Anda di halaman 1dari 8

Kaidah-kaidah Hukum Ekonomi Islam

Dalam mengembangkan geliat ekonomi syariah di Indonesia, yang didasarkan


pada empat kaidah. Implementasi empat kaidah inilah yang kemudian disebut
sebagai makharij fiqhiyah (fiqh solutif). Bangunan fiqh yang diasumsikan dapat
dijadikan sebagai pegangan metodogis dan solutif. Empat kaidah yang dimaksud
adalah sebagai berikut

1. Al-Taysîr al-Manhaji

Al-Taysîr al-Manhaji dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap


sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan (at-taisir)
namun tetap dalam koridor manhaj yang ada. Artinya, fatwa DSN-MUI akan
memberikan jalan Keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak
bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak
boleh dilakukan secara berlebihan (al-mubalaghah fi al-taysir). Hal itu tidak
dibenarkan karena menimbulkan sikap meremehkan (al-tasâhul).

Metode al-Taysîr al-Manhaji dimaksudkan agar menghindarkan fatwa disahkan


tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa yang
meringankan namun hanya mempertimbangkan aspek kemaslahatannya saja dan
tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya (al-manhaj). Dalam
pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosok pada
mencari-cari hal-hal yang ringan saja (tatabbu’ al-rukhash) yang dilarang dalam
syariah Islamiyah. Prinsip dasar penerapan kaidah al-Taysir al-Manhaji dalam
fatwa DSN-MUI adalah

‫ واال فاألصلح‬,‫ ان امكن‬ ‫األخذ بأرجح األقوال واألًصلح‬

“menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat jika


memungkinkan; jika tidak, maka yang digunakan adalah pendapat yang lebih
maslahat (saja)”

Langkah operasionalnya adalah mencari solusi fikih yang secara dalil lebih kuat
dan sekaligus lebih membawa kemaslahatan. Namun apabila hal itu tidak bisa
(atau sulit) dilakukan, maka yang didahulukan adalah pertimbangan
kemaslahatan, sedangkan kekuatan dalil (aqwa dalilan) dijadikan pertimbangan
setelahnya. Karena itu, tidak menutup kemungkinan dalam fatwa DSN-MUI
didasarkan pada pendapat ulama yang dulu dianggap sebagai pendapat lemah
(qaulun marjuhun), namun karena situasi dan kondisi saat ini pendapat tersebut
dianggap lebih membawa kemaslahatan.
Contohnya adalah penerapan kaidah penetapan hukum ekonomi syariah yang
selama ini dikenal ada dua pandangan, yakni [1] pandangan substantif yang
menjadikan tujuan/hasil akhir dan isi (al-maqashid wa al-ma’ani)
sebagai ugeran dalam menentukan hukum; dan [2] pandangan legal-formal yang
mengunakan kata/ kalimat dan bentuk (al-alfazh wa al-mabani)
sebagai ugeran dalam menentukan hukum. Pandangan pertama menggunakan
kaidah

‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمباني‬

“Keabsahan akad (mu’amalah) ditentukan oleh tujuan dan maknanya, bukan


kata-kata dan susunannya/formatnya”

Pandangan kedua menggunakan kaidah:

‫العبرة في العقود لأللفاظ والمباني ال للمقاصد والمعاني‬

“Keabsahan akad (mu’amalah) ditentukan oleh kata-kata dan


susunannya/formatnya bukan tujuan dan maknanya“

Oleh DSN-MUI, pandangan yang terlihat antagonis tersebut dua-duanya diadopsi


dan dipakai dalam menetapkan fatwa DSN-MUI, tergantung mana yang paling
punya relevansi dengan aspek kemaslahatan. Contoh untuk pengadopsian
pandangan pertama adalah fatwa tentang akad wad’iah (digunakan untuk kegiatan
penghimpunan dana berupa tabungan dan giro); akad wadi’ah adalah bentuk
formalnya (al-alfazh wa al-mabani) sedangkan substansinya (al-maqashid wa al-
ma’ani) merupakan akad qardh; karena akad wadi’ah yang terdapat izin dari
pemilik untuk menggunakan barang titipan oleh penerima titipan, dan barang
titipan dapat diganti oleh barang lain (yang senilai/serupa/ mitsaliyat) sejatinya
merupakan akad qardh.

Sedangkan contoh penerapan pandangan kedua dalam fatwa DSN-MUI adalah


fatwa terkait mengikatnya (mulzim) saling berjanji (al-muwa`adah) dan
hubungannya dengan mulzim–nya perjanjian (al-`aqd) sebagaimana dalam fatwa
DSN-MUI Nomor 28/DSN-MUI/ III/2002 tentang Jual-Beli Uang (al-Sharf),
fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa‘d) dalam
Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, dan fatwa DSN-MUI Nomor 93/ DSN-
MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (alTahawwuth al-
Islami/Islamic Hedging).

Fatwa tersebut menyatakan bahwa lindung nilai secara syariah boleh dilakukan
dengan syarat  dilakukan atas dasar  kebutuhannyata (tidak untuk untung-
untungan/spekulasi/gharar) dan dilakukan melalui mekanisme forward
agreement (saling berjanji) untuk melakukan pertukaran mata uang di masa yang
akan datang.  Akad dan muwa`adah (saling berjanji) dari sisi bentuknya memiliki
kesamaan, yaitu pihak yang melakukannya sama (dilakukan oleh dua pihak atau
lebih), dan dari sisi sifatnya juga memiliki kesamaan, yaitu mengikat (mulzim)
untuk dilakukan. Akan tetapi perbedaan antara keduanya bersifat mendasar; yaitu
dalam muwa`adah belum muncul hak dan kewajiban, sedangkan dalam akad
sudah muncul. Oleh karena itu disebut bahwa saling berjanji mirip dengan akad
(al-muwa`adatu tusybih al-`aqd). Namun sejatinya kedua hal tersebut berbeda,
saling berjanji bukanlah akad (wa laisa al-muwa`adatu `aqdan). Apabila saling
berjanji dianggap sama hukumnya dengan akad, maka transaksi lindung nilai
terlarang karena termasuk jual-beli utang dengan utang (bai` aldain bi al-dain).
Namun kalau saling berjanji dihukumi bukan akad (sebagaimana disebutkan
dalam fatwa DSN-MUI), maka transaksi tersebut dibolehkan, karena terhindar
dari jual-beli utang dengan utang.

2. Tafriq baina al-halal ‘ani al-haram

Umumnya, orang memahami bahwa percampuran antara yang halal dan yang
haram, maka dimenangkan yang haram, sesuai kaidah “apabila bercampur antara
yang halal dan yang haram, maka percampuran tersebut dihukumi haram” (idza
ijtama’ al-halal wa al-haram ghuliba al-haram). Dalam pandangan DSN-MUI
kaidah tersebut tidak cocok diterapkan di bidang ekonomi. Kaidah tersebut lebih
cocok digunakan dalam bidang pangan, khususnya yang cair. Halal-haram dalam
bidang pangan terkait dengan bahannya (‘ain), sehingga jika terjadi percampuran
maka akan terjadi persinggungan dan persenyawaan yang sulit dipisahkan. Dalam
kondisi seperti itu maka tepat menggunakan kaidah “apabila bercampur antara
yang halal dan yang haram, maka percampuran tersebut dihukumi haram” (idza
ijtama’ al-halal wa al-haram ghuliba al-haram).

Sedangkan apabila pemisahan antara yang halal dari yang haram dapat dilakukan,
misalnya dalam kasus percampuran antara harta yang halal dan yang tidak halal,
maka kaidah (idza ijtama’ alhalal wa al-haram ghuliba al-haram) ini tidak cocok
diterapkan, dan yang lebih tepat adalah menggunakan kaidah pemisahan yang
halal dari yang haram (tafriq baina al-halal ‘ani al-haram). Penjelasannya, bahwa
harta atau uang dalam persepektif fikih bukanlah benda haram karena zatnya
(‘ainiyah) tapi haram karena cara memperolehnya yang tidak sesuai syariah
(ligairih), sehingga dapat untuk dipisahkan mana yang diperoleh dengan cara
halal dan mana yang non halal. Dana yang halal dapat diakui sebagai penghasilan
sah, sedangkan dana non-halal harus dipisahkan dan dialokasikan untuk
kepentingan umum.
Dasar kaidah ini dapat dirujuk dari keterangan para ulama. Ibnu Shalah
menyatakan sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitab “Al-Asbah wa al-
Nadzair” pun juga Imam Ibnu Taymiyah dalam fatwa Ibnu Taimiyah. Imam
Suyuti mengutip:

َ ‫ َو َي َت‬.ِ‫ أَنْ َيعْ ِز َل َق ْد َر ْال َح َر ِام ِب ِن َّي ِة ْالقِسْ َمة‬:ُ‫ َولَ ْم َي َت َميَّز َف َط ِريقُه‬.‫اخ َتلَ َط دِرْ َه ٌم َحاَل ٌل ِبدَ َرا ِه َم َح َر ٍام‬
،‫صرَّ فُ فِي ْال َباقِي‬ ْ ‫لَ ْو‬
‫صدَّقَ ِب ِه َع ْن ُه‬ َ ‫ َوإِاَّل َت‬،ِ‫صا ِح َب ُه َسلَّ َم ُه إلَ ْيه‬
َ ‫َواَلَّذِي َع َزلَ ُه إنْ َعلِ َم‬

Jika uang yang halal tercampur dengan uang yang haram dan tidak dapat
dibedakan, maka jalan keluarnya adalah memisahkan bagian yang haram serta
menggunakan sisanya. Sedangkan bagian haram yang dikeluarkan, jika ia tahu
pemliknya maka ia harus menyerahkannya atau bila tidak maka harus
disedekahkan.

Teori tafriq al-halal ‘an al-haram digunakan di fatwa DSN-MUI dengan


pertimbangan bahwa dalam konteks Indonesia kegiatan ekonomi Syariah belum
bisa dilepaskan sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi.
Setidaknya institusi ekonomi Syariah berhubungan dengan institusi ekonomi
konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun
keuntungan yang diperoleh.

Contoh pertama, Pendirian bank syariah atau unit usaha syariah (UUS) oleh Bank
Konvensioanl; teori tafriq al-halal min alharam merupakan jawaban atas komentar
banyak pihak tentang berdirinya bank-bank syariah, terutama UUS yang dibentuk
atau didirikan oleh bank-bank konvesional. Di antara umat Islam ada yang
meragukan kehalalan produk Unit Usaha Syariah karena modal pembentukan
berasal dari bank konvensional yang termasuk perusahaan ribawi. Teori tafriq al-
halal min al-haram diaplikasikan dengan cara mengidentifikasi seluruh uang yang
menjadimilik bank konvensional sehingga diketahui mana yang merupakan bunga
dan mana yang merupakan modal atau pendapatan yang diperoleh dari jasa-jasa
yang tidak didasarkan pada bunga. Pendapatan bank yang berasal dari bunga
disisihkan terlebih dahulu, maka sisanya dapat atau boleh dijadikan modal
pendirian bank syariah atau UUS karena diyakini halal.

3. I‘adah al-nazhar

Kaidah berikutnya dalam upaya penerapan solusi fikih adalah i‘adah al-


nazhar (telaah ulang). Telaah ulang terhadap pendapat ulama terdahulu bisa
dilakukan dalam hal pendapat ulama terdahulu dianggap tidak cocok lagi untuk
dipedomani karena faktor sulit diimplementasikan (ta‘assur, ta’adzdzur aw
shu’ubah al-amal). Telaah ulang salah satu caranya dilakukan dengan menguji
kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum
yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya ‘illah
hukum yang baru dan/atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan;
kemudian pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan
hukum.

Teori ini merupakan jalan tengah atau moderat di antara pemikiran pakar hukum
ekonomi syariah yang terlalu longgar (mutasahil) dalam menerapkan prinsip-
prinsip hukum ekonomi syariah, sehingga ekonomi Islam terjebak pada labeling.
Sebaliknya dengan teori ini pengembangan ekonomi Islam tidak terlalu ketat dan
terikat dalam kaidah-kaidah dan pemikiran fiqh klasik yang mungkin sulit
diaplikasikan kembali pada era sekarang (mutasaddid). Dasar teori ini adalah
kaidah: “Hukum itu berjalan sesuai dengan illah-nya, ada dan tidak adanya (illah)
(al-hukm yaduru ma‘a ‘illatihi wujud[an] wa ‘adam[any]).

Contoh penerapannya adalah fatwa terkait posisi wakil dalam akad sewa-
menyewa; wakil boleh menyewa benda yang dipercayakan kepadanya untuk
disewakan. Pendapat ini dijadikan pegangan oleh DSN-MUI meskipun
bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama setelah melakukan telaah ulang
(i‘adah al-nazhar) terhadap ‘illah hukum yang dikemukan Jumhur ulama. Jumhur
ulama berpendapat bahwa larangan bagi wakil menyewa benda yang diserahkan
kepadanya untuk disewakan kepada orang lain karena adanya tuhmah (diduga
kuat ada kebohongan) dari wakil sehingga dapat merugikan pemilik. Namun bila
dilakukan telaah ulang terhadap ‘illah hukum tersebut, maka ‘illah hukum tersebut
akanhilangbilapemilikmemberikantarifyang jelas terhadapbenda yang akan
disewakan kepada wakilnya, lalu wakil menyepakati tarif tersebut dan kemudian
ia menyewa sendiri harta benda tersebut.

Contoh berikutnya adalah transaksi kafalah bil ujrah (pertanggungan dengan


upah) dengan menyandarkan kepada pendapat sebagian kecil ulama yang berbeda
dengan jumhur ulama yang melarangnya. Berdasarkan hal itulah bahwa Letter of
Credit yang mana penjamin menerima upah dibolehkan dalam fatwa DSN MUI
Tahun 2009.  Hukum“boleh”ini didasarkan pada karakteristik muamalah L/C
tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah).
Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga tidak
haram hawalah dengan imbalan. Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan
disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut
madzhab Syafi’i, hukumnya boleh walaupun menurut beberapa ulama
mengharamkan dan ada pula yang menetapkan makruh hukumnya. Fatwa DSN-
MUI menyandarkan pendapat ulama Syafi’iyah yang
membolehkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju’alah.
4. Tahqiq al-manath

Sedangkan tahqiq al-manath (Analisa Penentuan Alasan Hukum/’Illat) adalah


analisa untuk mengetahui adanya alasan hukum (‘illah) lain dalam satu kasus,
selain illat yang diketahui sebelumnya, baik melalui nash, ijma, ataupun istinbath.
Contoh penerapannya adalah Fatwa DSN-MUI No. 77/DSNMUI/V/2010 tentang
Murabahah Emas. Fungsi emas dalam sejarah Islam adalah sebagai alat
tukar/uang. Oleh karena itu, jika emas akan diperjualbelikan maka harus
dilakukan secara tunai untuk menghindarkan terjadinya riba nasa’ (riba karena
pertukaran barang ribawi sejenis yang dilakukan tidak secara tunai).

Dalam Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara
Tidak Tunai, dibolehkan emas dijadikan obyek jual beli tidak tunai, baik secara
angsuran (taqsith) maupun tangguh (ta’jil) selama emas tidak menjadi alattukar
yang resmi(uang). Keputusan ini antara lain didasarkan atas alasan bahwa saat ini
masyarakat dunia tidak lagi menjadikan emas sebagi alat tukar (uang), tetapi
memperlakukannya sebagai barang (sil’ah), oleh karena itu larangan menjual
belikan emas secara tidak tunai berdasarkan hadis Nabi tidak berlaku lagi karena
illat hukum larangan telah berubah.

Semua hal yang disebutkan di atas dilakukan karena ada kaedah bahwa hukum
asal dalam ekonomi syariah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang
mengharamkannya (al-ashl fi al-mu’amalat al-ibahah hatta yadull al-dalil ‘ala
al-tahrim). Sehingga membuka lebar pintu untuk melakukan terobosan dan
inovasi-inovasi dalam perumusan hukum Islam terkait ekonomi syariah.

Objek Hukum Ekonomi Islam

Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu
yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam. Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain,
ilmu ekonomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek
material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan
distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek
prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas
sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait
dengan ilmu ekonomi Islam1

1
Jurnal KAJIAN FILSAFAT ILMU TERHADAP EKONOMI ISLAM Dinnul Alfian Akbar Rika Lidyah*
Asas-asas Hukum Ekonomi Islam

Terdapat beberapa asas yang terdiri dari:

a. Asas Mu’awanah, asas mu’awanah mewajibkan seluruh muslim untuk


tolong menolong dan membuat kemitraan dengan melakukan muamalah,
yang dimaksud dengan kemitraan adalah suatu startegi bisnis yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan
saling membesarkan.
b. Asas Musyarakah, asas musyarakah menghendaki bahwa setiap bentuk
muamalah kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja
bagi pihak yang terlibat melainkan bagi keseluruhan masyarakat, oleh
karena itu ada harta yang dalam muamalat diperlakukan sebagai milik
bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki perorangan.
c. Asas Manfaah (tabadulul manafi’), asas manfaah berarti bahwa segala
bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat
bagi pihak yang terlibat, asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip
atta’awun (tolong menolong /gotong royong) atau mu’awanah (saling
percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu
atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi
keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama. Asas
manfaah adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum Islam
yang menyatakan bahwa segala yang dilangit dan di bumi pada hakikatnya
adalah milik Allah SWT, dengan demikian manusia bukanlah 152 | Asy-
Syari‘ah Vol. 20 No. 2, Desember 2018 pemilik yang berhak sepenuhnya
atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak
memanfaatkannya.
d. Asas Antarodhin, asas antaradhin atau suka sama suka menyatakan bahwa
setiap bentuk muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan
kerelaan masing-masing, Kerelaan disini dapat berarti kerelaan melakukan
suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam
menerima dan atau menyerahkan harta yag dijadikan obyek perikatan dan
bentuk muamalat lainnya.
e. Asas ‘Adamul Gharar, Asas ‘adamul gharar berarti bahwa pada setiap
bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang
menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya
sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam
melakukan suatu transaksi. b. Al Musawah, asas ini memiliki makna
kesetaraan atau kesamaan, artinya bahwa setiap pihak pelaku muamalah
berkedudukan sama.
f. Ash shiddiq, dalam Islam, manusia diperintahkan untuk menjunjung
kejujuran dan kebenaran, jika dalam bermuamalah kejujuran dan
kebenaran tidak dikedepankan, maka akan berpengaruh terhadap
keabsahan perjanjian. Perjanjan yang didalamnya terdapat unsur
kebohongan menjadi batal atau tidak sah. d. Asas Hak Milik, Islam
mengakui hak milik perorangan. Oleh karena itu Islam mewajibkan
kepada umatnya untuk selalu berusaha. Dengan kepemilikan harta maka
seorang muslim bisa membantu saudaranya yang lain dan memberikan hak
orang lain yang ada pada hartanya sehingga dengan hartanya seorang
muslim bisa mendapatkan kebahagiaan diakhirat kelak.
g. Asas Pemerataan, asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan
dalam bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak hanya dikuasai
oleh segelintir orang saja, tetapi harus didistribusikan secara merata di
antara masyarakat, baik kaya maupun miskin, dengan dasar tujuan ini
maka dibuatlah hukum zakat, shadaqah, infaq.
h. Asas al-Bir wa al-Taqwa, Al-bir artinya kebajikan dan berimbang atau
proporsional maksudnya keadilan atau perilaku yang baik. Sedangkan al-
taqwa berarti takut, hati-hati, jalan lurus, dan meninggalkan yang tidak
berguna, melindungi dan menjaga diri dari murka Allah SWT. Asas ini
yang mewadahi seluruh asas fiqih muamalah. Artinya segala asas dalam
lingkup fiqih muamalah dilandasi dan diarahkan untuk Al-Bir wa al-
Taqwa. Hal-hal yang harus dihindari dalam bermuamalah adalah Maisir,
Gharar, Haram, Riba dan Bathil. Maisir, Maisir sering dikenal dengan
perjudian, dalam praktik perjudian seseorang bisa untung dan bisa rugi.
Gharar setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak
berada dalam kuasanya alias diluar jangkauan termasuk jual beli gharar,
boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna Muhamad
Kholid, Implementasi Prinsip-Prinsip Hukum Ekonomi Syariáh ke dalam
Undang-undang | 153 ketidakjelasan suatu transaksi dilaksanakan. Haram,
Ketika obyek yang diperjualbelikan ini haram, maka transaksinya menjadi
tidak sah. Riba, Riba adalah penambahan pendapatan secara tidak sah,
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama
kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Bathil, dalam melakukan
transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzaliman yang
dirasa pihak-pihak yang terlibat, semuanya harus sama-sama rela dan adil
sesuai takarannya. maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan
merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat. Kecurangan,
ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurang timbangan tidak
dibenarkan, atau hal-hal kecil seperti penggunaan barang tanpa izin.

Anda mungkin juga menyukai