Anda di halaman 1dari 11

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak

STUDI KASUS ROBOHNYA ATAP TERMINAL MANGKANG :


KESESUAIAN PROSEDUR PELAKSANAAN PEKERJAAN dan
PENERAPAN K3 PADA PEKERJA

Tatang Listyawan
Program Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro Semarang
Konsentrasi Manajemen Konstruksi

I. PENDAHULUAN

Industri konstruksi di Indonesia telah berkembang dengan pesat, dan


menunjukkan adanya pola persaingan seiring dengan perkembangan aplikasi
teknik, perkembangan teknologi, dan globalisasi industri modern. Sehingga
menuntut adanya peningkatan kualitas atau prestasi pekerjaan, dan unsur-
unsur yang terkait dalam proses konstruksi, misalnya tenaga ahli yang
berpengalaman dibidangnya lengkap dengan sertifikasi keahliannya (ex :
sertifikasi HAKI untuk ahli konstruksi/stuktur). Tenaga lapangan baik teknisi,
quality control, pengawas maupun pelaksana telah diberikan berbagai
pelatihan atau simulasi untuk meningkatkan kemampuan dan tanggap serta
mampu memberikan solusi terhadap permasalahan. Sayangnya, untuk
tenaga kasar atau buruh bangunan atau tukang untuk saat ini masih kurang
mendapat jaminan dan perhatian dari kalangan pelaku industri konstruksi,
seperti kurangnya implementasi K3 dalam penyelenggaraan proyek.

Sebagaian besar dari mereka berstatus sebagai tenaga kerja harian


lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan
perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3
yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan
mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan
konstruksi.

Perkembangan industri konstruksi tersebut semakin menunjukkan


adanya persaingan jasa konstruksi. Industri jasa konstruksi merupakan salah

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 1


satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi.
Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah
hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat
unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu
pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi,
serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih (buruh bangunan).
Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah,
akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang
berisiko tinggi.

Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi,


pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya antara lain adalah pekerjaan yang
dilakukan pada ketinggian. Pada jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang
terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan
kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi
pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi.
Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara
risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali
mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system)
yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang


cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai
macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya
lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada
pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya
tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu
mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya
kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang
negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan
pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh
lebih besar dari pada biaya langsung.

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 2


Studi kasus ini membahas tentang kesesuaian spesifikasi teknis dalam
dokumen kontrak terhadap penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada
proyek pembangunan terminal Mangkang Semarang yang pada saat
pekerjaan konstruksi atapnya rubuh dan menyebabkan beberapa pekerja luka-
luka sehingga perlu perawatan medis di Rumah Sakit karena terjatuh dari atap

II. IDENTIFIKASI MASALAH

Proses pelelangan proyek pembangunan terminal Mangkang Semarang


mengacu pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam Bab I Ketentuan
Umum, sub bagian Maksud dan Tujuan menjelaskan, bahwa : (1) Maksud
diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan
pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari
APBN/APBD. (2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar
pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai
APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing,
transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Dijelaskan dalam sub bagian Prinsip Dasar huruf (a), bahwa efisien
berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana
dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Artinya, bahwa harga terendah yang akan menjadi pemenang,
sehingga menguntungkan negara. Jika dianalisa, apakah dengan harga
rendah bisa memenuhi aspek teknis, mutu pekerjaan, dan tingkat
profesionalisme kerja yang mampu mencakup segala aspek konstruksi,
termasuk adanya jaminan yang memadai tentang keselamatan dan kesehatan
kerja (K3). Terkait kasus ambruknya atap terminal Mangkang yang sedang
dikerjakan dan menyebabkan beberapa pekerja terluka dan dirawat di rumah
sakit, apakah disebabkan karena kesalahan perencanaan atau
ketidaksesuaian spesifikasi teknis dengan pelaksanaan sebagai indikasi
korupsi, atau metode kerja yang tidak baku sehingga untuk tingkat keamanan
pekerja terabaikan atau karena force majeur atau karena faktor human error.

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 3


III. METODOLOGI

Metodologi studi kasus ini adalah kajian teori dari beberapa


kepustakaan, media cetak, internet, referensi dan sumber pendukung lainnya,
kemudian membandingkan dengan penerapannya dilapangan.
Sesuai dengan UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, bab IV
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi, bagian ketiga ; Kontrak Kerja Konstruksi
pasal 22 angka (2) point (a), bahwa perlindungan pekerja, yang memuat
ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja serta jaminan sosial. Serta UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu
upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah
keselamatan dan kesehatan kerja.
Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU
No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini,
jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin, tua dan meninggal dunia. Para pengguna jasa wajib
mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program
jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. (Reini D.
Wirahadikusumah; Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Proyek Konstruksi di Indonesia).

Banyak peraturan pemerintah tentang K3 dan ketenagakerjaan menjadi


acuan untuk memberi gambaran tentang implementasi peraturan tersebut
pada industri jasa konstruksi. Peran serta pemerinyah dalam memberikan
sosialisasi merupakan hal yang harus dijadikan sebagai kegiatan rutin atau
berkala, sehingga penerapan K3 benar-benar mengenai sasaran.

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 4


IV. PEMBAHASAN

Pihak kontraktor pembangunan Terminal Mangkang menyatakan


bahwa konstruksi besi kerangka atap baja yang runtuh sudah sesuai dengan
gambar detail teknis proyek atau bestek, begitu juga bahan bangunan yang
digunakan untuk menyusun kerangka atap. Sedangkan dugaan runtuhnya
kerangka atap terminal Mangkang tersebut diperkirakan karena lepasnya
pengait atau penyambung konstruksi besi dengan beton penyangga atap,
karena tidak ditemukannya adanya besi kerangka yang patah di tempat
pertama runtuh. Pihak kepolisian melibatkan konsultan bangunan tetap
melakukan penyelidikan dan observasi untuk mencari penyebab runtuhnya
atap tersebut.

Sumber media cetak menyatakan bahwa “ atap bangunan Terminal


Tipe A Mangkang, Semarang yang tengah dalam tahap pengerjaan, Sabtu
(24/11) runtuh. Akibatnya sejumlah pekerja mengalami luka berat dan ringan
karena jatuh dan tertimpa puing-puing material atap berupa genting, kayu, dan
besi “, (Suara Merdeka, minggu 25 Nopember 2007). Peristiwa runtuhnya atap
terminal Mangkang saat pekerjaan fisik masih berlangsung, yang
menyebabkan beberapa pekerja harus dirawat di rumah sakit, memberikan
gambaran bahwa keselamatan pekerja masih terabaikan.
Terkait kasus runtuhnya atap terminal Mangkang saat pekerjaan fisik
pemasangan kontruksi atap, yang menyebabkan beberapa pekerja harus
dirawat di rumah sakit, menyatakan bahwa Semua pekerja telah di ikutkan
program asuransi, sehingga biaya perawatan ditanggung melalui program
Jamsostek, (Radar Semarang, Senin 26 Nopember 2007).
Dalam hal ini, program asuransi jamsostek mungkin memang telah
diberikan, tetapi, jika dianalisa secara detail mengenai kejadian runtuhnya atap
ini, ada beberapa asumsi yang penulis rasa cukup menarik untuk diangkat,
antara lain :
1. Secara teknis dan struktur, konstruksi atap tersebut kuat, baik saat
menerima beban pelaksanaan maupun jika sudah dioperasikan.

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 5


2. Pekerjaan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan gambar kerja dan
detail pekerjaan telah sesuai dengan spesifikasi,
3. Pengawasan pekerjaan telah dilakukan dengan baik
4. Dugaan sementara mengenai runtuhnya atap karena adanya bagian
penghubung atau kait yang terlepas, sehingga konstruksi menjadi tidak
kuat.
Sumber media cetak menulis “...Dalam penelitian itu ditemukan tidak
ada klem besi pengikat konstruksi atap ke beton penyangganya dan tak
dilengkapi baut”. “...Yakni, konstruksi rangka atap tidak sesuai dengan bestek
yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini terlihat dari klem besi konstruksi
atap yang tidak di baut ke beton penyangganya. Konstruksi atap hanya
sekadar menumpang atau menempel di atas beton”. (Kedaulatan rakyat,
30/01/2008).
Secara teknis dan struktur, semua hal mungkin sudah dipenuhi
kontraktor bahwa dilaksanakan sesuai dengan spesifikasi yang telah
disyaratkan. Dan kejadian runtuhnya atap ini dianggap sebagai kelalaian
dalam memasang baut/klem penghubung beton dengan baja. Jadi, faktor
human errror-lah yang dijadikan alasan atas peristiwa tersebut. Tetapi,
bukankah kewajiban kontraktor sebagai penyedia jasa, tidak hanya memenuhi
kewajiban menjalankan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi, tetapi ada hal
lain yang juga menjadi tanggungjawab kontraktor dan hal ini juga telah tertulis
dalam peraturan perundangan (UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi) dan masuk dalam dokumen kontrak, yaitu tentang perlindungan
pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
Diatas telah disebutkan bahwa, pekerja yang mengalami kecelakan
kerja telah diikutkan sebagai peserta penerima asuransi Jamsostek, yaitu
jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin, tua dan meninggal dunia. Membawa dan merawat pekerja tersebut

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 6


secara medis dirumah sakit. Dalam hal ini, kewajiban kontraktor untuk
memberikan fasilitas mengenai jaminan adanya kecelakaan kerja telah
dipenuhi, tetapi untuk hal keselamatan kerja yang mengacu pada prosedur
keselamatan kerja itu sendiri yang belum dilaksanakan secara baik dan sesuai
peraturan tentang keselamatan pekerja. Misalnya, prosedur memakai sabuk
pengaman (safety belt) ketika bekerja pada lokasi ketinggian atau tempat yang
rawan terhadap risiko jatuh dan membahayakan keselamatan pekerja.

“ Sebagian pekerja yang sedang memasang kayu reng sebagai


penyangga tersangkut di atap. Sedangkan yang lain jatuh ke tanah hingga
menderita patah tulang “, (okezone.com ; Minggu, 25 Nopember 2007). “
Sejumlah saksi mata menuturkan, sebagian korban tergeletak tak sadarkan
diri di antara reruntuhan genteng dan kayu. Bahkan, ada yang terjepit di antara
kerangka baja. Pekerja lainnya langsung memberikan pertolongan “, (Suara
Merdeka, minggu 25 Nopember 2007).
Analisa sederhana penulis bahwa, kondisi pekerja dimungkinkan tidak
memakai sabuk pengaman (safety belt) saat bekerja pada ketinggian. Karena,
saat kejadian, pekerja langsung terjun bebas atau terjatuh yang kemudian
tertimpa reruntuhan atau puing-puing atap. Jika pada saat pelaksanaan
tersebut, pekerja memakai sabuk keselamatan sehingga paling tidak mereka
masih tertahan sabuk untuk sementara waktu atau dalam posisi tergantung
sampai bantuan datang, atau risiko terjun bebas yang mengakibatkan luka-
luka serius dapat dihindari. Atau , pekerja sudah diberi sabuk pengaman,
akan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya, karena cenderung
meremehkan atau tidak sadar bahwa risiko pekerjaan yang dihadapinya terlalu
besar yang bisa menyebabkan kecelakaan kerja serius.
Dan kemungkinan lain, pekerja sudah memakai sabuk pengaman saat
pelaksanaan pekerjaan atap, tetapi karena adanya faktor human error
mengenai tidak terpasangnya klem penghubung beton dengan tumpuan kuda-
kuda, yang menyebabkan runtuh, sehingga pekerja juga ikut terjatuh saat
peristiwa tersebut.
IndoPos online Radar Semarang (26/1/207) memberitakan “Sementara
seorang korban ... diduga mengalami luka dalam yang cukup parah”

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 7


.”...ditengarai dia mengalami luka dalam. Dikhawatirkan livernya kena ".
Artinya, kondisi pekerja yang mengalami luka serius ini bisa jadi tolok ukur
adanya indikasi lemahnya penyelenggaraan K3 secara benar sehingga timbul
korban, atau kurang efisiennya
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Pengendalian Kesehatan dan
keselamatan Kerja (K3) dapat ditempuh melalui Perundang-undangan
(Legislative Control) berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku, antara
lain :
1. UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai
tenaga kerja
2. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
4. Peraturan/persyaratan tentang kesehatan dan keselamatan kerja
lainnya
5. Petugas kesehatan dan non kesehatan

Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures)


terutama untuk pekerjaan yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja dan
melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan dan
Penggunaan alat keselamatan kerja merupakan hal yang seharusnya menjadi
perhatian untuk menjaga keselamatan pekerja. Faktor usia produktif pekerja
juga bisa dijadikan sebagai tolok ukur efisiens pekerja. Informasi media
menyebutkan “ ..., Seluruh korban segera dilarikan ke UGD RSU Tugurejo,
yakni Hermanto (45), Karsidi (45), Kastubi (50), Eri Setiawan (20), Batin (40),
Mintarno (40), Supai (52), Santoso (40), Tumito (40), dan Karnawi (40).
Mereka hanya mengalami luka memar dan lecet di bagian kepala, tangan, dan
kaki. Sedangkan empat pekerja menderita luka berat dan harus menjalani
rawat inap, yakni Darno (45); patah tulang leher, Sugiyoto (40); patah lengan

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 8


kiri, Tugino (40); patah tulang belakang, dan Suwito (35); luka parah di bagian
kepala. (Suara Merdeka, minggu 25 Nopember 2007).
Data ini memberikan fakta bahwa, ada beberapa pekerja yang sedang
melaksanakan pekerjaan atap ketika runtuh adalah pada usia yang relatif
mendekati tua, yaitu lebih dari umur 50 tahun. Sedangkan sebagian besar
pada usia 40 tahun yang relatif masih cukup mampu untuk bekerja di posisi
ketinggian. Adanya pekerja diatas rata-rata usia produktif, merupakan adanya
faktor kebutuhan hidup yang memungkinkan untuk terus bekerja, walaupun
dengan kondisi fisik yang cenderung lemah dan rentan terhadap risiko. Atau
karena pekerja tersebut memang mempunyai kemampuan dan ketrampilan
dibidangnya, dengan keterbatasan keahlian dan pendidikan.
Fenomena runtuhnya atap terminal Mangkang Semarang pada saat
pelaksanaan ini bisa menjadi sebuah gambaran bahwa penerapan pedoman
dan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) saat ini memang
kurang mendapat respon positif dari pihak-pihak terkait, meskipun telah
dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan
dan pelaksanaan K3. Muncul kecenderungan untuk menomorduakan
keselamatan kerja dan mengurangi implementasinya, karena lebih memilih
tindakan praktis dalam menerapkan pekerjaan.

V. KESIMPULAN

Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan


Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil
kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut
berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat.
Misalnya, pekerja yang masih bekerja pada usia diatas rata-rata atau di
antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat
Sekolah Dasar atau SLTP dan SLTA dengan minimnya ketrampilan dan
keahlian. Mereka cenderung adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak
meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 9


para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa
konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga
kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani secara sepihak
oleh penyedia jasa atau kontraktor pelaksanan. Langkah pertama perlu segera
diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang memiliki peran terbesar
dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Tidak hanya mengeluarkan
peraturan-peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan K3, tetapi juga
memberikan sosialisai dan simulasi berkala penerapan K3 di proyek.
Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh
APBN/APBD, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3
sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses
evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah
aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh
komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang
bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak
mungkin tercapai.
Pada kasus runtuhnya atap terminal Mangkang saat masih dalam proses
pekerjaan fisik ini, terkait penerapan K3 di jasa konstruksi, ada beberapa
kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, antara lain :
1. Pihak kontraktor telah melaksanakan pekerjan sesuai dengan spesifikasi
teknis dan gambar detail. Tetapi, karena adanya faktor human error yaitu
kelalaian dalam memasang klem/baut penghubung beton dengan baja
kuda-kuda, menyebabkan konstruksi tumpuan kuda-kuda merupakan
perlemahan struktur atap menjadi tidak stabil dan menyebabkan runtuhnya
konstruksi saat pekerjaan. Sehingga jatuh korban pada pekerja yang saat
itu berada di atas susunan rangka atap, karena ikut terjatuh bersama atap.
Human error ini bisa jadi karena pengawasan yang tidak baik oleh pihak
terkait.
2. Penerapan K3 yang kurang optimal, dilihat dari prosedur pekerjaan pada
ketinggian yang seharusnya memakai alat keamanan berupa sabuk
pengaman (safety belt). Dari kondisi pekerja yang semuanya jatuh dan

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 10


bahkan terdapat yang tertimpa reruntuhan atap, menunjukkan indikasi tidak
adanya sabuk pengaman tersebut sebagai bagian dari prosedur pekerjaan.
Seharusnya jika memang ada, pekerja akan tertahan sementara waktu
sampai bantuan datang.
3. Lemahnya peran pemerintah dalam memberikan pengawasan. Terbitnya
peraturan yang tidak diimbangi dengan sosialisasi berkala menjadi faktor
bahwa penerapan K3 masih perlu diperhatikan secara serius.
4. Pihak kontraktor telah memenuhi kewajiban untuk mengasuransikan
pekerjanya dalam program Jamsostek. Ini merupakan implementasi
peraturan pemerintah bahwa tenaga kerja harus terdaftar dalam program
ini. Sehingga semua biaya kecelakaan kerja menjadi tanggungan pihak
kontraktor dan jamsostek.

VI. DAFTAR PUSTAKA


1. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
3. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
5. Wirahadikusumah, Reini D.; Tantangan Masalah Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia)
6. http://news.okezone.com : 24 November 2007 : Atap Terminal
Mangkang Ambrol, 14 Pekerja Luka
7. http://news.okezone.com : 24 November 2007 Atap Terminal
Mangkang Ambrol Polisi Akan Periksa Pihak Terkait
8. http://www.indopos.co.id : IndoPos online Radar Semarang
(26/1/2007) : Polisi Libatkan Konsultan.http://www.kr.co.id : Buntut
Ambruknya Terminal Mangkang ; Perencana Konstruksi dan
Pemborong Resmi Tersangka (30/01/2008).
9. http://www.suarakarya-online.com : TERMINAL RUNTUH
Pemkot Semarang Harus
Kaji Ulang Lelang Proyek
10. http://www.suaramerdeka.com : (25/11/2007) Atap Terminal Runtuh, 14
Luka.

Aspek Legalitas & Manajemen Kontrak 11

Anda mungkin juga menyukai