Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 1

FARMASI KLINIK DASAR

NAMA : NUR ASITA

NIM : G70118042

KELAS : B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
TUGAS

1. Obat-obat Offlable yang sering digunakan pada pasien Periatrik


2. Seorang ibu tampak cemas, ibu R, datang dgn putrinya yg berusia 3 thn yg sedang sakit.
Putrinya menderita infeksi diare setelah makan di restoran siap saji 2 hari yg lalu.
Napasnya menjadi tersengal-sengal & ibunya khawatir dgn keadaan itu. Saat ibu R
membawa putrinya kedokter 2 hr yg lalu, dia menerima resep sirup kodein 5mg setiap 4
jam untuk mengatasi diare. Putri ibu R jg menggunakan sirup salbutamol 1mg, 4x sehari
untuk mengatasi asma ringannya.

Apa permasalahan yg berkaitan dgn pemberian obat pd putri ibu R?


Kenapa napas anak menjadi tersengal2 dan sarankan tindakan untuk mengatasinya?
3. Seorang bayi laki2 berusia 11 bulan dirawat di RS dgn ISK dan suhu tubuhnya mencapai
37,8˚C. Beratnya 9,6 kg & sebelumnya pernah menderita ISK 2 kali. Bayi tsb mendapatkan
resep sirup parasetamol 120 mg tiap 3 jam bila diperlukan dan trimetoprim unt pemakaian
selama 7 hari untuk mengatasi ISK. Dosis sirup trimetoprim 50 mg/5 ml yg diresepkan
adalah 2 kali sehari masing2 2 ml.
Apa permasalahan yg berkaitan dgn pengobatan pd bayi tersebut

Jawaban:
1) Penggunaan obat off-label adalah penggunaan obat di luar indikasi yang disetujui oleh
lembaga yang berwenang. Lembaga berwenang itu kalau di Amerika adalah Food and Drug
Administration (FDA), sedangkan di Indonesia adalah Badan POM. Penggunaan obat
kategori off-label untuk tujuan terapi harus diperlukan suatu proses pembuktian efikasi dan
riskiso efek samping sehingga ketika obat tersebut digunakan untuk tujuan terapi tertentu
aman. Penggunaan obat kategori offlabel dapat menyebabkan efek samping dan risiko yang
mungkin lebih besar daripada manfaat potensial. Masalah etika dan hukum yang berkaitan
dengan promosi komersial penggunaan obat off-label ini juga telah meningkat hal ini
disebabkan karena informasi yang sangat cepat dan kajian teknologi yang mendalam
tentang penggunaan obat. Jenis-jenis penggunaan obat kategori off-label yaitu, Obat
kategori off-label usia, Obat kategori off-label Dosis, Obat kategori off-label Indikasi, Obat
kategori off-label kontraindikasi, Obat kategori off-label rute pemberian. Berdasarkan Soal
diatas obat-obat Off-lable yang sering digunakan pada pasien periatric yaitu berdasarkan
usia.
Obat dikategorikan sebagai obat off-label usia apabila obat tersebut digunakan di luar
daripada rentang umur yang telah disetujui oleh badan POM. Contoh kecil dalam hal ini
adalah parasetamol yang diberikan kepada bayi prematur untuk tujuan analgetik antipiretik.
Parasetamol merupakan salah satu contoh penggunaan obat kategori off-label usia/berat
(bayi prematur atau bayi dengan berat badan rendah). Penggunaan Salbutamol tidak
direkomendasikan diberikan pada usia balita namun obat sering ditemukan pemberiannya
pada usia balita untuk tujuan terapi asma bronchial atau sebagai bronkodilator.

(Rusli, 2018).
2) Seorang ibu tampak cemas, ibu R, datang dgn putrinya yg berusia 3 thn yg sedang sakit.
Putrinya menderita infeksi diare setelah makan di restoran siap saji 2 hari yg lalu.
Napasnya menjadi tersengal-sengal & ibunya khawatir dgn keadaan itu. Saat ibu R
membawa putrinya kedokter 2 hr yg lalu, dia menerima resep sirup kodein 5mg setiap 4
jam untuk mengatasi diare. Putri ibu R jg menggunakan sirup salbutamol 1mg, 4x sehari
untuk mengatasi asma ringannya.
Pada kasus diatas pasien mengalami Infeksi diare dimana Diare merupakan pengeluaran
feses yang konsistensinya lembek sampai cair dengan frekuensi pengeluaran feses
sebanyak 3 kali atau lebih dalam sehari. Diare dapat mengakibatkan demam, sakit perut,
penurunan nafsu makan, rasa lelah dan penurunan berat badan. Diare dapat menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, sehingga dapat terjadi berbagai macam
komplikasi yaitu dehidrasi, renjatan hipovolemik, kerusakan organ bahkan sampai koma
(Utami. N & Luthfiana. N, 2016). Pada kasus diatas pasien diberikan resep sirup kodein
5mg setiap 4 jam untuk mengatasi diare serta Ibu dari pasien memberikan sirup salbutamol
1mg, 4x sehari untuk mengatasi asma ringannya.
Drug Related Problems (DRPs) pada kasus ini yaitu, dimana obat yang diberikan tidak
sesuai atau kontraindikasi. Pada kasus diare, pasien diberi sirup kodein 5 mg setiap 4 jam
dimana Codein merupakan agonis opiat turunan fenantrena yang mengubah persepsi dan
respons terhadap nyeri dengan mengikat reseptor opiat di SSP, menghalangi jalur nyeri
yang menaik. Ini juga membantu menekan batuk dengan tindakan langsung di medula dan
memberikan efek pengeringan pada mukosa saluran pernapasan, sehingga meningkatkan
viskositas sekresi bronkial (MIMS,2020). Codein memiliki indikasi sebagai pereda nyeri
ringan hingga sedang, diare akut serta batuk (MIMS,2020). Namun pada kasus ini Codein
memiliki kontraindikasi dimana obat ini tidak bisa digunakan pada pasien dibawah usia 12
tahun (≤ 12 tahun) dan asma bronkial akut atau berat. Sehingga pengobatan yang diberikan
oleh Dokter tidak tepat.
Tatalaksana pada kasus diare yaitu penggantian cairan dan elektrolit, aspek paling penting
adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini
dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika
tidak dapat minum atau diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi
intavena. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5
gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air.
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Antibiotik
diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi, seperti demam, feses
berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten
atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised. Penggunaan antibiotic disesuaikan dengan hasil evaluasi
laboratorium dari pasien yang terinfeksi. Pemberian zinc hingga 10 hari serta penggunaan
probiotik. Serta melaksanakan terapi non-farmakologis seperti hindari makanan berlemak,
olahan susu, sayuran yang bergas, etc, perbanyak mengonsumsi makanan yang banyak
mengandung air dan serat seperti wortel, buncis, sering minum air putih dan menghindari
pemicu diare seperti perilaku pola hidup sehat (Lukman Z, 2015).
Pada kasus diatas juga pasien mengalami sesak napas (napas tersengal-sengal), hal ini
disebabkan karena Codein memiliki efek merugikan yang berakibat fatal bagi pasien
pediatrik, hal ini disebabkan adanya polimorfisme pada gen yang memetabolisme kodein.
Gen UM menyebabkna tingginya kadar morfin pada darah pasien, sehingga menyebabkna
depresi pernafasan dan menyebabkan kematian (Nadhira & Zelika, 2015). Untuk mengatasi
hal tersebut penggunaan codein dihentikan dan diganti dengan pemberian oralit untuk
mengatasi dehidrasi, antibiotic yang sesuai dengan mikroba yang menginfeksi yang
diberikan secara empiris, pemberian Zink selama 10 hari dan probiotik. Untuk mengatasi
sesak napas pasien diberikan sirup Salbutamol 1 mg - 2 mg 3 hingga 4 kali sehari (MIMS,
2020).
3) Seorang bayi laki2 berusia 11 bulan dirawat di RS dgn ISK dan suhu tubuhnya mencapai
37,8˚C. Beratnya 9,6 kg & sebelumnya pernah menderita ISK 2 kali. Bayi tersebut
mendapatkan resep sirup parasetamol 120 mg tiap 3 jam bila diperlukan dan trimetoprim
unt pemakaian selama 7 hari untuk mengatasi ISK. Dosis sirup trimetoprim 50 mg/5 ml yg
diresepkan adalah 2 kali sehari masing-masing 2 ml.
Pada kasus diatas pasien mengalami penyakit Infeksi Saluran Kemih (ISK). Permasalahan
pada kasus diatas yaitu pada penggunaan Parasetamol dimana penggunaan sirup
parasetamol 120 mg tiap 3 jam serta penggunaan trimethoprim secara tunggal, berdasarkan
MIMS,2020 penggunaan parasetamol memiliki regimen secara oral untuk anak usia 6
bulan hingga 2 tahun yaitu 120 mg tiap 4 jam hingga 6 jam jika diperlukan, maksimal 4
dosis dalam waktu 24 jam.
Penggunaan trimethoprim tidak diberikan secara tunggal, melainkan diberikan bersamaan
atau dikombinasikan dengan obat Sulfamethoksazol (Kotrimoksazol) dengan dosis oral
120 mg (MIMS,2020), diberikan 2 kali sehari selama 3 hari (Wells, 2015).
Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi (ko-trimoksazol)
karena sifat sinergistiknya. Dimana Sulfametoksazol mengganggu sintesis dan
pertumbuhan asam folat bakteri melalui penghambatan pembentukan asam dihidrofolat dari
asam paraaminobenzoat; trimetoprim menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat yang mengakibatkan penghambatan enzim jalur asam folat secara berurutan
(MIMS, 2020).

Sumber:
Lukman Zulkifl i Amin. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education -230/ vol.
42 no. 7, th. 2015
MIMS.20201. The Monthly Index of Medical Specialities. Diakses Pada Tanggal 12 Februari
2021 Pukul 15:21 WITA
Nadhira Mahda Dinar Lubis., Zelika Mega Ramadhania. 2015. Efek Samping Penggunaan
Kodein Pada Pediatrik. Farmaka Volume 16 Nomor 2
Rusli. 2018. Farmasi Klinik. Pusat pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan
Pengembangan dan pemberdayaan Sumberdaya Manusia Ksehatan. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta
Utami., Luthfian. 2016. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak.
MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I 101
Wells G., Dipiro J., Schwinghammer T.m DIpiro C. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth
Edition. Mc Graw Hill Education

Anda mungkin juga menyukai