Anda di halaman 1dari 35

A.

DEFINISI

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty (Suriadi. 2010).

Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan ditandai syok yang dapat mengancam kehidupan penderita.

Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus demam berdarah dengue disertai dengan
manifestasi kegagalan sirkulasi/syok/renjatan. Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah
sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD).

B.Etiologi

Virus dengue tergolong dalam family/suku/grup flaviviridae dan di kenal ada 4 serotipe atau
tipe virus dengue yang saling tidak mempunyai cross immunity dapat di isolasi pada darah
pasien pada permulaan demam sampai hari ke 3-4. Isolasi virus dengue dengan menggunakan
biakan jaringan nyamuk aegypti albopictos disebut mosquito inoculation technique yang
merupakan suatu tehnik baru, sangat sensitife, sederhana dan murah. Virus dengue berbentuk
batang bersifat termologi, sensitife terhadap inaktifitas oleh dietileter dan natrium dioksikolat,
stabil pada suhu 70 C. Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di
samping pula Aedes albopictus.

Vektor ini mepunyai ciri-ciri:

- Badannya kecil, badannya mendatar saat hinggap

- Warnanya hitam dan belang-belang

- Menggigit pada siang hari

- Gemar hidup di tempat

- tempat yang gelap

- Jarak terbang

C. Patofisiologi

Mekanisme sebenarnya tentang patogenesis, patofisiologi, hemodinamika serta


perubahan biokimia pada DHF/DSS hingga kini belum pasti, karena sukarnya mendapat
model binatang percobaan yang dapat digunakan untuk menimbulkan gejala klinis seperti
pada manusia. Sebagian besar ahli masih menganut The Secondary Heterologous Infection
Hypothesis atau The Sequential Infection Hypothesis yaitu demam berdarah dengue dapat
terjadi setelah seseorang terinfeksi virus dengue pertama kali mendapat paparan ulang dengan
tipe virus yang berbeda, dalam jangka waktu tertentu yang berkisar antara 6 bulan-5 tahun3 .

Menurut teori ini (Suvatte-1977), akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang berlainan
pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti-dengue yang rendah, maka respon
antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan trasformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.
Disamping itu replikasi virus dengue terjadi pula dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus-antibodi kompleks) yang selanjutnya:

• Akan mengaktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah dan 3 menghilangnya
plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan , asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian.

• Dengan terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah akan


mengakibtkan trombosit kehilangan fungsi agregasi dan mengalami metamorfosis, sehingga
dimusnahkan oleh system RE dengan akibat terjadinya trombositopeni hebat dan perdarahan.
Disamping itu trombosit yang mengalami metamorfosis akan melepaskan factor trombosit 3
yang mengaktivasi sistem koagulasi.

• Akibat aktivasi factor Hageman (XII), yang selanjutnya juga mengaktivasi sistem
koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravascular yang meluas. Dalam proses
aktivasi ini maka plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang berperan pada
pembentukan anafilaktoksin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin Degradation Product
(FDP).

Disamping aktivasi factor XII akan menggiatkan juga sistem kinin yang berperan
dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. Menurunnya factor
koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan


DHF dari demam dengue ialah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni dan diatesis hemoragik.
Pada kasus berat , renjatan terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan demam dan mencapai puncaknya pada masa
renjatan, pada renjatan berat volume plasma dapat menurun sampai dari 30%. Jadi
perdarahan massif pada DHF disebabkan oleh trombositopenia, penurunan factor pembekuan
(akibat koagulasi intravascular deseminata), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui gigitan.
Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya seperti makrofag,
monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah putih dan jaringan limfatik.
Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah. Di tubuh manusia virus memerlukan waktu
masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. Nyamuk kedua akan
menghisap virus yang ada di darah manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ
lain yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi dalam
kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali kepada manusia
lainnya. Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk
dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus
selama hidupnya (infektif).
D. Pathway
D. KLASIFIKASI

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan,


yaitu:

- Derajat I Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji
tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.

- Derajat II Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti
petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.

- Derajat III Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat
(>120x/mnt) tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.

- Derajat IV Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.
E. Tanda dan Gejala

1). Merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue
dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.

2). Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
memurun diantaranya hari ke-3, dan ke-7 bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.

3). Menurut Wong : renjatan terjadi pada hari ke-5 adalah 39%, hari ke-4 (23,5%). Menurut
Surmarmo : renjatan terjadi pada hari ke-5 adalah 39,2 %

dan pada ke-4 adalah 25 %.

4). Renjatan yang terjadi pada saat demam mulai turun dapat diterangkan dengan hipotese
meningkatnya reaksi imunologis ( The Immunological Enhancedment Hypothesis).

F. Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas:

1) Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.

2) Anak semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat- laun kesadarannya menurun menjadi
apatis, sopor dan koma.

3) Perubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya

4) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

5) Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang

6) Oliguria sampai anuria

7) Panas : 100 % peneliti melaporkan penderita DSS didahului oleh adanya panas.

a. Menurut Sumarmo : suhu pada penderita DSS terendah adalah 36,20C dan tertimggi
40,80C. Ternyata penderita DSS banyak di jumpai pada suhu sekitar 370C adalah 45,65
%.

b. Menurut Rampengan dari hasil evaluasi penderita DSS yang dirawat ternyata terbanyak
pada suhu 38-390C. Panas mempunyai nilai prognostik pada penderita DSS, bila renjatan
terjadi pada suhu tubuh yang lebih dari 390C, maka tingkat prognose akan menjadi lebih
jelek.
8) Hepatomegali : di Indonesia ( Jakarta ) dilaporkan 89 %, Semarang 65,9 % dan di Cuba
62 %. Terdapat korelasi antara persentase hepatomegali dengan derajat berat penyakit
tetapi pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, dengan kata lain
pembesaran hati pada penderita DBD derajat IV tidak selalu lebih besar dari penderita
DBD derajat II.

9) Perdarahan : bervariasi yang paling ringat adalah uji torniquet positif maupun perdarahan
spontan yangb berupa petekia dengan lokalisasi biasanya tersebar ke seluruh tubuh, yang
paling sering adalah anggota gerak bawah, muka dan axilla. Ekimosis, epistaxis,
perdarahan gusi, saluran pencernaan berupa hematemesis atau melena.

10) Nyeri perut : keluhan yang timbul sebeklum renjatan, sehingga banyak para ahali
menganjurkan untuk waspada akan adanya gejala nyeri perut ini, apalagi jika berat, karena
sering kali mendahului terjadinya perdarahan dalam saluran pencernaan. Nyeri perut ini
terjadi didaerah epigastrium.

11) Anorexia : kembalinya napsu makan dapat dipakai sebagai tanda bahwa penderita sudah
sembuh.

12) Muntah-muntah

13) Diare / obstipasi

14) Kejang-kejang

15) Pleural efusion : kurang lebih ¾ kasus DSS ditemukan adanya bendungan pembuluh
darah paru ( pulmonari vascular congestion ) dengan efusi pleura terutama pada paru
sebelah kanan.

16) Asxites

17) Cefalgia

18) Gambaran EKG yang abnormal

Berdasarkan gangguan sirkulasi di atas, maka sebagian para ahli membagi renjatan diatas ke
dalam :

a) Renjatan berat ( profound shock ) ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah yang
tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba.
b) Renjatan sedang ialah tekanan nadi menurun 20 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah
sistolik kurang atau sama dengan 80 mmHg.

c) Renjatan ringan ialah tekanan sistolik mulai menurun, dimanan tekanan diastolic tetap
normal atau sedikit rendah.

Sedangkan Munir dan Rampengan ( 1984 ) membagi renjatan menjadi :

a) Syock ringan / tingkat 1 ( impending shock ) yaitu gejala dan tanda-tanda shock yang
disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20 mmHg.

b) Syock sedang / tingkat 2 ( moderate shock ) yaitu = tingkat 1 ditambah dengan tekanan
nadi menjadi < 20 mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai dengan menurunnya tekanan
sistolik menjadi < 80 mmHg, tetapi belum sampai nol.

c) Syock berat / tingkat 3 ( profound shock ) yaitu tekanan darah yang tidak terukur / nol,
tetapi belum ada sianosis / asidosis.

d) Syock sangat berat / tingkat 4 ( moribund shock ) yaitu tekanan darah yang tidak terukur
lagi disertai dengan sianosis dan asidosis.

G. Pemeriksaan penunjang

1) Hemokonsentrasi, yaitu terjadi peninggian nilai hematokrit > 20 %. Meningginya


hematokrit sangat berhubungan dengan beratnya renjatan. Hemokonsentrasi selalu
mendahului perubahan tekanan darah dan nadi, oleh karena itu pemeriksaan hematokrit
secara berkala dapat menentukan saat yang tepat untuk mengurangi atau menghentikan
pemberian cairan parenteral atau saat pemberian darah.

2) Trombositopenia, batasan yang diambil ialah bila terjadi penurunan trmbosit di bawah
dari 100.000 / mm3 , penurunan trombosit berkorelasi dengan beratnya penyakit dengan
beratnya perdarahan.

3) Sediaan hapus darah tepi, terdapat fragmentosit yang menandakan terjadinya hemolisis

4) Sumsum tulang, terdapat hipoplasi system eritropoitik yang disertai hiperplasi system RE
dan terdapatnya makrofag dengan fagositosis daripada bermacam-macam jenis sel. Kelainan
elektrolit : Hiponatremia : kadar natrium dalam darah 135 mEq/l. 75 % penderita DSS
terdapat hiponatremia. Terjadi karena beberapa factor, yaitu kebocoran plasma, anorexia,
keluarnya keringat, muntah dan intake yang kurang. Selain itu deplesi garam akibat
metabolisme yang meningkat selama demam dan eksresi urin yang berkurang Hiperkalemia
Hipoloremia ringan Asidosis metabolic ringan dengan alkalosis kompensatoar Osmolalitas
plasma sangat menurun

5) Tekanan colloid oncotic menurun

6) Protein plasma sangat menurun

7) Serum transaminase sedikit meninggi

H. Komplikasi.

- Perdarahan massif

- Kegagalan pernafasan karena edema paru dan kolaps paru

- Ensefalopati dengue

- Kegagalan jantung.

I. PENATALAKSANAAN DBD

 derajat I
DBD derajat I tidak perlu dirawat inap, kalau orang tua bisa diajak kerjasama. Prinsip
penanganan adalah istirahat, diet TKTP, banyak minum, kalau perlu 8
antipiretik(parasetamol). Nasihat untuk kontrol, terutama bila timbul tanda yang tak
diinginkan atau panas tidak mau turun .
 derajat II
DBD derajat II sebaiknya dirawat inap, mengingat kemungkinan timbulnya
perdarahan akut dan berkembangnya menjadi derajat III. Demam berdarah dengue
tanpa disertai renjatan pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan
suportif.meliputi :
- Pemberian cairan yang cukup. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan
dehidrasi akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita perlu diberi minum
sebanyak mungkin (1-2 L dalam 24 jam) berupa air the dengan gula, sirup atau susu.
Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit.
- Antipiretik. Seperi golongan Asetminofen, jangan memberikan golongan salisilat
karena menambah perdarahan.
- Surface cooling
- Antikonvulsan. Bila penderita kejang dapat diberikan diazepam(valium) atau
fenobarbital(luminal). Anak berumur lebih dari satu tahun diberikan luminal 75 mg
dan dibawah satu tahun 50 mg secara IM,bila dalam waktu 15 menit kejang tidak
berhenti pemberian luminal diulang dengan dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas satu tahun
diberikan 50 mg dan dibawah satu tahun 30 mg dengan memperhatikan adanya
depresi fungsi vital(pernafasan,jantung).
Pemberian Intravenous fluid drip (IVFD) pada DBD tanpa renjatan dilaksanakan
apabila:
1. Penderita terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberikan makanan
peroral, sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya dehidrasi dan asidosis.
2. Nilai hematokrit cenderung terus meningkat.

- Cairan maintenance

Jenis cairan yang dapat diberikan:

1. D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1

2. D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10 mEq, Vitamin B
komplek dan vitamin C secukupnya

3. D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam serum tinggi

4. NaCl 0,9 : D10 aa

5. ⅔ cairan kristaloid + ⅓ cairan plasma ekspander.

Atau cairan rekomendasi dari WHO,berupa:

1. Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)

2. Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat (D5/RA)

3. NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam faali (D5/GF)

- Kecepatan/Dosis cairan maintenance

Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium penyembuhan,
maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara hati-hati karena dapat terjadi
hipervolemia, hal ini karena cairan yang terdapat di ruang ekstravaskular mulai
direabsorbsi kedalam vascular. Dosis yang sering digunakan ialah 100-150
ml/kgBB/24 jam.

- Tranfusi darah

Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis, melena atau
epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48 jam setelah pengobatan
renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi walaupun belum terlihat perdarahan; pada
kadar hematokrit yang rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20
ml/kgBB, dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus. Pada perdarahan
gastrointestinal hebat (kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht sedang
perdarahan sendiri tidak kelihatan).

- Obat-obatan

Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder, sebagai profilaksis.
Dapat digunakan : Ampisilin 400-800 mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x
5mg/kgBB/hari IV.

Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin bermanfaat pada


stadium dini.

Heparin. Kho dkk.(1979) memberikan heparin pada penderita prolonged shock


dimana DIC diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan trombosit < 75000/mm³
dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB IV tiap 4-6 jam. Sedang menurut
Sumarmo (1981) pemakaian heparin kurang mengesankan.

Kortikosteroid. Penggunaannya belum ada kesepakatan. Dipyridamol dan asetosal.


Maksud pemberian obat ini adalah untuk mencegah adhesi dan agregasi trombosit
dalam kapiler, pula mencegah permulaan terjadinya DIC. Sumarmo (1983) tidak
menganjurkan pemakaian asetosal pada penderita dengan kecenderungan perdarahan.

Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti menggunakan obat ini
pada penderita DSS yang disertai dengan perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara
kerja obat ini adalah menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki
aktivitas plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk. (1986)
serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan cara berikut:
Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu dengan dosis 300
mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.

Hari II : infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari

Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari

Hari IV : pemberian obat dihentikan.

Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan kebocoran plasma dan


mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro dkk.(1987) di Semarang tidak mendapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan yang belum dapat
teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat. Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV
setiap 4-6 jam.

Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang amat gelisah dan
kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50
mg/kgBB Oral atau Rektal hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr)

Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS dengan muntahmuntah


hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas dan disebabkan oleh pembesaran hati
yang progresif.

Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x sehari bila ada


tanda/gejala overhidrasi.

Digitalisasi. Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan gejala/tanda


kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I

- Observasi penderita

Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk mencapai


keberhasilan.meliputi :

 keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ dalam), rasa lemas,
keringat dingin, kesadaran.
 TTV dipantau tiap jam dengan chart
 Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
 Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura, pernafasan
kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
 Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal (keberhasilan therapy)
 Laboratorium
- Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin jarang sampai 1 atau 2 kali per
24 jam bila keadaan membaik.
- Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari.
- Plasma protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma -
Kemungkinan DIC : masa perdarahan, masa pembekuan, trombositopeni, morfologi
eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet cell), bila ada perdarahan merembes.
- Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
• Nafsu makan membaik
• Tampak perbaikan secara klinis
• Hematokrit stabil
• Tiga hari setelah syok teratasi
• Jumlah trombosit > 50.000/μl
• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

J.Asuhan Keperawatan

 Pengkajian Wawancara
a. Biodata klien
Meliputi identitas pasien dan keluarga.
b. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang. Biasanya klien demam, lemah, sakit kepala, anemia,
nyeri ulu hati dan nyeri otot.
- Riwayat kesehatan keluarga. Sebelumnya apakah ada anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat kesehatan dahulu Apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit
yang sama.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, samnolen, koma (tergantung derajat DHF)
TTV : Biasanya terjadinya penurunan
2. Kepala
- Wajah : Kemerahan (flushig), pada hidung terjadi epistaksis
- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah
kotor dan hiperemia pada tenggorokan
- Leher : Tidak ada masalah
- Thorak c. Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan
bunyi redup karena efusi fleura
- Jantung : Dapat terjadi anemia karena ekurangan cairan
- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran
hepar dan limpa
3. Ekstremitas : Nyeri sendi
4. Kulit : Ditemukan ptekie, ekimosis, purpura, hematoma, hyperemia
d. Analisa data
1. Data Subjektif
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
- Breath: sesak napas
- Blood: penurunan trombosit, perdarahan
- Brain: sakit kepala Blandder: urine menurun
- Bowel: konstipasi
- Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
- Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan Demam atau
panas 2. Data Objektif
Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain
- Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)
- Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
- Tampak bintik merah pada kulit (petekie)
- kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak
buang air kecil dan kelenturan kulit menurun.
e. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teori yang muncul pada gangguan sistem
Hematologi ; DSS adalah :
1. Hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Resiko tinggi terjadinya syok hipovolemik yang berhubungan dengan
perdarahan hebat.
3. Nyeri yang berhubungan dengan mekanisme patologis.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tak adekuat.
5. Risiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
berpindahnya cairan dari intravaskular ke ekstravaskular.
f. Rencana Keperawatan
1) Hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Sasaran :
– Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh

– TTV dalam batas normal ( suhu 36-370 C )

– Tampak tidak gelisah


– Badan teraba tidak panas
Intervensi :
1. Observasi suhu setiap 4 jam
R / : Suhu 38,9°C – 41°C menunjukkan proses penyakit infeksi akut
2. Berikan kompres hangat
R / : Dapat membantu mengurangi panas
3. Berikan pasien minum yang banyak, 2-2,5 L/hari.
R / : Untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
4. Anjurkan pasien untuk bedrest total dan kurangi aktivitas.
R / : Istirahat untuk mengurangi metabolisme tubuh sehingga
mencegah peningkatan suhu tubuh.
5. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian antipiretik dan
antibiotik
R / : Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
2) Resiko tinggi terjadinya syok hipovolemik yang berhubungan dengan
perdarahan hebat.
Tujuan : syok hipovolemik tidak terjadi.
Sasaran :
– Tanda-tanda vital dalam batas nomal.
– Keadaan umum baik, keasadaran compos mentis.
Intervensi :
1. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien setiap 2-4 jam.
R / : Penurunan tekanan darah dan nadi dapat menunjukkan
hipovolumia, peningkatan pernapasan menunjukkan hipoxia jairngan.
2. Monitor tanda-tanda perdarahan (pethekie, ekimosis, melena,
epitaksis, hematemesis, hematuri.
R / : Perdarahan yang cepat diketahui dapat segera diatasi sehingga
pasien tidak sampai ke tahap syok.
3. Cek dan monitor Hb, dan Ht, trombosit tiap hari. R / : Untuk
mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah.
4. Segera puasakan jika pasien mengalami perdarahan saluran cerna.
R / : Membantu mengistirahatkan saluran cerna selama perdarahan.
5. Beri O2 dan cairan intra vena sesuai program medik dan kebutuhan.
R / : Membantu oksigenisasi jaringan dan mengatasi kehilangan cairan
tubuh. 6. Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian tranfusi
darah.
R / : Untuk mengganti volume darah yang hilang.
7. Kolaborasi dalam pemberian terapi anti perdarahan.
R / : Membantu mengatasi perdarahan
3) Nyeri yang berhubungan dengan mekanisme patologis.
Tujuan : nyeri berkurang sampai dengan teratasi setelah dilakukan
tindakan. Sasaran :
- Keluhan nyeri berkurang.
- Pasien tampak rileks, tidak rewel
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji keluhan nyeri meliputi, intensitas (skala 0-10) frekuensi dan
lokasi nyeri.
R / : Berat ringannya nyeri dapat diidentifikasi sehinga memudahkan
untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2. Observasi tanda-tanda vital tiap 2-4 jam.
R / : Perubahan tanda-tanda vital menunjukkan adanya nyeri.
3.Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
R / : Posisi yg nyaman dan ruangan tenang dpt mengurangi nyeri
pasien.
4.Ajarkan dan anjurkan keluarga dan pasien untuk melakukan tehnik
relaksasi tarik nafas dalam.
R / : Napas dlm dpt merelaksasi otot-otot sehingga dpt mengurangi
nyeri.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi analgetik.
R / : Analgetik dapat menurunkan ambang nyeri.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan intake yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan.
Sasaran :
- Pasien dapat menghabiskan sesuai dengan porsi yang diberikan.
- Keluhan mual dan muntah serta anoreksia berkurang
- Pasien dapat mempertahankan berat badan ideal atau meningkatkan
berat badan.
- Pasien tampak segar.
Intervensi :
1.Kaji adanya keluhan mual, muntah, dan anoreksia.
R / : Membantu menentukan tindakan selanjutnya yang tepat.
2. Timbang berat badan 5x/minggu bila memungkinkan dan catat porsi
makanan yang dihabiskan.
R / : Untuk mengetahui status gizi pasien.
3. Jelaskan kepada pasien dan orang tua mengenai manfaat makanan
terutama pada saat sakit.
R / : Meningkatkan pengetahuan pasien sehingga meningkatkan
motivasi pasien untuk makan.
4. Berikan makanan yang mudah ditelan, seperti bubur, tim, dan
hidangkan dalam keadaan hangat.
R / : Mengurangi beban kerja lambung dan meningkatkan asupan.
5. Libatkan orang tua dalam pemberian makanan pada porsi kecil tapi
sering. R / : Makanan porsi kecil dan sering menguragi mual, dan
muntah.
6. Kolaborasi dalam pemberian nutrisi parenteral dan pemberian terapi
anti emetik dan antasida.
R / : Terapi parenteral sangat baik jika nutrisi peroral sangat kurang,
antiemetik untuk mengatasi mual.
5) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan
dengan berpindahnya cairan dari intravaskular ke ekstravaskular.
Tujuan : Kekurangan volume cairan tidak terjadi setelah dilakukan
tindakan. Sasaran :
– Tidak tampak tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit elastis,mukosa
mulut dan kulit lembab, TTV dalam batas normal).
– Intake dan output dalam batas normal.
– Tidak ada keluhan mual dan muntah
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital tiap 2-4 jam.
R / : Tachikardi dan hipotensi menunjukkan adanya hipovolumia.
2. Kaji daerah kulit, membran mukosa, turgor kulit, dan rasa haus.
R / : Turgor kulit yang buruk, mukosa mulut yang kering, serta rasa
haus menunjukkan adanya dehidrasi.
3. Berikan pasien banyak minum 2-2,5 L/hari.
R / : Untuk mengatasi kekurangan cairan tubuh.
4. Anjurkan pasien dan orang tua untuk minum air putih 2-2,5 L/hari.
R / : Untuk mengganti cairan tubuh yang keluar melalui keringat.
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena.
R / : Membantu menambah cairan tubuh.

Anda mungkin juga menyukai