RITUAL BUDDHIS
®
Dosen Pengampu : Putu Aryatama, S.Pd.B., CPS
KELOMPOK 6:
Darma Handika (2017.18.0579)
Eko Setya Dharma (2017.18.0580)
Kartika Indah Sundari (2017.18.0588)
Kirta (2017.18.0590)
Puji syukur atas kehadirat tuhan Yang Maha Esa, Sang Tiratana (Buddha,
Dhamma dan Sangha), karena berkat pancaran cinta kasih dan kebijaksanaannya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan resume ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga pembahasan ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga pembahasan ini dapat membantu menambah wawasan dan
pengetahuan bagi para pembaca.
Dalam pembuatan resume yang berjudul “Ritual dan Power” ini tidak
®
terlepas juga bantuan dan bimbingan dari Bapak Putu Aryatama, S.Pd.B., CPS
selaku dosen mata kuliah Ritual Buddhis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penulisan ini masih jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu, demi perbaikan resume ini kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat kontruktif atau membangun sehingga
kedepannya penulis dapat membuat resume sesuai dengan yang diharapankan.
Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan
untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki yang
banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun kesawah, ada yang
untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang, ritual untuk meminta
perlindungan juga pengampunan dari dosa ada ritual untuk mengobati penyakit (rites of
healing), ritual karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia. Seperti
pernikahan, mulai dari kehamilan, kelahiran (rites of passage cyclic rites), kematian dan
ada pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites of reversal),
seperti puasa pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan
dan minum pada hari tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji atau
umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram.
Dalam setiap ritual penerimaan, ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan dan
penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau
kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek bagi
prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa penggabungan ia secara
resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok atau status yang baru. Ritual penerimaan
cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis hidup individu-individu, mereka mengajukan
pendapat untuk menambahkan suatu kategori baru, namun mirip secara fundamental,
yakni ritual intensifikasi. Ini merupakan lebih dari pada individu yang terpusat meliputi
upacau-pacara seperti tahun baru, yang mengantisipasi akhir musim dingin dan
permulaan musim semi, serta ritual-ritual perburuan dan pertanian, serta ketersediaan
buruan dan panenan.
Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku kesejahteraan
individu. Hal ini semua dimaksudkan untuk mengontrol, dengan cara konservatif,
perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara
keseluruhan.
Dalam semua kelompok masyarakat, ada dua macam inisiasi. Untuk itu, diperlukan
ritual yang menjamin keberhasilan, yakni perubahan peran dan perpindahan geografis.
Dalam kedua inisiasi ini, orang-orang yang bersangkutan harus melepaskan keterkaitan
dan kebiasaan lamanya serta membentuk yang baru. Dengan kata lain, mereka harus
belajar. Perubahan-perubahan peran terjadi secara kurang lebih teratur dan dapat
diramalkan pada lingkaran-lingkaran hidup individu-individu. Meskipun perubahan peran
ini dan waktunya berbeda dari satu budaya dengan budaya yag lain, pada umumnya
terkaitan dengan kematangan fisiologi. Kelahiran, puberitas, dan kematian merupakan
objek-objek ritual yang universal. Melalui peristiwa-peristiwa itu, pribadi masuk ke
dalam relasi baru dengan dunia dan komunikasi.
Memperoleh kesempatan-kesempatan baru bisa terkena bahaya-bahaya baru, serta
tanggung jawab yang baru pula. Tingkatan-tingkatan lain dalam siklus kehidupan tampak
jelas, perkawinan, belajar, perpindahan tingkat usia, dan kelompok-kelompok sosial yang
lain, mengemban tugas-tugas jabatan atau melepaskan itu semua merupakan pokok-
pokok dari ritual inisiasi. Tidak semua perubahan peran dapat dicocokan dengan mudah
ke dalam kerangka lingkungan hidup.
Contoh ritual sebagai kendali sosial:
Kontrol sosial melalui ritual unik: perang obot hindari bencana
Di tengah era modernisasi, dalam menyikapi terpaan berbagai bencana,
masyarakat Jepara masih memercayai tradisi lama. Perang obor merupakan ritual
yang dianggap mampu menghindarkan pelakunya dari bencana.
Banyak upaya yang dilakukan masyarakat yang memercayai bahwa
berbagai bencana tidak akan terjadi lagi jika dilakukan upacara atau ritual tolak
bala, seperti ruwatan dan larung saji. Sebagian masyarakat percaya bahwa ritual
tersebut merupakan jalan yang harus ditempuh untuk memperbaiki ikhwal
perbuatan manusia, baik itu antarsesama, hubungan dengan Tuhan, alam, maupun
dengan makhluk halus.
Jalan spiritual pun dilakukan warga dengan melaksanakan berbagai ritual
tolak bala. Seperti digerakkan kekuatan spiritual, setiap warga saling cancut
taliwanda (bahu-membahu) membuat acara ritual dan tradisi yang hakikatnya
memohon keselamatan kepada Tuhan Semesta Alam itu.
Setiap tradisi memiliki ciri khas yang memengaruhi perilaku warga
setempat. Tidak terkecuali masyarakat Desa Tegalsambi, Jepara, yang memiliki
kekhasan tradisi. Salah satu tradisi khas itu adalah perang obor yang diadakan
setahun sekali. Tradisi tersebut bukan pertanda kurang kondusifnya suasana di
desa itu, melainkan sebagai ritual syukuran untuk melakukan tolak bala. Mereka
percaya bahwa bila tidak dilaksanakan, akan timbul bencana.
Dipatuhi Meski Tak Tertulis
Perayaan sedekah bumi di Desa Tegalsambi, mulai pembukaan hingga
upacara puncak, yaitu perang obor, berlangsung selama selapan atau kurang
lebih 35 hari. Tetapi, dalam selapan hari tersebut, tujuh hari terakhirlah yang
penting atau acara sakral yang dilakukan masyarakat Desa Tegalsambi.
Obor pada upacara tradisional itu adalah gulungan dua atau tiga
pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi daun pisang
kering (klaras). Obor itu dinyalakan bersama untuk dimainkan/digunakan
sebagai alat saling menyerang sehingga terjadi benturan-benturan obor yang
mengakibatkan pijaran api sehingga akhirnya masyarakat menyebutnya
dengan istilah perang obor.
Upacara tradisional perang obor yang diadakan setahun sekali, yang
jatuh pada Senin Pahing Malam Selasa Pon Bulan Besar (Dzulhijah), itu
diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat Desa Tegalsambi. Dalam tradisi
perang obor, ada semacam aturan yang tidak tertulis dan harus dipatuhi sesuai
tradisi turun-temurun. Yakni, obor menggunakan pelepah kelapa yang
dianyam dan diisi daun pisang kering. Bahan-bahan tersebut mudah terbakar
serta memiliki percikan api yang menarik.
Ukuran obor tersebut tidak seperti ukuran obor lazimnya, melainkan
dengan tinggi 3 m dan diameter 10 cm. Itu sesuai dengan lazimnya ukuran
pelepah kelapa di Desa Tegalsambi. Bahan-bahan obor juga tidak boleh
diambil dari luar Desa Tegalsambi. Jumlah obor yang digunakan sangat
banyak, yaitu 200- 300 obor, bahkan pernah lebih. Hal itu disesuaikan dengan
banyaknya jumlah peserta dan lamanya perang obor. Peserta perang obor
haruslah laki-laki dewasa dan asli warga setempat. Beberapa warga di luar
desa setempat pernah ikut, tapi tidak kuat dan tubuhnya langsung penuh luka
bakar.
Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa terdapat karakter dari pengalaman
para peserta dalam upacara ritual yang meliputi takut dan tertarik, negatif dan
positif, sikap tabu dan sikap preservasi serta proteksi.
Tujuan Ritual
Jadi, ideologi relatif otonom dari level lain (misalnya, ekonomi), meskipun
ditempatkan ‘pada urutan terakhir’. Di sini, ideologi, ‘sistem (dengan logika dan
kaidahnya sendiri) representasi (citra, mitos, gagasan atau konsep)’ (Althusser:
1969, 231), dipahami sebagai praktik yang dijalani dan mentransformasikan dunia
materi. Ada empat aspek dalam karya Althusser yang menjadi inti pandangannya
tentang ideologi (Barker 2009, 59):
Agama
Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk dijalankan oleh
umat pemeluknya di muka bumi. Adapun tujuannya adalah, supaya manusia dapat
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama juga mengatur bagaimana
manusia berhubungan. Yaitu, hubungan dengan sesama dan dengan Tuhannya.
Tentu, setiap agama mempunyai ritualitas keagamaan yang berbeda-beda.
Menurut John D. Caputo inti agama adalah cinta kasih, sehingga seorang religius
adalah orang yang memiliki cinta kasih. Dengan pengertian ini kategori religius
tidak cukup dilihat dari ketaatan ritualistik ataupun dengan pemahaman yang
sektarian yang membagi komunitas Yahudi, Islam, Kristen, Hindu dan
sebagainya.
Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait.
Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang-ideal”
bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses
spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-ideal” dan mengatur
kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Untuk memberikan gambaran kaitan
agama dengan ideologi, Althuser menyebutkan ideologi sebenarnya bisa dijumpai
dalam praktek kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ide-ide tertentu
tentang kehidupan sehari-hari. Baginya, aktivitas-aktivitas ritual, upacara, adat,
dan kebiasaan tertentu yang lazim kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari
nyata-nyata memproduksi akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada
suatu tatanan sosial yang mapan, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya
kesenjangan status dan gap kekuasaan yang menonjol antara yang Pusat dan yang
Periperal, Yang Maha dan yang hamba. Perayaan-perayaan agama adalah contoh
dari praktek ideologis yang menawarkan pelepasan dan penyegaran dari tuntutan-
tuntutan tatanan sosial untuk sementara waktu.
Dalam hal ini dapat dicontohkan kekuatan ritual (power ritual) dapat
dicontohkan seperti tari ritual. Seni pertunjukan tari ritual dan kekuatan
adikodrati merupakan seni pertunjukan tari ritual yang cukup banyak
berkembang di Nusantara pada umumnya. Seperti dikemukakan oleh Curt
Sachs, bahwa fungsi tari secara garis besar mempunyai dua fungsi, yaitu untuk
tujuan magis dan sebagai tontonan. Sebagai fungsi magis dimaksudkan untuk
mempengaruhi keadaan dunia, manusia, serta lingkungannya, seperti hujan,
kesuburan, sakit, kematian, percintaan, dan sebagainya (Curt Sachs, 1963: 60).
Seni pertunjukan tari ritual, yaitu seni pertunjukan Tari Tayub dan Sintren di
Jawa Tengah, Tari Sang Hyang di Bali, Tari Bedhaya Ketawang di Keraton
Surakarta, dan Tari Seblang di Banyuwangi Jawa Timur, dianalisis dengan
menguraikan beberapa bentuk seni pertunjukan tersebut diharapkan ada
pemahaman mengenai tari ritual terkait dengan konteksnya dalam kehidupan
sehari-hari.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dengan adanya pembahasan ini penulis mengharapkan kepada pembaca
untuk selalu menjaga dan melestarikan kemurnian ritual yang ada di
Indonesia yang sudah diwariskan oleh nenek moyang sejak turun-temurun.
Referensi
Budiono Herusatoto 1983 Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogya- karta: Penerbit PT.
Hanindita.
Sutarno Haryono 2002 ”Penari Tayub Sebagai Dukun dalam Ritus Bersih Desa Di
Jogowangsan, Purworejo, Jawa Tengah”, dalam Greget Jurnal Pengetahuan dan Pen-
ciptaan Tari, Jurusan Tari STSI Sura- karta.
Website: