Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DEFINISI
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty (Suriadi. 2010).
Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan ditandai syok yang dapat mengancam kehidupan penderita.
Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus demam berdarah dengue disertai dengan
manifestasi kegagalan sirkulasi/syok/renjatan. Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah
sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD).
B.Etiologi
Virus dengue tergolong dalam family/suku/grup flaviviridae dan di kenal ada 4 serotipe atau
tipe virus dengue yang saling tidak mempunyai cross immunity dapat di isolasi pada darah
pasien pada permulaan demam sampai hari ke 3-4. Isolasi virus dengue dengan menggunakan
biakan jaringan nyamuk aegypti albopictos disebut mosquito inoculation technique yang
merupakan suatu tehnik baru, sangat sensitife, sederhana dan murah. Virus dengue berbentuk
batang bersifat termologi, sensitife terhadap inaktifitas oleh dietileter dan natrium dioksikolat,
stabil pada suhu 70 C. Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di
samping pula Aedes albopictus.
- Jarak terbang
C. Patofisiologi
Menurut teori ini (Suvatte-1977), akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang berlainan
pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti-dengue yang rendah, maka respon
antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan trasformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.
Disamping itu replikasi virus dengue terjadi pula dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus-antibodi kompleks) yang selanjutnya:
• Akan mengaktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah dan 3 menghilangnya
plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan , asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian.
• Akibat aktivasi factor Hageman (XII), yang selanjutnya juga mengaktivasi sistem
koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravascular yang meluas. Dalam proses
aktivasi ini maka plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang berperan pada
pembentukan anafilaktoksin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin Degradation Product
(FDP).
Disamping aktivasi factor XII akan menggiatkan juga sistem kinin yang berperan
dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. Menurunnya factor
koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan.
Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui gigitan.
Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya seperti makrofag,
monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah putih dan jaringan limfatik.
Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah. Di tubuh manusia virus memerlukan waktu
masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. Nyamuk kedua akan
menghisap virus yang ada di darah manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ
lain yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi dalam
kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali kepada manusia
lainnya. Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk
dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus
selama hidupnya (infektif).
D. Pathway
D. KLASIFIKASI
- Derajat I Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji
tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
- Derajat II Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti
petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.
- Derajat III Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat
(>120x/mnt) tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.
- Derajat IV Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.
E. Tanda dan Gejala
1). Merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue
dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
2). Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
memurun diantaranya hari ke-3, dan ke-7 bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
3). Menurut Wong : renjatan terjadi pada hari ke-5 adalah 39%, hari ke-4 (23,5%). Menurut
Surmarmo : renjatan terjadi pada hari ke-5 adalah 39,2 %
4). Renjatan yang terjadi pada saat demam mulai turun dapat diterangkan dengan hipotese
meningkatnya reaksi imunologis ( The Immunological Enhancedment Hypothesis).
1) Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.
2) Anak semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat- laun kesadarannya menurun menjadi
apatis, sopor dan koma.
7) Panas : 100 % peneliti melaporkan penderita DSS didahului oleh adanya panas.
a. Menurut Sumarmo : suhu pada penderita DSS terendah adalah 36,20C dan tertimggi
40,80C. Ternyata penderita DSS banyak di jumpai pada suhu sekitar 370C adalah 45,65
%.
b. Menurut Rampengan dari hasil evaluasi penderita DSS yang dirawat ternyata terbanyak
pada suhu 38-390C. Panas mempunyai nilai prognostik pada penderita DSS, bila renjatan
terjadi pada suhu tubuh yang lebih dari 390C, maka tingkat prognose akan menjadi lebih
jelek.
8) Hepatomegali : di Indonesia ( Jakarta ) dilaporkan 89 %, Semarang 65,9 % dan di Cuba
62 %. Terdapat korelasi antara persentase hepatomegali dengan derajat berat penyakit
tetapi pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, dengan kata lain
pembesaran hati pada penderita DBD derajat IV tidak selalu lebih besar dari penderita
DBD derajat II.
9) Perdarahan : bervariasi yang paling ringat adalah uji torniquet positif maupun perdarahan
spontan yangb berupa petekia dengan lokalisasi biasanya tersebar ke seluruh tubuh, yang
paling sering adalah anggota gerak bawah, muka dan axilla. Ekimosis, epistaxis,
perdarahan gusi, saluran pencernaan berupa hematemesis atau melena.
10) Nyeri perut : keluhan yang timbul sebeklum renjatan, sehingga banyak para ahali
menganjurkan untuk waspada akan adanya gejala nyeri perut ini, apalagi jika berat, karena
sering kali mendahului terjadinya perdarahan dalam saluran pencernaan. Nyeri perut ini
terjadi didaerah epigastrium.
11) Anorexia : kembalinya napsu makan dapat dipakai sebagai tanda bahwa penderita sudah
sembuh.
12) Muntah-muntah
14) Kejang-kejang
15) Pleural efusion : kurang lebih ¾ kasus DSS ditemukan adanya bendungan pembuluh
darah paru ( pulmonari vascular congestion ) dengan efusi pleura terutama pada paru
sebelah kanan.
16) Asxites
17) Cefalgia
Berdasarkan gangguan sirkulasi di atas, maka sebagian para ahli membagi renjatan diatas ke
dalam :
a) Renjatan berat ( profound shock ) ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah yang
tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba.
b) Renjatan sedang ialah tekanan nadi menurun 20 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah
sistolik kurang atau sama dengan 80 mmHg.
c) Renjatan ringan ialah tekanan sistolik mulai menurun, dimanan tekanan diastolic tetap
normal atau sedikit rendah.
a) Syock ringan / tingkat 1 ( impending shock ) yaitu gejala dan tanda-tanda shock yang
disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20 mmHg.
b) Syock sedang / tingkat 2 ( moderate shock ) yaitu = tingkat 1 ditambah dengan tekanan
nadi menjadi < 20 mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai dengan menurunnya tekanan
sistolik menjadi < 80 mmHg, tetapi belum sampai nol.
c) Syock berat / tingkat 3 ( profound shock ) yaitu tekanan darah yang tidak terukur / nol,
tetapi belum ada sianosis / asidosis.
d) Syock sangat berat / tingkat 4 ( moribund shock ) yaitu tekanan darah yang tidak terukur
lagi disertai dengan sianosis dan asidosis.
G. Pemeriksaan penunjang
2) Trombositopenia, batasan yang diambil ialah bila terjadi penurunan trmbosit di bawah
dari 100.000 / mm3 , penurunan trombosit berkorelasi dengan beratnya penyakit dengan
beratnya perdarahan.
3) Sediaan hapus darah tepi, terdapat fragmentosit yang menandakan terjadinya hemolisis
4) Sumsum tulang, terdapat hipoplasi system eritropoitik yang disertai hiperplasi system RE
dan terdapatnya makrofag dengan fagositosis daripada bermacam-macam jenis sel. Kelainan
elektrolit : Hiponatremia : kadar natrium dalam darah 135 mEq/l. 75 % penderita DSS
terdapat hiponatremia. Terjadi karena beberapa factor, yaitu kebocoran plasma, anorexia,
keluarnya keringat, muntah dan intake yang kurang. Selain itu deplesi garam akibat
metabolisme yang meningkat selama demam dan eksresi urin yang berkurang Hiperkalemia
Hipoloremia ringan Asidosis metabolic ringan dengan alkalosis kompensatoar Osmolalitas
plasma sangat menurun
H. Komplikasi.
- Perdarahan massif
- Ensefalopati dengue
- Kegagalan jantung.
I. PENATALAKSANAAN DBD
derajat I
DBD derajat I tidak perlu dirawat inap, kalau orang tua bisa diajak kerjasama. Prinsip
penanganan adalah istirahat, diet TKTP, banyak minum, kalau perlu 8
antipiretik(parasetamol). Nasihat untuk kontrol, terutama bila timbul tanda yang tak
diinginkan atau panas tidak mau turun .
derajat II
DBD derajat II sebaiknya dirawat inap, mengingat kemungkinan timbulnya
perdarahan akut dan berkembangnya menjadi derajat III. Demam berdarah dengue
tanpa disertai renjatan pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan
suportif.meliputi :
- Pemberian cairan yang cukup. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan
dehidrasi akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita perlu diberi minum
sebanyak mungkin (1-2 L dalam 24 jam) berupa air the dengan gula, sirup atau susu.
Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit.
- Antipiretik. Seperi golongan Asetminofen, jangan memberikan golongan salisilat
karena menambah perdarahan.
- Surface cooling
- Antikonvulsan. Bila penderita kejang dapat diberikan diazepam(valium) atau
fenobarbital(luminal). Anak berumur lebih dari satu tahun diberikan luminal 75 mg
dan dibawah satu tahun 50 mg secara IM,bila dalam waktu 15 menit kejang tidak
berhenti pemberian luminal diulang dengan dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas satu tahun
diberikan 50 mg dan dibawah satu tahun 30 mg dengan memperhatikan adanya
depresi fungsi vital(pernafasan,jantung).
Pemberian Intravenous fluid drip (IVFD) pada DBD tanpa renjatan dilaksanakan
apabila:
1. Penderita terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberikan makanan
peroral, sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya dehidrasi dan asidosis.
2. Nilai hematokrit cenderung terus meningkat.
- Cairan maintenance
1. D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1
2. D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10 mEq, Vitamin B
komplek dan vitamin C secukupnya
3. D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam serum tinggi
3. NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam faali (D5/GF)
Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium penyembuhan,
maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara hati-hati karena dapat terjadi
hipervolemia, hal ini karena cairan yang terdapat di ruang ekstravaskular mulai
direabsorbsi kedalam vascular. Dosis yang sering digunakan ialah 100-150
ml/kgBB/24 jam.
- Tranfusi darah
Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis, melena atau
epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48 jam setelah pengobatan
renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi walaupun belum terlihat perdarahan; pada
kadar hematokrit yang rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20
ml/kgBB, dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus. Pada perdarahan
gastrointestinal hebat (kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht sedang
perdarahan sendiri tidak kelihatan).
- Obat-obatan
Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder, sebagai profilaksis.
Dapat digunakan : Ampisilin 400-800 mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x
5mg/kgBB/hari IV.
Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti menggunakan obat ini
pada penderita DSS yang disertai dengan perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara
kerja obat ini adalah menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki
aktivitas plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk. (1986)
serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan cara berikut:
Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu dengan dosis 300
mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.
Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan yang belum dapat
teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat. Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV
setiap 4-6 jam.
Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang amat gelisah dan
kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50
mg/kgBB Oral atau Rektal hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr)
- Observasi penderita
keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ dalam), rasa lemas,
keringat dingin, kesadaran.
TTV dipantau tiap jam dengan chart
Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura, pernafasan
kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal (keberhasilan therapy)
Laboratorium
- Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin jarang sampai 1 atau 2 kali per
24 jam bila keadaan membaik.
- Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari.
- Plasma protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma -
Kemungkinan DIC : masa perdarahan, masa pembekuan, trombositopeni, morfologi
eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet cell), bila ada perdarahan merembes.
- Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
• Nafsu makan membaik
• Tampak perbaikan secara klinis
• Hematokrit stabil
• Tiga hari setelah syok teratasi
• Jumlah trombosit > 50.000/μl
• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
J.Asuhan Keperawatan
Pengkajian Wawancara
a. Biodata klien
Meliputi identitas pasien dan keluarga.
b. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang. Biasanya klien demam, lemah, sakit kepala, anemia,
nyeri ulu hati dan nyeri otot.
- Riwayat kesehatan keluarga. Sebelumnya apakah ada anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat kesehatan dahulu Apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit
yang sama.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, samnolen, koma (tergantung derajat DHF)
TTV : Biasanya terjadinya penurunan
2. Kepala
- Wajah : Kemerahan (flushig), pada hidung terjadi epistaksis
- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah
kotor dan hiperemia pada tenggorokan
- Leher : Tidak ada masalah
- Thorak c. Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan
bunyi redup karena efusi fleura
- Jantung : Dapat terjadi anemia karena ekurangan cairan
- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran
hepar dan limpa
3. Ekstremitas : Nyeri sendi
4. Kulit : Ditemukan ptekie, ekimosis, purpura, hematoma, hyperemia
d. Analisa data
1. Data Subjektif
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
- Breath: sesak napas
- Blood: penurunan trombosit, perdarahan
- Brain: sakit kepala Blandder: urine menurun
- Bowel: konstipasi
- Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
- Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan Demam atau
panas 2. Data Objektif
Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain
- Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)
- Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
- Tampak bintik merah pada kulit (petekie)
- kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak
buang air kecil dan kelenturan kulit menurun.
e. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teori yang muncul pada gangguan sistem
Hematologi ; DSS adalah :
1. Hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Resiko tinggi terjadinya syok hipovolemik yang berhubungan dengan
perdarahan hebat.
3. Nyeri yang berhubungan dengan mekanisme patologis.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tak adekuat.
5. Risiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
berpindahnya cairan dari intravaskular ke ekstravaskular.
f. Rencana Keperawatan
1) Hypertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Sasaran :
– Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh