KESESUAIAN PROSEDUR PELAKSANAAN PEKERJAAN dan PENERAPAN K3 PADA PEKERJA
Tatang Listyawan Program Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang Konsentrasi Manajemen Konstruksi
I. PENDAHULUAN
Industri konstruksi di Indonesia telah berkembang dengan pesat, dan
menunjukkan adanya pola persaingan seiring dengan perkembangan aplikasi teknik, perkembangan teknologi, dan globalisasi industri modern. Sehingga menuntut adanya peningkatan kualitas atau prestasi pekerjaan, dan unsur- unsur yang terkait dalam proses konstruksi, misalnya tenaga ahli yang berpengalaman dibidangnya lengkap dengan sertifikasi keahliannya (ex : sertifikasi HAKI untuk ahli konstruksi/stuktur). Tenaga lapangan baik teknisi, quality control, pengawas maupun pelaksana telah diberikan berbagai pelatihan atau simulasi untuk meningkatkan kemampuan dan tanggap serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan. Sayangnya, untuk tenaga kasar atau buruh bangunan atau tukang untuk saat ini masih kurang mendapat jaminan dan perhatian dari kalangan pelaku industri konstruksi, seperti kurangnya implementasi K3 dalam penyelenggaraan proyek.
Sebagaian besar dari mereka berstatus sebagai tenaga kerja harian
lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi.
Perkembangan industri konstruksi tersebut semakin menunjukkan
adanya persaingan jasa konstruksi. Industri jasa konstruksi merupakan salah
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 1
satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih (buruh bangunan). Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi,
pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya antara lain adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian. Pada jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang
cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung.
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 2
Studi kasus ini membahas tentang kesesuaian spesifikasi teknis dalam dokumen kontrak terhadap penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek pembangunan terminal Mangkang Semarang yang pada saat pekerjaan konstruksi atapnya rubuh dan menyebabkan beberapa pekerja luka- luka sehingga perlu perawatan medis di Rumah Sakit karena terjatuh dari atap
II. IDENTIFIKASI MASALAH
Proses pelelangan proyek pembangunan terminal Mangkang Semarang
mengacu pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam Bab I Ketentuan Umum, sub bagian Maksud dan Tujuan menjelaskan, bahwa : (1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN/APBD. (2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Dijelaskan dalam sub bagian Prinsip Dasar huruf (a), bahwa efisien berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, bahwa harga terendah yang akan menjadi pemenang, sehingga menguntungkan negara. Jika dianalisa, apakah dengan harga rendah bisa memenuhi aspek teknis, mutu pekerjaan, dan tingkat profesionalisme kerja yang mampu mencakup segala aspek konstruksi, termasuk adanya jaminan yang memadai tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Terkait kasus ambruknya atap terminal Mangkang yang sedang dikerjakan dan menyebabkan beberapa pekerja terluka dan dirawat di rumah sakit, apakah disebabkan karena kesalahan perencanaan atau ketidaksesuaian spesifikasi teknis dengan pelaksanaan sebagai indikasi korupsi, atau metode kerja yang tidak baku sehingga untuk tingkat keamanan pekerja terabaikan atau karena force majeur atau karena faktor human error.
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 3
III. METODOLOGI
Metodologi studi kasus ini adalah kajian teori dari beberapa
kepustakaan, media cetak, internet, referensi dan sumber pendukung lainnya, kemudian membandingkan dengan penerapannya dilapangan. Sesuai dengan UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, bab IV Pengikatan Pekerjaan Konstruksi, bagian ketiga ; Kontrak Kerja Konstruksi pasal 22 angka (2) point (a), bahwa perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial. Serta UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. (Reini D. Wirahadikusumah; Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia).
Banyak peraturan pemerintah tentang K3 dan ketenagakerjaan menjadi
acuan untuk memberi gambaran tentang implementasi peraturan tersebut pada industri jasa konstruksi. Peran serta pemerinyah dalam memberikan sosialisasi merupakan hal yang harus dijadikan sebagai kegiatan rutin atau berkala, sehingga penerapan K3 benar-benar mengenai sasaran.
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 4
IV. PEMBAHASAN
Pihak kontraktor pembangunan Terminal Mangkang menyatakan
bahwa konstruksi besi kerangka atap baja yang runtuh sudah sesuai dengan gambar detail teknis proyek atau bestek, begitu juga bahan bangunan yang digunakan untuk menyusun kerangka atap. Sedangkan dugaan runtuhnya kerangka atap terminal Mangkang tersebut diperkirakan karena lepasnya pengait atau penyambung konstruksi besi dengan beton penyangga atap, karena tidak ditemukannya adanya besi kerangka yang patah di tempat pertama runtuh. Pihak kepolisian melibatkan konsultan bangunan tetap melakukan penyelidikan dan observasi untuk mencari penyebab runtuhnya atap tersebut.
Sumber media cetak menyatakan bahwa “ atap bangunan Terminal
Tipe A Mangkang, Semarang yang tengah dalam tahap pengerjaan, Sabtu (24/11) runtuh. Akibatnya sejumlah pekerja mengalami luka berat dan ringan karena jatuh dan tertimpa puing-puing material atap berupa genting, kayu, dan besi “, (Suara Merdeka, minggu 25 Nopember 2007). Peristiwa runtuhnya atap terminal Mangkang saat pekerjaan fisik masih berlangsung, yang menyebabkan beberapa pekerja harus dirawat di rumah sakit, memberikan gambaran bahwa keselamatan pekerja masih terabaikan. Terkait kasus runtuhnya atap terminal Mangkang saat pekerjaan fisik pemasangan kontruksi atap, yang menyebabkan beberapa pekerja harus dirawat di rumah sakit, menyatakan bahwa Semua pekerja telah di ikutkan program asuransi, sehingga biaya perawatan ditanggung melalui program Jamsostek, (Radar Semarang, Senin 26 Nopember 2007). Dalam hal ini, program asuransi jamsostek mungkin memang telah diberikan, tetapi, jika dianalisa secara detail mengenai kejadian runtuhnya atap ini, ada beberapa asumsi yang penulis rasa cukup menarik untuk diangkat, antara lain : 1. Secara teknis dan struktur, konstruksi atap tersebut kuat, baik saat menerima beban pelaksanaan maupun jika sudah dioperasikan.
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 5
2. Pekerjaan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan gambar kerja dan detail pekerjaan telah sesuai dengan spesifikasi, 3. Pengawasan pekerjaan telah dilakukan dengan baik 4. Dugaan sementara mengenai runtuhnya atap karena adanya bagian penghubung atau kait yang terlepas, sehingga konstruksi menjadi tidak kuat. Sumber media cetak menulis “...Dalam penelitian itu ditemukan tidak ada klem besi pengikat konstruksi atap ke beton penyangganya dan tak dilengkapi baut”. “...Yakni, konstruksi rangka atap tidak sesuai dengan bestek yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini terlihat dari klem besi konstruksi atap yang tidak di baut ke beton penyangganya. Konstruksi atap hanya sekadar menumpang atau menempel di atas beton”. (Kedaulatan rakyat, 30/01/2008). Secara teknis dan struktur, semua hal mungkin sudah dipenuhi kontraktor bahwa dilaksanakan sesuai dengan spesifikasi yang telah disyaratkan. Dan kejadian runtuhnya atap ini dianggap sebagai kelalaian dalam memasang baut/klem penghubung beton dengan baja. Jadi, faktor human errror-lah yang dijadikan alasan atas peristiwa tersebut. Tetapi, bukankah kewajiban kontraktor sebagai penyedia jasa, tidak hanya memenuhi kewajiban menjalankan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi, tetapi ada hal lain yang juga menjadi tanggungjawab kontraktor dan hal ini juga telah tertulis dalam peraturan perundangan (UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi) dan masuk dalam dokumen kontrak, yaitu tentang perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial. Diatas telah disebutkan bahwa, pekerja yang mengalami kecelakan kerja telah diikutkan sebagai peserta penerima asuransi Jamsostek, yaitu jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Membawa dan merawat pekerja tersebut
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 6
secara medis dirumah sakit. Dalam hal ini, kewajiban kontraktor untuk memberikan fasilitas mengenai jaminan adanya kecelakaan kerja telah dipenuhi, tetapi untuk hal keselamatan kerja yang mengacu pada prosedur keselamatan kerja itu sendiri yang belum dilaksanakan secara baik dan sesuai peraturan tentang keselamatan pekerja. Misalnya, prosedur memakai sabuk pengaman (safety belt) ketika bekerja pada lokasi ketinggian atau tempat yang rawan terhadap risiko jatuh dan membahayakan keselamatan pekerja.
“ Sebagian pekerja yang sedang memasang kayu reng sebagai
penyangga tersangkut di atap. Sedangkan yang lain jatuh ke tanah hingga menderita patah tulang “, (okezone.com ; Minggu, 25 Nopember 2007). “ Sejumlah saksi mata menuturkan, sebagian korban tergeletak tak sadarkan diri di antara reruntuhan genteng dan kayu. Bahkan, ada yang terjepit di antara kerangka baja. Pekerja lainnya langsung memberikan pertolongan “, (Suara Merdeka, minggu 25 Nopember 2007). Analisa sederhana penulis bahwa, kondisi pekerja dimungkinkan tidak memakai sabuk pengaman (safety belt) saat bekerja pada ketinggian. Karena, saat kejadian, pekerja langsung terjun bebas atau terjatuh yang kemudian tertimpa reruntuhan atau puing-puing atap. Jika pada saat pelaksanaan tersebut, pekerja memakai sabuk keselamatan sehingga paling tidak mereka masih tertahan sabuk untuk sementara waktu atau dalam posisi tergantung sampai bantuan datang, atau risiko terjun bebas yang mengakibatkan luka- luka serius dapat dihindari. Atau , pekerja sudah diberi sabuk pengaman, akan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya, karena cenderung meremehkan atau tidak sadar bahwa risiko pekerjaan yang dihadapinya terlalu besar yang bisa menyebabkan kecelakaan kerja serius. Dan kemungkinan lain, pekerja sudah memakai sabuk pengaman saat pelaksanaan pekerjaan atap, tetapi karena adanya faktor human error mengenai tidak terpasangnya klem penghubung beton dengan tumpuan kuda- kuda, yang menyebabkan runtuh, sehingga pekerja juga ikut terjatuh saat peristiwa tersebut. IndoPos online Radar Semarang (26/1/207) memberitakan “Sementara seorang korban ... diduga mengalami luka dalam yang cukup parah”
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 7
.”...ditengarai dia mengalami luka dalam. Dikhawatirkan livernya kena ". Artinya, kondisi pekerja yang mengalami luka serius ini bisa jadi tolok ukur adanya indikasi lemahnya penyelenggaraan K3 secara benar sehingga timbul korban, atau kurang efisiennya Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Pengendalian Kesehatan dan keselamatan Kerja (K3) dapat ditempuh melalui Perundang-undangan (Legislative Control) berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku, antara lain : 1. UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja 2. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 3. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, 4. Peraturan/persyaratan tentang kesehatan dan keselamatan kerja lainnya 5. Petugas kesehatan dan non kesehatan
Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures)
terutama untuk pekerjaan yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan dan Penggunaan alat keselamatan kerja merupakan hal yang seharusnya menjadi perhatian untuk menjaga keselamatan pekerja. Faktor usia produktif pekerja juga bisa dijadikan sebagai tolok ukur efisiens pekerja. Informasi media menyebutkan “ ..., Seluruh korban segera dilarikan ke UGD RSU Tugurejo, yakni Hermanto (45), Karsidi (45), Kastubi (50), Eri Setiawan (20), Batin (40), Mintarno (40), Supai (52), Santoso (40), Tumito (40), dan Karnawi (40). Mereka hanya mengalami luka memar dan lecet di bagian kepala, tangan, dan kaki. Sedangkan empat pekerja menderita luka berat dan harus menjalani rawat inap, yakni Darno (45); patah tulang leher, Sugiyoto (40); patah lengan
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 8
kiri, Tugino (40); patah tulang belakang, dan Suwito (35); luka parah di bagian kepala. (Suara Merdeka, minggu 25 Nopember 2007). Data ini memberikan fakta bahwa, ada beberapa pekerja yang sedang melaksanakan pekerjaan atap ketika runtuh adalah pada usia yang relatif mendekati tua, yaitu lebih dari umur 50 tahun. Sedangkan sebagian besar pada usia 40 tahun yang relatif masih cukup mampu untuk bekerja di posisi ketinggian. Adanya pekerja diatas rata-rata usia produktif, merupakan adanya faktor kebutuhan hidup yang memungkinkan untuk terus bekerja, walaupun dengan kondisi fisik yang cenderung lemah dan rentan terhadap risiko. Atau karena pekerja tersebut memang mempunyai kemampuan dan ketrampilan dibidangnya, dengan keterbatasan keahlian dan pendidikan. Fenomena runtuhnya atap terminal Mangkang Semarang pada saat pelaksanaan ini bisa menjadi sebuah gambaran bahwa penerapan pedoman dan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) saat ini memang kurang mendapat respon positif dari pihak-pihak terkait, meskipun telah dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dan pelaksanaan K3. Muncul kecenderungan untuk menomorduakan keselamatan kerja dan mengurangi implementasinya, karena lebih memilih tindakan praktis dalam menerapkan pekerjaan.
V. KESIMPULAN
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Misalnya, pekerja yang masih bekerja pada usia diatas rata-rata atau di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar atau SLTP dan SLTA dengan minimnya ketrampilan dan keahlian. Mereka cenderung adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 9
para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup. Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani secara sepihak oleh penyedia jasa atau kontraktor pelaksanan. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Tidak hanya mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan K3, tetapi juga memberikan sosialisai dan simulasi berkala penerapan K3 di proyek. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai. Pada kasus runtuhnya atap terminal Mangkang saat masih dalam proses pekerjaan fisik ini, terkait penerapan K3 di jasa konstruksi, ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, antara lain : 1. Pihak kontraktor telah melaksanakan pekerjan sesuai dengan spesifikasi teknis dan gambar detail. Tetapi, karena adanya faktor human error yaitu kelalaian dalam memasang klem/baut penghubung beton dengan baja kuda-kuda, menyebabkan konstruksi tumpuan kuda-kuda merupakan perlemahan struktur atap menjadi tidak stabil dan menyebabkan runtuhnya konstruksi saat pekerjaan. Sehingga jatuh korban pada pekerja yang saat itu berada di atas susunan rangka atap, karena ikut terjatuh bersama atap. Human error ini bisa jadi karena pengawasan yang tidak baik oleh pihak terkait. 2. Penerapan K3 yang kurang optimal, dilihat dari prosedur pekerjaan pada ketinggian yang seharusnya memakai alat keamanan berupa sabuk pengaman (safety belt). Dari kondisi pekerja yang semuanya jatuh dan
Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 10
bahkan terdapat yang tertimpa reruntuhan atap, menunjukkan indikasi tidak adanya sabuk pengaman tersebut sebagai bagian dari prosedur pekerjaan. Seharusnya jika memang ada, pekerja akan tertahan sementara waktu sampai bantuan datang. 3. Lemahnya peran pemerintah dalam memberikan pengawasan. Terbitnya peraturan yang tidak diimbangi dengan sosialisasi berkala menjadi faktor bahwa penerapan K3 masih perlu diperhatikan secara serius. 4. Pihak kontraktor telah memenuhi kewajiban untuk mengasuransikan pekerjanya dalam program Jamsostek. Ini merupakan implementasi peraturan pemerintah bahwa tenaga kerja harus terdaftar dalam program ini. Sehingga semua biaya kecelakaan kerja menjadi tanggungan pihak kontraktor dan jamsostek.
VI. DAFTAR PUSTAKA
1. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2. UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 3. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 5. Wirahadikusumah, Reini D.; Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia) 6. http://news.okezone.com : 24 November 2007 : Atap Terminal Mangkang Ambrol, 14 Pekerja Luka 7. http://news.okezone.com : 24 November 2007 Atap Terminal Mangkang Ambrol Polisi Akan Periksa Pihak Terkait 8. http://www.indopos.co.id : IndoPos online Radar Semarang (26/1/2007) : Polisi Libatkan Konsultan.http://www.kr.co.id : Buntut Ambruknya Terminal Mangkang ; Perencana Konstruksi dan Pemborong Resmi Tersangka (30/01/2008). 9. http://www.suarakarya-online.com : TERMINAL RUNTUH Pemkot Semarang Harus Kaji Ulang Lelang Proyek 10. http://www.suaramerdeka.com : (25/11/2007) Atap Terminal Runtuh, 14 Luka.