah
muridnya sedikit maka pelaksanaan pembelajaran sehari-hari menerapkan pendekatan
pembelajaran kelas rangkap (PKR). Di Indonesia selama ini pelaksanaan PKR hanya disikapi
sebagai suatu keterpaksaan atau keadaan darurat. Berbeda dengan Negara lain Australia,
Amerika Serikat, Belanda, RRC Meksiko, Kolumbia, dan negara-negara kecil di Samudra
Pasifik PKR sudah lama di praktekkan dengan sengaja. Di Australia kajian Ilmiah mengenai
PKR dan kepustakaan mengenai PKR sudah cukup banyak. Sementara di Indonesia kajian
dan kepustakaan tentang PKR sangat terbatas. Baru tercatat satu penelitian tentang PKR
(Soemardi dkk: 1996) dan baru satu seri modul PKR Universitas Terbuka (Arial Djalil dkk, :
1997)
Bila dilihat dari bidang kajian psikologi pendidikan terdapat konsep “perbedaan
individual” atau “Individual differences”. Konsep ini member informasi bahwa setiap anak
didik bersifat unik. Artinya di samping memiliki persamaan juga memiliki perbedaan.
Perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan jenis kelamin, usia dan lingkungan.
Secara psikologis seperti diteorikan oleh Piaget dan Bell-Gredler (1986), setiap anak
memiliki tingkat perkembangan atau “cognitive development” sesuai rentang usianya mulai
dari tingkat terendah sensori motor (masa bayi) samapai tingkat tertinggi operasi formal (usia
12 tahun ke atas). Secara psikologis-sosiologis setiap anak memiliki tuntutan perilaku peran
yang berbeda-beda sebagaimana diteorikan oleh Havighurst (Alberty: 1958) dalam konsep
tugas-tugas perkembangan atau development task. Secara moral anak juga memiliki tingkat
perkembangan moralita, sebagaimana diteorikan oleh Kohlberg (1975) dalam konsep kognitif
moral development.
Bentuk perhatian dan layanan pendidikan dapat berupa penggunaan pendekatan
pembelajaran yang mampu mewadahi perbedaan individual anak. Pembelajaran klasikal-
individual dapat dinilai jauh lebih sesuai untuk itu dari pada pembelajaran klasikal-massal.
Dalam pembelajaran klasikal-individual walaupun anak berada dalam satu kelas tetapi
layanan pembelajaran diberikan secara individual atau kelompok sesuai tingkatan
keunikannya. Sedangkan dalam pembelajaran klasikal-massal anak dalam satu kelas
cenderung mendapat perlakuan yang serba sama.
Konsep dan model PKR yang di dalam berbagai kepustakaan dikenal dengan
multigrade teaching” (Miller: 1989) “the multiage classroom” (Fogarty: 1992) atau “multiple
claas teaching” (UNESCO:1988) merupakan pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk
memberi perhatian dan melayani perbedaan individual anak untuk satu atau lebih dari satu
kelas, kedalam satu atau lebih dari satu ruangan.
Secara teoritik sesungguhnya PKR itu dirancang terutama untuk memberi layanan
perbedaan individual dalam proses pembelajaran dan bukan semata-mata untuk mengatasi
kekurangan guru dalam satu kelas. Selain itu dapat ditambahkan alasan lain yakni sebagai
upaya pembentukan keterampilan sosial atau social skills dealam konteks sosial atau
kelompok seperti dalam penerapan konsep Open Classroom di USA. (Raka Joni: 1998).
Karena itu PKR dapat diterapkan baik disekolah kecil, misalnya SD dengan jumlah
guru dan jumlah muridnya kecil, maupun di sekolah biasa yang jumlah guru dan jumlah
muridnya memadai. Dengan kata lain PKR, sesungguhnya berkembang sejalan dengan
konsep dan prinsip psikologis dan pedagogis yang berlaku.

2. Alasan Demografis-Sosiologis
Berbeda dengan alasan psikologis –paedagogis yanhg lebih bersifat konseptual, alasan
demografis-sosiologis lebih bersifat factual dan praktis.Pembelajaran kelas rangkap sering
dikaitkan dengan sekolah kecil di daerah terpencil yang berpenduduk sedikit. Di sekolah
seperti ini biasanya hanya ada satu sampai dengan tiga orang guru untuk melayani seluruh
siswa kelas I sampai kelas VI.
Jumlah siswa di setiap sekolah juga sedikit. Guru tersebut harus menggabungkan
kelas agar bisa mengajar semua siswa di sekolah, artinya dalam satu ruangan ditempati oleh
siswa dari dua kelas. Pola penggabungan umumnya adalah kelas 1 dengan kelas 2, kelas 3
dengan kelas 4, dan kelas 5 dengan kelas 6.
Keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya masalah demografis-sosiologis yaitu
murid sedikit-guru sedikit, murid sedikit-guru berlebih, murid cukup-guru sedikit, dan murid
cukup-guru berlebih. Keadaaan seperti ini menimbulkan permasalahan in-efisiensi yakni
pemborosan tenaga guru atau permasalahan equity atau pemerataan kualitas yang sukar
dicapai kerena kemungkinan terjadi penelantaran muris atau deprivation.
Untuk mengatasi keadaan murid sedikit-guru sedikit, dan murid cukup-guru sedikit,
diperlukakan pengelolaan pembelajaran yang memungkinkan terjadi perangkapan kelas oleh
seorang guru dalam satu ruangan atau lebih dari satu ruangan. Relevan dengan tuntutan itu
konsep dan pendekatan pembelajaran kelas rangkap merupakan jawaban yang tepat.
Selain itu konsep dan model PKR juga merupakakan jawaban yang tepat terhadap
adanya keterbatasan logistic. Misalnya ruang kelas yang terbatas karena sejak awal ruangan
sangat terbatas atau sebagian ruangannya sudah rusak yang disebabkan karena umur
bangunan yang sudah tua atau rusak akibat bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, tanah
longsor dll.
Satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah alasan ketidakhadiran salah seorang
guru karena berbagai alasan. Kondisi ini menuntut guru yang ada di sekolah untuk
melaksanakan kelas rangkap dengan menggunakan PKR. Keadaan ini sangat memungkinkan
terjadi baik di SD daerah pedesaan maupun daerah perkotaan.
Pembelajaran kelas rangkap juga terdapat di banyak sekolah perkotaan, karena jumlah
siswa tidak seimbang dengan jumlah kelas. Kelas harus digabung untuk mendapatkan jumlah
siswa seperti biasa. Jadi alasan dibentuknya kelas rangkap bukan karena kekurangan guru
saja melainkan juga alasan efisiensi. Misalnya jika di kelas 1 hanya ada 9 siswa dan kelas 2
hanya ada 10 siswa maka tidak perlu masing-masing kelas diajar oleh seorang guru. Dengan
prinsip efisiensi sumber daya maka cukup diperlukan satu guru yang merangkap mengajar
kelas 1 dan kelas 2.

Praktik pembelajaran kelas rangkap masih banyak yang menyimpang dari gambaran
pembelajaran kelas rangkap yang ideal. Pembelajaran yang berlangsung hanya secara
bergilir, sehingga banyak waktu yang terbuang dengan percuma, pemanfaatan sumber belajar
belum maksimal, dan supervisi guru terhadap belajar murid masih kurang, kadang
mengakibatkan pembelajaran membosankan. Sehingga hasil belajar tidak sesuai dengan
dengan harapan. Padahal mengajar kelas rangkap bukan suatu keadaan yang pantas dituduh
sebagai penyebab rendahnya kemampuan siswa. Penyimpangan praktik pembelajaran kelas
rangkap yang saat ini masih banyak terjadi adalah sebagai berikut.
1. Dilaksanakan secara Bergilir (Pembelajaran Duplikasi)
Pembelajaran yang dilaksanakan secara bergilir (Pembelajaran duplikasi) merupakan
proses pembelajaran, dimana guru mengajar secara bergilir dari kelas yang satu ke kelas lain
dan kembali lagi. Kegiatan pembelajaran tersebut bukan pembelajaran kelas rangkap karena
kegiatan belajar mengajar berlangsung tidak serempak. Beberapa kelemahan pembelajaran
bergilir yaitu pemborosan waktu, pembelajaran berlangsung seragam, dan kontak psikologis
antara guru dan siswa berlangsung sangat terbatas.
2. Pemanfaatan Sumber Belajar Belum Maksimal dan Supervisi Guru terhadap Belajar
Siswa masih Kurang
Guru merupakan sumber belajar yang utama, yaitu dengan segala kemampuan, wawasan
keilmuan, keterampilan dan pengetahuan yang luas, maka segala informasi pembelajaran
dapat diperoleh dari guru tersebut. Sumber belajar pada dasarnya banyak sekali baik yang
terdapat di lingkungan kelas, sekolah, sekitar sekolah bahkan di masyarakat, keluarga, di
pasar, kota, desa, hutan dan sebagainya. Yang perlu dipahami dalam hal ini adalah
masalah pemanfaatannya yang akan tergantung kepada kreativitas dan budaya mengajar
guru atau pendidikan itu sendiri.
Supervisi merupakan kegiatan pembinaan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
mengajar dan belajar dengan bantuan yang diberikan oleh guru. Supervisi yang dimaksud
adalah kemampuan guru untuk mencari inspirasi atau ide-ide agar ia dapat menghasilkan
sesuatu yang terbaik bagi anak didiknya. Dapat dibayangkan jika pemanfaatan sumber
belajar belum maksimal dan supervisi guru terhadap belajar murid juga dalam kondisi
kurang, maka murid mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar selain itu dapat
dipastikan kemampuan murid dalam klasifikasi yang rendah. Pemanfaatan sumber belajar
yang belum maksimal dan supervise guru terhadap belajar siswa yang masih kurang
memiliki dampak, yaitu mengurangi bahkan menghilangkan kesempatan siswa untuk
membaca dan rendahnya kemampuan siswa,

Tidak ada pembelajaran kelas rangkap yang mampu dilakukan dengan 100% benar,
masih banyak kelemahan-kelemahan dalam melakukan praktik pembelajaran kelas rangkap.
Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana membuat pembelajaran kelas
rangkap yang ideal untuk sang guru dan murid yang diajarnya. Pembelajaran kelas rangkap
yang ideal secara terencana menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran kelas rangkap yang
menyebabkan kegiatan belajar mengajar menjadi sebagai berikut : (a) Keadaan iklim kelas
ceria; (b) Proses belajar berlangsung serempak; (c) Guru memanfaatkan ruang kelas yang ada
dengan menciptakan sudut sumber belajar; (d) Konsep CBSA yang sebenarnya terlihat; (e)
Adanya asas kooperatif-kompetitif; (f) Belajar dengan pendekatan pembelajaran kelas
rangkap yang benar; (g) Ada perhatian khusus bagi murid yang lambat dan yang cepat; (h)
Sumber belajar murid bukan saja berasal dari Depdikbud atau Dinas; (i) Prinsip perangkapan
kelas tidak hanya dalam bentuk mengajar dua tingkat kelas atau lebih dalam satu ruang kelas
atau lebih dan dalam waktu yang bersamaan; (j) Guru dapat memanfaatkan sumber daya yang
ada di lingkungan.
Di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, tak
dapat dihindari adanya permasalahan penyebaran dan permasalahan perbedaan beberapa hal.
Begitu juga dalam sistem pendidikan kita. Misalnya dalam penyebaran guru SD. Sistem
pendidikan kita belum mampu menyebarkan guru SD secara merata ke segala penjuru
wilayah di tanah air. Akibatnya masih terjadi kekurangan guru SD secara lokal dimana-mana,
termasuk di Papua masih mengalami masalah kekurangan guru SD sekitar 4000 orang.
Dalam masalah perbedaan kualitas hasil belajar, pada umumnya murid SD di kota-
kota besar jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah, terutama di
daerah yang terpencil. Akibat kekurangan guru mungkin saja akan menambah adanya
perbedaan ini. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan guru di beberapa SD di
Indonesia adalah dengan penerapan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR). Namun demikian,
mengajar dengan merangkap kelas bukan berarti merupakan penyebab terjadinya kurang
baiknya kualitas hasil belajar. Mungkin hal ini dikarenakan kita belum menemukan teknik
yang tepat untuk melakukan PKR. Pemahaman yang baik tentang PKR oleh guru maupun
calon guru diharapkan akan mampu melaksanakan pembelajaran PKR dengan efektif dan
efisien, sehingga ada anggapan bahwa PKR merupakan suatu masalah yang sulit untuk
diatasi. Namun, justru disadari bahwa PKR adalah suatu tantangan dan kenyataan yang harus
dihadapi sebagai tugas guru.
Dalam PKR lebih banyak menuntut siswa belajar mandiri dan konstektual, sehingga
secara tidak langsung interaksi antara siswa yang baik dan intensif akan membentuk karakter
siswa yang positif. Kalau dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang
menekannkan pada pendekatan tematik, PKR ini tampaknya cocok diterapkan. Pembelajaran
tematik merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi
dari berbagai mata pelajaran. Pengintegrasian tersebut dilakukan dalam 2 (dua) hal, yaitu
integrasi sikap, kemampuan/keterampilan dan pengetahuan dalam proses pembelajaran serta
pengintegrasian berbagai konsep dasar yang berkaitan (http://kangmartho.com)
Pelaksanaan PKR bukan saja sekedar kenyataan yang harus dihadapi oleh guru, tetapi
PKR juga mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, pengalaman yang
dimiliki oleh guru yang mengajar di kelas rangkap akan sangat berarti dalam
mengembangkan profesionalismenya. Guru perlu persiapan materi, fisik, dan mental dalam
PKR. Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan PKR secara
konseptual sesuai dengan konsep psikologi dan pedagogi dan secara praktis dapat mengatasi
berbagai kendala demografis, sosiologis, dan kendala situasional lainya.

Sumber dan Daftar Pustaka


https://www.asikbelajar.com/alasan-diadakannya-kelas-rangkap/
http://www.blogbarabai.com/2014/11/gambaran-pembelajaran-kelas-rangkap.html
Jehudin. 2016. Penerapan Pembelajaran Kelas Rangkap Di Sd Negeri 012 Tanjung Palas
Menggunakan Metode Ceramah Materi Pendidikan Agama Islam Tahun
Pelajaran 2016/2017. Mandala Education. JIME Vol.2 No.2. Diakses pada 17
Mei 2020
Theodora Maasawet, Elsje dan Anda Supanda. 2015. Penggunaan Model Pembelajaran
Inkuiri Melalui Kelas Rangkap Untuk Peningkatan Motivasi Dan Kemampuan
Penggunaan Software Presentasi Di Smk Negeri 1 Samarinda. Universitas
Mulawarman. Volume 3, Nomor 1, April 2015, hlm. 1-50. Diakses pada 17 Mei
2020.

Anda mungkin juga menyukai