Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

CRONIK KIDNEY DISEASE

OLEH :
RIANA BULO
NIM : S.19851332

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TANA TORAJA


PROGRAM S1 KEPERAWATAN
2020

CRONIK KIDNEY DISEASE (CKD)


1. DEFENISI
Berikut ini adalah pengertian tentang CKD menurut beberapa ahli dan sumber
diantaranya adalah :
1) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit
yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah
(Smeltzer dan Bare, 2001).
2) CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan dapat
disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama keadaan ini
selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala CKD tidak
selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea, Panggabean, dan Gultom,
2005)
3) Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth,
2001; 1448)
4) Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal
yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala. CKD adalah
penyakit ginjal tahap akhir yang dapat disebabakan oleh berbagai hal. Dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
menyebabkan uremia.
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ),pada
dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada
terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus
secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih
dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1
sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum
ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF.

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a) Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson (2006) :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang pritonium. Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari
ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal kanan
sedikit lebihrendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.

Gambar : Anatomi ginjal tampak dari depan

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya


antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram.
Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap ketulang
belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal semuanya
masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur-setruktur
ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar,
dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang
berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus
dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan dengan pelvis ginjal.

Gambar : Potongan vertical ginjal


Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan
fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap
nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus) yang
erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang berkelok
dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama
disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut simpai
henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang disebut
tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan melintasi
kortek dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.
Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-
cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-
masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian
tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang membentuk
jarring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung
lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah kevena kava inferior. Maka
darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar
darah lebih lama disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada
hal tersebut.
b) Fisiologi
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin
menurut Syaeifudin (2006).
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain
dalam tubuh. Fungsi ginjal, yaitu:
1. Menyaring/membersihkan darah.
2. Mengatur volume darah.
3. Mendaur ulang air, mineral, glukosa, dan gizi.
4. Mengatur keseimbangan kandungan kimia darah/asam-basa.
5. Penghasil hormone.
b. Proses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian
akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006) :
1. Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian
yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring
disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida
sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2. Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal. Sedangkan
pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion bikarbonat bila
diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif
dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan pada
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
3. ETIOLOGI
 Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
 Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif
 Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus
ginjal
 Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
 Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
 Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
4. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan
penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea
Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan
dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
1) Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90 ml/menit/1,73
m2.
2) Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60-89 ml/menit/1,73
m2.
3) Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73
m2.
4) Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15-29 ml/menit/1,73
m2.
5) Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):

a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak
ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia.

d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan
eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1. Pemeriksaan lab.darah
a. Hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
b. RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin

c. LFT (liver fungsi test )


d. Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium

e. Koagulasi studi
PTT, PTTK

f. BGA
2. Urine

- urine rutin
- urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. Pemeriksaan kardiovaskuler

- ECG
- ECO
4. Radidiagnostik

- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG ( retio pielografi )
7. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah
CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )

- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan
mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk
mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai dengan
derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum. Menurut Suwitra
(2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel berikut :

Table 2.1 : Derajat CKD dan penatalaksanaan terapi


Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah
menurun sampai 20–30 % dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan
cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang
antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi
antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam
asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan
makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5- 5,5
mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan
edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a. Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi antara 0,6-
0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi. Kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein perlu dilakukan
pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan diencerkan melalui ginjal,
tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi masukan protein dapat
ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu
pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan protein
berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b. Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti
hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada
kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu
pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat memperlambat perburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti
proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena 40-45
% kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler adalah
pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada
kelebihan cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin. Pemberian
kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya harus
dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi ini
biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Menurut Susan Martin Tucker (1998) adalah sebagai berikut:
1. Neurologis
Sakit kepala, penglihatan kabur, perubahan kepribadian, malaise, neuropatik perifer,
penurunan tingkat kesadaran.
2. Pernapasan
Sesak napas, hiperventilasi, edema paru, pneumoni, napas cheyne stokes, napas berbau
amoniak.
3. Kardiovaskular
Hipertensi, takikardi, disritmia, miokardiopati, perikarditis.
4. Cairan dan elektrolit
Oliguria, anuria, edema : berat badan meningkat, dehidrasi : berat badan menurun,
hiperkalemia, hiperfostatemia, hipokalemia, hiperlipidemia, asidosis metabolik.
5. Gastrointestinal
Rasa pahit pada mulut, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan hemoragik.
6. Integumen
Mulut kering, kuku pucat, petekie, pruritus, memar dan lapisan uremik.
7. Hematologis
Anemia, koagulasi, defisiensi trombosit.
8. Endokrin
Amenoria, disfungsi seksual, infertilitas, hiperparatiriodisme, tidak toleransi terhadap
glukosa.
9. Imunologis
Peningkatan suhu, leukosit tinggi, infeksi, toksisitas obat.
10. Psikososial
Ansietas, takut, tak berdaya, berduka, menyangkal, depresi dan gangguan hubungan
dengan orang lain.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis
8. resti terjadinya infeksi

C. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:

Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :

mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung
dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

b. Kaji adanya hipertensi


R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)

c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)


R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri

d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas


R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder :


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria
hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:

a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan


haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi

c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan


R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan

d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama


pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil:
menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi

b. Perhatikan adanya mual dan muntah


R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi

c. Beikan makanan sedikit tapi sering


R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan

d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan


R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial

e. Berikan perawatan mulut sering


R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut
yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:

a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles


R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret

b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam


R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2

c. Atur posisi senyaman mungkin


R: Mencegah terjadinya sesak nafas

d. Batasi untuk beraktivitas


R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:

a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya


kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.

b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa


R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan

c. Inspeksi area tergantung terhadap udem


R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek

d. Ubah posisi sesering mungkin


R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia

e. Berikan perawatan kulit


R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit

f. Pertahankan linen kering


R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit

g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan


tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera

h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar


R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,


keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi

Intervensi:

a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas


b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa)


b.d salah interpretasi informasi.
a. Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami.
b. Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan
gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ).
c. Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.
e. Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai