Anda di halaman 1dari 15

Kepompong dan Kupu-Kupu

Suatu hari seorang anak melintas di kebun belakang rumahnya. Tanpa sengaja ia melihat
sebuah kepompong yang menarik perhatiannya. Ia ingin mengambil kepompong itu, tetapi
ibunya tidak mengijinkannya. 
"Biarkan saja, nanti kepompong itu akan berubah menjadi kupu-kupu," begitu ibunya
berkata.

Anak itu menjadi penasaran, setiap hari saat melintas tempat itu ia sempatkan untuk
melihat kepompong itu. 
"Sudah berubah menjadi kupu-kupu kah ? " pikirnya.

Suatu hari ia melihat kepompong itu seperti tersobek.   Sesuatu yang bergerak-gerak seperti
hendak keluar dari dalam kepompong itu.  Ia duduk dan mengamati berjam-jam,
menyaksikan "sesuatu" yang bergerak itu seperti berjuang untuk keluar dari celah kecil itu. 
Lama sekali ia menunggu, ingin tahu apa yang akan keluar dari dalam celah kecil itu. 

"Kasihan sekali "sesuatu" yang bergerak itu sepertinya kepayahan untuk keluar dari celah
itu", begitu pikir si anak kecil itu.  Sepertinya tidak ada kemajuan yang berarti, padahal ia
sudah lama menunggu di situ. 

Akhirnya karena tidak juga ada kemajuan, maka si anak kecil mengambil gunting dan
perlahan-lahan diguntingnya celah kepompong itu, berharap akan keluarlah dengan segera
seekor kupu-kupu yang cantik, seperti kata ibunya. 

Namun apa yang terjadi.  Seekor hewan kecil mirip kupu-kupu, menggeliat-geliat dari dalam
kepompong yang sudah longgar.  Tubuhnya besar tetapi sayapnya kecil dan
keriput.  Sayapnya yang kecil berusaha digerak-gerakkannya, tetapi tidak dapat terkembang
dan hewan kecil itu tidak dapat terbang. Terjatuhlah ia ke tanah. 

Si anak kecil tetap menunggu, melihat hewan kecil mirip kupu-kupu itu menggeliat-geliat.  Ia
berharap, sayap kupu-kupu itu akan membesar dan terkembang sempurna.  Akan tetapi, hal
itu tidak juga terjadi.  Hewan kecil mirip kupu-kupu itu tidak pernah menjadi kupu-kupu yang
sempurna.  Menggerak-gerakkan sayapnya tapi tidak dapat terbang. 

Anak kecil yang lugu, tidak mengerti bahwa perjuangan yang harus dilakukan si ulat untuk
dapat keluar dari kepompongnya bukanlah hal yang harus dihindari.  Si ulat harus melalui
proses pembentukan yang membutuhkan waktu dan perjuangan untuk mempersiapkan
dirinya menjadi seekor kupu-kupu cantik yang dapat bebas terbang mengepakkan
sayapnya.  

Anak kecil yang lugu hanya berpikir bahwa ia sedang menolong si ulat kecil dari
penderitaan. 

Refleksi diri......

Dalam kehidupan, tak mungkin kita lepas dari penderitaan, kesulitan dan banyak
permasalahan hidup.  Seringkali kita berpikir untuk berusaha menghindari atau berharap
dapat lari dari semua itu. 
Tuhan mengijinkan semua penderitaan, kesulitan, pencobaan, permasalahan hadir dalam
kehidupan kita, bukan karena IA tidak mencintai kita.  IA mengijinkan semua itu terjadi agar
kita menjadi lebih kuat, lebih mampu menghadapi dan melewati semua kesulitan itu.
Yang paling penting adalah kita harus mempercayakan hidup kepadaNYA, bahwa IA akan
menopang, menolong dan memegang tangan kita melewati semuanya itu.

Tak pernah DIA janji selalu kan panas


Tak pernah DIA janji hanya ada hujan
Tapi DIA janjikan memberi kekuatan

Diposkan oleh Conny Tambunan di 00.32 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Label: Tahan Menderita

Sabtu, 26 April 2014


Raja dan Anak Rajawali
Suatu hari seorang Raja mendapatkan hadiah 2 ekor anak rajawali.  Raja senang sekali dan
selalu memamerkan anak rajawalinya kepada keluarga, menteri-menteri, tamu-tamu dan
siapa saja yang ditemuinya

Lalu sang Raja berpikir, akan bagus sekali jika rajawali ini dilatih untuk terbang tinggi. 
Tentulah akan lebih indah lagi.  Kemudian ia memanggil pelatih burung yang tersohor di
negerinya untuk melatih kedua anak burung rajawali miliknya itu.

Setelah beberapa bulan, pelatih burung itu melapor kepada Raja.  Seekor rajawali telah
terbang tinggi dan melayang-melayang di angkasa dengan indahnya.  Akan tetapi seekor
lagi tidak mau beranjak dari pohonnya sejak hari pertama ia tiba.

Raja pun memanggil semua ahli hewan dan para tabib sakti untuk memeriksa rajawali
kesayangannya itu. Namun semua usaha sang Raja tidak membuahkan hasil.  Tidak ada
seorang pun yang berhasil "menyembuhkan" dan membuat rajawali itu terbang.  Rajawali itu
tidak kunjung bergerak dari dahannya.

Suatu hari terbersit sebuah ide dalam benak Raja.  Ia ingin memanggil orang yang
biasa "melihat" rajawali.  Setelah bertanya kepada rakyat di negerinya, kemudian ia bertemu
dengan seorang petani yang sangat mengenal sifat rajawali .  Sang Raja meminta bantuan
petani itu.

Keesokan harinya ketika Raja mengunjungi rajawali ini, ia kaget melihat rajawali
kesayangannya itu sudah terbang tinggi.  Dengan penuh penasaran Raja bertanya kepada
petani, "Apa yangtelah kamu lakukan sehingga rajawaliku itu mau terbang tinggi ?

Petani menjawab, "Saya hanya memotong cabang pohon yang selama ini dihinggapinya
saja yaitu DAHAN yang membuatnya NYAMAN"
Perenungan ......
Kita dilahirkan untuk sukses seperti seekor Rajawali,kita ditakdirkan untuk terbang tinggi.
Namun, ketika kita memegang erat ketakutan kita, dan tak mau melepaskan ketakutan itu,
maka kita tidak akan beranjak dari posisi itu.  Kita enggan keluar dari zona kenyamanan,
takut  tidak mau melepaskannya.  Takut gagal, takut kecewa,takut capek,takut malu dan
ketakutan lainnya.

Satu-satunya cara untuk bisa membumbung tinggi adalah keluar dari zona nyaman...!
Tidak ada jalan pintas...
Hanya ada 2 pilihan : tetap bergantung di dahan selamanya atau membumbung ke
angkasa...

Diposkan oleh Conny Tambunan di 00.14

Minggu, 13 April 2014


The First Step
Cerita ini dapat memotivasi kita untuk berbuat / bergerak / bertindak, tidak menunggu
segalanya sempurne terlebih dahulu, baru memulai.

Ada satu cerita tentang guru seni yang melakukan percobaan dalam pemberian nilai kepada
dua kelompok muridnya. Guru keramik mengumumkan bahwa ia akan membagi kelasnya
menjadi dua kelompok dengan tugas membuat pot. Kelompok pertama akan diberikan nilai
berdasarkan jumlah (kuantitas) pot yang mereka hasilkan. Sedangkan kelompok kedua akan
diberikan nilai berdasarkan mutu (kualitas) pot yang mereka hasilkaProsedur penilaiannya
sederhana.
Di hari terakhir mata pelajarannya, si guru akan membawa timbangan untuk mengukur berat
dan menghitung jumlah pot yang dihasilkan oleh kelompok pertama (kuantitas). Ada
beberapa rentang berat yang setara dengan nilai A, B, C, dst.Sedangkan penilaian
terhadap kelompok kedua (kualitas) didasarkan pada mutu setiap pot yang terbaik, jika bisa
sempurna, untuk mendapatkan nilai A. Jika ada kekurangan maka akan mendapat nilai B
atau lebih rendah lagi.
Mata pelajaran berakhir, dan tiba saatnya untuk memberikan penilaian terhadap hasil yang
diperoleh oleh kedua kelompok.  Lucunya, didapati kenyataan yang sangat menarik.

Kelompok kuantitas tidak hanya menghasilkan cukup banyak pot tetapi juga mutu terbaik
ada di karya mereka.
Ternyata, sementara kelompok kuantitas sibuk bekerja untuk menghasilkan pot sebanyak-
banyaknya, mereka juga terus belajar dari kekeliruan mereka, terus menerus melakukan
perbaikan cara kerja mereka.  Dan karena semakin banyak pot yang dihasilkan, mereka
juga semakin terlatih untuk menghasilkan pot dengan cepat dan baik (skill meningkat)

Kelompok kualitas lebih sibuk duduk berteori, berdiskusi, dan berdebat tentang apa itu pot
yang sempurna, bagaimana cara membuatnya pot yang berkualitas, dan lainnya.  Akhirnya,
alih-alih bisa menghasilkan pot terbaik, kelompok kualitas malah tidak menghasilkan apa-
apa, bahkan mereka belum memulai merealisasikan pot mereka, hanya sibuk
bertePerenungan .......

Tidak perlu dipusingkan siapa diri kita dan peran apa yang kita mainkan dalam kehidupan
ini. Yang terpenting adalah tindakan kita akan menghasilkan buah / akibat. Hasil
akan kita peroleh dengan berbuat / bergerak / bertindak.

Seringkali kita terlalu tinggi bermimpi, tetapi tidak berani bangun dari tidur kita, dan mulai
melangkah untuk merealisasikan agar mimpi menjadi kenyataan.  Seringkali pula kita terlalu
sibuk merencanakan, memperbaiki rencana, membuat strategi, tetapi tidak melakukan aksi
untuk membuat rencana tidak hanya tinggal rencana. 
Banyak langkah hanya mungkin kita lakukan setelah mengambil langkah pertama.

 
Cerita ini dikutip dari email berantai, yang menurut email tersebut dikutip dari :
'Mulailah Berths'
(by toni_yoyo@yahoo.com;http://toniyoyo.wordpress.com)
Sumber Gambar : http://www.eattrainbelieve.com

Diposkan oleh Conny Tambunan di 00.02 Tidak ada komentar:

Selasa, 08 April 2014


Kisah Anjing Kecil dan Seribu Cermin
Ada seekor anjing kecil yang selalu bermuka muram sedang berjalan-jalan sambil
cemberut.  Tiba-tiba ia melihat sebuah rumah yang pintunya terbuka, dan tertarik untuk
masuk ke dalamnya. 

Ternyata di dalam rumah itu terpasang 1000 cermin. 

Betapa kagetnya si anjing kecil ketika memasuki rumah itu, ia melihat ada banyak sekali
anjing yang melihatnya dengan ekspresi terkejut. 

Karena merasa terancam, ia pun menyalak ke arah anjing-anjing tersebut. Rupanya anjing-


anjing itu membalas menyalak ke arahnya.  Ia tidak tahu bahwa semua anjing itu adalah
pantulan dirinya sendiri melalui cermin-cermin di depannya. Karena takut, anjing kecil itu
pun lari keluar dari rumah itu.
Di luar rumah anjing yang ketakutan itu bertemu dengan seekor anjing lainnya yang sedang
berlari-lari kecil, tersenyum dengan hati gembira.  Anjing kecil yang sedang gembira itu juga
tertarik untuk masuk ke rumah itu. 

" Rumah ini sungguh mengerikan ! " kata si anjing yang ketakutan itu.
"O ya, mengapa ?" tanya si anjing kecil yang baru datang.

Si anjing yang pertama tadi bercerita tentang apa yang dialaminya di dalam rumah tadi. 
Tetapi ceritanya itu tidak menyurutkan keinginan anjing kecil yang gembira itu untuk
mencoba masuk ke dalam rumah yang terbuka itu. 
Anjing kecil berhati riang memasuki rumah dengan gembira.  Di dalam rumah ia melihat
banyak sekali anjing-anjing kecil seperti dirinya yang menyambutnya dengan meloncat-
loncat kecil dan tersenyum gembira.  Ia pun mengibas-ngibaskan ekor dan melompat
dengan riang.

" Wah, menyenangkan sekali di sini ! " kata anjing kecil berhati riang itu.  Apa yang
dikatakan anjing tadi sama sekali tidak ditemuinya di dalam rumah itu. 

------------------ Refleksi diri :

Kehidupan ini serupa dengan rumah 1000 cermin itu.  Hidup ini sesungguhnya
merefleksikan dari bagaimana cara kita menghadapi kehidupan ini.  Ketika kita berpikir
bahwa hidup ini  susah, ada banyak orang jahat yang bersekongkol untu menghancurkan
kita, atau pikiran negatif lainnya, maka realita seperti itulah yang akan kita temukan. 

Kalau kita menghadapi kehidupan dengan bersikap positif dan optimis, maka kehidupan ini
akan terasa menyenangkan dan banyak hal yang dapat dinikmati dalam hidup ini.

Berhentilah murung, cemberut dan " menyalaki " hal-hal di sekitar kita !

Mari kita memperbaik mental, sikap dan cara pandang kita. 


Rasakanlah sensasi rumah 1000 cermin yang luar biasa dahyatnya ketika kita memberi
senyum padanya, 1000 senyuman berbalik untuk kita  ! 

Diposkan oleh Conny Tambunan di 19.37 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Label: Positive Thinking

Kamis, 20 Maret 2014


Crab Mentality
Crab mentality adalah suatu istilah yang menggambarkan suatu sifat buruk : bila tidak bisa
mendapatkan apa yang diinginkannya, maka tidak akan membiarkan seseorang pun
mendapatkannya ("if I can't have it, neither can you"). 
Istilah ini diambil dari kebiasaan dari sekumpulan kepiting di dalam baskom / wadah. 
Ketika seekor kepiting dari kumpulan itu berusaha keluar, maka kepiting-kepiting lain akan berusaha
menarik masuk kembali.

(Reference : Crab mentality : http://en.wikipedia.org/wiki/Crab_mentality)

Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali


menangkap dan memakan kepiting sawah.  Meskipun ukuranya kecil tetapi rasanya cukup lezat.
Biasanya masyarakat itu mencari kepiting sawah pada malam hari, lalu dimasukkan ke dalam
baskom / wadah tanpa diikat tanpa kuatir kepiting-kepiting itu akan lari.  Masyarakat sangat
mengenali sifat kepiting itu, jika ada seekor kepiting yang berusaha keluar dari dalam baskom itu,
teman-temannya akan berusahan menariknya turun agar tidak dapat meloloskan diri.  Padahal
sebenarnya, bila kepiting itu dimasukkan ke dalam baskom tersebut hanya sendiri saja, maka
kepiting akan dengan mudah naik dan meloloskan dirinya.  Dengan demikian sampai saatnya tiba,
kepiting-kepiting itu akan direbus dan menjadi santapan lezat. 

-------Perenungan

Demikian pula dalam kehidupan ini, tanpa kita sadari terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting
itu.  Seharusnya kita bergembira ketika teman atau saudara kita mendapatkan kesuksesan, tetapi
kita malah iri hati dan mencurigai bahwa kesuksesan yang diraih diperoleh dengan cara yang tidak
benar.  Atau lebih buruk lagi, kita malah berusaha meniupkan cerita-cerita itu menjadi sebuah gosip
yang menjadi konsumsi publik. 

Kita tidak menyadari, bahwa dengan menjatuhkan orang lain, sebenarnya pun kita sedang
menjatuhkan diri kita sendiri. 

Diposkan oleh Conny Tambunan di 18.17 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestLabel:
Negative Thinking Rabu, 18 Desember 2013Perdamaian Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan
oleh Arun Gandhi, cucu dari Mohandas Karamchan Gandhi atau yang lebih dikenal dengan Mahatma
Gandhi.  Saya mencoba menterjemahkannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami,
dan membuatnya lebih menarik untuk dibaca, tetapi tanpa menghilangkan esensi dari makna yang
ingin disampaikan oleh kisah ini yang sudah berlangsung turun-temurun.

Inilah kisah Arun Gandhi……

Dulu, Kakek suka menceritakan kepada kami sebuah cerita kuno tentang seorang raja India yang
terobsesi untuk menemukan makna dari kedamaian

Apakah damai itu ? Bagaimana kita dapat memperolehnya ?

Apa yang harus kita lakukan ketika kita telah menemukan damai itu?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu menggangu pikiran sang Raja. 

Kemudian sang Raja menawarkan hadiah yang menarik kepada orang-orang pintar di seluruh
penjuru negeri, yang akan diberikan kepada siapa saja yang dapat menjawab semua pertanyaannya
tersebut.
 Berbondong-bondong orang pintar dari seluruh negeri datang mencoba, tetapi belum seorang pun
yang berhasil menjawabnya.  Hingga pada suatu waktu, seseorang penasihat raja menyarankan agar
raja berkonsultasi kepada seorang bijak yang tinggal tidak jauh dari perbatasan kerajaan. 

“Ia adalah seorang tua yang sangat bijaksana.  Orang lain tidak dapat menjawab pertanyaan raja,
tetap ia akan dapat menjawab semua pertanyaan Raja itu”demikian penasihat raja berkata.

Raja pun pergi menemui Orang Bijak tersebut dan menyampaikan semua pertanyaan yang
berkecamuk di kepalanya selama ini.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Orang Bijak itu masuk ke dalam dapurnya dan
membawa segenggam biji gandum dan memberikannya kepada raja. 
“Engkau akan menemukan jawabannya di dalam biji gandum ini, “ kata Orang Bijak itu sambil
meletakkan biji gandum itu ke telapak tangan sang Raja. 

Meskipun sang Raja masih bingung, tidak mengerti akan maksud si Orang Bijak, tetapi tidak ingin
mengakui ketidakpahamaannya.  Raja pulang kembali ke istana dengan membawa biji gandum di
dalam tangannya itu.

Sesampainya di istana, sang Raja menempatkan gandum berharga itu di dalam sebuah kotak emas
yang kecil, menguncinya dan menempatkan kotak itu di tempat yang aman.   Setiap hari, segera
setelah bangun, sang Raja akan membuka kotak tersebut dan melihat biji-biji gandum yang ada di
dalamnya.  Ia mencoba mencari jawaban, tetapi tidak berhasil menemukan apa pun.   

Beberapa minggu kemudian, Orang Bijak yang lain lagi melewati tempat itu, berhenti untuk
menemui sang Raja. 

Sang Raja bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, yang membutuhkan
jawaban.  Sang Raja juga bercerita bahwa alih-alih mendapatkan jawaban, malah kepadanya
diberikan beberapa butir biji gandum.  Setiap pagi ia mencari jawaban dari biji-biji gandum yang
diberikan oleh Orang Bijaksana itu kepadanya, namun tak kunjung ia dapatkan maknanya. 

“Sederhana sekali, Yang Mulia”, kata Orang Bijak tersebut.

“Sama seperti biji gandum ini merupakan makanan bagi tubuh kita, demikian juga kedamaian
merupakan makanan bagi jiwa kita.”

“Sekarang, jika Raja menyimpan biji gandum itu tertutup dan terkunci rapat di dalam kotak emas,
maka suatu saat akan hancur begitu saja. Biji gandum itu tidak lagi dapat menjalankan fungsinya
sebagai makanan, dan tidak dapat bertambah banyak.  Akan tetapi, jika biji gandum itu diberikan
kesempatan untuk berinteraksi dengan elemen-elemen seperti cahaya, air, udara, tanah, maka biji
gandum akan berkembang dan bertambah banyak, dan suatu saat Raja akan memiliki sebidang
ladang gandum yang hasilnya tidak hanya dapat memberi makan Raja seorang, tetapi banyak orang.
Inilah arti perdamaian.  Perdamaian tidak hanya dapat memberi makan kepada jiwa kita saja, tetapi
juga jiwa banyak orang, dan harus bermultiplikasi dengan adanya interaksi elemen-elem

 Diposkan oleh Conny Tambunan di 00.14 Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Label: Perdamaian

Senin, 14 Oktober 2013


Kisah Pohon Apel
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan seorang anak lelaki yang senang
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.  Ia senang memanjat hingga ke pucuk
pohon apel itu, dan memakan buahnya.  Ia juga suka tidur-tiduran di bawah teduhnya daun-
daunnya yang rindang. Si Anak Lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula
pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. 

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main
dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari anak lelaki itu datang dengan wajam muram.
"Mari bermain-main lagi denganku,” pohon apel itu mencoba menghibur si anak itu... 
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”

Pohon apel sedih dan berkata. "Engkau boleh mengambil semua buah apelku dan
menjualnya. Dengan demikian engkau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan
kesukaanmu," kata Si Pohon Apel.
 
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu bergegas mengambil keranjang dan mulai memetik
buah apel satu persatu.  Setelah terkumpul buah pohon apel itu ia pun pergi dengan penuh
sukacita meninggalkan Si Pohon Apel yang kembali sepi dalam kesendiriannya.

Si Anak Lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali bersedih.

Setelah lama tidak pernah datang, pada suatu ketika  Si Anak Lelaki yang sudah menjadi
laki-laki dewasa datang lagi, dengan wajah muram.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. 


“Aku tak punya waktu bermain lagi sekarang ,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja
untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau
menolongku?” 

"Duh, maaf, aku pun tak memiliki rumah, kata Pohon Apel. Tetapi engkau dapat menebang
ranting dan dahanku untuk dijadikan rumah.  

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu. Setelah
terkumpul sesuai dengan kebutuhannya, pulanglah lelaki itu dengan gembira. Pohon apel itu
juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang.

Anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, si anak lelaki datang lagi.  Pohon apel sangat bersuka cita
menyambutnya.
”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi
berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”

"Maaf aku tidak memiliki kapal untuk kuberikan padamu,"kata pohon apel itu.  
"Tetapi kamu dapat menebang batangku dan engkau dapat  menggunakannya untuk
membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian anak lelaki yang sudah menjadi tua itu menebang batang pohon apel dan
membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar mengarungi samudera dan tak
pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Pohon apel kembali tinggal sendiri kesepian dan sedih.


Bertahun-tahun si anak lelaki tidak pernah datang.  Hingga pada suatu waktu si anak lelaki
kembali.  Si pohon apel senang, tetapi segera menjadi sedih karena ia sudah tidak memiliki
apa-apa lagi yang dapat diberikannya kepada anak lelaki itu

"Anakku, aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu,” kata pohon apel.
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki
itu.

“Aku juga tidak memiliki batang dan dahan yang boleh kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu semua,” jawab anak lelaki itu.

“Aku benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat aku berikan padamu. Yang tinggal
hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

”Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang.  Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu,” demikian anak lelaki
itu dengan suara kelelahan.

“Oooh, bagus sekali. Tahukah engkau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk
berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan
beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.  Pohon apel itu tersenyum sambil
menitikkan air mata.

---------------
Refleksi diri :

Pohon apel itu adalah orang tua kita.


Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. 
Ketikakita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. 
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa
mereka berikan untuk membuat kita bahagia. 

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu.
Tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Jika kita masih memiliki orangtua, sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita
mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya
pada
kita. Mumpung ada waktu dan ada kesempatan, nyatakanlah dalam kata-kata dan
perbuatan yang menunjukkan betapa kita pun mengasihi orangtua kita dan sangat
berterimakasih kepada mereka.

----------------

Pohon apel itu pun dapat pula diibaratkan sebagai Tuhan.


Acapkali kita meminta kepada Tuhan ketika kita merasa kesulitan atau menginginkan
sesuatu.
Tetapi segera kita meninggalkan Tuhan ketika kita mulai sibuk dengan kehidupan kita di
dunia.

Meski kita seringkali meninggalkan Tuhan, tetapi Tuhan tak pernah meninggalkan kita dan
selalu ada untuk kita.

CERITA OMBAK (TAK) BEROMBAK


Posted on 14 Juli 2012 by Cerpen Koran Minggu

Cerpen Waspada, 8 Juli 2012 – oleh Winda Prihartini

Denny Adi L / Waspada

Laut masih saja bergejolak, berombak, membelalak, menyebar derak, sejak kemarin sore
ketika senja jatuh ke tepi barat. Nyiur pohon pun terus memperindah pandang mata. Entah
apa yang membawaku untuk selalu ada di sini. Mungkin sekedar mengabar pada angin dan
air. Sebab muasal ceritaku tumbuh subur di sini. Sejak saat itu, aku sering seperti ini.
Berdesir di pesisir.

Heranku ombak tak pernah menutup cerita tentang kami. Meski sudah bertahun aku
melenggang ke arah pijakan baru.

“Sayang, sudah beberapa lama kau berdiri?”

“Entahlah, aku ingin tetap begini.”

“Sayang, aku tak mengerti mengapa kau terus menerus mendatangi tempat ini, kau begitu
setia?”

“Iya, memang kau tak akan pernah mengerti, kau hanya tahu aku menyukai tempat ini.”

Senja akan habis, baiknya kupergi dan kembali menjalani kehidupanku sendiri. Bukan seperti
ombak yang terombang-ambing. Itu cukup dulu, sekarang tidak lagi. Seperti telaga, hidupku
lebih tenang kini.

***

Sebenarnya telah kulupakan detak waktu ketika aku bersama dia terjebak dan terbawa
ombak. Aku dan dia terlempar jauh dari daratan. Kala itu kami ingin menyebrang ke tengah
pulau, pasir putih. Tetapi belum sempat kami merasakan keindahan pasir putih, ada
gerombolan air yang tiba-tiba memburu. Mereka datang tiba-tiba. Menyapa kami. Tetapi
sapaannya menyebabkan sakit. Kami terobrak-abrik. Di situlah aku dan dia berpisah. Hingga
kini tak lagi berjumpa, tak pernah bertegur sapa ataupun bersitatap lalu tersenyum manja.
Seharusnya aku membenci ombak-ombak, karenanya aku menjarak pada mimpi yang telah
terbangun. Tetapi malah sebaliknya, aku menyukai air yang menari-nari, bergulung-gulung
itu. Sebab karena air yang bergulung-gulung itu pula, aku dapat memperbaharui mimpiku
lagi.

Seorang penyelam dapat menemukanku dan mengeluarkanku dari palung yang paling dalam.
Tempat sunyi yang kukunjungi bersama Saba, orang yang semestinya hidup bersamaku
sekarang. Tapi sayang, Saba tak pernah kembali lagi setelah peristiwa itu. Hanya aku yang
kembali. Saba dialah lelaki berusia 28 tahun yang waktu hidupnya dirampas oleh air, di air.
Penyelam-penyelam yang menyelamatkan kami tidak dapat menemukannya.

Aku terguncang, hatiku mengambang. Apapun yang mereka katakan dan berikan, rasanya tak
dapat mengurangi beban. Semua mimpi yang telah kami bangun, tenggelam begitu saja, ia
bawa bersamanya. Tak tertinggal untukku, secuil pun. Entahlah, salah siapa ini. Yang kutahu
saat itu kami berdua menginginkan pergi ke pulau pasir putih itu untuk foto pra-wedding.
Sesalku, mengapa dia yang harus pergi. Tetapi mungkin inilah takdir. Sebuah peristiwa yang
harus terjadi. Dan tentang gaun yang telah siap kupakai, kini entah di mana keberadaannya.
Aku tidak membuangnya. Tetapi sepertinya sudah terbuang. Biarlah gaun itu menyusul Saba
di sana. Aku ikhlaskan semuanya.

Kekasih
Aku titipkan
air mata ini
Sebab aku mau kau menjaganya agar tak sembarangan tumpah
Lalu menyebar, beranak pinak mengasinkan mata air asin
Bila memang tak sanggup kau menjaganya
Secepatnya hempaskan permataku dari tanganmu
Agar sepenuhnya hak jatuh padaku
 
Kekasih
Kini di celah hatiku ada semacam tetasan air
Entah air apa itu, aku tak bisa merasakannya
Tetapi beningnya sungguh menyedihkan
Aku takut, aku takut itu milikmu.

Sungguh aku juga tak ingin ini menjadi bagian hidupku, namun sepertinya inilah yang harus
kita jalani. Harapku tetaplah setia padaku di sana. Sebab sampai saat ini aku masih mau
bersamamu. Sepertinya begitu.

***

Penyelam itu benar-benar dapat mengeluarkanku dari mimpi buruk. Dia dapat menemukanku
terdampar di pinggir pulau. Rupanya angin bekerjasama dengan air untuk membawaku ke
tepi pantai. Palung yang dalam, ahk, aku tidak sebenarnya ada di sana. Dan rekan-rekan yang
lain mereka dapat terselamatkan karena mereka dapat berpegangan pada kayu yang
menyambang. Tetapi semua itu tidak terjadi dengan Saba. Tidak ada seorang penyelam pun
tahu di mana keberadaannya. Mungkin kini ia telah asyik bercerita dengan ikan-ikan kecil.
Dan membangun kehidupan sendiri di tempat yang ia senangi. Yakinku, ia betah di
tempatnya yang sekarang.
Sejak itu, kujajaki hari yang melenggang ke minggu–bulan mengaliri diri dengan kegalauan.
Tubuh kurus asyik mengisah pada secarik kertas dan bertanya pada malam hening di pantai
timur. Mulanya tak ingin kulihat lagi tempat itu, tetapi batinku tak puas apabila hanya
membayangkannya setiap malam. Mulai saat itulah setiap senja aku datang menumpah
gelisah dan air mata, dan tak jarang angin menyibak helaian rambut dari wajah. Aku merasa
legah jika telah melihat pantai itu. Sampai sekarang seolah-olah aku menyatu dengan ombak,
pantai, kerang-kerang kecil, pasir dan semua hal yang berhubungan batin dengan tempat itu,
sehingga jika tak kujamu tempat itu, kehampaan sering muncul bertubi-tubi, semakin
menjadi.

Sampai hari kesekian, angin laut membawa seseorang untuk diperkenalkannya denganku.
Setelah kami berbicara, bercerita, ternyata dia adalah salah satu penyelam yang menolongku
saat peristiwa akut kala itu. Deri Kurniawan.

“Apa kabar Nai?”

“Baik. Maaf, siapa ya?”

“Panggil saja aku Deri. Kau lupa dengan wajahku? Aku salah satu penyelam yang pernah
menyelamatkanmu?”

“Benarkah?”

“Iyah.”

Dari pertemuan itu, aku mulai mengeja huruf yang indah-indah. Lalu, semenjak itulah semua
mampu kurubah, kusisir semua hal yang telah mendatangkan pedih. Dan kuganti dengan hal
baru. Hidup kembali berarti, kumiliki mimpi, dan tujuan yang pasti. Ternyata tidak ada
sesuatu yang mati untuk kita, sebelum kita sendiri mati. Kemungkinan itu ada. Harapan itu
berguna. Dan Tuhan pasti member keheningan di akhir cerita. Memang yang telah pergi
takkan kembali, namun tak menutup kemungkinan ada yang akan datang mengisi kekosongan
diri.

Senyumku tak lagi sembunyi, ringan, bebas, lepas, jernih seperti air, ombak, laut-pantai.
Sebab lewat ciptaan-Nya yang menyejukkan dapat kutumpah segala pedih, lalu dapat pula
kujamu cinta abadi. Cinta yang keabadiannya senantiasa berulang. Tak heran bila kami pun
berakhir lagi di laut bersama mimpi.

Dipublikasi di Waspada | Tag Winda Prihartini | Tinggalkan komentar

Hujan di Ujung Bulan *

Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 4 Mei 2014)


SEJAK siang perbukitan berhutan ini diguyur gerimis, pepohonannya menghablur. Kabutnya
muncul di sana sini, tipis dan tebal, bergantian. Ada yang bisa ditembus, ada yang tak bisa
ditembus. Tak seekor burung pun berkelebat. Agak jauh di utara masih terdengar deru
kendaraan, setelah itu sayup. Lalu di bawah arah timur sana masih membentang separo tubuh
danau, separonya lagi berselimut kabut, perahu-perahu membeku. Dan, dari salah satu
tepiannya, kudengar lagu gamelan, kalau tak salah itu kreasi gong kebyar I Wayan Beratha,
berjudul ”Hujan Teduh”. Nama itu kudapat dari teman semasa kuliah dulu, Ni Luh. ”Ya,
sehabis hujan, teduh,“ katanya. 

Dan seperti sepuluh tahun lalu, bungalow tempatku berpijak ini tetap senyap. Ia saksi bisu
dari sebuah peristiwa masa lalu penuh rindu. Ranjang tetap kayu jati. Kasur dan spreinya
mungkin sudah ganti. Tetap dari ranjang jati coklat itu, masih mendesah napas menelusupi
rajutan sprei dan sarung bantal lembut mewangi. Itulah desahan dunia temaram, dunia yang
begitu dominan dalam kesendirianku.

Bungalow sebelah kanan juga seperti dulu, tegar menyepi. Jaraknya sepuluh meteran, tak
mungkin penghuninya mendengar pesta desahan itu, apalagi saat angin menggesek daunan.
Atau mungkin, saat itu, di bungalow sebelah itu ada peristiwa yang sama.

”Surti, bungalow yang kau sewa, suasana hatinya kuat. Aku suka. Dari mana kau dapat info
lokasi ini?“ Suara suamiku biasa namun menjerat leher. Lidahku menebal. Telingaku
mengental. Padahal lelaki ulet ini bertanya dalam nada ringan, sambil membuka-buka
majalah wisata dwibahasa yang tersedia di meja kaca pojok kiri kamar. Kopi tiga rasa masih
menghangat di atas meja kaca itu. Kuseduh kopi itu dari dispenser di sebelahnya. Kepulannya
membentuk hantu-hantu putih menyeringai.

”Dulu kutemu semasa kuliah, bersama teman-teman pecinta alam. Ada beberapa bungalow
yang juga disewa saat itu,“ jawabku sekenanya. Semoga suara tipuanku itu tak dirasakannya.
Namun getar tipuan itu menyiksa meski tampaknya suamiku biasa-biasa saja mendengarnya.
Semoga dugaanku benar: dia bangga punya istri yang begitu gandrung kepada alam yang
cukup asli, asri, meskipun sepi.

”Nanti teman-teman kantor akan kuajak ke resort ini. Siapa tahu mereka cocok dan
mengulang datang. Surti, kita sudah ketemu tempat yang nyaman.“ Dia berucap tanpa
memikir dampak pada hatiku yang merunyam, pada hati yang mengering selama sepuluh
tahunan.

***

Apakah suamiku mencium kegalauanku di kamar dingin ini. Galauku sudah muncul saat ide
membawanya ke sini. Begitu bodohnya aku menambah soal. Sidik jari lelaki itu mungkin
masih bertempelan di meja, kursi, ranjang jati, atau di tembok kayu yang bercerita dengan
caranya masing-masing. Atau apakah suamiku dapat membaca semua itu di wajahku? Wajah
yang memendam rindu di masa lalu, yang penuh gairah pemberontakan dan penyerahan?

Ya, sepuluh tahunan lalu, sebulan sebelum pernikahan, aku sudah berada di tempat ini,
setelah menempuh jarak 500-an kilometer tanpa henti, seperti dikejar sesuatu, dan juga
seperti akan menangkap sesuatu. Saat ini bungalow ini ibarat mahligai anugerah RA Kartini,
sosok teduh yang uluran tangannya tanpa jeda membuka cakrawala wanita.
“Surti, apakah kau betah diburu rasa sesal seumur hidup?”

”Kelak penyesalan adalah karibku, pastilah akan menghibur. Tapi itu juga lebih menjadi
urusanku. Kalau tak cinta, mana mungkin kita sampai di tempat senyap ini, yang sebelumnya
hanya dalam mimpi?” Itulah kata panjang yang muncul dari mulutku yang tergagap, ekspresi
pengorbananku yang merisaukan. Prajoto, kawan kuliahku, pujaanku itu, hanya tersenyum,
senyum kemenangan yang datang tanpa diundang.

”Seumpama kawin lari, semuanya akan jelas, meski ayah ibu mungkin akan sakit. Tapi tidak
apa, lama-lama beliau akan sembuh.”

”Jangan lakukan sesuatu yang risikonya melanggar yang pakem-pakem. Konon, ayah ibu itu
makhluk dari sorga, wakil Tuhan, jangan kau sakiti. Jangka panjangnya tak baik untuk kita.”

”Kalau menyakiti calon suami tidak berdampak ya?”

”Konon juga, hubungan suami istri itu kurang kekal, hubungan orang tua anak lebih kekal,
tak bisa dihapus.”

Aku masih ingat kata-kata Prajoto yang bernas itu, lelaki alam yang sekarang dinas di
lembaga meteorologi di suatu gunung 1.000 kilometer dari tempatku berdiri ini. Ke barat dan
terus ke barat. Kalimat itu pulalah yang makin meledakkan daya pemberontakanku kepada
rumah, dan sekaligus gairah penyerahanku kepada Prajoto. ”Oh, maafkanlah ayah ibuku.”

Waktu itu aku dan Prajoto baru wisuda. Kagilangan wisuda sangat terasa, mengimbangi
semangat keserimbitan berdua. Ya, arti kata ”diwisuda“ adalah ”disucikan“. Setelah
digembleng di kampus, disucikan, kemudian dilepas di medan bakti. Namun menjelang
dilepas itu, kesucianku, benda sesembahan itu, di-embat Prajoto.

”Bagaimana kalau suamimu nanti tanya, ‘Lho, kamu kok sudah tidak menyandang gelar
sakral ini?‘ Apa jawabmu?“ tanya Prajoto biasa.

”Ah, masak nggak tahu kalau aku gemar olahraga? Iya kan, masuk akal kan? Sepeda gunung,
lompat tinggi, lompat jauh, renang, basket bahkan sepakbola… pasti suamiku maklum….“

Lagi-lagi, Prajoto tersenyum, senyumnya khas lelaki yang peka cuaca. Senyumnya menahan
sesuatu yang akan melompat dari mulutnya. Ya, sepuluh tahun lalu, udara gunung masih
lebih dingin, meski yang sekarang tetap jauh lebih dingin daripada di kota besar. Wajah
Prajoto tampak lebih mantap setelah aku berkata demikian, meskipun saat itu hatiku
dibayangi kebimbangan besar karena malam pertamaku bulan depan.

***

Untuk sampai ke lokasi ini, dulu aku dan Prajoto naik kereta, kapal laut, bus, berangkat
setelah ashar, sampai tujuan jam 9 pagi. Sekarang aku dan suamiku naik pesawat, tak lebih
dari 40 menit.  Disusul kemudian naik taksi 30 menitan menuju lokasi. Namun perjalanan
panjang dulu terasa nikmat dan meriangkan, daripada sekarang yang terasa membosankan.
”Maafkanlah suamiku, maafkan, bukan salah Bunda mengandung.“ Dan anehnya setelah
sepuluh tahun menikah, anak belum juga dijatah. Begitu besarnya aku berasa salah kepada
Yang Mahaberkah.

”Oh suamiku, maafkanlah aku. Kalau kumati, dia mati iseng sendiri**, sebab kudengar, dia
sampai sekarang tetap membujang. Oh suamiku, kalau kumati terlebih dulu aku pasti bisa
membaca semua isi hatimu. Dan di antara isi hati itu, pasti ada yang begini: ’Surti, kalau
bukan karena kehendak orang tua, berakhirlah sudah serimbitan ini. Aku tahu, kau
menyimpan rapi sesuatu di bilik hatimu.‘ Itulah antara lain prasasti yang tetap kau simpan di
balik wajah kebapakanmu. Simpan-simpanlah sendiri, sampai nanti entah kapan, semua
orang akan tahu.”

Setelah berpikir demikian itu tiba-tiba aku ingat wajah Prajoto yang baby face, baby face
yang pencuri. Ya, aku dicuri seorang bayi. Bayi kleptomani.

Sepanjang malam di ranjang bungalow itu aku sulit tidur, meski telah kuservis suamiku
sepenuh daya. Tubuh suamiku menjelma tubuh Prajoto, dan tubuh Prajoto menjelma tubuh
suamiku. Bergantian, keduanya saling silang. Atau ini, apakah tubuhku menjelma tubuh
wanita lain di pembaringan ini? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kalau tubuhku menjelma
tubuh wanita lain, yang tentu lebih padat seksi, akan kumaafkan suamiku, karena aku pun
telah mengawalinya. Kalau tidak, betapa besar rasa salahku karena suamiku ternyata masih
tipe orang setia. Ia tetap setia sampai suatu ketika bumi kembali meminta tubuhnya.

(Hatiku tiba-tiba bergetar setelah berpikir bumi akan meminta tubuhnya. Seolah-olah tubuhku
kelak tak ikut diminta bumi, sehingga aku akan terus hidup dan menjalin cinta lagi dengan
Prajoto. Tak kuasa aku memikirkan itu).

Di seputar bungalow, terdengar bunyi sentuhan gerimis pada daunan. Sekali-kali terdengar
pula desah angin menambah dinginnya kamar. Namun aku tak merasakan kehangatan, meski
di sampingku ada boneka mainan. Ya, selama ini, kehangatanku adalah kehangatan badan,
sehingga rohku tetap gentayangan. Ada suasana dingin, gelap, dan muram, bergelantungan di
dinding kamar. Dan suasana itu mencipta banyak gambar, dan semua gambar itu
mendakwaku sebagai pencipta pencemaran.

Kulirik suamiku pulas. Tubuhnya tampak lelah. Sayang sekali, lelaki kebapakan ini
menghidupi beberapa anggota dari pihak keluarganya. Aku sudah ikhlas, sudah legowo,
karena milikku yang paling berharga, suamiku tak ikut memilikinya. Namun hati ini, meski
sudah sepuluh tahunan senggama, tak kutemu kepuasan yang mengisi dada. Atau sebaiknya
tak perlu aku memelihara asa. Dan kuserahkan semuanya pada hujan di ujung bulan, hujan
yang senantiasa setia kepada dirinya, walau cuaca terus berubah tak bisa dipercaya. ***

Surabaya, 20/2/2014

Anda mungkin juga menyukai