Pak Salito Resume
Pak Salito Resume
Landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang
[2]
mendasari. Contohnya: seperti landasan kepercayaan agama, dasar atau titik tolak.
Secara bahasa landasan berarti tumpuan, dasar ataupun alas, karena itu landasan merupakan
tempat bertumpu atau titik tolak maupun dasar pijakan. Atau dapat pula diartikan sebagai asumsi-
Dengan demikian landasan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan, landasan, suatu
asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
Landasan desain pembelajaran PENDIDIKAN AGAMA ISLAM secara garis besar ada 3 yaitu : Al-
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu yang disamPendidikan Agama Islamkan oleh Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW. Didalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut AQIDAH, dan yang berhubungan dengan amal
Secara lengkap Al-qur`an didefenisikan sebagai Firman Allah yang diturunkan kepada hati
Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah, melalui ruh al-Amin dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab
dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah, dan sebagai
undang-undang bagi manusia dan memberi petunjuk kepada mereka, serta menjadi sarana
http://zhenhal.blogspot.co.id
2. as-Sunnah
As-Sunnah didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad SAW. yang
terdiri dari ucapan, perbuatan,persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa
sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah
Muhammad SAW. diutus ke bumi ini, salah satunya adalah untuk memperbaiki moral atau akhlak
umat manusia.
Oleh karena itu, sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia
Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah
3. Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqawah, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang
dimiliki oleh ilmuan syari’ah islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum atau syari’at
islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijtihad
dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap
Namun demikian Ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid tidak
boleh bertentangan dengan isi Al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Karena Ijtihad dipandang sebagai
salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasul Allah wafat.
Sasaran ijtihad adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa
berkembang. Ijtihad bidang pendidkan sejalan denga perkembangan zaman yang semakin maju,
terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang
[4]
sistem dalam arti yang luas.
Dalam pengembangan kurikulum PENDIDIKAN AGAMA ISLAM diperlukan landasan atau asas
yang kuat. Apabila proses pengembanganya secara acak-acakan dan tidak memiliki landasan yang
kuat, maka output pendidikan yang dihasilkan tidak akan terjamin kualitasnya. Landasan
Pengembangan kurikulum PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, pada hakikatnya adalah faktor-faktor yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang kurikulum ketika hendak
.[5]
mengembangkan atau merencanakan suatu kurikulum lembaga pendidikan
Landasan utama dalam pengembangan kurikulum PENDIDIKAN AGAMA ISLAM yaitu landasan
Dasar teologis, adalah dasar yang ditetapkan nialai-nilai ilahi yang terdapat pada Al-Qur’an dan
Dari dasar-dasar kurikulum diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan formal yang terdapat
pada kurikulum Pendidikan Agama Islam. Merujuk kurikulum pendidikan formal yang terdapat di
sekolah dan madrasah di Indonesia, maka batasan atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-
Dasar kurikulum secara umum dapat ditarik secara khusus ke dalam kurikulum Pendidikan
[6]
Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar pokoknya .
2. Landasan Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia, dalam proses pendidikan itu terjadi
interaksi antara peserta didik dengan guru, dan lingkungannya. Diharapkan pendidikan mampu
membawa perubahan perilaku siswa menuju kedewasaan. Yang dimaksud dengan landasan psikologi
supaya memperhatikan dari sisi perkembangan jiwa manusia. Sementara itu psikologi adalah ilmu
yang memepelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah suatu upaya menentukan
[7]
program pendidikan untuk merubah perilaku manusia.
3. Landasan Sosiologis
yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Pendidikan adalah proses sosialisasi
Pendidikan sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta,
karsa, dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi, yaitu manusia
yang berbudaya. Semakin meningkatnya perkembangan sosial budaya manusia, akan menjadikan
tuntutan hidup manusia semakin tinggi pula, untuk itu diperlukan kesiapan lembaga pendidikan dalam
[8]
menjawab segala tantangan yang diakibatkan perkembangan kebudayaan tersebut.
4. Landasan Teknologis
Teknologi pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan. Teknologi memegang peranan
penting dalam kehidupan budaya manusia. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kondisi yang
efektif, efisien, dan sinergis terhadap pola perilaku manusia. Produk teknologi tersebut
banyak digunakan dalam pendidikan sehingga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap
[9]
proses dan hasil pendidikan.
B. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah/Madrasah
1. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dalam
As-Syaibani menetapkan lima dasar pokok kurikulum pendidikan yaitu dasar religious, falsafah,
a. Dasar religious, dasar yang ditetapkan nilai-nilai ilahi yang terdapat pada Al-Qur’an dan as-Sunnah
b. Dasar Falsafah, dasar ini memberikan arah tujuan pendidikan sehingga susunan kurikulum
c. Dasar psikologis, dasar ini mempertimbangkan tahapan psikis anak didik yang berkaitan dengan
perkembangan jasmaniah, kematangan, bakat, intelektual, bahasa, emosi, kebutuhan dan keinginan
individu.
d. Dasar sosiologis, dasar ini memberikan gambaran bahwa kurikulum pendidikan memegang peranan
penting dalam penyamPendidikan Agama Islaman dan pengembangan kebudayaan, proses sosialisasi
e. Dasar organisatoris, dasar ini mengenai bentuk penyajian bahan pelajaran yaitu organisasi
kurikulum.
Fungsi kurikulum bagi sekolah yaitu sebagai alat untuk mencaPendidikan Agama Islam tujuan
lembaga pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur segala kegiatan sehari-
hari di sekolah. Fungsi kurikulum bagi anak didik sebagai suatu organisasi belajar tersusun yang
diharapkan mereka mendapatkan pengalaman baru yang dapat dikembangkan dikemudian hari.
Fungsi kurikulum bagi Kepala Sekolah maupun Guru sebagi pedoman kerja. Sedangkan fungsi
kurikulum bagi orang tua siswa yaitu agar orang tua dapat turut serta membantu pihak sekolah dalam
Adapun tujuan kurikulum PENDIDIKAN AGAMA ISLAM di sekolah yaitu untuk mengantarkan
peserta didik menjadi manusia yang unggul dalam beriman dan bertakwa, berakhlak mulia,
berkepribadian, menganalisa ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri
[10]
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (visi dan misi sekolah).
Sejak diberlakukannya UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional kita memiliki
dua macam sistem pendidikan umum. Pertama sistem sekolah, kedua sistem madrasah. Sebenarnya
madrasah itu artinya sekolah. Sistem sekolah umum yaitu jenjang SD-SMP-SMA, sedangkan sistem
madrasah ialah sekolah umum yang berciri khas islam ialah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah. Sekolah
umum berciri khas Islam ialah sekolah umum yag islami. Jadi Ibtida’iyah itu sama dengan Sekolah
Dasar Islam (SDI), Tsanawiyah itu sama dengan (SMPI), ‘Aliyah sama dengan (SMAI) ; jika milik
pemerintah maka madrasah Ibtida’iyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN), Dan
Pada dasarnya terdapat 9 unsur menurut Hamalik, unsur yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu : (1) objektivitas, (2) keterpaduan, (3) manfaat, (4) efisiensi dan
pembakuan.
Sedangkan orang yang mengembangkan kurikulum itu adalah orang yang terlibat langsung
dengan pendidikan, terbagi menjadi dua yaitu produsen Berbagai ahli yag sesuai yang ada pada
lembaga pendidikan, misalnya beberapa narasumber yang ada di Dinas Depdiknas, Dinas P dan K,
Dikdasmen Puskur, guru-guru yang ahli dalam bidangnya dan sebagainya. Konsumen, dapat diambil
dari narasumber yang berada pada berbagai perusahaan, perindustrian, bank, BUMN, Dinas yang
[11]
terkait dan sebagainya.
Sejak Kurikulum Tahun 1984, Kurikulum Pendidikan Agama Islam baik di Sekolah Umum dan di
Dari kedua bentuk kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum dan di Madrasah, ada
memiliki persamaan dan perbedaan, secara eksistensi tujuan dan ruang lingkup adalah sama, namun
karena keluasan materi yang didukung oleh alokasi waktu yang berbeda, maka pengembangan
[12]
kurikulum itu akan mengalami perbedaan-perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing.
Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi
titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden peraturan pelaksanaan lainnya, seperti
peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain.
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek
kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas
Nomor 2 Tahun 1989.
Landasan Sosio-kultural
Kehidupan sosial dan kultural masyarakat dibangun dan dikembangkan secara berkesinambungan.
Masyarakat secara turun-temurun mewariskan dan mengembangkan sistem pranata, norma, dan nilai-
nilai budaya kepada generasi berikutnya. Keseluruhan kehidupan masyarakat itu diwujudkan dalam
kebudayaan. Landasan sosio-kultural. Masyarakat pedesaan misalnya, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan dan lain
sebagainya. Di dalam masyarakat pedesaan ini suasana kehidupan masyarakat ditandai dengan
paguyuban. Artinya hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal,
akrab, toleransi, gotong- royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya. Interaksi sosial sangat intensif
dalam bentuk tatap muka yang penuh keakraban.
Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota memiliki karakteristik interaksi sosial
yang bersifat patembayan, sedangkan di dalam masyarakat pedesaan bersifat paguyuban. Artinya,
hubungan antarindividu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual.
Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara fisik finansial.
Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung dengan teknologi sehingga tidak saling
kenal mengenal. Misalnya, ketika ada masalah bersama maka penyelesaiannya diukur dari partisipasi
kontribusi yang diberikan individu. Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi uang
sehingga tatap muka antarindividu sudah digantikan dengan substitusi lainnya.
Pemahaman tentang hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya yang berlaku
dalam masyarakat. Pada masyarakat pedesaan, HAM itu dipahami sebatas tidak melanggar bahkan
harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan kebudayaan. Untuk
mewujudkan HAM perlu memperhatikan: (1) sistem sosial yang berlaku; (2) sistem nilai dan norma
dalam masyarakat dan kebudayaan; (3) sikap sosial dan budaya individu; (4) sistem kepercayaan yang
dijunjung tinggi masyarakat dan kebudayaan; (5) pranata-pranata sosial; (6) adat istiadat suatu
masyarakat.
HAM semata-mata tidak hanya didasarkan atas hukum dan undang-undang saja tanpa memperhatikan
rasa keadilan dalam masyarakat. Interpretasi hakim yang hanya mengutamakan hukum dan undang-
undang tanpa memperhatikan dinamika dan kemajuan masyarakat yang semakin kritis, membuat
putusan hukum yang diambil hakim seringkali melanggar rasa keadilan masyarakat. Perlakuan
diskriminatif akan menimbulkan perasaan yang menyakitkan di kalangan masyarakat.
Masyarakat itu tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Van Peursen (1981) masyarakat tumbuh melalui tiga tahap: mitis, ontologis, dan fungsional.
Pada awalnya, masyarakat tumbuh dalam tahap mitis. Pada tahap mitis ini, dikembangkan penyelesaian
masalah dengan menggunakan sistem kepercayaan, magi, dan mitos. Semua persoalan kehidupan
diselesaikan dengan pengetahuan tersebut. Namun demikian, penyelesaian berdasarkan mitologi ini
tidak memuaskan manusia. Ketidakpuasan itu kemudian membuat manusia mencari penyelesaian
dengan cara lainnya, yaitu berpikir rasional. Berbekal kemampuan rasional, orang berusaha
memecahkan masalah itu. Melalui rasio, manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang
dipikirkan. Pemikiran rasional itu bersifat reflektif filosofis sehingga melahirkan pemikiran ontologis.
Pada tahap ontologis ini lahir pengetahuan filsafat. Perkembangan masyarakat dan kehidupan yang
sangat pesat membuat pemikiran filsafat itu kurang memuaskan manusia. Manusia kemudian
mengembangkan pemikiran rasional yang terukur melalui tahap tertentu. Pemikiran rasional yang
dikembangkan melalui tahapan tertentu itu melahirkan pemikiran ilmiah. Tahapan itu adalah: (1)
pemikiran rasional itu bersifat objektif empiris, artinya objek itu dipikirkan sejauh dapat dialami oleh
manusia. (2) menggunakan metode ilmiah tertentu, (3) memiliki sistem ilmiah, (4) kebenarannya
bersifat hipotetik, artinya kebenaran itu diukur dari bukti-bukti empiris yang mendukungnya.
Metode ilmiah yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
(1) ada gejala tertentu yang selalu berulangkali terjadi, (2) di dalam gejala itu terdapat permasalahan
yang harus diatasi, (3) masalah itu kemudian dicarikan penyelesaian teoritik di dalam kepustakaan yang
ada, (4) penyusunan hipotetik yang harus dicarikan bukti-bukti yang ada, (5) pengumpulan data, (6)
analisis data, (7) hasil analisis data itu kemudian dipakai untuk menguji hipotesis, (8) hasil uji hipotesis
itu dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan umum. Kajian ilmiah sekarang ini lebih banyak digunakan
orang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Kecenderungan penyelesaian masalah secara
ilmiah itu membuat penyelesaian masalah dengan cara lainnya lebih banyak diabaikan.
Pada akhirnya, penyelesaian secara ilmiah dengan ipteks itu juga tidak dapat menyelesaikan segalanya.
Bahkan, kehidupan manusia menjadi semakin jauh dari kehidupan spiritual. Kehidupan semacam itu
lepas dari aspek-aspek spiritual sehingga menjadi “kering” dan rindu pada aspek-aspek kerohanian yang
dulu pernah dialaminya. Kehidupan spiritual; religius itu kemudian dijadikan landasan untuk
mengembangkan HAM. Sebagai anugerah Tuhan, hak dasar manusia yang dibawa sejak lahir itu
dijalankan sesuai dengan nilai-nilai religius. Artinya HAM itu semakin meningkatkan keimanan dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Harkat dan martabat manusia terletak pada kedekatannya dengan
Tuhan. Implementasi HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan akan semakin membuat
manusia kehilangan jati diri sebagai manusia. Kebebasan dan HAM yang mengingkari adanya nilai-nilai
religius itu mengakibatkan manusia kebingungan dalam kehidupan. Sebab kehidupan manusia itu
terbatas, di seberang batas itu hanya dapat dipahami melalui keimanan dan kepercayaan.
Bangsa Indonesia secara filosofis, sosiologis, maupun religius mempercayai adanya Tuhan Yang Maha
Esa. Pada masa pra sejarah, kepercayaan tersebut masih berupa animisme dan dinamisme. Kepercayaan
animisme merupakan kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan adikodrati yang ada pada binatang
dan makhluk lainnya. Di samping itu, masyarakat juga masih mempercayai adanya kekuatan adikodrati
pada roh leluhur yang masih menentukan kehidupannya. Pada masa ini berkembang pula kepercayaan
mitis dan magis di kalangan masyarakat. Konsep ketuhanan pada masa mitologis pra sejarah tersebut
belum jelas, karena hanya menyebutnya sebagai suatu kekuatan adikodrati yang mempengaruhi dan
menentukan kehidupan manusia. Misalnya, sebagian masyarakat pedesaan, apalagi di pedalaman,
masih percaya dan melakukan upacara adat memberikan sesaji pada roh leluhur agar terbebas dari
segala bencana. Upacara memberikan sesaji yang dilabuh di tengah lautan agar selamat dan banyak
mendapat ikan dari laut.
Kepercayaan adanya Tuhan baru memiliki konsep yang jelas ketika datang agama-agama besar di
Indonesia. Konsep Tuhan tersebut dipahami sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat percaya (iman)
dan sekaligus menaati aturan-aturan yang dibawa di dalam ajaran agama tersebut. Namun tidak serta
merta kepercayaan dan perilaku terhadap nilai-nilai adikodrati yang lama tetapi masih sesuai dengan
agama, ditinggalkan sama sekali. Bahkan, kepercayaan lama tersebut terintegrasi di dalam ajaran agama
yang dianutnya. Kesemuanya membentuk adat istiadat dan budaya religius dalam masyarakat.
Pemahaman tentang HAM juga sangat dipengaruhi oleh sistem nilai religius. HAM yang bertentangan
dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut akan dipandang merendahkan derajat dan martabat
manusia di hadapan Tuhan, semesta alam, dan sesama manusia.