Anda di halaman 1dari 5

Filsafat Ilmu: Sejarah Filsafat ilmu & Krisis 

sains
Maret 30, 2008

Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai
dengan aliran rasionalisme-emprisme , kemudian kritisisme dan positivisme.

Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran


haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis
yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari
renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap
gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak
bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung
tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus
diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini
didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad
17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de
Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-
1716), Blaise Pascal (1623-1662).

Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui


pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat
dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara
indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon
(1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad
Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum
Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui
pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan
dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai
akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang
dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John
Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776).
Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan
pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap
benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang
ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.

Kedua aliran ini dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran


rasionalisme didominasi akal sementara empirisisme didominasi oleh
pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran ini secara ekstrim bahkan
tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta. Superioritas akal
menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama didasarkan
pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga tidak diterima
oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Bukan berarti dogma
yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk
menguji kebenaran dogma Tuhan. Munculah aliran kritisisme sebagai jawaban
dari rasionalisme dan empirisisme untuk menyelamatkan agama.

Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu


menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan
pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme
Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan
manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam
kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman
(aposteriori).

Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di


justifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif.
Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai relaita sosial
dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control seperti yang dipraktekan pada
fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan
pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.

Krisis Sains

Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat


yang lebih tinggi pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam
mencapai tingkat level yang lebih tinggi. Pengamatan alam sudah sampai ke
level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level mikroskopis mementahkan
hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu fisika. Hukum-
hukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku
elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada
bidang fisika pada level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu
mengenai alam secara keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak
pasti, ada ketidakpastian dalam kepastian terutama pada level mikroskopis
dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa ini terjadi pergeseran
paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian. Perubahan
paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokoh-
tokoh baru seperti Einstein dan Heisenberg

 
Objek <!--[if gte vml 1]&gt; &lt;! Paradigma Pos Newtonian
[endif]--><!--[if !vml]--
>Paradigma Newtonian<!--
[endif]-->
Alam Mesin Sistem / jaringan
Fenomena objek Interaksi benda Transformasi objek
Ruang, waktu Datar, tak berbatas Melengkung, tak berbatas
Kekuatan alam Determenistik, realistik Indeterministik, anti-realistik

Werner Heisenberg mengajukan teori ketidakpastian yang menyatakan tidak


mungkin mengukur secara teliti suatu partikel secara stimultan dalam ruang dan
waktu. Teori ini bukan hanya menjungkirbalikan teori fisika klasik yang
dikembangkan oleh Newton, namun juga mengubah cara pandang berbagai
disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap determentstik (dapat
ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini menjadi
landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah
perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner
malah menjadi petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert
Einstein menemukan bom atom dan digunakan oleh manusia untuk
menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia terkejut oleh kemampuan
sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga menghancurkan.
Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan
manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata
kemajuan sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Cendawan atom dan korban Bom atom Hiroshima

Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun
pada perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal.
Sains sangat tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat
mengarahkan perkembangan sains. Pada masa perang dunia II sains memberi
kontribusi besar pada kematian umat manusia lewat penemuan senjata
pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena pengembangan
sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik
modal.
Sains bersifat humanistik yaitu manusia sebagai pusat dari segalanya.
Ternyata pandangan ini malah menghancurkan manusia. Kemajuan sains seiring
dengan kemajuan teknologi. Teknologi sangat menguntungkan manusia karena
bersifat memudahkan. Teknologi membutuhkan sumber daya yang diambil dari
alam dan teknologi juga menghasilkan limbah yang sulit diuraikan aoleh sistem
alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih mengakibatkan keseimbangan
lingkungan terganggu yang menjadikan Bumi rentan terhadap bencana. Limbah
hasil industri diketahui berbahaya bagi manusia, sehingga menimbulkan kanker
yang membunuh jutaan manusia tiap tahunnya.

Sains hanya alat untuki mencapai sesuatu, namun dasar motivasi untuk
mencapai suatu hal adalah hal yang berbeda. Akal budi lebih berperan untuk
menentukan arah tujuan sains tersebut. Perkembangan dari sains seharusnya
diikuti dengan perkembangan akal budi agar tercipta kehidupan manusia yang
lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai