Anda di halaman 1dari 38

MODUL 2

Obstruksi Sistem Respirasi Bagian Bawah

SKENARIO 2 : Nafas Berbunyi

Tn. Didi, laki-laki berusia 41 tahun berobat ke Puskesmas dengan keluhan dadanya sering terasa
berat dan sesak nafas sejak satu tahun belakangan. Dia juga sering bersin-bersin terutama pada
pagi hari. Anamnesis menemukan bahwa sesak nafas sering muncul saat cuaca dingin dan batuk
pagi hari. Terdapat riwayat merokok dengan Indeks Brinkman sedang dan ia mengaku kadang-
kadang masih tetap merokok. Seingat Tn. Didi, orangtuanya juga sering menderita keluhan
sesak nafas dan sempat diopname.

Pemeriksaan fisik paru didapatkan adanya ekspirasi memanjang pada kedua lapangan paru.
Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 16,5 g/dl hematokrit 45,8% trombosit
44.5000/mm3, dan leukosit 9.830/ mm3 dengan hitung jenis basofil 0, eosinofil 1, neutrofil 75,
limfosit 16, monosit 8. Elektrolit kesan dalam batas normal dengan kadar natrium 135 meq/L
kalium, 4.5 meq/L, klorida 100 meq/L, begitupun juga dengan ureum 66,4 mg/dl kreatinin 0,76
mg/dl; SGOT 24 SGPT 18; GDS 77 mmHg; albumin 3,89 g/dl dan globulin 3,62 g/dl. Analisis Gas
Darah menunjukkan pH 7,26 pCO2 77,9 mmHg pO2 110,2 mmHg HCO3 35,4 mmol/L dan
saturasi O2 96.7. HbsAg, Anti HCV, maupun Anti HIV non reaktif. Pemeriksaan BTA sputum
sebanyak tiga kali menunjukkan hasil negatif. Kultur darah pada pasien ini steril. Dokter
memberikan obat bronkodilator kepada Tn. Didi. Dokter menjelaskan bahwa keluhan ini akibat
tersumbatnya saluran pernafasan yang bisa disebabkan oleh berbagai hal. Dokter
menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan Spirometri untuk mengetahui tingkat keparahan
penyakit Tn. Didi. Dokter mengedukasi agar mulai menghentikan kebiasaan merokoknya dan
menghindari pemicu timbulnya sesak nafas tersebut. Apabila terjadi serangan sesak nafas yang
berat, maka ia harus dirujuk ke RS Daerah terdekat untuk tatalaksana lebih lanjut.

Bagaimana Anda menerangkan keluhan dan kondisi?


JUMP 1 : Terminologi
1. Indeks brikmann adalah adalah indeks yang menghitung bahaya rokok berdasarkan
kalkulasi total jumlah terisap setiap hari dikalikan tahun
2. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transminase) adalah enzim yang biasanya
ditemukan pada hati, jantung, otot, hingga otak yang sering dikaitkan dengan fungsi hati
3. Bronkodilator adalah obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma
4. GDS (Gula Darah Sewaktu) adalah hasil pengukuran kadar glukosa dalam sewaktu –
waktu atau kapan saja tanpa melakukan persiapan puasa.

JUMP 2 DAN JUMP 3 : Rumusan Masalah dan Hipotesa


1. Apa saja yang menyebabkan obstruksi nafas bagian bawah?
Jawab
 Menghirup atau menelan benda asing
 Benda kecil yang bersarang di mulut
 Reaksi alergi yang menyebabkan pembengkakan saluran nafas
 Trauma kecelakaan  darah mengisi jalan nafas
 Kuman patogen : bakteri, virus, jamur atau parasit yang tertular dari droplet
penderita yang sakit saluran nafas bagian bawah dan menyentuh benda yang
sudah terkontamnasi penderita

2. Mengapa Tn Didi mengalami keluhan dadanya terasa berat dan sesak nafas?
Jawab

Paparan yang sering oleh zat iritan (rokok, debu polusi, bahan kimia) yang
berkepanjangan iritasi saluran nafas  inflamasi kronis menyebabkan

 Hipertropi kelenjer submukosa san sel goblet menyebabkan hipersekresi mucus 


batuk
 Peningkatan acetilkolin menyebabkan spasme otot polos
 Zat asing yang terkandung dalam iritan bisa menyebabkan silia bekerja extra silia
melemah

Dari sebab di atas  penumpukan mucus  penyempitan saluran nafas (obstruksi ) 


sesak nafas yang lama kelaman akan terasa berat
3. Apakah ada hubungan riwayat merokok dengan keluhan pak didi yang sekarang ?
Jawab
Ada, Perokok aktif memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk gejala respiratorik
abnormalitas fungsi paru yang menyebabkan batuk, hipersekresi mucus dan sumbatan
saluran pernafasan.
Risiko tergantung dengan jumlah rokok yang dihisap rokok perhari, umur dan lama
merokok
Hal ini dikarenakan zat iritan dan zat racun yang terkandung dalam sebatang rokok

4. Apa saja kriteria yang membuat Tn Didi dikategorikan dengan indeks brikman sedang?
Jawab
Indeks brikman sedang 200 -599
Menurut Sitoku Sekitar 11 – 24 batang per hari
Menurut smith 5 – 11 per hari
Menurut Muktadin 11 – 21 batang per hari dalam selang waktu 30 – 60 menit setelah
bangun tidur

5. Apa interpretasi dari ditemukannya ekspirasi dari kedua lapang paru ?


Jawab
Ditemukannya ekspirasi memanjang di kedua lapang paru yaitu mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO yang terjadi pada gagal nafas kronik

6. Mengapa dokter memberikan obat bronkodilator pada Tn Didi?


Jawab
Karena brokodilator ini memiliki tujuan untuk mencegah atau menurunkan gejala yang
dirasakan Tn Didi, dimana obat ini bekerja mengubah tonus otot polos pada saluran
pernafasan dan meningkatkan reflex bronkodilatasi pada aliran ekspirasi pernafasan
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Dimana nantinya setelah diberikan
obat gejala Tn Didi dapat dikurangi.

7. Mengapa dokter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan spirometri?


Jawab
Untuk mendeteksi beberapa gangguan pernafasan. Spirometri merupakan screening
untuk lapang paru dan untuk menentukan kekuatan pada fungsi dada, mendeteksi
berbagai penyakit saluran pernafasan terutama yang disebabkan pencemaran udara dan
asap rokok. Pada pemeriksaannya tidak hanya digunakan untuk diagnosis tetapi juga
untuk menilai beratnya obstruksi, restriksi, dan efek pengobatan. Hal ini dapat dijadikan
sebagai peringatan awal terjadinya gangguan fungsi paru yang mungkin dapat terjadi
sehingga kita dapat menentukan tindakan pencegahan secepatnya.

8. Apa kemungkinan diagnosis untuk tn Didi?


Jawab
ACOS, penyakit saluran nafas kronik yang gejalamnya overlapping antara asma dan
PPOK.
Asma gejalanya dada terasa berat, sesak nafas sejak 1 tahun yang lalu, penderitanya
kambuh pada cuaca dingin. Pada asma juga bisa disebabkan karena kelainan genetik
Pada PPOK ada riwatar merokok dengan indeks brinkman sedang yang memiliki risiko
PPOK

JUMP 4 : Skema

Obstruksi Penatalak Bronkod


sanaan ilator
Sistem
Respirasi Bronkhie
Bagian Bawah Obstruks ktasis
PPOK Alergi i Benda dan
Asing Atelektas
Bron is
Asma
Emfis kitis
Bron
ema Kroni
kial
k

Etiologi, Pathogenesis,
Manifestasi Klinis, Diagnosis,
dan Prognosis
Jump 5 : Learning Objective
1. Obstruksi sistem respirasi bagian bawah
a. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
 Emfisema
 Bronchitis kronik
b. Asma bronchial
c. Obstruksi benda asing
d. Bronkhiektasis dan Atelektasis

2. Penatalaksanaan Obstruksi sistem respirasi bagian bawah - bronkodilator

Jump 7 : shering information


1. Obstruksi sistem respirasi bagian bawah

a. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)

a. Emfisema

Emfisema adalah suatu penyakit obstruktif paru yang bersifat kronis dan
progresif, ditandai dengan adanya kelainan anatomis berupa pelebaran rongga
udara distal pada bronkiolus terminal dan kerusakan parenkim paru.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya emfisema adalah


kebiasaan merokok, riwayat terpapar dengan polusi udara secara kronis, dan
kelainan bawaan atau genetik seperti defisiensi antitripsin alfa-1. Paparan dari
asap rokok dan zat berbahaya dari polutan dalam jangka panjang akan merusak
alveoli.

Patofisiologi emfisema dapat diawali dengan paparan zat yang memicu respon
inflamasi, ataupun defisiensi antitripsin alfa 1.

Paparan Zat Berbahaya


Paparan zat berbahaya atau asap rokok dalam jangka panjang akan memicu
respon inflamasi oleh sel-sel imun inflamatorik seperti sel polimorfonuklear,
eosinofil, makrofag, limfosit CD4+ dan limfosit CD8+.
Etiologi
emfisema paru adalah kerusakan parenkim paru yang berkaitan erat dengan
berbagai macam faktor risiko.

Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru antara
lain riwayat merokok, paparan polutan, dan faktor genetik.

epidemiologi
emfisema secara nasional masih belum tersedia, tetapi dilaporkan bahwa 4 dari
100 orang di Indonesia menderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Global
Emfisema adalah penyakit yang mempengaruhi banyak orang di seluruh dunia.
Menurut hasil laporan dari Global Burden of Disease Study, terdapat sebanyak
251 juta kasus PPOK secara global di seluruh dunia dan diprediksi akan terus
meningkat dikarenakan semakin tingginya angka perokok dan semakin
meningkatnya kadar polutan. Hasil statistik yang dibuat oleh CDC mengatakan
bahwa di Amerika Serikat terdapat 14 juta penderita emfisema dimana jumlah
wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki (21,4 : 19,0 per 1.000 penduduk)

Diagnosis
emfisema dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien umumnya datang dengan sesak nafas dan riwayat
merokok. Pada pemeriksaan penunjang berupa rontgen dada akan tampak
gambaran hiperinflasi paru.

Anamnesis 
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat penyakit pasien. Keluhan yang
biasanya muncul adalah sesak napas, batuk, mengi saat beraktivitas, dan nyeri
dada akut.

prognosis
Terdapat beberapa faktor penentu prognosis dari penderita emfisema paru, salah
satunya volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1), kapasitas difusi dari
karbon monoksida, hasil perhitungan gas darah, indeks massa tubuh (IMT),
kapasitas olahraga, dan keadaan klinis.

Komplikasi
Salah satu komplikasi emfisema adalah pneumonia. Dilaporkan bahwa pasien
dengan emfisema lebih rentan terkena pneumonia, dimana semakin parah
emfisema semakin mudah seseorang menderita pneumonia.

b.Bronchitis kronik
Bronchitis merupakan suatu peradangan pada bronchus yang disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri,maupun parasit. Bronchitis
dibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan fase kronis. Bronchitis akut adalah
serangan bronchitis dengan perjalanan penyakityang singkat dan berat,
disebabkan oleh karena terkena dingin, penghirupan bahan-bahan iritan, atau
oleh infeksi akut, dan ditandai dengan demam, nyeri dada (terutama disaat
batuk), dyspnea, dan batuk.
Bronchitis kronik adalah bentuk peradangan yang lama dan berkesinambungan
akibat serangan berulang bronchitis akut atau penyakit penyakit umum kronis,
dan ditandai dengan batuk, ekspektorasi, dan perubahan sekunder jaringan
paru. Bronchitis Kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronchus dan bermanifestasi
sebagai batuk kronis dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam
setahun sekurang-kurangnya dalam 2 tahun berturut-turut.

Etiologi
Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti rhinovirus,
Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus par influenza, dan
Coxsackie virus. Bronchitis adalah suatu peradangan pada bronchus yang
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun
parasit. Sedangkan pada bronchitis kronik dan batuk berulang adalah sebagai
berikut :
1. spesifik
a. Asma
b. Infeksi kronik saluran napas bagian atas (misalnya sinobronchitis).
c. Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma,
chlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur.
d. Penyakit paru yang telah ada misalnya bronchiectasis.
e. Sindrom aspirasi.
f. Penekanan pada saluran napas
g. Benda asing
h. Kelainan jantung bawaan
i. Kelainan sillia primer
j. Defisiensi imunologis
k. Kekurangan anfa-1-antitripsin
l. Fibrosis kistik
m. Psikis
2. Non spesifik
a. Asap rokok
b. Polusi udara

Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lender dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel globet meningkat jumlahnya, fungsi sillia menurun, dan lebih banyak lendir
yang dihasilkan dan akibatnya bronchioles menjadi menyempit dan tersumbat.
Alveoli yang berdekatan dengan bronchioles dapat menjadi rusak dan
membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar, yang
berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien
kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan
bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi
dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi perubahan paru yang
irreversible, kemungkinan mengakibatkan emphysema dan bronchiectasis.

Manifestasi Klinis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah
tanda dini dari bronchitis kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh
cuaca yang dingin, lembab, dan iritan paru. Pasien biasanya mempunyai
riwayat merokok dan sering mengalami infeksi pernapasan.

Komplikasi
Komplikasi bronchitis dengan kondisi kesehatan yang jelek menurut Behrman
(1999), antara lain :
1. Otitis media akut .
Yaitu keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga tengah dengan tanda dan
gejala infeksi dan dapat disebabkan berbagai patogen termasuk Sterptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mikroorganisme patogen penyebab
bronkhtis menebar dan masuk ke dalam saluran telinga tengah dan
menimbulkan peradangan sehingga terjadi infeksi.
2. Sinusitis maksilaris
Yaitu radang sinus yang ada di sekitar hidung yang disebabkan oleh komplikasi
peradangan jalan nafas bagian atas dibantu oleh adanya faktor predisposisi.
Infeksi pada sinus dapat menyebabkan bronkhospasme, edema dan hipersekresi
sehingga mengakibatkan bronchitis.
3. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bermacam macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing. Jika bronchitis tidak ditangani
dengan baik secara tuntas atau jika daya tahan tubuh jelek, maka proses
peradangan akan terus berlanjut disebut bronchopneumoniae. Gejala yang
muncul umumnya berupa nafas yang memburu atau cepat dan sesak nafas
karena paru-paru mengalami peradangan. Pneumonia berat ditandai adanya
batuk atau kesukaran bernafas, sesak nafas ataupun penarik dinding dada
sebelah bawah ke dalam.
b. Asma bronchial

Epidemiologi Dan Etiologi Asma


Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak- anak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang
lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.4,5
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma alergi
sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti
rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit
terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula
disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap
tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.5
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus tersering dari
eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat merusak struktur
daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan
integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini
dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang
lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu
rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki daerah epitel dan
mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan.
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga merupakan
pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25% sampai 30%
dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa merokok
ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit
dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan
berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu

penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki
kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang
mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan pada tabel

Patofisiologi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses yang
sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari bronkial,
inflamasi dan remodeling saluran pernafasan

Penyempitan Saluran Napas


Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 3
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator
bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan
struktural atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses
penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan

pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan
tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama
dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan
jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur
yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling
ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan
sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan
peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.

Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah
peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi
otot polos.

Faktor Pencetus Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor)
dan faktor lingkungan.
a. Faktor host
 Genetik
 Obesitas
 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan
 Rangsangan alergen.
 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
 Infeksi.
 Merokok
 Obat.
 Penyebab lain atau faktor lainnya.

Gambaran Klinis Asma


Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya
dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala
tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau
perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara
dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah,
merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan
penderita, atau pekerjaan.4

Diagnosis Asma2,3
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak. - gejala
timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan
terhadap asma adalah :
1 Di dengarkan suara mengi (wheezing)sering pada anak-anak
Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis
sama, apabila terdapat :
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang

2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam

3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu


4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi

5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :


a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat

6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma


Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita
dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran
faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti kelainan
faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan
nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi
pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE
spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya
membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus.
c. Obstruksi benda asing
Aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik merupakan kejadian yang cukup
sering terjadi pada anak. Kemungkinan yang dapat terjadi akibat aspirasi benda asing
mulai dari tanpa gejala sampai timbulnya keadaan darurat yang dapat mengancam jiwa.
Pada umumnya sebagian besar benda asing tersebut dapat dikeluarkan secara refleks
dengan batuk atau muntah, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat masuk ke dalam
saluran respiratorik.

Epidemiologi
Aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik dapat terjadi pada semua usia, tetapi
yang paling sering pada anak kelompok usia di bawah 3 tahun (80%). Kejadian ini lebih
sering dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan (3:1) dengan sebab yang
tidak jelas.

Etiologi
Benda asing yang dapat masuk ke dalam saluran respiratorik sangat beragam.
Penggolongan dapat dilakukan berdasarkan asal, jenis, dan sifatnya. Asal Menurut
asalnya, benda asing terdiri dari benda asing eksogen, yaitu benda asing yang berasal
dari luar tubuh, dan benda asing endogen, yaitu benda asing yang berasal dari dalam
tubuh sendiri.
Jenis Berdasarkan jenisnya, benda asing dapat dibagi menjadi benda asing organik dan
benda asing anorganik.
Sifat Benda asing yang dapat masuk ke dalam saluran respiratorik, baik organik maupun
anorganik, kadang-kadang memiliki sifat khusus tertentu. Benda asing organik, terutama
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, dapat
mengembang dengan cepat di dalam saluran respiratorik karena bersifat higroskopis.
Beberapa jenis kacang mengandung asam lemak yang dapat memicu timbulnya reaksi
radang sehingga mudah terjadi edema. Oleh karena itu dalam 6−12 jam benda-benda ini
dapat menimbulkan sumbatan total. Benda asing anorganik, lebih sering terjadi pada
anak yang lebih besar dan orang dewasa, tidak bersifat higroskopis dan tidak
mengembang, sehingga aspirasi benda tersebut umumnya tidak menimbulkan gejala
atau hanya menimbulkan gejala yang ringan. Kadang-kadang benda-benda logam dapat
mempunyai sifat magnetik atau menimbulkan rasa metal yang khas.

Faktor risiko
Banyak faktor yang dapat memudahkan terjadinya aspirasi benda asing pada anak,
antara lain adalah faktor usia, anatomis, pertahanan saluran respiratorik, sosial
ekonomi, dan lain-lain.
Faktor usia
Anak-anak terutama usia 2−4 tahun, umumnya memiliki kegemaran memasukkan
benda-benda kecil yang ditemukannya, atau yang digunakannya saat bermain, ke dalam
hidung, telinga, atau mulut. Benda-benda ini sering secara tidak sengaja terhirup ke
dalam saluran respiratorik ketika sedang menangis, bermain, tertawa, berbicara, dan
berteriak. Hal yang serupa dapat juga terjadi pada makanan atau minuman yang
terdapat di dalam mulut.

Faktor anatomis
Faktor anatomis yang memudahkan masuknya benda asing ke dalam saluran
respiratorik adalah sebagai berikut: 1. Gigi geraham yang belum terbentuk. Keadaan
tersebut menyebabkan makanan harus dipotong dengan gigi seri, sehingga makanan
tetap berukuran besar dan mudah tergelincir ke dalam saluran respiratorik. 2. Gusi dan
penyangga gigi yang lemah. Gusi bayi yang lunak banyak mengandung pembuluh darah
serta masih rapuh dan licin, sehingga menyebabkan makanan mudah tergelincir. 3.
Faktor lain. Masih banyak faktor anatomis lain yang juga berpengaruh terhadap
frekuensi aspirasi benda asing pada anak. Beberapa faktor tersebut antara lain: Laring
pada bayi terletak lebih ke depan dan lebih ke atas dibandingkan orang dewasa, ukuran
laring dan trakea bayi lebih kecil (5 mm) dibandingkan orang dewasa (10 mm), epiglotis
bayi lebih pendek dan berbentuk huruf ‘U’, sedangkan pada orang dewasa datar, bentuk
laring pada anak seperti corong, sedangkan pada orang dewasa seperti silinder, dan
adanya penyempitan trakea pada bayi dan anak di daerah subglotis (cincin krikoid).

Faktor pertahanan saluran respiratorik


Gangguan mekanisme pertahanan saluran respiratorik seperti gangguan refleks batuk,
refleks spasme laring, pembersihan/eskalasi dan klirens mukosiliar, pertahanan imunitas
selular dan humoral, akan memudahkan benda asing masuk ke dalam saluran
respiratorik dan menimbulkan berbagai kelainan fisiologis maupun patologis.

Faktor sosial ekonomi


Faktor sosial ekonomi dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya kecerobohan
orangtua dan keluarga dalam mengawasi atau mengasuh anak dapat memudahkan
terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik.
Faktor lain
Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah jenis kelamin, pekerjaan orangtua, aktivitas
anak, postur tubuh, dan faktor psikis. Peranan orangtua dan keluarga amat penting.
Pengawasan yang kurang dapat mengakibatkan anak terlambat dibawa ke dokter.
Gejala klinis
Gejala klinis yang timbul sangat bergantung pada sifat benda asing, lokasi, ukuran, dan
derajat sumbatan yang ditimbulkan. Benda asing yang berukuran besar dapat menutup
total saluran respiratorik bagian atas yang dapat mengancam jiwa. Sedangkan benda
asing yang berukuran lebih kecil, berada di dalam cabang utama atau saluran bronkus
lobaris dan akan menimbulkan gejala yang lebih lama dan lebih ringan. Gejala klinis
yang timbul dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan urutan atau perjalanan gejala,
dan berdasarkan bentuk gejala yang dapat ditimbulkan.
Berdasarkan urutan atau perjalanan gejala Berdasarkan perjalanan atau urutannya,
gejala klinis yang timbul dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu gejala awal, periode
laten, dan gejala susulan atau lanjutan.
Gejala awal Gejala awal yang timbul dapat berupa tersedak, serangan batuk keras dan
tiba-tiba, sesak napas, rasa tidak enak di dada, mata berair, rasa perih di tenggorokan
dan di kerongkongan. Gejala awal seringkali ringan dan berlangsung singkat, sehingga
gejala ini sering tidak diperhatikan.
Periode laten atau tanpa gejala Setelah gejala awal dilalui diikuti periode bebas gejala
yang disebut masa laten. Masa laten ini mulai beberapa jam sampai beberapa tahun.
Pada periode ini dapat dijumpai gejala sakit menelan karena terjadinya pembengkakan
di daerah laring.
Gejala susulan atau lanjutan
Gejala susulan tidak spesifik, sebagai akibat perubahan fisiologis atau patologis yang
ditimbulkan benda asing. Gejala susulan ini sangat bergantung pada lokasi dan bentuk
kelainan yang ditimbulkannya.  Benda asing di dalam hidung. Gejala yang ditimbulkan
oleh benda asing di dalam hidung umumnya unilateral, seperti hidung tersumbat,
beringus kental, dan berbau.  Benda asing di dalam nasofaring. Benda asing yang
masuk ke dalam nasofaring akan menimbulkan gejala seperti yang disebutkan pada
gejala awal di atas. Lintah yang dapat masuk ke dalam hidung atau nasofaring dapat
menimbulkan perdarahan berulang dari hidung.  Benda asing di dalam laring. Laring
merupakan daerah yang sempit dan peka, sehingga mudah mengalami peradangan,
edema, spasme, dan lain-lain. Oleh karena itu, benda asing yang masuk ke dalam laring
dapat menimbulkan gejala yang beragam, seperti sesak napas, stridor, mengi, nyeri
pada saat menelan, berbicara, atau bernapas dalam, serak atau parau hingga afoni,
batuk serak disertai stridor, hemoptisis, retraksi interkostal, epigastrial, dan
supraklavikular, serta detak jantung yang meningkat. Bila terjadi sumbatan total, dapat
timbul sianosis dan kematian.
 Benda asing di dalam trakea. Benda asing di dalam trakea akan dikeluarkan melalui
batuk dan eskalasi mukosiliar. Apabila gagal benda asing tersebut akan menetap di
dalam trakea atau masuk ke dalam bronkus. Di dalam trakea benda asing dapat
menimbulkan berbagai akibat yang dapat berubah-ubah karena masih dapat berpindah
tempat(mobile). Akibat yang ditimbulkan dapat berupa obstruksi, reaksi peradangan,
atau konstriksi. Gejala patognomonik terdiri dari batuk, sesak, dan suara mengi yang
terdengar sangat mirip dengan asma, sehingga disebut sebagai asmatoid. Apabila
benda asing masih dapat berpindah tempat (mobile) pada saat batuk atau ekspirasi
dengan pemeriksaan auskultasi di daerah tiroid, dapat didengar suara hentakan benda
asing ke pita suara atau daerah subglotis. Tanda ini disebut audible slap. Dengan palpasi
tanda ini kadang-kadang dapat dirasakan dan disebut sebagai palpatory thud.  Benda
asing di dalam bronkus. Bentuk ini merupakan bentuk tersering, dan dapat mencapai
83−90% kasus. Gejala yang terjadi merupakan akibat langsung dari benda asing yang
teraspirasi, seperti obstruksi atau konstriksi (sesak napas, suara napas yang melemah
atau berkurang, mengi yang kadangkadang bilateral dan sulit sembuh), peradangan
(bronkitis, bronkiektasis, pneumonia lobaris yang sering berulang, abses, empiema),
atau merupakan akibat yang tidak langsung seperti atelektasis dan emfisema. Gejala
mengi dapat timbul segera setelah aspirasi terjadi, atau dapat berjalan kronis. Apabila
obstruksi terjadi pada kedua bronkus utama, dapat terjadi sesak yang berat hingga
anoksia. Kadang-kadang dapat terjadi hemoptisis setelah beberapa bulan atau tahun.
Apabila benda asing tersebut berasal dari tumbuhan disebut sebagai bronkitis arakiditis
atau vegetalis, dengan gejala batuk, demam septik, dan sesak.

d. Bronkhiektasis dan Atelektasis

Bronkiektasis adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi bronkus secara
permanen, disertai proses inflamasi pada dinding bronkus dan parenkim paru
sekitarnya. Manifestasi klinis primer bronkiektasis adalah terjadinya infeksi yang
berulang, kronis, atau refrakter, dengan gejala sisa yang terjadi adalah batuk darah,
obstruksi saluran napas kronis, dan gangguan bernapas secara progresif.

Klasifikasi
Secara morfologis bronkiektasis dibagi 3 tipe (dapat dilihat pada gambar 1): 2,3 (1)
Bronkiektasis silindris atau tubular, ditandai dengan dilatasi saluran napas. (2)
Bronkiektasis varikosa (dinamai demikian karena gambarannya mirip dengan vena
varikosa), ditandai dengan area konstriktif fokal disertai dengan dilatasi saluran napas
sebagai akibat dari defek pada dinding bronkial. (3) Bronkiektasis kistik atau sakular,
ditandai dengan dilatasi progresif saluran napas yang berakhir pada kista ukuran besar,
sakula, atau gambaran grape-like clusters (gambaran ini adalah gambaran bronkiektasis
yang paling berat)
Etiologi
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab yang paling umum dari bronkiektasis
adalah infeksi2,3, namun penelitian yang dilakukan oleh Pasteur dkk di Inggris pada
tahun 2000 mendapatkan data dari 150 kasus bronkiektasis, 53% kasus tidak dapat
diidentifikasi kausa spesifiknya.4 Pada Tabel 1 menunjukkan beberapa kondisi yang
berhubungan dengan bronkiektasis.

Infeksi
Mekanisme yang mungkin mendasari bronkiektasis pascainfeksi adalah adanya infeksi
pada saat awal kehidupan yang menyebabkan kerusakan struktural pada saluran napas
yang masih dalam tahan pengembangan, sehingga mengakibatkan saluran napas rentan
terhadap infeksi berulang, dan dengan berjalannya waktu, infeksi persisten tersebut
mengakibatkan bronkiektasis.3,6 Beberapa infeksi saluran napas yang dapat
menyebabkan bronkiektasis termasuk: pertusis, bakteri gram negatif (Pseudomonas
aeruginosa,Haemophilus influenzae), virus (HIV, Paramyxovirus, adenovirus, dan
influenza), Mycobacterium tuberculosis, dan atypical mycobacteria.

Patogenesis
Ada beberapa jalur yang menerangkan terjadinya bronkiektasis. Secara luas,
bronkiektasis dapat terjadi sehubungan dengan kejadian atau episode insidental yang
tidak berhubungan dengan kondisi dasar intrinsik pertahanan tubuh penderita, dapat
pula berkaitan dengan kondisi dasar konstitusional genetik penderita. Perbedaan dua
mekanisme diatas merupakan elemen penting yang menentukan prognosis dan
penatalaksanaan penderita. Hal dasar yang perlu dipahami dalam patogenesis
bronkiektasis adalah apakah infeksi yang bersangkutan adalah suatu penyebab
bronkiektasis atau infeksi pada penderita tersebut berhubungan dengan kondisi
predisposisi yang mendasar.
Gambaran Klinis Bronkiektasis
Gambaran klinis bronkiektasis sangat bervariasi, beberapa pasien tidak menunjukkan
gejala sama sekali atau gejala hanya dirasakan saat eksaserbasi, dan beberapa pasien
mengalami gejala setiap hari.2 Bronkiektasis harus dicurigai pada setiap pasien dengan
batuk kronis dengan produksi sputum atau infeksi saluran napas berulang. Hemoptisis,
nyeri dada, penurunan berat badan, bronkospasme, sesak napas dan penurunan
kemampuan fisik juga didapatkan pada pasien bronkiektasis. Sputum dapat bervariasi
mulai dari mukoid, mukopurulen, kental, dan liat. Gambaran sputum 3 lapis yang
meliputi lapisan atas yang berbusa, lapusan tengah mukus, dan lapisan bawah purulen
merupakan gambaran patognomonik, namun tidak selalu dapat dijumpai.2,3 Batuk
dengan bercak darah dapat disebabkan erosi saluran napas terkait infeksi akut. Nyeri
dada pleuritik ditemukan pada beberapa pasien
dan menunjukkan proses peregangan saluran napas perifer atau pneumonitis distal
yang berdekatan dengan pleura viseral.2,4,6 Dimasa lampau, jari tabuh merupakan
tanda klinis yang sering dihubungkan dengan bronkiektasis, namun penelitian
menunjukkan prevalensnya hanya 3%. Sesak napas dan wheezing temukan pada 75%
pasien sehingga sering rancu dengan gejala klinis PPOK.

Atelektasis

adalah penyakit paru-paru di manaalveolus tidak terisi oleh udara. Atelektasis


merupakan salah satu penyebab paru-paru kolaps atau kempis dan tidak bisa
mengembang. 

Alveolus merupakan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Agar
pertukaran tersebut dapat berjalan dengan baik, alveolus harus berisi udara. Pada
atelektasis, alveolus tidak terisi oleh udara. Akibatnya, tidak terjadi pertukaran oksigen
dan karbon dioksida.

Penyebab Atelektasis

Atelektasis sering kali disebabkan oleh adanya sumbatan berupa tumor, benda
asing, lendir pada saluran pernapasan. Sumbatan atau obstruksi tersebut dapat
terjadi di trakea, bronkus, atau bronkiolus. Selain akibat tersumbatnya saluran
pernapasan, atelektasis juga dapat disebabkan oleh berbagai kondisi berikut:

 Pneumothorax, yaitu terkumpulnya udara di rongga pleura


 Efusi pleura, yaitu penumpukan cairan di lapisan pleura
 Luka pada jaringan paru, baik akibat cedera, komplikasi penyakit paru, atau efek
samping operasi paru
 Cedera pada dada yang menimbulkan nyeri hebat saat bernapas
 Infeksi paru atau pneumonia
 Tumor dada yang menekan paru-paru atau kanker paru

Atelektasis juga dapat terjadi akibat kurangnya surfaktan pada dinding alveolus. Surfaktan
merupakan zat yang berfungsi untuk menjaga alveolus tetap mengembang. Kurangnya zat
surfaktan akan menyebabkan alveolus mengempis dan tidak mengembang kembali. Kurangnya
surfaktan sering terjadi pada bayi yang lahir prematur.

Selain beberapa penyebab di atas, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami atelektasis, antara lain:

 Berusia lanjut
 Baru menjalani operasi di bagian dada atau perut
 Baru menjalani operasi dengan menggunakan bius total
 Mengonsumsi obat tertentu yang mempengaruhi sistem pernapasan
 Memiliki kebiasaan merokok
 Menderita penyakit saluran pernapasan, seperti penyakit paru obstruktif kronis,
asma, bronkiektasis, atau cystic fibrosis
 Mengalami cedera yang menyebabkan rasa nyeri dan kesulitan menarik napas dalam,
termasuk patah tulang rusuk

Gejala Atelektasis

Pada awalnya, atelektasis tidak menimbulkan gejala apa pun. Atelektasis baru akan
menimbulkan gejala jika bagian paru-paru yang rusak sudah cukup luas dan tubuh mulai
mengalami kekurangan oksigen. Gejala atelektasis yang akan timbul adalah:

 Kesulitan bernapas
 Nyeri dada, terutama ketika menarik napas dan batuk
 Napas cepat
 Denyut jantung meningkat (takikardia)
 Kebiruan pada kulit, bibir, ujung jari (sianosis)
 Tekanan darah rendah (hipotensi)

Jika bagian paru yang rusak semakin luas, atelektasis juga bisa memicu terjadinya syok.

Diagnosis Atelektasis

Dokter akan menanyakan keluhan dan gejala yang dirasakan pasien. Setelah itu, dokter akan
melakukan pemeriksaan thorax atau dada. Untuk memastikan diagnosis, dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang berikut:

 Pemindaian, untuk mengetahui kondisi paru-paru. Pemindaian bisa dilakukan


dengan Rontgenatau CT scan dada
 Bronkoskopi, untuk melihat kondisi paru-paru, mengambil sampel jaringan, atau
mengatasi sumbatan pada saluran napas
 Pemeriksaan jaringan (biopsi), untuk mendeteksi ketidaknormalan pada jaringan paru,
termasuk untuk mendeteksi tumor, kanker, atau infeksi

2. Penatalaksanaan Obstruksi sistem respirasi bagian bawah –


bronkodilator
a. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat dari
PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk berhenti merokok. Konseling
dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok, konseling selama 3
menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga 5-10%. Terapi penggantian
nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau lozenge)
dan juga obat dengan varenicline, bupropion atau nortriptyline dengan baik meningkatkan
penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada placebo.
Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan membuat program
dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan berulang. Aktivitas fisik sangat
berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus didorong untuk tetap aktif.
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan mengeleminasi atau
menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi polusi indoor berupa
pembakaran bahan bakar biomass dan pemanasan atau memasak diruangan yang
ventilasinya buruk, sarankan pasien untuk memperhatikan pengumuman publik tentang
tingkat polusi udara. Semua pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas fisik
dan disarankan untuk selalu aktif.
Terapi Farmakologis untuk PPOK yang stabil
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan eksaserbasi
dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap setiap
pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status
kesehatan secara umum. Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK
stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Bronkodilator adalah obat pilihan
pertama untuk menangani gejala PPOK, terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator
diresepkan sebagai pencegahan/ mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK.
Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif dalam menangani gejala daripada
bronkodilator kerja cepat. Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun
saat diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada
PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja
sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini
dipakai sebagai ganti agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi
atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume
paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia
eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal
paru. Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah indacaterol.
Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1 < 60% pengobatan reguler
dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan
kualtias hidup dan menurunkan frekuensi eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan
dengan peningkatan pneumonia. Penghentian tibatiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi
bisa menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terpai monoterm jangka panjang
dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan. Kortikosteroid inhalasi
dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama lebih efektif daripada salah satu antara
kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi
eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan. 1,9,10 Phosphodiesterase-4
inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis,
phosphodiesterase-4 inhibitor roflumilast ini mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di
terapi dengan kortikosteroid oral.

Pengobatan Farmakologis yang lain

Vaksin Influenza bisa mengurangi penyakit serius dan kematian pada PPOK, virus inaktif
pada vaksin di rekomendasikan dan sebaiknya di berikan sekali setahun. Vaksin
pneumococcal polusaccharide direkomendasikan untuk pasien diatas 65 tahun. Penggunaan
antibiotik tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan eksaserbasi infeksius dan
infeksi bakteri lainnya. 6,9 Pengobatan lain Pasien dari segala tingkat keparahan akan
mendapatkan keuntungan dari kegiatan rehabilitasi. Peningkatan kondisi pasien bisa dilihat
setelah melakukan program rehabilitasi pulmonari. Lama waktu minimum yang efektif
untuk rehabilitasi adalah 6 minggu, semakin lama program semakin bagus buat pasien.

Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang
oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada
PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus
selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter. Terapi
pembedahan pada PPOK memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan dari LVRS (Lung
Ventilation Reduction Surgery) dari pada terapi medis lainnya adalah lebih signifikan
hasilnya pada pasien dengan empidema pada lobus bawah dan pada pasien dengan
kapasitas aktifitas fisik rendah karena pengobatan. Pada beberapa pasien dengan PPOK
sangat parah, transplatasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup yang baik.

Manajemen Eksaserbasi

Eksaserbasi dari PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut dengan karakteristik perburukan
gejala respirasi yang biasanya lebih parah dari gejala normal dan biasanya akan merubah
pengobatan. Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu dinilai yaitu
pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk mengeleminasi diagnosis lain, dan
pada elektrokardiograpi bisa membantu diagnosis masalah jantung pada eksaserbasi. Tes
spirometrik tidak direkomendasikan selama eksaserbasi karena sulit dilakukan dan
pengukurannya bisa tidak akurat. Manajemen eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen
dengan target saturasi 88- 92%. Beta2-agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik
kerja cepat lebih dipilih untuk pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan fungsi paru FEV1 dan menurunkan resiko kekambuhan awal, kegagalan terapi
dan lama dirumah sakit. Dosis sebesar 30-40 mg prednisolone setiap hari selama 10-14 hari
direkomendasikan. Pemberian antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala
jantung: peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan purulence dari
sputum, peningkatan purulence dari sputum dan gejala kardinal lain, dan membutuhkan
ventilasi mekanikal.1,6 Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan
keseimbangan cairan dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik, antikoagulan,
pengobatan komorbiditas, dan aspek nutrisional harus diperhatikan.

- Emfisema

Penatalaksanaan emfisema dapat menggunakan terapi farmakologi, non farmakologi, dan

operatif jika diperlukan.

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi emfisema dapat menggunakan bronkodilator, kortikosteroid, dan

antibiotik.

Bronkodilator

Bronkodilator berfungsi untuk melebarkan bronkus dan bronkiolus. Bronkodilator jenis

inhalasi lebih diutamakan. Berikut ini adalah macam-macam bronkodilator :

 Golongan antikolinergik : Ipratropium bromide

 Golongan agonis beta-2 : Fenoterol, Salbutamol, Terbutalin, Prokaterol, Formoterol

 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 : Salbutamol + Ipratropium bromide

 Golongan xantin : Aminofilin, Teofilin, Efedrin HCl.

Kortikosteroid

Kortikosteroid berfungsi untuk menekan proses inflamasi yang terjadi di dalam paru-paru

dan digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut. Kortikosteroid dapat diberikan dalam

bentuk oral, injeksi intravena, ataupun inhalasi. Contoh kortikosteroid yang dapat
digunakan peroral adalah golongan metilprednisolon atau prednison, sedangkan untuk

sediaan inhalasi dapat digunakan budesonide dan flutikason.

Antibiotika

Antibiotik pada pasien dengan emfisema hanya diberikan apabila terdapat infeksi. Antibiotik

lini pertama adalah amoxicillin atau makrolida. Sedangkan antibiotik lini kedua adalah

amoxicilin klavulanat, sefalosporin, dan kuinolon.

Suportif

Pemberian terapi farmakologis lainya yang dapat dipertimbangkan untuk pasien emfisema

adalah mukolitik, antitusif, dan antioksidan.

Terapi Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat diberikan adalah oksigenasi dan terapi

nutrisi. Pada pasien yang merokok, harus dilakukan terapi untuk berhenti merokok.

Terapi Oksigen

Fungsi dari pemberian oksigen adalah untuk mengurangi sesak, mengurangi hipertensi

pulmonal, dan mengurangi vasokonstriksi. Oksigen umumnya diberikan pada penderita

emfisema dengan saturasi oksigen <90%. Selain digunakan dalam kondisi akut, oksigen juga

dapat dijadikan terapi jangka panjang dengan protokol pemberian selama 15 jam per hari

pada pasien dengan kadar PaO2 <55 mmHg atau saturasi oksigen <88%. Target pemberian

oksigen adalah hingga saturasi >90%. Namun, harus berhati-hati agar tidak menekan respon

hipoksia karena dapat menyebabkan supresi respiratorik, menyebabkan asidosis

respiratorik, hingga respiratory arrest. Oksigen dapat diberikan menggunakan nasal kanul,

sungkup venturi, sungkup rebreathing, ataupun non rebreathing. 

Nutrisi
Pasien dengan emfisema dapat juga mengalami malnutrisi karena peningkatan kebutuhan

energi (hipermetabolisme). Hal ini disebabkan oleh peningkatan kerja otot pernapasan

karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia. Asupan yang disarankan untuk pasien emfisema

adalah yang mengandung komposisi nutrisi seimbang, dapat berupa asupan tinggi lemak

dan rendah karbohidrat.

Rehabilitasi

Umumnya dilakukan dengan bantuan fisioterapis. Rehabilitasi dilakukan untuk memperbaiki

efisiensi dan kapasitas sistem transpor oksigen. Rehabilitasi yang dilakukan dapat berupa

latihan fisik dan latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Selain itu, pada

pasien yang merokok, diperlukan edukasi dan program khusus agar pasien dapat berhenti

merokok.

Pembedahan

Terapi melalui pembedahan pada penderita emfisema jarang menjadi pilihan utama. Tujuan

dari tindakan pembedahan adalah untuk mengurangi gejala dan mengembalikan fungsi

paru. Contoh terapi pembedahan yang dapat dilakukan adalah bulektomi, bedah reduksi

volume paru (BRVP), endobronchial valve placement menggunakan bronkoskopi, dan

transplantasi paru (dilakukan apabila VEP1 <20%).

- Bronchitis kronik
Objektif utama pengobatan adalah untuk menjaga agar bronchioles terbuka dan
berfungsi, untuk memudahkan pembuangan sekresi bronchial, untuk mencegah infeksi, dan
untuk mencegah kecacatan. Perubahan dalam pola sputum (sifat, warna, jumlah, ketebalan)
dan dalam pola batuk adalah tanda yang penting untuk dicatat. Infeksi bakteri kambuhan
diobati dengan terapi antibiotic berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas.
Untuk membantu membuang sekresi bronchial, diresepkan bronchodilator untuk
menghilangkan bronchospasme dan mengurangi obstruksi jalan napas sehinggga lebih
banyak oksigen didistribusikan ke seluruh bagian paru, dan ventilasi alveolar diperbaiki.
Postural drainage dan perkusi dada setelah pengobatan biasanya sangat membantu,
terutama bila terdapat bronchiectasis. Cairan (yang diberikan per oral atau parenteral jika
bronchospasme berat) adalah bagian penting dari terapi, karena hidrasi yang baik
membantu untuk mengencerkan sekresi sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan dengan
membatukannya. Terapi kortikosteroid mungkin digunakan ketika pasien tidak
menunjukkan keberhasilan terhadap pengukuran yang lebih konservatif. Pasien harus
menghentikan merokok karena menyebabkan bronchoconstrictor, melumpuhkan sillia,
yang penting dalam membuang partikel yang mengiritasi, dan menginaktivasi surfactants,
yang memainkan peran penting dalam memudahkan pengembangan paru-paru. Perokok
juga lebih rentan terhadap infeksi bronchial.

b. Asma bronchial
Tatalaksana Serangan Asma Akut (Eksaserbasi Akut)
Pasien asma bronkial sering datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di malam hari karena
mengalami serangan asma eksaserbasi akut. Beberapa pemicu yang sering didapatkan
adalah stres, riwayat terpapar alergen dan paparan udara dingin.

Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut:

1. Oksigen (target saturasi oksigen 95%)


2. Menggunakan agonis β2 inhalasi kerja cepat dengan dosis adekuat (pemberian tiap 20
meniit selama satu jam pertama, selanjutnya setiap jam)
3. Dapat juga menggunakan komninasi ipratropium bromida dengan agonis β2 inhalasi
kerja cepat.
4. Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5- 1 mg prednisolon /kg atau ekivalen dalam
periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika agonis β2 inhalasi
tidak tersedia.
6. Dapat menggunakan 2g magnesium sulfat IV pada pasien dengan eksaserbasi berat
yang tidak respon dengan bronkodilator dan kortikosteroid sistemik.
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika respon baik dan tetap baik 60 menit sesudah
pemberian agonis β2 terakhir, tidak ada distres pernapasan, APE > 70%, saturasi oksigen
>90%, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5hari): inhalasi agonis β2
diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotika
diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik atau pasien termasuk golongan risiko
tinggi, gejala dan tanda tetap ada, APE<60% dan tidak ada perbaikan saturasi oksigen,
pasien harus dirawat. Bila setelah observasi 1-2jam tidak ada perbaikan atau pasien
termasuk golongan risiko tinggi, gejala bertambah berat, APE < 30%, PCO2>45mmHg,
PO2<60mmHg, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif.

TATALAKSANA ASMA BRONKIALE


Tatalaksana Non-farmakologis
Tatalaksana non-farmakologis terutama dilakukan untuk mencegah terjadi serangan
berulang. Beberapa tatalaksana non-farmakologis yang dianjurkan adalah, menghindari
paparan terhadap alergen dan penggunaan obat yang menjadi pemicu asma, penurunan
berat badan pada pasien yang obesitas.

Tatalaksana Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol:

1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan


Menggunakan agonis-β2 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik
inhalansi, agonis-β2 oral kerja singkat dan teofillin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid inhalasi
dosis rendah (budesonid 200-400 µg atau ekivalennya). Alternatif obat pengendali
adalah leukotriene modified teofilin lepas-lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis-β2 inhalasi kerja-panjang (LABA).
Alternatif pengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan leukotriene
modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan teofilin lepas-
lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghiang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi (budesonide 800-1600 µg atau ekivalennya)
dengan LABA. Alternatif pengendali adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis
sedang/tinggi dengan leukotriene modifier atau kombinasi korticosteroid inhalasi dosis
sedang/tinggi dengan teofilin lepas-lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah obat pengendali ditambah kortikosteroid oral/anti
IgE
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti Ig-E.
Tatalaksana Asma pada Ibu Hamil
Asma pada ibu hamil adalah kegawatdaruratan di IGD yang tidak jarang didapatkan. Sering
kali muncul kekhawatiran di benak dokter IGD untuk memberikan terapi asma pada ibu
hamil. Kondisi hamil menjadi alasan utama kekhawatiran. Pada pasien asma pada ibu hamil,
keluhan yang umum adalah sesak napas. Pada pasien sesak napas dalam kehamilan, kamu
harus pastikan keluhan napas disebabkan oleh jantung, paru atau penyebab lain. Jika di
fasilitas kesehatan tempatmu praktek punya EKG, jangan ragu untuk melakukan
pemeriksaan EKG. Tujuannya untuk menyaring kemungkinan kelainan jantung yang
mendasari. Pada pasien asma, biasanya kamu akan temukan gambaran sinus takikardia.
Jangan khawatir, takikardi disini disebabkan oleh keluhan sesaknya. Setelah itu, cek tensi.
Jika ditemukan hipertensi, pettimbangkan penyebab hipertensi dalam kehamilan. Jika tidak
ditemukan kelainan tekanan darah, kemungkinan penyebab sesak murni dari paru. Pada
pasien asma seharusnya tensi normal. Jika kamu mendapatkan asma pada kehamilan, terapi
pertama yang dapat kamu berikan adalah oksigen plus nebul ventolin. Kurang disarankan
hanya memberikan nebul PZ saja. Mengingat tidak ada kontraindikasi pemberian ventolin
pada ibu hamil. Hipoksia pada ibu hamil justru dapat menyebabkan hipoksia yang tidak baik
untuk janin. Asma pada ibu hamil dapat kamu tatalaksana sesuai protokol asma seperti
pasien asma pada umumnya. Untuk terapi intravena banyak sejawat yang memilih
terbutalin 1/2 ampul diberikan subkutan.

c. Obstruksi benda asing


Manajemen pada fase akut biasanya timbul sebelum anak datang ke Rumah Sakit. Sebagian
besar anak akan batuk dengan hebat sebagai refleks untuk mengeluarkan benda asing
tersebut. Selama anak masih dapat batuk, berbicara dan menangis, tidak dibutuhkan
tindakan secepatnya. Tidak diperbolehkan melakukan tindakan memasukkan jari tangan ke
daerah orofaringeal pada anak kecuali benda asing yang masuk tersebut terlihat di daerah
posterior faring. Pada anak kurang dari 1 tahun, tindakan chest thrush dan back slap dengan
posisi tengkurap adalah tindakan yang dianjurkan untuk mengatasi benda asing tersebut.
Untuk anak lebih dari 1 tahun, abdominal thrush merupakan tindakan yang
direkomendasikan. Tindakan ini ditujukan untuk memberikan tekanan pada diafragma
sehingga tekanan intratorakal meningkat dan pada akhirnya terjadi peningkatan tekanan
intratrakeal yang dapat mengeluarkan benda asing tersebut. Sebelum ditemukannya
bronkoskopi pada awal 1900, kematian akibat aspirasi benda asing dapat mencapai angka
50%. Saat ini, angka tersebut jauh menurun hingga kurang dari 1%. Perkembangan terhadap
teknik operasi, instrumentasi dan anestesia modern, menyebabkan bronkoskopi dapat
bermanfaat pada lebih dari 95% pasien dengan komplikasi kurang dari 1%. Bronkoskopi
yang digunakan merupakan bronkoskopi tipe rigid yang dilakukan di meja operasi dengan
anak dibawah anastesi umum. Sebaiknya tidak menggunakan ventilasi tekanan positif
karena dapat memperdalam masuknya benda asing. Bronkoskopi yang lebih fleksibel tidak
memiliki peran dalam tatalaksana. Bronkoskopi tipe ini berguna untuk tujuan diagnostik.
Pengobatan konservatif seperti antibiotik dan bronkodilator dapat diberikan menyertai
tindakan diatas. Sebagian besar anak sudah diperbolehkan pulang dalam waktu 24 jam
setelah tindakan. Beberapa benda asing yang masuk ke saluran napas tidak dapat
dikeluarkan dengan tindakan bronkoskopi. Untuk kasus tersebut diperlukan tindakan
torakokotomi terbuka. Terapi inhalasi dan drainase postural tidak memiliki peran pada
kelainan ini. Tindakan tersebut dapat menimbulkan komplikasi lebih berat seperti obstruksi
jalan napas dan gagal jantung.
d. Bronkhiektasis dan Atelektasis
Penatalaksanaan Bronkiektasis

Tujuan penatalaksanaan bronkiektasis adalah untuk mencegah eksaserbasi, menurunkan

gejala klinis, meningkatkan kualitas hidup, dan menghambat progresi penyakit. Pendekatan

terapi yang dilakukan adalah memperkuat sistem klirens mukosilier, mengurangi inflamasi

saluran napas, dan eradikasi infeksi bakteri.

Klirens Saluran Pernapasan

Klirens saluran pernapasan dilakukan dengan menyingkirkan sekresi purulen dari

saluran pernapasan yang berfungsi menurunkan inflamasi dan gejala. Klirens saluran

pernapasan dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik fisioterapi dan agen inhalasi.

Metode ini disarankan dilakukan selama 15 – 40 menit sebanyak 2-3 kali sehari.

Teknik Fisioterapi
Terapi fisioterapi dada disarankan pada pasien dengan batuk produktif kronik. Teknik

ekspansi thoraks dengan inspirasi dalam untuk mengekspansi alveoli, diikuti ekspirasi untuk

mendorong sputum ke saluran pernapasan yang lebih besar. Teknik ini dapat dilakukan di

rumah. Teknik fisioterapi lainnya dapat berupa teknik pernapasan siklus aktif, postural

drainage, serta perkusi dan vibrasi menggunakan perangkat osilasi.

Teknik Inhalasi

Inhalasi agen hiperosmolar dan mukolitik dipercaya dapat membantu klirens mukus dan

sering digunakan bersamaan dengan teknik fisioterapi. Nebulisasi menggunakan salin

hipertonik dapat menurunkan mediator inflamasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien

bronkiektasis.

Penggunaan nebulisasi agen mukolitik, seperti N-asetilsistein dan karbosistein sering kali

dilakukan pada praktik klinis, namun sampai sekarang belum ditemukan bukti ilmiah terkait

efikasinya.

Terapi Antibiotik

Penggunaan terapi antibiotik pada bronkiektasis sangat bergantung pada tipe kasusnya.

Berikut ini merupakan pilihan terapi antibiotik pada pasien bronkiektasis:

Eksaserbasi Akut Ringan - Sedang

Pada saat terjadi eksaserbasi akut, agen antibakterial spektrum luas dapat digunakan.

Eksaserbasi akut ringan-sedang pada pasien bronkiektasis ditandai dengan batuk yang

memberat, pergantian warna dan volume sputum, demam, atau malaise.


Pada pasien rawat jalan, terapi antibiotik oral spektrum luas, seperti amoxicillin 2 x 500-875

mg, clarithromycin 2 x 500 mg, atau kotrimoksazol 2 x 160 mg PO dapat diberikan selama 14

hari. Pada pasien dengan gejala ringan-sedang dan memiliki

infeksi Pseudomonas aeruginosa, maka pemberian antibiotik golongan fluorokuinolon,

seperti ciprofloxacin 2 x 500-750 mg atau levofloxacin 1 x 750 mg PO selama 14 hari dapat

diberikan.

Eksaserbasi Akut Sedang-Berat

Pasien bronkiektasis dengan eksaserbasi sedang-berat ditunjukkan dengan adanya takipnea,

gagal napas akut, eksaserbasi gagal napas kronik, penurunan signifikan SaO2, demam,

hemoptisis, instabilitas hemodinamik, dan gangguan status mentalis. Pada pasien ini,

dibutuhkan terapi antibiotik intravena spektrum luas. Beberapa pilihan antibiotik antara lain

 Ciprofloxacin 400 mg IV / 12 jam

 Cefepim 2 gr IV / 12 jam

 Vancomycin 1 gr IV / 12 jam

 Gentamicin 3-6 mg/kg/ hari IV / 8 jam

Jika infeksi disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, antibiotik yang dapat dipilih

adalah gentamicin, tobramycin, ceftazidime, piperacillin-tazobactam, atau ticarcillin

clavulanate.

Bronkiektasis Tanpa Eksaserbasi


Pada pasien bronkiektasis kronik dibutuhkan terapi antibiotik oral untuk kontrol infeksi.

Golongan makrolida merupakan golongan antibiotik yang paling disarankan

penggunaannya pada pasien bronkiektasis. Hal ini karena golongan makrolida memiliki

efek antiinflamasi dan imunomodulasi. Antibiotik yang dapat digunakan adalah

azithromycin 1 x 250 mg per oral atau 3 x 500 mg per oral selama 7-14 hari setiap bulan

untuk penggunaan jangka panjang.

Bronkiektasis pada Keadaan Khusus

Jika bronkiektasis disebabkan oleh fibrosis kistik, maka tata laksana spesifik dibutuhkan,

misalnya dengan fisioterapi harian dan antibiotik inhalasi seperti tobramycin.

Bronkiektasis yang disebabkan tuberkulosis perlu mendapat regimen

antibiotik tuberkulosis.

Inhalasi Bronkodilator

Terapi inhalasi bronkodilator memiliki efikasi dalam terapi asthma dan PPOK. Oleh

karena itu, terapi ini dapat diberikan pada pasien bronkiektasis yang berhubungan

dengan asthma atau PPOK. Pilihan terapi inhalasi antara lain :

 Salbutamol 180 mcg (2 puffs) setiap 4-6 jam

 Ipratropium bromida 34 mcg (2 puffs) setiap 6 jam

 Tiotropium 1x18 mcg [2,6,17]

Pembedahan
Tindakan bedah pada pasien bronkiektasis sangat jarang dilakukan. Terdapat dua jenis

tindakan bedah yang dapat dilakukan pada pasien bronkiektasis, yaitu reseksi dan

transplantasi paru.

Penatalaksanaan Atelektasis
Atelektasis ringan dapat sembuh dengan sendirinya tanpa diberikan pengobatan. Jika
atelektasis disebabkan oleh penyakit atau kondisi tertentu, maka pengobatan dilakukan
untuk mengatasi penyebabnya.

Fisioterapi Dada

Jika atelektasis disebabkan oleh komplikasi setelah operasi, dokter akan


menganjurkan fisioterapi kepada pasien untuk membantu paru-paru mengembang dan
mengempis secara normal.

Terapi yang diberikan meliputi:

 Mengajarkan pasien teknik batuk yang benar, untuk membantu pengeluaran lendir dari
dalam saluran pernapasan
 Mengajarkan pasien teknik menarik napas dalam, dengan bantuan alat spirometri
insentif
 Melakukan terapi ketukan atau perkusi pada dinding dada, baik dengan tangan atau
dengan air-pulse vibrator
 Memosisikan kepala lebih rendah dari tubuh untuk membantu mengeluarkan lender

Operasi

Jika atelektasis disebabkan oleh sumbatan lendir pada saluran napas, penanganan dapat
dilakukan dengan menyedot cairan mukosa dengan selang suction. Hal ini dapat dilakukan
dengan bantuan bronkoskopi. Jika atelektasis disebabkan oleh tumor atau kanker, dokter
akan melakukan operasi pengangkatan jaringan. Operasi ini bisa dikombinasikan dengan
kemoterapi dan radioterapi.

Obat-obatan

Untuk membantu pengobatan dan penyembuhan atelektasis, dokter dapat memberikan


obat-obatan berikut:

 Bronkodilator
Obat ini berfungsi untuk melebarkan bronkus dan mendorong pengeluaran lendir yang
terjebak di saluran pernapasan. Contoh obat bronkodilator yang bisa digunakan
adalah salmeterol atau teofilin.
 Antibiotik
Antibiotik bisa diberikan untuk mengatasi atelektasis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri. Antibiotik yang dapat diberikan umumnya memiliki spektrum luas,
seperti cefuroxime dan cefaclor.
 Mukolitik
Obat golongan mukolitik berfungsi untuk mengencerkan lendir di saluran pernapasan
sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan. Contoh obat mukolitik yang dapat diberikan
adalah N-acetylcysteine dan dornase alfa.

Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan merelaksasi otot pernafasan dan
melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum digunakan pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

1. Agonis adrenergik inhalasi


Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme, wheezing, dan obstruksi aliran
udara adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan klinis dari agonis β-adrenergik biasanya
diberikan melalui inhaler atau nebulizer, bersifat selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja
pendek dan kerja panjang. Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat
keluhan bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja panjang digunakan
untuk terapi pemeliharaan untuk memperbaiki fungsi paru dan mengurangi gejala dan risiko
terjadinya serangan. Agonis β2 kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang
berada pada membran plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel saluran nafas lainnya.
Ikatan ini menyebabkan stimulasi protein G untuk mengaktivasi adenylate cyclase converting
adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP), sehingga
terjadi penurunan pelepasan kalsium dan perubahan membran potensial yang menyebabkan
relaksasi otot polos. Agonis β2 kerja panjang mempunyai mekanisme yang sama, namun
memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Hal ini berkaitan dengan ikatan obat dengan reseptor
yang dapat berlangsung lebih lama. Agonis β2 kerja pendek seperti albuterol, levalbuterol,
metaproterenol, dan pirbuterol memiliki onset kerja dalam beberapa menit dan durasi kerja 4-6
jam, sehingga ditujukan sebagai terapi pereda atau penyelamat terhadap gejalagejala
bronkospasme dan hambatan saluran nafas lainnya, yang dapat mengancam nyawa penderita.
Agonis β2 kerja panjang biasanya digunakan untuk terapi pemeliharaan dan dapat
dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi. Penyerapan sistemik dari agonis β2 dapat
menyebabkan beberapa efek samping dan kebanyakan tidak menimbulkan masalah yang serius.
Sebagian besar terapi agonis β2 dapat menimbulkan tremor dan takikardi secara sekunder
akibat stimulasi langsung reseptor β2 pada otot skelet atau vaskulatur. Pada serangan asma
berat agonis β2 dapat menyebabkan penurunan sementara pada tekanan oksigen arterial
sebanyak 5 mmHg atau lebih, akibat adanya vasodilatasi yang dimediasi β2 pada keadaan
ventilasi paru yang buruk. Hiperglikemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia juga dapat terjadi,
namun efek samping ini cenderung berkurang dengan penggunaan yang regular.
2. Antagonis kolinergik inhalasi
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi kontrol dan terapi
serangan akut pada penyaki-penyakit obstruksi saluran nafas. Sistem sarat parasimpatis adalah
memegang peranan utama untuk mengatur tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi
bekerja pada reseptor muskarinik pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot. Penggunaan
antikolinergik inhalasi pada kasus PPOK sebagai pemeliharaan dan terapi serangan akut telah
dipertimbangkan sebagai terapi standar. Pada kasus asma antikolinergik lebih direkomendasikan
untuk terapi serangan akut saja. Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan
pada saluran nafas manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan
bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin dan melindungi dari terjadinya
bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik. Reseptor muskarinik 1 (M1) dan
muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus
dan merupakan target kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1
dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G. Protein tersebut kemudian
mengaktivasi fosfolipase C untuk memproduksi inositol trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan
pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain kinase
yang kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik menghambat kaskade
tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan mengurangi pelepasan kalsium intraseluler.
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk terapi penyakit obstruksi
saluran nafas yaitu :
a. Ipratropium 17 Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang
biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi serangan akut dan
pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien yang diterapi dengan
ipratropium mengalami peningkatan toleransi olahraga, penurunan sesak, dan
memperbaiki ventilasi.
b. Tiotropium Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang dapat
diberikan sebagai terapi pemeliharaan pada penyakit PPOK. Penggunaan tiotropium
dapat mengurangi terjadinya serangan/eksaserbasi akut PPOK, gagal nafas, dan
penyebab mortalitas lainnya

Anda mungkin juga menyukai