Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan
dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani yaitu philosophia. Dalam
bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia berarti
cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Sehingga secara harfiah filsafat berarti
“cinta kebijaksanaan”.
Sebenarnya filsafat itu berasal dari timur, bukan berasal dari barat. Tapi
pemikiran dari barat itu lebih cepat terealisasi tanpa memikirkan sebab akibatnya,
sehingga orang-orang menyangka filsafat berasal dari barat. Berbeda dengan daerah
timur yang mana pemikirannya lebih lambat direalisasikan, karena daerah timur lebih
memikirkan sebab akibatnya dimasa yang akan datang. Dengan kata lain, filsafat
adalah berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan merealisasikannya secara
bijaksana.
Manusia mahluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna di jagad raya,
dengan alam pikirannya dia dapat mengembangkan segala sesuatu yang diinginkan,
segala sesuatu yang diinginkan, segala cara dia lakukan untuk mencapai hasil
semaksimal mungkin. Tuhan menciptakan manusia yang bagaimana (keberadaan
seperti apa manusia berada), apakah cara berada manusia sama halnya dengan cara
berada makhluk lain "benda-benda". Jawabannya tentu beraneka ragam dan berbeda
pendapat yang mempunyai alasan-alasan tersendiri dalam memperkuat filsafatnya.
Hal itu terjadi apabila cara manusia berada di dunia ini (eksistensi) berbeda,seperti
halnya: eksistensialisme, materialisme. Dalam filsafatnya tentang keberadaan
manusia di dunia.

1
Dalam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran filsafat yang merupakan
terapan dari filsafat umum. Dan yang akan dibahas dalam makalah ini filsafat
eksistensialisme yang ditinjau dari segi ontologis atau keberadaan dalam filsafat
pendidikan. Pengertian yang cukup terang tentang aliran filsafat pendidikan ini dapat
membuka jalan yang lebih mulus ke arah pengertian, hubungan antara filsafat
pendidikan eksistensialisme, dengan pendekatan tradisional, dengan pendekatan
progresif terhadap  aliran-aliran lain.
Filsafat ini memfokuskan pengalaman-pengalaman individu. Filsafat yang
berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan
memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia, dan nilai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1. Apa pengertian filsafat Eksistensialisme?
2. Apa latar belakang munculnya aliran Eksistensialisme?
3. Siapakah tokoh-tokoh dalam aliran Eksistensialisme?
4. Bagaimana pemikiran Eksistensialisme dalam pendidikan?
5. Seperti apa ciri-ciri umum dari filsafat Eksistensialisme?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diuraikan tujuan penulisan
makalah sebagai berikut.
1. Untuk menjelaskan pengertian filsafat pendidikan Eksistensialisme.
2. Untuk menjelaskan latar belakang munculnya aliran Eksistensialisme.
3. Untuk menjelaskan tokoh-tokoh aliran Eksistensialisme
4. Untuk memberikan beberapa pemikiran Eksistensialisme tentang pendidikan.
5. Untuk memberitahukan tentang ciri-ciri umum filsafat Eksistensialisme

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Eksistensialisme


Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa
Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri,
manusia sadar tentang dirinya sendiri “ia berdiri sebagai aku atau pribadi”. Pikiran
semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein yang artinya di sana.  Untuk lebih
memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan
dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia
dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam dunia “ia menyadari dirinya
berada di dunia”. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang
dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu di antaranya
ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai
subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Dan barang-barang yang
disadarinya disebut obyek.
 Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.
Eksistensi adalah cara manusia ada di dunia ini. Cara berada manusia berbeda dengan
cara beradanya benda-benda materi yang lain. Cara beradanya manusia adalah hidup
bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan komunikasi serta dengan penuh
kesadaran, sedangkan benda-benda materi lainnya keberadaannya berdasarkan
ketidaksadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan
yang lainnya. Benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada diluar manusia tidak

3
akan bermakna dan tidak memiliki tujuan apa-apa jika terpisah dari manusia. Jadi
dunia bermakna karena manusia.
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern,
manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti hal halnya kayu dan batu. Memang
orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti halnya
kayu dan batu. Akan tetapi, materialisme mengatakan bahwa pada prinsipnya, pada
dasarnya, manusia hanyalah sesuatu yang material. Dengan kata lain materi betul-
betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul daripada sapi,
ataupun batu, tetapi pada eksistensinya manusia adalah sama saja dengan sapi, pohon
ataupun batu. Nah disinilah terjadi pertentangan antara kaum materialisme dan
eksistensialisme.

2.2 Latar Belakang Munculnya Filsafat Eksistensialisme


Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin
Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan
Nietzche. Kiergaard (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Hal ini terjadi karena pada saat itu
terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard
menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu
yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam
kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya
manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri
secara jujur dan berani.
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang
menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard
(1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah

4
respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi.
Kita lahir dan eksis, lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap
individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah atau yang
jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free
will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam
terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai
fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan
berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak
terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara
membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan
dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan
untuk dipilih siswa. Kelas harus kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa
melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film dan drama.
Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat” makna dari
pengalaman hidup, cinta dan kematian. Eksistensialisme biasa dikatakan sebagai
salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang
hampir punah akibat perang dunia kedua.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi.
Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
            Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Filsafat eksistensialisme adalah
salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar
biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat

5
tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan
reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia,
yaitu :
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda
seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa
manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya,
jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah
sesuatu yang material. Dengan kata lain, materi itu betul-betul materi. Menurut
bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya
manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai
kesadaran, menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga
menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada
barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia
Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia
tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual.
Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan
bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura,
kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri
sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap
tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

6
2.3 Tokoh-Tokoh dalam Aliran Eksistensialisme
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya:
1.      Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia
lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi
di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi
di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup
bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia
kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya Om Begrebet Ironi
(The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan
pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat
umum. Karya agungnya yaitu Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding
Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara
pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan
Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah
Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian
Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948)
(M. Dagun:1990:48-49). Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai
berikut:
         Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang
"bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius
seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas
sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi
protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber. Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup;
apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud"

7
secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan
agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh
bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan
menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna
kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja
yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia
memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang
diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena
Hegel mengutamakan ide yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak
pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
         Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini “bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan
dirinya atau eksistensi dirinya”. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa
menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini
berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini
semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi
dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia.
Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi
hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak
berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu :
        Eksistensi estetis, menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam
lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati

8
manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
        Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga
memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya
condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya
yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan
dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
        Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi
sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang
absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia.
Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani
lewat iman religius.
         Pandangan tentang Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan
makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu
berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di
bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya.
Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika
seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu
keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana
manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal (Dagun:1990:52).
            Jadi inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme menurut
Kierkegaard adalah :
        Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi,
manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
        Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara
aktif, merencanakan, berbuat dan menjadi.

9
        Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta
realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama sesama
manusia.
2.      Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal
dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis
dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas
Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya
dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik
secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya
dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak
inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup
masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri
dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru
tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia menengaku sama sekali tidak percaya lagi
akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia,
dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan
hidupnya sebagai pengarang. Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup
bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi
mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan
pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi
masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang
memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada
periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami
fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi
mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat,

10
karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan
tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi
tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri
dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia
tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan
yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam
dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall. Ide-
ide pokok Sartre adalah sebagai berikut :
         Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya,
dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak
mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia
dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia
dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La
Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban
tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak
ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih
lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya.
Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan
kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan
yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena
ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar
diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan

11
bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre,
pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan
manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan
mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
3.      Martin Haidegger
Menurut Martin Haidegger bahwa keberadaan hanya akan dapat dijawab
melalui jalan Anologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungan ini. Metode untuk ini adalah Metode Fenomenologis.
Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu. Satu-satunya yang berada
dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda
terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia mengambil tempat di tengah-
tengah dunia sekitarnya. Untuk itu manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri
ditengah-tengah segala yang berada. Desein manusia disebut juga dengan eksistensi.
Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan
berkomunikasi bagi manusia. Secara apriori manusia telah memiliki daya untuk
berbicara, sambil berbicara ia mengungkapkan diri, pengungkapannya adalah sebuah
dalam rangka rencana yang telah diarahkan ke arah tertentu.
4. Friedrich Wilhelm Nietzsche
Dilahirkan di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober 1844. Nietzsche
sangat menaruh perhatian pada masalah moral dan nilai. Memandang bahwa
moralitas yang ada dimasyarakat sering digunakan untuk melayani tujuan-tujuan yang
tidak bermoral, Nietzsche pun menyerukan evaluasi ulang terhadap seluruh nilai-
nilai. Ia menegaskan, tidak ada penentu akhir atas nilai-nilai itu diluar pengalaman
kepuasan (satisfaction). Penolakan Nietzsche terhadap standar moral yang absolute
jelas sangat berpengaruh pada Sarte dan Albert Camus. Namun kecendrungan
Nietzsche untuk menolak bahwa manusia bertindak secara bebas, serta pandangan
Nietzsche tentang naturalism biologis, menempatkannya pada jarak tertentu dari
Eksistensialisme. Nietzsche bahkan mengusulkan suatu seleksi yang drastis untuk
tujuan melahirkan manusia-manusia agung, antara lain dengan jalan eugenika serta

12
memberikan pendidikan-pendidikan yang istimewa kepada mereka yang kuat dan
cerdas. Akan tetapi Nietzche menegaskan bahwa kecerdasan saja tidak cukup untuk
menumbuhkan seseorang yang agung. Manusia agung hanya ditumbuhkan oleh
gabungan yang harmonis antara 3 hal yaitu Kekuatan, kecerasdasan, dan kebanggaan.
Menurut Nietzsche, demokrasi adalah suatu gejala yang menunjukkan bahwa suatu
masyarakat sudah menjadi busuk, dan tidak mampu lagi melahirkan pemimpin-
pemimpin yang Agung. Demokrasi adalah pemerintahan hanya kaum dagang semata.
Demokrasi adalah suatu mania belaka, dimana setiap orang bersaing sambil berteriak
sama rasa sama rata.
5. Albert Camus
Albert Camus (1913-60), tidak sering disinggung dalam pengajaran
eksistensialisme dewasa ini. Walaupun selalu membantah bahwa dirinya adalah
seorang eksistensialis, Camus selalu diasosiasikan dengan sebutan itu. Dalam
bukunya The Myth of Sisyphus (1942), Camus tidak memfokuskan diri pada
masalah-masalah yang terkait dengan isu kebebasan, tetapi menekankan pada hakikat
absurd dari eksistensi, bagaimana manusia menanganinya, dan bagaimana
meneruskan kehidupan. Camus merujuk absurditas sebagai jurang antara apa yang
diharapkan manusia dalam kehidupan dan apa yang mereka benar-benar temukan.
Individu-individu yang mencari ketertiban, harmoni dan bahkan kesempurnaan.

2.4 Pemikiran Eksistensialisme dalam Bidang Pendidikan


Ada beberapa pemikiran yang sangat menonjol dikalangan
eksistensialisme. Antara lain:
1.      Realitas
Menurut eksistensialitas, ada dua jenis filsafat tradisional yaitu filsafat
spekulatif dan skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan  tentang hal-hal yang
fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam
yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Filsafat skeptik berpandangan
bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada satupun yang dapat kita

13
kenal dari realitas. Mereka berpendapat bahwa konsep metafisika adalah bersifat
sementara.
Paham ekistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai
pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki
beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan
filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
        Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah cara manusia berada, hanya
manusialah yang pereksistensi.
        Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan memecahkan.
        Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang
eksistensial.
2.      Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomologi,suatu pandangan yang mengambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana banda-benda tersebut menampakkan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan
yang diberikan disekolah bukanlah sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau
karir anak, melainkan dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.
3.      Nilai
Pemahaman eksistensi terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam
bertindak. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita, melainkan suatu potensi
untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun untuk
menentukan pilihan yang terbaik itu yang paling sulit. Berbuat akan menghasilkan
akibat, dimana seseorang kan menerima akibat dari perbuatannya.

14
4.      Pendidikan
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia
pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya,
penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan
melalui pembangunan pendidikan.  Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut
pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga
menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak
penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada
teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak
membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis
mengatakan sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut
esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik
pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosial-ekonomi
yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah
menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan
gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah
juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa
yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-
peran ini dan berperan dengan baik pula.
            Eksistensialitas sebagai filsafat sangat menekankan individualitas, dalam
hubungannya dengan pendidikan sangatt erat sekali, kerena keduanya bersinggungan
satu masalah dengan masalah yang lainnya, yaitu manusia, hidup, hubungan antara
manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pendidikan adalah proses yang
pembelajarannya harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta
didik, tidak ada pemaksaan penguasaan pengetahuanm sikap dan keterampilan,
melainkan ditaawarkan. Tuntutlah peserta didik agar dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Guru hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta

15
didik untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan
membantu menemukan makna dari kehidupan mereka.
5.      Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku
secara umum.
Kurikulum pada sekolah menurut eksistensialis haruslah terbuka terhadap
perubahan karena  ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-
perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus  memilih mata pelajaran yang
terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler
pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.
6.      Peranan guru
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat
dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif.
Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk
memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka
menemukan makna dari kehidupan mereka. Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
memberikan intruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luasa agar betul-
betul menghasilkan diskusi yang memuaskan tentang mata pelajaran. Diskusi adalah
salah satu metode utama dalam pandangan eksistensialisme.

16
2.5 Ciri-ciri Umum Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme dan Fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat
erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-
pandangan filsafat barat. Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem
filsafat secara khusus.
Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut
aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang
tampak pada penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai
berikut :
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-
konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan
massa.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik
gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan
perorangan di dalam kolektif atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di
dunia.
f. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi serta
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

18

Anda mungkin juga menyukai