Anda di halaman 1dari 41

Tinjauan Pustaka

Septoplasti

Oleh
dr. Ari Utama

Pembimbing
Dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L.(K)., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2020
Septoplasti
Ari Utama , Yoan Levia Magdi
Bagian I.K.T.H.T.K.L. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
Departemen I.K.T.H.T.K.L. RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Septoplasti merupakan prosedur bedah untuk mengubah bentuk atau posisi dari
septum yang bengkok dengan memperbaiki tulang rawan dan tulang di hidung. Prosedur
ini juga dikenal dengan istilah operasi septum. Indikasi septoplasti secara klinis ialah
pada deviasi septum yang mengakibatkan sumbatan hidung bilateral maupun unilateral,
epistaksis yang persisten maupun rekuren, sakit kepala akibat contact point
dengan deviasi septum, memperluas akses ke daerah kompleks osteomeatal pada operasi
sinus, akses pada operasi dengan pendekatan transeptal transfenoid ke foss hipofise.
Komplikasi septoplasti endoskopik adalah meliputi nyeri alih gigi, perforasi septum
asimtomatis, sinekia, epistaksis dan hematoma septum. Prognosis pada pasien deviasi
septum setelah menjalani septoplasti cukup baik, hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan.

Kata kunci: Septoplasti, Deviasi Septum Nasal

Abstract
Septoplasty is a surgical procedure to manipulate the shape or position of septum
deviation by repairing cartilages and bones of the nose. This procedure was also known
as septum surgery. Clinical indications of septoplasty are septum deviation with
persistent or recurrent epistaxis, headache caused by the contact point with the septum
deviations, widening the access to osteo-meatal complex while the sinus surgery, surgical
access of transeptal trans sphenoidal approach to foss hipofise. The complications of
endoscopic septoplasty are the referred pain to the teeth area, asymptomatic septum
perforations, synechia, epistaxis, and septal hematoma. The prognosis is good for the
septum deviations patients who undergo septoplasty, but the patients should be more
concerned about the post-treatment after the surgery.

Keyword : Septoplasty, Septum deviations

2
BAB I
Pendahuluan

Septoplasti adalah prosedur bedah untuk mengubah bentuk atau posisi


dari septum yang bengkok dengan memperbaiki tulang rawan dan tulang di
hidung. Prosedur ini juga dikenal dengan istilah operasi septum. 1
Septum merupakan bagian hidung yang memisahkan kedua lubang
hidung. Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Karena beberapa alasan,
septum dapat menjadi bengkok atau menyimpang, sehingga salah satu lubang
hidung menjadi lebih besar. Walaupun tidak selalu memerlukan pembedahan,
kondisi ini biasanya akan peredaran udara di saluran hidung. Septum yang
bengkok juga dapat mengakibatkan masalah lain, seperti nyeri dan pendarahan
hidung. Kondisi ini hanya dapat disembuhkan dengan septoplasty. 1
Septoplasty tidak boleh disalahartikan dengan rhinoplasty atau operasi
hidung. Walaupun sama-sama dilakukan pada hidung, namun septoplasty
tidak akan mengubah bentuk hidung. Rhinoplasty merupakan prosedur
kecantikan, sedangkan septoplasty merupakan prosedur rekonstruktif, yang
berarti prosedur ini dapat ditanggung asuransi. 1
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka
kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat
pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan
estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.2,3
Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat,
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis.
Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi.2
Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan
di masyarakat. Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago
septum, yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum
biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus yang
merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi. Kelainan ini dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang
bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur,
sakit kepala, infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.4
BAB II
Tinjauan Pustaka

2. 1 Anatomi Dan Fisiologi Hidung


2. 1.1 Struktur Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi
dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu
yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah
adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.5
Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
 pangkal hidung (bridge),
 dorsum nasi,
 puncak hidung,
 ala nasi,
 kolumela, dan
 lubang hidung (nares anterior).6

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
 Tulang hidung (os nasal),
 Prosesus frontalis os maksila, dan
 Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
 Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
 Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor,
 Beberapa pasang kartilago alar minor, dan
 Tepi anterior kartilago septum.6

Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan antara kavum nasi dengan nasofaring.5,6

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.5,6

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah :
 lamina perpendikularis os etmoid,
 os vomer,
 krista nasalis os maksila, dan
 krista nasalis  os palatina.6

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan


periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Gambar 3. Septum Nasi

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
yang lebih kecil lagi ialah konka superior, dan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini bersifat rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.6

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus
inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.6

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus
etmoid anterior. Meatus superior merupakan ruang di antara konka superior dan
kona media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.5,6
Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi

Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung dan


dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang
yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa/saringan)
sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.6

a. Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah :
 prosesus unsinatus,
 infundibulum etmoid,
 hiatus semilunaris,
 bula etmoid,
 agger nasi, dan
 resesus frontal

KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi


dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, sinus
frontal, dan sinus etmoidalis superior.6

Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal (KOM)

2.1.2 Perdarahan Hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.


sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.6

2.1.3 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari
n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media.
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini
turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.6

2.1.4 Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan


fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh cilliated pseudostratified collumnar epithellium yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran
udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel
epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa
submukosa.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang


penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh pseudostratified columnar
non-ciliated epithellium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.

Di bawah lapisan epitel terdapat tunika propria yang banyak


mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh
darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dari tunika propria, tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler
periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka
ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastin
dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid mempunyai sfingter otot.
Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam, lalu ke venula. Dengan susunan demikian, mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.5,6

2.1.5 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,


maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks
nasal.6
 Sebagai Jalan Napas
Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
 Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan
ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
 Sebagai Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
 Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

 Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.

 Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.

 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.5,6

2.2 Embriologi Hidung


Selama minggu keenam, foveanasalis menjadi semakin dalam, sebagian
karena pertumbuhan prominensia nasalis sekitar dan sebagian karena penetrasi ke
mesenkim dibawahnya (lihat Gambar 2.12A). mula-mula membran oronasalis
memisahkan kedua lekukan dari rongga mulut primitif melalui foramen yang baru
terbentuk, koana primitif (lihat Gambar 2.13C). 7
Kedua konkaini terletak dikedua sisi garing tengah dan tepat di belakang
palatum primer. Kemudian dengan terbentuknya palatum sekunder dan
perkembangan lebih lanjut rongga hidung primitif, terbentunya koana definitif di
taut antara rongga hidung dan faring.7,8
Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum dinding hidung
lateral dan meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan os sfenoidale.
Sinu-sinus ini mencapai ukurannya yang maksimal selama puberitas dan ikut
membentuk wajah yang definitif. 7,9
Gambar 6. Aspek frontal wajah. A. Mudigah 7 minggu. Prominensia maksilaris
telah menyatu dengan prominensia nasalis mediana. B. Mudigah 10 minggu. C. Foto
mudigah manusia pada tahap perkembangan serupa dengan gambar A. 7
Gambar 7. A. Potongan sagital melalui fovea nasal dan batas bawah prominensia
nasalis mediana pada mudigah 6 minggu. Rongga hidung primitif dipisahkan dari
rongga mulut oleh membrane oronasalis B. potongan serupa seperti A yang
memperlihatkan membrane oronasalis sedang pecah. C. mudigah 7 minggu dengan
rongga hidung primitif yang berhubungan langsung dengan rongga mulut. D.
Potongan sagital melalui wajah mudigah 9 minggu yang memperlihatkan
pemisahan rongga hidung dan mulut definitif oleh palatum primer dan sekunder.
Koana definitif terletak di taut antara rongga mulut dan faring. 7
2.1.3 Deviasi Septum Nasi
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada
orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang
ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi
gangguan fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.3

a. Definisi dan Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi


septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi
septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak
deviasi, yaitu :
1) Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2) Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3) Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
4) Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5) Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih normal.
6) Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7) Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.2,10
Gambar 8. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :

1) Spina dan Krista


Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os
ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista,
dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.

2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.

3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol
ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan
pada struktur sekitarnya.

4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.2,3

Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :

1) Dinding Lateral Hidung


Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan kompensasi
yang terjadi pada sisi konka septum.

2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan
juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3) Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.

4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan
proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi.
Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena
Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.2

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.4

Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu :


1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.4
Gambar 9. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk

b. Etiologi

Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan


biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti
fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma,
sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth Moulding. Posisi
intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan
rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula
tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus) dapat menambah trauma
pada septum.2,3

Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah


lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung
(tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman
ketika berkendara.2,4

Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang


rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah
menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum.
Dengan demikian terjadilah deviasi septum.3
c. Gejala Klinis

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang


unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang
mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme
kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata.
Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada
bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus
sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.3

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala
berikut ini :
 Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
 Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
 Perdarahan hidung (epistaksis)
 Infeksi sinus (sinusitis)
 Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
 Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.10,11

Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan


hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan
atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan
mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan
menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah
sumbatan/obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun,
apabila common cold telah sembuh dan proses inflamasi mereda, maka
gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga akan menghilang.11
d. Diagnosis

Diagnosis deviasi septum ditegakkan berdasarkan anamnesa,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2

pada anamnesa, jika deviasi septum ringan hanya menunjukkan


gejala seperti common cold, pada deviasi septum yangh bermakna pasien
biasa mengeluh terjadi sumbatan pada salah satu atau kedua hidung, ada
perdarahan pada hidung (epistaxis), nyeri kepala dan sekitar mata yang
biasanya dialami sudah lama. Adanya post nasal drip, dan pasien juga
mengeluh menggorok saat tidur yang terutama dialami pada anak dan bayi.

Pada pemeriksaan fisik, inspeksi langsung pada batang hidung tanpa


menggunakan spekulum terlebih dahulu, karena ujung spekulum dapat
menutupi deviasi bagian kaudal. Inspeksi termasuk pada vestibulum,
piramida hidung, palatum dan gigi karena struktur ini sering terjadi
gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. Pada deviasi
septum yang berat tampak penonjolan septum ke arah deviasai.2,3

Pada pemeriksaan dengan menggunakan rhinoskopi anterior dapat


dilihat penonjolan septum ke arah deviasi, tetapi pada deviasi yang ringan
hasil pemeriksaan bisa normal.2

Pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Pada


pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum nasi
yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan
untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan
mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.2
Bab III
Terapi Septoplasti

3.1 Definisi
Septoplasti adalah prosedur bedah untuk mengubah bentuk atau posisi
dari septum yang bengkok dengan memperbaiki tulang rawan dan tulang di
hidung. Prosedur ini juga dikenal dengan istilah operasi septum. 1
Septoplasti merupakan konsep modern bedah koreksi terhadap septum.
Perkembangan endoskopi telah ikut berperan dalam kemajuan teknik septoplasti
yang konservatif dan fungsional. Septoplasti endoskopik merupakan prosedur
koreksi septum dengan pendekatan langsung ke target septum yang akan
dikoreksi dengan menggunakan endoskop.Visualisasi yang kurang baik seperti
dengan lampu kepala akan menjadi faktor predisposisi terjadinya trauma mukosa
dan perdarahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.13
Septum merupakan bagian hidung yang memisahkan kedua lubang
hidung. Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Karena beberapa alasan,
septum dapat menjadi bengkok atau menyimpang, sehingga salah satu lubang
hidung menjadi lebih besar. Walaupun tidak selalu memerlukan pembedahan,
kondisi ini biasanya akan menghambat peredaran udara di saluran hidung.
Septum yang bengkok juga dapat mengakibatkan masalah lain, seperti nyeri
dan pendarahan hidung. Kondisi ini hanya dapat disembuhkan dengan
septoplasty.
Septoplasty tidak boleh disalahartikan dengan rhinoplasty atau operasi
hidung. Walaupun sama-sama dilakukan pada hidung, namun septoplasty
tidak akan mengubah bentuk hidung. Rhinoplasty merupakan prosedur
kecantikan, sedangkan septoplasty merupakan prosedur rekonstruktif, yang
berarti prosedur ini dapat ditanggung asuransi. 1

3.2 Indikasi

Indikasi septoplasti secara klinis ialah pada deviasi septum yang


mengakibatkan sumbatan hidung bilateral maupun unilateral, epistaksis yang
persisten maupun rekuren, sakit kepala akibat contact point dengan
deviasi septum, memperluas akses ke daerah kompleks osteomeatal pada operasi
sinus, akses pada operasi dengan pendekatan transeptal transfenoid ke foss
hipofise.13
Ada dua alasan utama mengapa septum menjadi bengkok: kelainan
bawaan dan trauma. Kelainan bawaan dapat disebabkan oleh gangguan
perkembangan janin atau bayi mengalami cedera saat melewati saluran
kelahiran.
Sedangkan pada kasus cedera traumatis, septum dapat menjadi
bengkok secara langsung atau bertahap. Septum akan langsung bengkok bila
hidung terkena benturan yang sangat keras, misalnya jika pasien jatuh ke atas
lantai konkrit atau mengalami kecelakaan bermotor. Contoh kasus
pembengkokan yang bertahap adalah pada pasien yang aktif berolahraga dan
hidungnya berulang kali terkena bola.
Banyak kasus pembengkokan septum yang tergolong ringan dan tidak
mengganggu pernapasan. Dokter atau spesialis THT dapat memastikan
diagnosis melalui tes sederhana yang menggunakan scope untuk memeriksa
jaringan dalam hidung. Apabila pasien sering mengalami mimisan yang tidak
disebabkan penyakit lain atau ia mengalami nyeri di setidaknya salah satu sisi
hidung, maka kemungkinan besar septumnya bermasalah. Faktor lain, seperti
usia dan gangguan hidung (mis. rhinitis), juga dapat memperparah kondisi ini.
Operasi septum diharapkan dapat melancarkan peredaran udara
pasien serta membuat pasien dapat bernapas dengan lebih baik. Dengan
begitu, kualitas hidup, mobilitas, dan ketahanan pasien juga akan sangat
meningkat. 1

2.3.2 Prosedur

Septoplasti akan dilakukan oleh dokter bedah THT. Sebelum


pembedahan, pasien perlu menjalani beberapa tes, seperti rontgen, tes darah,
dan pemeriksaan fisik untuk memastikan bahwa kondisinya memungkinkan
untuk menjalani pembedahan. Pasien yang sedang mengonsumsi obat-obatan,
terutama pengencer darah dan aspirin, akan diminta berhenti mengonsumsi
obat tersebut setidaknya dua minggu sebelum septoplasty. Ini dilakukan untuk
mencegah pendarahan berlebih. Dokter bedah juga perlu merencakan
pembedahan dan biasanya akan mengambil gambar hidung untuk
perbandingan.
Septoplasti dapat dilakukan dengan bius total atau bius lokal. Namun
yang sering digunakan adalah bius total, untuk memaksimalkan kenyamanan
pasien.1
Pasien tidur terlentang di meja operasi dalam narkose umum. Dilakukan
prosedur aseptik antiseptik pada lapangan operasi.

Nasoendoskop dipegang dengan tangan kanan, teleskop 0o dimasukkan


ke dalam rongga hidung dan difiksasi ke krus anterior. Kavum nasi di evaluasi

terdapat krista pada septum nasi sebelah kanan. Skop 00 dipegang dengan tangan
kiri dan dilakukan infiltrasi pada kedua sisi septum dengan adrenalin 1:200.000
dengan tangan kanan. Dilakukan insisi vertikal pada mukosa septum sebelah
kanan anterior dari krista. Dilanjutkan insisi horizontal sepanjang krista mulai
anterior sampai posterior. Septum dibebaskan dengan melakukan elevasi mukosa
sebelah kanan dengan menggunakan elevator Cottle. Deviasi direseksi dengan
menggunakan gunting dan forseps. Mukosa yang dielevasi dikembalikan ke
tempat semula.
Kavum nasi dievaluasi, tampak septum sudah lurus. Dipasang tampon
anterior pada kavum nasi kanan dan kiri.
Pasca operasi pasien dirawat dan diberi terapi seftriakson 2x1gr dan
deksametason 3x1 ampul intravena dan tramadol drip 1 ampul dalam 1 kolf ringer
laktat pada hari pertama, dilanjutkan dengan asam mefenamat 3 x 500mg.13
Gambar 10. Teknik operasi septoplasty
2.3.3 Langkah-Langkah Septoplasti14
1) Dekongest kedua sisi hidung dengan menggunakan pledget yang
direndam dalam epinefrin dengan perbandingan 1: 1000, atau sebagai
alternatif dapat menggunakan pseudoefedrin. Setelah beberapa menit,
suntikkan lidocaine dengan epinefrin di submucoperichondrial planes
pada kedua sisi.
2) Periksa kedua sisi septum (Gambar 11)

Gambar 11 Deviasi Septum Nasal (Hidung Kiri) 14

3) Tentukan sisi septum yang cembung secara tepat untuk pembedahan,


karena mukosa lebih cenderung robek selama elevasi flap septum.
4) Insisi mukosa kira-kira 5mm anterior dari insisi transkartilago yang
dituju; lakukan sayatan pisau dengan membentuk sudut miring untuk
memotong tegak lurus ke mukosa.
5) Lanjutkan sayatan hingga persimpangan mucoperichondrial dengan hati-
hati agar tidak mengenai bagian dasar yaitu kartilago.
6) Lanjutkan sayatan setinggi mungkin; jika endoskopi digunakan, gunakan
porosnya untuk menarik tulang rawan lateral atas untuk memperluas
bagian dorsal agar lebih mudah terlihat.
7) Lanjutkan sayatan ke dasar nasal sampai 5 mm bagian belakang untuk
memperluas penglihatan (Gambar 12).

Gambar 12. Insisi Bagian Atas menuju ke Dasar Nasal, Bagian Belakang
Dipotong untuk Memperluas Penglihatan14
8) Gunakan elevator Cottle untuk mengembangkan submucoperichondrial
flap melalui sayatan,
9) Tinggikan flap sambil melepaskan kulit secara setengah lingkaran mulai
dari arah posterosuperior, kemudian turun ke dasar nasal dan akhirnya
menyapu dari posterior ke anteroinferior (Gambar 13)
Gambar 13. Mucoperichondrial dan Mucoperiosteal Flaps yang
Dielevasikan ke Bawah sampai Terlihat Maxillary Crest14

10) Berhati-hatilah untuk tetap berada di dalam bidang subperichodrial /


subperiosteal yang terdefinisi dengan baik sampai Anda menemukan
perlekatan fibrosa yang padat pada puncak maksila (Gambar 4); untuk
memperluas ketinggian flap ke puncak maksila dan dasar nasal, dokter
bedah harus membagi serat-serat ini secara tajam menggunakan elevator
Cottle atau pisau bedah (scalpel blade) # 15. Gosok tulang yang panjang
dengan gerakan menyapu dari tungkai vertikal dari maxillary crest
inferior menuju lantai hidung untuk membagi serat-serat ini.
11) Kumpulan neurovaskular nasopalatine sering terlihat di bagian anterior
selama langkah ini dilakukan, hati-hati untuk mempertahankannya
(Gambar 6, 9).
12) Terus tinggikan flap dari deviasi septum yang cembung di bawah
penglihatan langsung mencaoai ke titik "horizon" dimana orang tidak
bisa lagi melihat persimpangan antara flap dan tulang rawan / tulang
yang mendasarinya.
13) Jika persimpangan antara flap dan tulang rawan tidak lagi terlihat, maka
hentikan sayatan.
14) Control perdarahan dengan suction dan pledget yang sudah direndam
epinefrin (Gambar 14).

Gambar 14: Flap diangkat dari septum konveksitas, dengan pledget yang
direndam epinefrin, digunakan untuk hemostasis14

15) Pada flap ipsilateral angkat melebihi deviasi septum, buat insisi
transkartilago 1-2mm dari posterior menuju ke insisi pada mukosa asli
dengan pisau bersudut membentuk tulang rawan dan kemudian
menggunakan Cottle angkat untuk menglengkapi insisi kartilago
(Gambar 15)
16) Pertahankan cartilage struts bagian dorsal dan caudal > 1 cm untuk
penyangga bagian ujung dan hidung (Gambar 16)
17) Tinggikan flap kontralateral (Gambar 15); berhentilah mengangkat flap
ketika persimpangan antara flap dan tulang rawan tidak dapat terlihat
Gambar 15 : Cottle Elevator digunakan untuk melengkapi insisi Kartilago dan
membuat Submucoperichondrial flap yang kontralateral14

Gambar 16 : Kartilago Dorsal dan Caudal diangkat > 1cm dilakukan untuk
mensupport tindakan pembedahan14

18) Setelah kedua flap sepenuhnya terangkat, gunakan swivel knife atau
gunting untuk menghilangkan bagian kartilago segi empat (Gambar 17);
simpan kartilago untuk kemudian digunakan sebagai penggantinya
(Gambar 18)
Gambar 17 : Swivel Knife digunakan untuk Mendeviasi Kartilago 14

Gambar 18 : Kartilago Diawetkan untuk digunakan sebagai


Pengganti yang akan digunakan selanjutkan14

19) Lepaskan kartilago untuk memperluas penglihatan defleksi septum yang


tersisa agar dapat memberikan akses yang lebih baik ke “titik horizon”
yang sebelumnya membatasi ketinggian flap (Gambar 19).
20) Lebih lanjut angkat penutup untuk sepenuhnya mengekspos defleksi
septum
21) Gunakan pukulan untuk menghilangkan tulang di atas defleksi agar dapat
memisahkan defleksi dari perlekatannya pada dasar tengkorak, berhati-
hatilah agar tidak memuntir vertikal plate dari ethmoid untuk
menghindari fraktur dari kribriform plate.
Gambar 19 : Memperbaiki jalan masuk cavum setelah Kartilago
diangkat14

22) Setelah defleksi dipisahkan dari dasar tengkorak, refleksikan sisa mukosa
yang tersisa di sekitar defleksi dan fraktur dengan hati-hati dan hilangkan
defleksi bertulang yang tersisa dengan penjepit tang
23) Jika defleksi melibatkan krista maksila, tinggikan mukosa di sepanjang
dasar hidung dari arah posterior ke anterior (Gambar 1,20)
24) Lepaskan puncak yang memproyeksikan jalan nafas dengan pahat 4mm
(Gambar 21), jangan lanjutkan jika memungkinkan dapat melukai saraf
nasopalatine dan memicu masalah pendarahan dari arteri palatina yang
lebih besar. Setelah seluruh defleksi telah dihentikan direkomendasikan
bahwa tulang rawan yang telah diangkat untuk diganti, terutama jika
sebagian besar tulang rawan segi empat dikeluarkan; daerah lengkung
tulang rawan pertama diratakan dengan menggunakan palu.

25) Tutup mucoperichondrial flap; gunakan jahitan catgut polos 4-0 pada
jarum Keith untuk menutup kedua sayatan dan untuk menjepit flap
mucoperichondrial dengan jahitan quilting

Gambar 20: Gambaran Maxillary Crest 14


Gambar 21: Pahat ukuran 4mm yang digunakan untuk mengangkat
Maxillary Crest14

26) Lewati jarum posterior dan kemudian ke sayatan anterior; ikat 2 knot
untuk menempelkan mukosa (Gambar 22) Berhati-hatilah dengan jahitan
awal untuk mendekati tepi mukosa.
27) Gunakan jahitan yang sama untuk menutup sayatan menggunakan teknik
back and forth. Dapat dilakukan secara posterior untuk mengumpulkan
flap mucoperichondrial menggunakan 3 sampai 4 lintasan (Gambar 23).
Akhiiri dengan tusukan yang dapat dilakukan dari anterior dan diikat ke
ujung benang dari tusukan awal
28) Belat bersifat opsional setelah quilting meskipun dapat meningkatkan
penyembuhan dan mengurangi risiko hematoma septum; penulis senior
menggunakan belat Doyle yang dijahit melalui septum membran dan
dibiarkan di tempatnya selama sekitar 1 minggu. 14

Gambar 22 : Coapting the Mucoperichondriak Flaps14


Gambar 23 : Coapting the Mucoperichondriak Flaps14

2.3.3 Komplikasi

Pasien biasanya akan merasakan nyeri dan tidak nyaman setelah


septoplasty, namun keduanya akan hilang dengan sendirinya dalam 24-48 jam.
Resiko lainnya adalah pendarahan serta bekas luka. Pada kasus yang sangat
langka, bentuk hidung dapat terlihat berbeda. Apabila ada saraf yang rusak
akibat pembedahan, pasien dapat mengalami gangguan penciuman. 1
Chung dkk melaporkan komplikasi septoplasti endoskopik pada 116
pasien, nyeri alih gigi 4,3%, perforasi septum asimtomatis 3,4%, sinekia 2,6%,
epistaksis 0,9%, hematoma septum 0,9%, deviasi septum menetap yang

memerlukan septoplasti revisi 0,9%. Nawaiseh dkk11 melaporkan dari 60 pasien


yang menjalani septoplasti endoskopik hanya ada 1,6% hematoma septum, 1,6%
epistaksis.13
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga
menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan
komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung
atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah
pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi
dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma
dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.11,12

2.3.4. Prognosis

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-
20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.2
BAB IV
Kesimpulan

Septoplasti adalah prosedur bedah untuk mengubah bentuk atau


posisi dari septum yang bengkok dengan memperbaiki tulang rawan dan
tulang di hidung. Prosedur ini juga dikenal dengan istilah operasi septum.
Indikasi septoplasti secara klinis ialah pada deviasi septum yang
mengakibatkan sumbatan hidung bilateral maupun unilateral, epistaksis yang
persisten maupun rekuren, sakit kepala akibat contact point dengan
deviasi septum, memperluas akses ke daerah kompleks osteomeatal pada operasi
sinus, akses pada operasi dengan pendekatan transeptal transfenoid ke foss
hipofise. Komplikasi septoplasti endoskopik adalah meliputi nyeri alih gigi,
perforasi septum asimtomatis, sinekia, epistaksis dan hematoma septum.
Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani septoplasti cukup baik,
hanya saja pasien harus memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kridel RWH, Strum-O’Brien A. The nasal septum. In: Flint PW,


Haughey BH, Lund LJ, et al, eds. Cummings Otolaryngology: Head &
Neck Surgery. 6th ed. Philadelphia, PA:Elsevier Mosby; 2015:chap 32.

2. Goldenberg D, Goldstein B. Handbook of otolaryngology head and neck


surgery. New-York: Thieme, 2013. p.211-214
3. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
4. Snow J, Wackym A. Ballenger’s otorhynolaryngology head and neck
surgery 17. BC Dacker, 2009. p. 561-562.
5. Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan
Ketiga. Jakarta : EGC. 1997 : hlm 173-188.
6. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 118-122.
7. Sadler. T.W. Langman’s Medical Embryology. 13 th ed. Wolters Kluwer.
Philadelphia. 2015
8. Bie G.U.V. Embryology. Louis Bolk Institute. Netherland. 2011
9. Schoenwolf.G.C., Bleyl.S.B., Brauer.P.R., Francist-West.P.H. Larsen’s
Human embryology. 4th ed. Philadelphia.2009
10. Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations.
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of
Heidelberg : Germany. Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223.
Available at :
http://www.rhinologyjournal.com/Rhinology_issues/44_Baumann.pdf
(Accessed : 2020 Maret 20)
11. Park JK, Edward IL. Deviated Septum. The Practice of Marshfield Clinic,
American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 2005.
Available at : http://www.marshfieldclinic.org/proxy/MC-ent-
DeviatedSeptum.1.pdf (Accessed : 2020 Maret 25)
12. Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear,
Nose and Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p.
81-85.
13. Jaka Budiman, Bestari. Penatalaksanaan Deviasi Septum Dengan
Septoplasti Endoskopik. Orli vol. 42 No. 1 Tahun 2012.
14. Sedaghat, Ahmad R, Bleier Benjamin. 2017. Septoplasty For Deviation Of
The Nasal Septum. Department of Otology and Laryngology.
Massachusetts Eye and Ear Infirmary. Harvard Medical School. Boston,
USA

Anda mungkin juga menyukai