Anda di halaman 1dari 18

RESUME

RITUAL BUDDHIS

“Ritual dan Power”

(Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok)

®
Dosen Pengampu : Putu Aryatama, S.Pd.B., CPS

KELOMPOK 6:
Darma Handika (2017.18.0579)
Eko Setya Dharma (2017.18.0580)
Kartika Indah Sundari (2017.18.0588)
Kirta (2017.18.0590)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN BUDDHA


SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA (STAB)
KERTARAJASA BATU
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa


Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa

Puji syukur atas kehadirat tuhan Yang Maha Esa, Sang Tiratana (Buddha,
Dhamma dan Sangha), karena berkat pancaran cinta kasih dan kebijaksanaannya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan resume ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga pembahasan ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga pembahasan ini dapat membantu menambah wawasan dan
pengetahuan bagi para pembaca.

Dalam pembuatan resume yang berjudul “Ritual dan Power” ini tidak

®
terlepas juga bantuan dan bimbingan dari Bapak Putu Aryatama, S.Pd.B., CPS
selaku dosen mata kuliah Ritual Buddhis.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penulisan ini masih jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu, demi perbaikan resume ini kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat kontruktif atau membangun sehingga
kedepannya penulis dapat membuat resume sesuai dengan yang diharapankan.

Batu, 26 Oktober 2020

Kelompok 6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan ritual merupakan suatu kegiatan yang setiap tahunnya


dilakukan oleh suatu Kelompok Masyarakat atau Komunitas tertentu, tetapi
kegiatan ritual juga merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang suka menyembah dan memuja penguasa gelap, hal
ini dilakukan oleh orangorang tersebut sebagai suatu bentuk komunikasi
mereka dengan para penguasa gelap yang mereka puja atau sembah. Tetapi
seperti yang diketahui bersama bukan hanya kegiatan ritual pemujaan
penyembahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang suka
menyembah penguasa gelap saja, tetapi juga ada kegiatan ritual yang
dilakukan oleh orang-orang yang menetap di suatu kelompok masyarakat atau
komunitas tertentu.

Kegiatan ritual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau komunitas


itu sebagai bentuk salah satu kegiatan ritual upacara adat, atau juga sebagai
bentuk pengucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang mereka dapat
bisa juga sebagai bentuk pemujaan kepada para leluhur yang selalu menyertai
mereka dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Indonesia memiliki
beragam suku dan adat istiadat yang memiliki kegiatan ritual adat yang sampai
saat ini masih dilestarikan oleh para tua-tua adat 2 di suatu wilayah atau
daerah tertentu. Seharusnya kita sebagai orang Indonesia harus bisa berbangga
hati karena di negara tercinta ini memilki begitu banyak beragam kebudayaan,
kesenian, adat-istiadat, dan juga salah satunya adalah kegiatan ritual upacara
adat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Memahami Kendali Ritual

Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan
untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki yang
banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun kesawah, ada yang
untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang, ritual untuk meminta
perlindungan juga pengampunan dari dosa ada ritual untuk mengobati penyakit (rites of
healing), ritual karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia. Seperti
pernikahan, mulai dari kehamilan, kelahiran (rites of passage cyclic rites), kematian dan
ada pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites of reversal),
seperti puasa pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan
dan minum pada hari tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji atau
umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram.
Dalam setiap ritual penerimaan, ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan dan
penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau
kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek bagi
prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa penggabungan ia secara
resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok atau status yang baru. Ritual penerimaan
cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis hidup individu-individu, mereka mengajukan
pendapat untuk menambahkan suatu kategori baru, namun mirip secara fundamental,
yakni ritual intensifikasi. Ini merupakan lebih dari pada individu yang terpusat meliputi
upacau-pacara seperti tahun baru, yang mengantisipasi akhir musim dingin dan
permulaan musim semi, serta ritual-ritual perburuan dan pertanian, serta ketersediaan
buruan dan panenan.
Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku kesejahteraan
individu. Hal ini semua dimaksudkan untuk mengontrol, dengan cara konservatif,
perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara
keseluruhan.
Dalam semua kelompok masyarakat, ada dua macam inisiasi. Untuk itu, diperlukan
ritual yang menjamin keberhasilan, yakni perubahan peran dan perpindahan geografis.
Dalam kedua inisiasi ini, orang-orang yang bersangkutan harus melepaskan keterkaitan
dan kebiasaan lamanya serta membentuk yang baru. Dengan kata lain, mereka harus
belajar. Perubahan-perubahan peran terjadi secara kurang lebih teratur dan dapat
diramalkan pada lingkaran-lingkaran hidup individu-individu. Meskipun perubahan peran
ini dan waktunya berbeda dari satu budaya dengan budaya yag lain, pada umumnya
terkaitan dengan kematangan fisiologi. Kelahiran, puberitas, dan kematian merupakan
objek-objek ritual yang universal. Melalui peristiwa-peristiwa itu, pribadi masuk ke
dalam relasi baru dengan dunia dan komunikasi.
Memperoleh kesempatan-kesempatan baru bisa terkena bahaya-bahaya baru, serta
tanggung jawab yang baru pula. Tingkatan-tingkatan lain dalam siklus kehidupan tampak
jelas, perkawinan, belajar, perpindahan tingkat usia, dan kelompok-kelompok sosial yang
lain, mengemban tugas-tugas jabatan atau melepaskan itu semua merupakan pokok-
pokok dari ritual inisiasi. Tidak semua perubahan peran dapat dicocokan dengan mudah
ke dalam kerangka lingkungan hidup.
Contoh ritual sebagai kendali sosial:
Kontrol sosial melalui ritual unik: perang obot hindari bencana
Di tengah era modernisasi, dalam menyikapi terpaan berbagai bencana,
masyarakat Jepara masih memercayai tradisi lama. Perang obor merupakan ritual
yang dianggap mampu menghindarkan pelakunya dari bencana.
Banyak upaya yang dilakukan masyarakat yang memercayai bahwa
berbagai bencana tidak akan terjadi lagi jika dilakukan upacara atau ritual tolak
bala, seperti ruwatan dan larung saji. Sebagian masyarakat percaya bahwa ritual
tersebut merupakan jalan yang harus ditempuh untuk memperbaiki ikhwal
perbuatan manusia, baik itu antarsesama, hubungan dengan Tuhan, alam, maupun
dengan makhluk halus.
Jalan spiritual pun dilakukan warga dengan melaksanakan berbagai ritual
tolak bala. Seperti digerakkan kekuatan spiritual, setiap warga saling cancut
taliwanda (bahu-membahu) membuat acara ritual dan tradisi yang hakikatnya
memohon keselamatan kepada Tuhan Semesta Alam itu.
Setiap tradisi memiliki ciri khas yang memengaruhi perilaku warga
setempat. Tidak terkecuali masyarakat Desa Tegalsambi, Jepara, yang memiliki
kekhasan tradisi. Salah satu tradisi khas itu adalah perang obor yang diadakan
setahun sekali. Tradisi tersebut bukan pertanda kurang kondusifnya suasana di
desa itu, melainkan sebagai ritual syukuran untuk melakukan tolak bala. Mereka
percaya bahwa bila tidak dilaksanakan, akan timbul bencana.
 Dipatuhi Meski Tak Tertulis
Perayaan sedekah bumi di Desa Tegalsambi, mulai pembukaan hingga
upacara puncak, yaitu perang obor, berlangsung selama selapan atau kurang
lebih 35 hari. Tetapi, dalam selapan hari tersebut, tujuh hari terakhirlah yang
penting atau acara sakral yang dilakukan masyarakat Desa Tegalsambi.
Obor pada upacara tradisional itu adalah gulungan dua atau tiga
pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi daun pisang
kering (klaras). Obor itu dinyalakan bersama untuk dimainkan/digunakan
sebagai alat saling menyerang sehingga terjadi benturan-benturan obor yang
mengakibatkan pijaran api sehingga akhirnya masyarakat menyebutnya
dengan istilah perang obor.
Upacara tradisional perang obor yang diadakan setahun sekali, yang
jatuh pada Senin Pahing Malam Selasa Pon Bulan Besar (Dzulhijah), itu
diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat Desa Tegalsambi. Dalam tradisi
perang obor, ada semacam aturan yang tidak tertulis dan harus dipatuhi sesuai
tradisi turun-temurun. Yakni, obor menggunakan pelepah kelapa yang
dianyam dan diisi daun pisang kering. Bahan-bahan tersebut mudah terbakar
serta memiliki percikan api yang menarik.
Ukuran obor tersebut tidak seperti ukuran obor lazimnya, melainkan
dengan tinggi 3 m dan diameter 10 cm. Itu sesuai dengan lazimnya ukuran
pelepah kelapa di Desa Tegalsambi. Bahan-bahan obor juga tidak boleh
diambil dari luar Desa Tegalsambi. Jumlah obor yang digunakan sangat
banyak, yaitu 200- 300 obor, bahkan pernah lebih. Hal itu disesuaikan dengan
banyaknya jumlah peserta dan lamanya perang obor. Peserta perang obor
haruslah laki-laki dewasa dan asli warga setempat. Beberapa warga di luar
desa setempat pernah ikut, tapi tidak kuat dan tubuhnya langsung penuh luka
bakar.

 Bertahan meski Zaman Berubah


Tradisi perang obor tidak hilang ditelan zaman. Meski zaman telah
berubah, tradisi itu tetap dilestarikan. Sebab, melalui tradisi tersebut,
masyarakat bisa guyub dengan memanjatkan doa bersama agar terhindar
dari marabahaya.
Tradisi adiluhung tersebut unik karena hanya satu-satunya di Jawa
Tengah, bahkan seluruh Nusantara. Nilai-nilai tradisi yang hidup dan
berkembang di masyarakat itu harus dilestarikan agar tidak punah terkikis
oleh budaya modern. Nilai-nilai luhur terkandung dalam perlambang atau
makna eksplisit pada ritual perang obor.
Dalam bidang ekonomi, masyarakat akan mendapatkan keuntungan
dengan berjualan makanan atau membuka tempat parkir kendaraan bagi
para penonton. Dampak tidak langsungnya adalah meyakinkan masyarakat
bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang mengatur jalannya kehidupan
manusia di dunia.
Tradisi perang obor yang masih rutin dilangsungkan membuat nilai
budaya peninggalan leluhur itu tetap eksis. Walaupun dalam
pelaksanaannya, ritual tersebut mengeluarkan banyak biaya.Salah satu
hambatan acara itu adalah melibatkan banyak warga sehingga sering
terjadi tindak kriminal. Misalnya, aksi pencopetan di lokasi perang obor.
Karena itu, sebagai antisipasi, ritual tahunan tersebut jarang dipublikasikan
atau dilakukan diam-diam.
2.2 Memahami Ritual

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan


menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan
agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.1 Ritual bisa pribadi atau
berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan
adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang
dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara
kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan
diri kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.2 Menurut
Susane Longer, yang dikutip oleh Mariasusai Dhavarnony, mengatakan bahwa
ritual adalah sesuatu ungkapan yang lebih bersifat logis dari pada yang bersifat
psikologis, ritual memperlihatkan tatanan atas simbul-simbul yang diobjekkan,
simbulsimbul ini memperlihatkan perilaku dan peranan serta bentuk pribadi para
pemuja dan mengikuti mengikuti masing-masing

Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh Mariasusai


Dhavamory, menyatakan bahwa “ritual adalah sesuatu yang mengakibatkan suatu
perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya pada situasi
keberadaan yang baru, misalnya; penempatan-penempatan pada lingkup yang
kudus”. Dalam makna religiusnya, ritual merupakan gambaran yang suci dari
pergulatan tingkat dan tindakan, ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa
primordial dan juga memelihara serta menyalur pada masyarakat, para pelaku
menjadi setara dengan masa lampau yang suci dan melanggengkan tradisi suci
serta memperbaharui fungsi-fungsi hidup anggota kelompok tersebut.4 Ritual
dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

1. Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang


bekerja karena daya-daya mistis.
2. Tindaka religius, kultur para leluhur juga bekerja dengan cara ini.
3. Ritual konstitutif, yang mengugkapkan atau mengubah hubungan sosial
dengan merujuk pada pengertian mistis, dengan cara ini upacaraupacara
kehidupan menjadi khas.
4. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan
pemurnian dan perlindungan atau dengan cara meningkatkan
kesejahteraan materi suatu kelompok

Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa terdapat karakter dari pengalaman
para peserta dalam upacara ritual yang meliputi takut dan tertarik, negatif dan
positif, sikap tabu dan sikap preservasi serta proteksi.

Tujuan Ritual

Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus


dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan
berkah atau rizki yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika
akan turun kesawah, ada yang untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan
akan datang, ritual untuk meminta perlindungan juga pengampunan dari dosa ada
ritual untuk mengobati penyakit (rites of healing), ritual karena perubahan atau
siklus dalam kehidupan manusia. Seperti pernikahan, mulai dari kehamilah,
kelahiran (rites of passage cyclic rites), kematian dan ada pula upacara berupa
kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites of reversal), seperti puasa pada
bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan dan minum
pada hari tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji atau
umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram.

Dalam setiap ritual penerimaan,ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan


dan penggabungan. Pada tahap persiapan, individu dipisahkan dari suatu tempat
atau kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi
subjek bagi prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa
penggabungan ia secara resmi ditempatkanpada suatu tempat, kelompok atau
status yang baru. Ritual penrimaan cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis hidup
individu- individu, mereka mengajukan pendapat untuk menambahkan suatu
katagori baru, namun mirip secara fundamental, yakni ritual intensifikasi. Ini
merupakan lebih dari pada individu yang terpusat meliputi upacaupacara seperti
tahun baru, yang mengantisipasi akhir musim dingin dan permulaan musim semi,
serta ritual-ritual perburuan dan pertanian, serta ketersediaan buruan dan panenan.

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku


kesejahteraan individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol,
dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam
kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Dalam semua kelompok
masyarakat, ada dua macam inisiasi. Untuk itu, diperlukan ritual yang menjamin
keberhasilan, yakni perubahan peran dan perpindahan geografis. Dalam kedua
inisiasi ini, orang-orang yang bersangkutan harus melepaskan keterkaitan dan
kebiasaan lamanya serta membentuk yang baru. Dengan kata lain, mereka harus
belajar. Perubahan-perubaha peran terjadi secara kurang lebih teratur dan dapat
diramalkan pada lingkaran-lingkaran hidup individu-individu. Meskipun
perubahan peran ini dan waktunya berbeda dari satu budaya dengan budaya yag
lain, pada umumnya terkaitan dengan kematangan fisiologi. Kelahiran, puberitas,
dan kematian merupakan objek-objek ritual yang universal. Melalui peristiwa-
peristiwa itu, pribadi masuk ke dalam relasi baru dengan dunia dan komunikasi.

Memperoleh kesempatan-kesempatan baru bisa terkena bahayabahaya


baru, serta tanggung jawab yang baru pula. Tingkatan-tingkatan lain dalam siklus
kehidupan tampak jelas, perkawinan, belajar, perpindahan tingkat usia, dan
kelompok-kelompok sosial yang lain, mengemban tugas-tugas jabatan atau
melepaskan itu semua merupakan pokok-pokok dari ritual inisiasi. Tidak semua
perubahan peran dapat dicocokan dengan mudah ke dalam kerangka lingkungan
hidup

2.3 Keyakinan dan Ideologi ritual

Ideologi adalah segala rangkaian ide-yang acapkali berwawasan luas bila


dipandang secara obyektif, di luar penerapan politisnya (secara keliru) yang tersaji
sedemikian rupa sehingga “orang-orang yang percaya” memandang bahwa diri
mereka memiliki monopoli atas kebenaran. Ideology adalah sistem pemikiran
yang tersusun rapi yang tidak hanya diperlakukan sebagai mitos oleh orang-orang
“yang tinggal didalamnya”, tetapi juga dipaksakan kepada orang-orang yang tidak
mau menerima mitos itu sebagaimana adanya (Palmquis, 2002). Istilah ideologi
sendiri pertama kali dikenalkan oleh Destutt De Tracy. Dia merupakan pemikir
Perancis yang memposisikan ideology vis a vis dengan gagasan teologis dan
metafisika tradisional.

Ideology dalam pengertiannya bersifat positifistik yang tujuannya untuk


menemukan kebenaran di luar otoritas agama. Ide-idenya ini terpengaruh oleh
gagasan zaman pencerahan terutama Francis Bacon yang mencoba mensterilkan
ilmu pengetahuan dari prasangka agama, kepentingan pribadi, dan kepercayaan
mistik-metafisik dengan mengukuhkan metode ilmiah sebagai satu-satunya
epistemologi yang sahih. Menurut John Storey (2004) ada lima konsep ideologi.
Diantara adalah:

1. Pertama, ideologi mengacu pada suatu pelembagaan gagasan secara


sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Misalnya, ketika kita berbicara ideologi Partai Buruh maka sebenarnya
kita sedang membahas tentang ide-ide dasar yang dijadikan sebagai
pandangan hidup, ideal-ideal, basis visi, praktek politik, ekonomi, dan
sosial partai tersebut.
2. Kedua, ideologi sebagai usaha penopengan dan penyembunyian realitas
tertentu. Ideologi merupakan seperangkat alat untuk memanipulasi
kesadaran massa (penulis). Di sini ideologi digunakan sebagai alat untuk
mengungkap bagaimana teks-teks dan praktek budaya tertentu digunakan
untuk menghadirkan citra-citra tertentu yang telah diseleksi, direduksi dan
didistorsi yang kemudian memproduksi apa yang disebut oleh Mark dan
Engels dalam The German Ideology sebagai kesadaran Palsu.
3. Ketiga, definisi ideologi yang terkait erat dengan-dan dalam beberapa hal
tergantung kepada-definisi kedua, yakni ideologi yang mengejawantahkan
dalam bentuk-bentuk ideologis. Dalam hal ini ideologi dimanfaatkan
sebagai alat untuk menarik dan memikat perhatian pemirsa terhadap teks-
teks yang ditampilkan dalam bentuk fiksi TV, lagu pop, novel, film,
roman, dan bentuk hiburan lainnya. Disinilah terjadi apa yang oleh Stuart
Hall dalam The Rediscovery of Ideology: the Return of the Repressed in
Media Studies (1985) disebut “politik penandaan” sebagai upaya untuk
menundukkan para pembacanya melalui cara pandang dunia tertentu.
4. Keempat, ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan, tetapi sekaligus
juga sebagai praktek material. Definisi dikemukakan oleh Louis Althusser
dalam buku Ideology and Ideological Apparatus. Baginya, ideologi
sebenarnya bisa dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-hari. Althuser
menegaskan aktivitas-aktivitas ritual, upacara, adat, dan kebiasaan tertentu
yang lazim kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari nyata-nyata
memproduksi akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada suatu
tatanan sosial yang mapan, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya
kesenjangan status dan gap kekuasaan yang menonjol antara yang pusat
dan peripheral, yang Maha dan yang hamba.
5. Kelima, ideologi yang difungsikan pada level konotasi (tersirat), makna
sekunder, makna yang seringkali tidak disadari yang terdapat pada teks
dan praktek kehidupan. Definisi ini dikemukakan Roland Barthes. Ideologi
(atau mitos dalam istilah Barthes) mengarahka kita pada perjuangan
hegemonik untuk membatasi makna konotatif, menetapkan konotasi-
konotasi particular, dan memproduksi konotasi-konotasi baru. Contoh:
sweeping terhadap buku-buku yang dianggap radikal untuk membendung
dan mengantisipasi terorisme. Hal serupa juga terjadi terhadap
pembredelan buku yang dianggap kiri beberapa tahun yang lalu. Bagi
Barthes, inilah yang merupakan contoh klasik ideologi, yakni upaya untuk
menjadikan apa yang pada faktanya particular menjadi universal dan
legitimate, dan juga upaya untuk menaturalkan hal-hal yang pada faktanya
kultural.Bagi Althusser, ideologi adalah satu dari tiga unsur atau level
primer formasi sosial.

Jadi, ideologi relatif otonom dari level lain (misalnya, ekonomi), meskipun
ditempatkan ‘pada urutan terakhir’. Di sini, ideologi, ‘sistem (dengan logika dan
kaidahnya sendiri) representasi (citra, mitos, gagasan atau konsep)’ (Althusser:
1969, 231), dipahami sebagai praktik yang dijalani dan mentransformasikan dunia
materi. Ada empat aspek dalam karya Althusser yang menjadi inti pandangannya
tentang ideologi (Barker 2009, 59):

1) Ideologi memiliki fungsi umum untuk membentuk subjek


2) Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu
3) Ideologi sebagai pemahaman yang keliru tentang kondisi nyata eksistensi
adalah palsu
4) Ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasi
mereka terhadap kekuasaan.

Agama

Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk dijalankan oleh
umat pemeluknya di muka bumi. Adapun tujuannya adalah, supaya manusia dapat
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama juga mengatur bagaimana
manusia berhubungan. Yaitu, hubungan dengan sesama dan dengan Tuhannya.
Tentu, setiap agama mempunyai ritualitas keagamaan yang berbeda-beda.
Menurut John D. Caputo inti agama adalah cinta kasih, sehingga seorang religius
adalah orang yang memiliki cinta kasih. Dengan pengertian ini kategori religius
tidak cukup dilihat dari ketaatan ritualistik ataupun dengan pemahaman yang
sektarian yang membagi komunitas Yahudi, Islam, Kristen, Hindu dan
sebagainya.

Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait.
Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang-ideal”
bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses
spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-ideal” dan mengatur
kehidupan sosial, politik, maupun, budaya. Untuk memberikan gambaran kaitan
agama dengan ideologi, Althuser menyebutkan ideologi sebenarnya bisa dijumpai
dalam praktek kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ide-ide tertentu
tentang kehidupan sehari-hari. Baginya, aktivitas-aktivitas ritual, upacara, adat,
dan kebiasaan tertentu yang lazim kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari
nyata-nyata memproduksi akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada
suatu tatanan sosial yang mapan, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya
kesenjangan status dan gap kekuasaan yang menonjol antara yang Pusat dan yang
Periperal, Yang Maha dan yang hamba. Perayaan-perayaan agama adalah contoh
dari praktek ideologis yang menawarkan pelepasan dan penyegaran dari tuntutan-
tuntutan tatanan sosial untuk sementara waktu.

Agama sebagai Perangkat Ideologis

Jika kita mempresentasikan agama sebagai penyaji nilai-nilai, penyedia


rujukan paham dan ajaran yang menolong seseorang untuk mengorientasikan
dirinya di tengah dunia dan kehidupan (yang saya yakin tidak akan ditolak oleh
kedua narasumber saya di atas), maka agama bisa dikategorikan sebagai perangkat
ideologis, yaitu suatu instrumen yang melaluinya nilai-nilai, ideologi, disebarkan
dan ditanamkan. Lewat agama, kita diarahkan untuk mengikuti pembedaan
tertentu tentang yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah,
yang mulia atau terpuji dengan yang tercela atau terkutuk. Membangun orientasi
hidup seperti ini adalah fungsi ideologi, dan perangkat ideologis lain, seperti
sekolah, keluarga, media, juga menjalankannya dengan keunikan cara kerja
masing-masing. Misalnya, di sekolah, sejak tingkat dasar kita sudah
‘diindoktrinasi’ dengan soal isian, “Rajin menabung pangkal …,” yang harus kita
jawab dengan kata “kaya.” Jika kita menjawabnya dengan kata “tamak,”
misalnya, tentu jawaban itu akan dipersalahkan dan nilai kita menjadi kurang
sempurna. Dalam keluarga, mungkin sejak kecil kita sudah dibombardir

dengan demonisasi atau stigmatisasi kelompok-kelompok tertentu (di


asrama seminari tempat saya pernah tinggal, ada seorang teman yang pernah
bercerita bahwa dia sempat merasa luar biasa ketakutan ketika ditempatkan
sekamar dengan teman yang berasal dari suku tertentu. Setelah beberapa saat
tinggal bersama barulah dia menyadari kalau selama ini ada ‘selubung ideologis’
yang dipasangkan di pikirannya). Media, misalnya lewat film-film atau komik-
komik tentang superhero, bisa memberi pesan bahwa prasyarat bagi perdamaian
dan keamanan masyarakat bukanlah kolektivitas dan solidaritas umat manusia,
melainkan keberadaan sosok adikuasa yang baik, yang kepadanya umat manusia
bisa bersandar. Lalu agama, mungkin mendidik seseorang sedari kecil supaya
jangan mencuri milik sesama, tetapi dengan demikian secara implisit
mengabsahkan ide tentang kepemilikan pribadi (private property).

2.4 Memahami Kekuatan Ritualisasi

Bell mengatakan ritual sebagai praktik dikonstruksi secara sosial,


memiliki fungsi sebagai mekanisme kontrol sosial di tengah perubahan
konteks. Karenanya praktik ritual terkait juga dengan aspek politik (hegemoni
kekuasaan) dan peranan kekuasaan yang terungkap dalam praktik kekerasan
dengan ideologinya, budaya yang berdampak juga terhadap persoalan
identitas. Terkait dengan kekuasaan, ritual bukan saja berfungsi untuk
mengakomodasi dan menegaskan perubahan sosial tetapi juga sebagai
mekanisme terhadap kontrol sosial. Oleh sebab itu, memahami ritual mesti
memberikan perhatian khusus terhadap praktik-praktik kekuasaan dengan
memandang posisi dominasi dan subordinasi yang ada dalam masyarakat,
praktik manipulasi dan perlawanan (resisten). Ritual berhubungan dengan
perhatian terhadap dampak kolonialisme, keragaman politik dan sosial tatkala
terjadi perjumpaan antara berbagai kebudayaan yang berbeda yang berdampak
juga terhadap dominasi ekonomi dan kebudayaan

Menurut Bustanuddin (2006 : 97) ritus berhubungan dengan kekuatan


supranatural dan kesakralan sesuatu. Kerena itu istilah ritus atau ritual
dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan yang
natural, profan dan aktivitas ekonomis, rasional sehari-hari. Ritual dilakukan
sebagai salah satu sarana mencari keselamatan dan bukti nyata tentang
keyakinan yang dimiliki oleh kelompok atau anggota masyarakat tentang
adanya kekuatan yang Maha Dahsyat di luar manusia

Dalam hal ini dapat dicontohkan kekuatan ritual (power ritual) dapat
dicontohkan seperti tari ritual. Seni pertunjukan tari ritual dan kekuatan
adikodrati merupakan seni pertunjukan tari ritual yang cukup banyak
berkembang di Nusantara pada umumnya. Seperti dikemukakan oleh Curt
Sachs, bahwa fungsi tari secara garis besar mempunyai dua fungsi, yaitu untuk
tujuan magis dan sebagai tontonan. Sebagai fungsi magis dimaksudkan untuk
mempengaruhi keadaan dunia, manusia, serta lingkungannya, seperti hujan,
kesuburan, sakit, kematian, percintaan, dan sebagainya (Curt Sachs, 1963: 60).
Seni pertunjukan tari ritual, yaitu seni pertunjukan Tari Tayub dan Sintren di
Jawa Tengah, Tari Sang Hyang di Bali, Tari Bedhaya Ketawang di Keraton
Surakarta, dan Tari Seblang di Banyuwangi Jawa Timur, dianalisis dengan
menguraikan beberapa bentuk seni pertunjukan tersebut diharapkan ada
pemahaman mengenai tari ritual terkait dengan konteksnya dalam kehidupan
sehari-hari.

Bila kesuburan dan keamanan dipercaya sebagai perlindungan dari


roh-roh nenek-moyang, dari kebajikan roh-roh alam, atau dari pemberian restu
dewa-dewa yang agung, maka orang-orang menari adalah untuk mengambil
hati serta menghormati mereka. Oleh karena itu, kelestarian kehidupan
ditentukan pada kehadiran roh-roh nenek moyang yang melindunginya. Para
penari seringkali kerasukan, hal ini dipercaya berhubungan dengan kekuatan-
kekuatan yang lebih tinggi di luar batas kekuatan manusia. Kekuatan inilah
yang sering disebut dengan kekuatan ‘Adikodrati’ atau kekuatan supernatural,
karena kekuatan tersebut melebihi kekuatan kodrat manusia. Di sinilah taritari
trance atau kerasukan (tak sadar diri) memainkan peranan penting dalam
komunitas tertentu, sehingga seringkali taritari tersebut ditampilkan untuk
‘melawan’ bencana-bencana yang mengganggu dalam kehidupan.

Jadi dengan demikian kekuatan ritual pelaksanaan seni pertunjukan


ritual bagi masyarakat ini , semuanya bermuara pada harapan-harapan dari
masyarakat pendukungnya kepada Tuhan, kekuatan adikodrati, maupun roh
penjaga alam (yang mereka percayai) agar masyarakat selamat terhindar dari
petaka, menjadi tenteram, alamnya subur, dan berbagai harapan dalam
kehidupan mereka terkabul.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Dengan adanya pembahasan ini penulis mengharapkan kepada pembaca
untuk selalu menjaga dan melestarikan kemurnian ritual yang ada di
Indonesia yang sudah diwariskan oleh nenek moyang sejak turun-temurun.
Referensi

Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi


Agama.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Bell, Catherine.2009. “Ritual—Perspectives and Dimensions”.Oxford: Oxford University


Press

Budiono Herusatoto 1983 Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogya- karta: Penerbit PT.
Hanindita.

Sutarno Haryono 2002 ”Penari Tayub Sebagai Dukun dalam Ritus Bersih Desa Di
Jogowangsan, Purworejo, Jawa Tengah”, dalam Greget Jurnal Pengetahuan dan Pen-
ciptaan Tari, Jurusan Tari STSI Sura- karta.

Website:

ejournal.iainsurakarta.ac.id diakses pada 25 oktober 2020, pukul 22:00 WIB


https://indoprogress.com/2016/06/tentang-agama-dan-ideologi/ diakses pada 25
oktober, pukul 21:20 WIB

Anda mungkin juga menyukai