Adat Toba Makalah TOBA
Adat Toba Makalah TOBA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan berkeluarga,
orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya
suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat
menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat budaya Batak
ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan ugari,
pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama
dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan
panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan)
terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai
uhum (law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam
penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari keta’atan pada
ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman (perlindungan) wajib diberikan
terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling mengerti, menghargai, dan saling
membantu.
Pentingnya mengenal asal-usul atau sejarah dan budaya serta adat-istiadat suku sendiri
sangatlah baik. Bagaimana asal-usul, agama, tempat tinggal, pekerjaan serta budaya dan adat
istiadat suku kita sendiri. Banyak permasalah yang sering kita jumpai dalam suku batak toba.
Seperti dalam hal perkawinan, sering salah. Hal inilah terjadi bukan karena kekeliruan belaka,
tetapi lebih pada hal tidaktahuan kita pada suku kita sendiri. Berdasarkan hal inilah penulis
mencoba menjelaskan tentang suku batak toba.
B. Batasan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada asal-usul, sifat, pekerjaan, penyebaran
agama, tempat tinggal dan bagaimana suku batak toba sampai ke kota serta budaya dan adat
istiadatnya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan lengkapnya permasalahan pada latar belakang masalah di atas, yang menjadi
rumusan masalah dalam makalah yang penulis susun adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana asal-usul suku batak toba?
b. Bagaimana sifat suku batak toba?
c. Secara umum apa mata pencaharian atau pekerjaan suku batak toba?
d. Bagaimana penyebaran suku batak toba?
e. Dimana dan bagaimana tempat tinggal suku batak toba?
f. Bagaimana suku batak toba menyebar ke kota?
g. Bagaimana budaya dan adat istiadat suku batak toba?
D. Tujuan Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai penulis, setelah menyusun makalah ini adalah:
a. Memberikan gambaran tentang uku batak toba;
b. Memberikan penjelasan mengenai budaya dan adat istiadat suku batak toba.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Etnis Batak toba
1. Sejarah Suku Batak
Menurut sejarah, kakek moyang suku bangsa batak pada mulanya berdiam disekitar
danau toba. Perkampungan leluhur batak (siraja batak) adalah Sianjur mula-mula, di kaki
gunung Pusut Buhit (Hutagalung, 1926, Yeps, 1932, Vergouwen, 1964 dalam Purba, 1996: 1),
tidak berada jauh dari kota Pangururan sekarang. Dari tempat inilah keturunanya menyebar,
mula-mula ke daerah sekitarnya dan lambat laun ke seluruh penjuru tanah Batak, Joustra (1926:
5 dalam Purba 1) menyebutkan bahwa Tanah Batak (de Bataklanden) tersebut berada diantara
0,5-3,5 Lintang Utara dan 97,5-100 Bujur Timur dengan luas wilayah 50.000 km . selama
beberapa abad lamanya , pergaulan mereka dengan suku-suku bangsa Indonesia lainnya sangat
terbatas, sehingga baru kemudian hari terdapat keanekaragaman dalam suku bangsa tersebut.
Masuknya pengaruh dunia luar terhadap masyarakat batak antara lain melalui
perdagangan. Bandar Barus sebagai pelabuhan ekspor kapur barus dan kemenyan menjadi
terkenal di dunia sampai ke Eropah. Melalui Barus inilah kebudayaan asing mulai
mempengaruhi kebudayaan Batak (Siahaan, 1964 dalam Purba, 1996:1). Selain dari barus ada
juga yang datang dari sebelah selatan Tapanuli dan Pantai Timur Sumatera. Pada waktu itu
orang Batak masih menganut agama suku dan system pemerintahanya bersifat kerajaan
demokratis. Setiap kampung (huta) merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan rajanya
dipilih sendiri oleh rakyatnya. Di atas kerajaan-kerajaan ada Raja Sisingamangaraja sebagai
pengikat yang merupakan kepala kerohanian dan keduniawian. Selain sebagai tali pengikat,
Sisingamangaraja merupakan lambang persatuan lambang persatuan, dan dipuja sebagai dewa.
Masyarakat hidup dalam rasa kekeluargaan dan untuk melakukan sesaji dilaksanakan melalui
musyawarah. Rasa kekeluargaan dalam satu kampung tumbuh dengan erat, solidaritas terpupuk
terus dan silsilah dapat dipelihara dengan baik ,(Purba, 1996: 2).
Perjumpaan dengan agama Kristen dan peradaban Barat membawa berbagai kemajuan
bagi penduduk daerah Tanah Batak bagian Utara. Kedatangan Missioner Jerman ke Tanah Batak
khususnya Dr. I.L. Nommensen yang diutus oleh Rheinische Missionsgesellschshaft (RMG)
mempunyai peranan sentral terhadap perkembangan social suku Batak. Nommensen memulai
pekerjaanya dari luar daerah Tapanuli Utara, kemudian memilih rura silindung sebagai basisnya,
pada saat mana Sisingamangaraja XI yang bermarkas di Bakara menjadi raja dan lambang
persatuan di Tanah Batak. Dalam perjalananya dari Bungabondar de Silindung, Nommensen
beristirahat di daerah antara Pansurnapitu dan Lumbanbaringin. Beliau tertegun melihat Rura
Silindung yang indah permai itu, daerahnya cukup luas dengan persawahan yang terbentang
hingga ke Sipoholon. Di daerah itu juga sudah melihat banyak kampung. Di masa istirahat
tersebut, Nommensen berdoa: “Mangolu manang mate pe ahu, sandok di tonga- tonga ni
bangso on ma ahu maringanan, laho pararathon Hatam dohot harajaonMi ! Amwn”
(Sihombing, dalam Purba, 1996:3). Artinya, sisa hidupnya akan digunakan untuk
memberitahukan kerajaan dan berita keselamatan dari Allah bagi orang Batak.
Bagi suku Bangsa Batak Toba, tanah merupakan salah satu factor produksi yang
terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama demikianpula adat-istiadat berhubungan
erat dengan tanah dan usaha pertanian tersebut, (Purba, 1996: 3).
Kepadatan dan keceptan pertumbuhan penduduk di satu pihak dan potensi sumber-
sumber-sumber daya yang tersedia di pihak lain, merupakan pusat perhatian dalam strategi
pembangunan regional maupun nasional. Perkembangan yang tidak seimbang dan diversifikasi
pembagunan antara daerah dapat menyebabkan perpindahan penduduk dan perubahan arahnya,
yang pada giliranya menimbulkan masalah baik di daerah yang ditinggalkan maupun daerah
yang dituju. Daya tarik kota, kesempatan kerja, kesempatan memperoleh pendidikan, wiraswasta
dan penawaran jasa lainnya sebagai bagian dari proses modernisasi, antara lain merupakan
komponen yang dapat memperbesar arus perpindahan itu, baik untuk tujuan sementara menetap
atau mungkin perpindahan sirkuler.
Adalah merupakan kenyataan sejarah, bahwa beberapa dasawarna terakhir ini suku
bangsa Batak Toba telah menyebar luas ke berbagai daerah dan hampir di seluruh nusantara. Ada
yang tetap bertani dan banyak juga yang bekerja ke luar pertanian. Mereka tinggal di kota-kota
besar, kota kabupaten dan kecamatan serta dipedesaan di berbagai sudut wilayah Republik
Indonesia termasuk ke beberapa Negara tetangga seperti Singapura dan Malasya.
5. Penyebaran Agama
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya;
mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap
orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham
bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering
terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala.
Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi.
Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu djau (dewa yang tidak
dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu
siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka
menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam,
tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan
kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas
dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan
meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja
kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat.
Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal
harus mengikuti ritual-ritual adat.
Masuknya Penginjil ke Tanah Batak
1) Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan
Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles menyarankan
supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir. Burton dan
Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir,
kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak
Toba. Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun
perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk
salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus
menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil
tersebut diusir pada tahun itu juga.
2) Penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Pada tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan
gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for
Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834 mereka tiba
di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju
pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam
hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining.
Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di
Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
3) Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft
Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn
melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak.
Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending
Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatera. Karangan tersebut
sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda,
hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk
meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab. Van der Tuuk adalah orang Barat
pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga
orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia
merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van der Tuuk memberi
saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah
pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo,
Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan
memberi mereka pengajaran Kristiani. Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis,
yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Pada tahun yang sama—tepatnya pada 7
Oktober 1861—diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman,
yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt.
Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische
Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada
tahun 1862. Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan
Melayu. Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun
1864, ia masuk ke dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini
menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja
Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan
tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak
diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang
tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya
disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus)
menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir
di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang
banyak:
“ Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh
Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu
dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.
Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga
lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya. Pada satu
malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen
mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa
malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan raja Batak ini disebabkan
kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.
4) Perkembangan Kekristenan setelah Injil Masuk di Tanah Batak
Suku Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamanya
karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini
mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame (kampung damai).
Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen
berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881—jumlahnya naik lima kali
lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun
1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun 1881,
Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia
meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Suku Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan
sebutan Ompunta (Nenek Kita). Gelar ini menyejajarkan Nommensen dengan Si Singamangaraja
atau tokoh sakti lainya.
6. Tempat Tinggal
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang
diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru
Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra yakni Raja Uti
(Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si
Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan
Sangkar Somalidang,
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah
di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak.
Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak M.
Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang
tidaklah semuanya Toba. Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami
suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak
dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:
Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb
Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga
Sitorus, Marpaung, dsb
Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya); contoh:
marga Simatupang Siburian, Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit,
dsb
Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat, (Purba,
1996:1-4)
Perkawinan pada orang batak pada umumnya merupakan suatu pranata yang tidak hanya
mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita , tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan
tertentu, kaum kerabat dari sisi laki-laki dengan kaum kerabat dari siwanita.
Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas dalam hal memilih jodohnya.
Perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat batak adalah, perkawinan antara orang-orang
marpariban yang artinya seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara laki-laki ibunya.
Maka demikian seorang laki-laki batak sangat pantang kawin dengan seorang wanita dari
marganya sendiri dan juga anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya. Pada zaman
sekarang sudah banyak orang tidak menuruti adat kuno ini.
Sebelum upacara perkawinan dapat dilakukan adalah suatu perundingan antara kaum kerabat
dari kedua belah pihak yang disebut marhata sinamot. Perundingan mengenai sebagai soal-soal
sebagai berikut:
Jumlah maskawin, berupa uang, harta perhiasan dan kerbau atau babi, yang harusnya diserahkan
oleh kaum kerabat si laki-laki kepada kerabat perempuan.
Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara laki-laki ibu dari si gadis.
Jumlah harta yang akan diterima saudara laki-lakinya ibunya ibu si gadis.
Jumlah yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan dari ibu si gadis.
Jumlah harta yang akan diperoleh oleh anak perempuan dari ayah si gadis.
Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan ibu si gadis.
Menurut ahli antropologi Amerika EM. Bruner di desa lintang nihuta, di balige, ndi tanah
toba, hanya 2,3% dari perkawinan-perkawinan menuruti konsep preprensi, E.M. Bruner Kinship
Organitatin Among The Urban Batak Ops Sumatera, New York 1959 halaman 120 ( dalam
Setiawan dan Yunita, 2012:28-19).
Pesta biasanya dihadiri oleh kaum kerabat pengantin-pengantin kaum laki-laki, penganten
wanita, dan oleh penghuni kuta dimana pesta diadakan. Pada waktu itu maskawin dan harta lain
diserahkan kepada mereka yang menurut adat berhak menerimanya. Pada orang batak toba
sebelum perkawinan dilangsungkan pada suatu upacara yang berupa pemberitahuan secara resmi
kepada gereja akan diadakannya perkawinan itu. Setelah adat ini yang disebut martupol, maka
gerejalah yang akan mengumumkan maksud perkawinan itu. Kecuali perkawinan dengan
prosedur seperti terurai diatas maka pada orang toba ada juga waktu lari atau mangalua. Hal itu
terjadi karena misalnya tidak ada persesuaian anatara salah satu, atau kedua belah pihak kaum
kerabat. Pada waktu seperti ini, dalam waktu kurang dalam satu hari, kaum kerabat laki-laki
harus megarahkan deliglasi kerumah orang tua sigadis untuk memberitahuakan bahwa anak
gadis mereka telah dibawa dengan maksud untuk dikawini (diparaja). Setelah selang bebarpa
lama akan dilakukan upacara manuruk-nuruk untuk minta maaf. Setelah upacara ini dilalui
barulah disusul oleh upacara perkawinan seperti yang diuraikan di atas. Pada orang batak
adajuga perkawinan leviral (mangabia) dan adat perkawinan sororot (singkat rere), (Setiawan
dan Yunita, 2012:29-33).
Stratifikasi social orang batak yang dalam kehidupan sehari0-hari mungkin tidak amat
jelas terlihatnya, berdasarkan prinsip adalah:
1. perbedaan tingkat umur
2. perbadaan pangkat dan jabatan
3. perbedaan sifat keaslian
4. status kawin
Adapun system pelapisan social berdasrkan perbedaan umur itu tampak pada perbedaan
hak dan kewajiban terutama dalam upacara adat tetapi juga dalam hal menerima warisan antara
anak-anak dn pemuda-pemuda (danak-danak), orang yang stengah usia (nanguda), dan orang-
orang tua (tua-tua). Dalam hal menetukan upacara adat, atau dalam hal urusan kekerabatan hanya
para tua tua yang berhak memajukan saran-saran dan mengambil keputusan. Adpun para orang
yang setengah usia dapat menjadi pelaksana sedangkan mereka yang masih danak-danak tetap
diperhitungkan bahwa kalau mereka menjadi ahli waris miswalnya, mereka harus diwakili ibu
mereka.
System pelapisan social yang berdasrkan pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan
social sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adlah lapisan bangsawan, keturunan raja-raja dan
kepala wilayah-wilayah dulu. Lapisan ini disebut biak raja, (Setiawan dan Yunita, 2012: 33-35).
Dulu orang Batak juga mengenal lapisan orang budak (hatoban). Budak ini berasal dari
tawanan perang, atau orang yang karena terlampau banyak hutang yang tak mampu
membayarnya kembali, membudak kepada sipemberi hutangnya. Perbudakan dihapuskan
Belanda pada tahun 1860, sehingga sekarng tak ada sia-sianya lagi.
Kepemimpinan dibbidang adat adalah meliputi persoalan perkawinan dan perceraian,
warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak dan sebagainya. Kepemimpinan pada bidang
adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh tetapi merupakan suatu musyawarah.
MAKANAN KHAS BATAK
Saksang
Saksang adalah masakan khas dari tanah Batak yang terbuat dari daging babi (atau daging anjing) yang
dicincang dan dimasak dengan menggunakan darah,santan dan rempah-rempah (termasuk jeruk purut
dan daun salam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, merica, serai, jahe, lengkuas, kunyit
dan andaliman). Saksang menjadi makanan wajib dalam adat pernikahan Batak.
Arsik
Arsik adalah salah satu masakan khas kawasan Tapanuli yang populer. Masakan ini dikenal pula sebagai
ikan mas bumbu kuning. Ikan mas adalah bahan utama, yang dalam penyiapannya tidak dibuang
sisiknya.
Bumbu arsik sangat khas, mengandung beberapa komponen yang khas dari wilayah pegunungan
Sumatera Utara, seperti andaliman dan asam cikala (buah kecombrang), selain bumbu khas
Nusantara yang umum, seperti lengkuas dan serai. Bumbu-bumbu yang dihaluskan dilumuri
pada tubuh ikan beberapa saat. Ikan kemudian dimasak dengan sedikit minyak dan api kecil
hingga agak mengering.
Babi Panggang
Manuk Napinadar
Manuk Napinadar atau Ayam Napinadar adalah masakan khas Batak yang biasanya dihidangkan pada
pesta adat tertentu.
Untuk mengerjakan resep yang satu ini agak sedikit rumit, butuh waktu dan kesabaran. Pastinya
inti dari masakan ini adalah di saos darah ayam itu sendiri.
Masak Ayam Napinadar ini, ayamnya harus dipanggang terlebih dahulu, setelah itu lalu disiram
dengan saos spesial yakni darah ayam (manuk) itu sendiri, dan dicampur dengan andaliman,
bawang putih bubuk (yang sudah digiling sampai halus) lalu dimasak. Sama seperti kita
menuangkan saos ke atas ayam yang sudah dipanggang.
Tanggotanggo
Dengke Mas na Niura atau Ikan Mas Na Niura ini adalah merupakan makanan tradisonal khas Batak yang
berasal dari Tapanuli.
Dahulu bahwa masakan na niura dikhususkan untuk raja saja, namun karena rasanya yang enak
sehingga semua orang-orang batak ingin menyantap dan membuatnya.
Ikan Mas Na Niura ini merupakan sebuah penyajian Lauk Pauk yang cara membuatnya tidak
dimasak, direbus, digoreng atau semacamnya, karena na niura dalam bahasa Batak artinya ikan
yang tidak dimasak, ikan mentah tersebut disajikan dengan bumbu yang lengkap sehingga yang
akan membuat ikan tersebut lebih enak dirasa tanpa dimasak, yang artinya bahwa bumbu-bumbu
itulah yang memasak ikan mas tersebut.
Na Tinombur
Hidangan yang menggunakan ikan lele atau ikan mujahir ini diolah secara dibakar dan disajikan
dengan sambal, hampir mirip dengan lele penyet atau pecel lele.
Ikan mas atau ikan lain juga bisa, yang penting Tomburnya adalah bumbu dan saus yang
dilumuri ke ikan.
Mie Gomak
Mie Gomak adalah makanan yang terkenal sebagai masakan khas daerah dari tanah Batak Toba,
meliputi semua daerah Batak Toba, dan juga menjadi masakan khas di Sibolga dan Tapanuli.
Mie yang sudah direbus biasanya dibuat terpisah dengan kuah dan sambalnya. Meski banyak
ragam untuk membuat menu makanan khas Batak ini, ada yang menggunakan kuah ada juga
dibuat seperti mie goreng. Rasanya sangat unik apabila mie gomak dicampur dengan bumbu dari
tanah Batak yakni andaliman.
Dali ni Horbo
Dali ni Horbo atau Bagot ni horbo adalah air susu kerbau yang diolah secara tradisional dan merupakan
makanan khas Batak dari daerah Tapanuli.
Sambal Tuktuk
Sambal Tuktuk adalah makanan khas tradisional Batak, yang berasal dari Tapanuli.
Sebenarnya bahan-bahan untuk membuat sambal tuktuk tidak berbeda dengan bahan sambal-
sambal lainnya, sederhana saja. Yang membuat sambal ini sedikit lebih berbeda dengan sambal
yang lain adalah andalimannya.
Di daerah asalnya, sambal tuktuk dicampur dengan ikan aso-aso (sejenis ikan kembung yang
sudah dikeringkan), tapi jika tidak menemukan ikan aso-aso bisa diganti dengan ikan teri tawar.
Yang berupa makanan ringan:
Itak Gurgur
Kue Pohulpohul
Kue Ombusombus
Kue Lampet
Kue Benti
Tipatipa
Kacang Sihobuk
Sasagun
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan berkeluarga,
orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya
suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat
menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat budaya Batak
ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan ugari,
pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama
dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan
panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan)
terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai
uhum (law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam
penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari keta’atan pada
ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman (perlindungan) wajib diberikan
terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling mengerti, menghargai, dan saling
membantu.
B. Saran
Makalah ini menjelaskan tentang suku batak toba, untuk itu penulis menyarankan kepada
pembaca agar kiranya mengetahui silsilah suku batak toba dan mampu mempertahankanya,
khususnya pembaca suku batak toba.
Daftar Pustaka
Purba, O. H. S. dan Elvis F. Purba. 1997. Migrasi Spontan Batak Toba
(Marserak). Medan: Monora
Van den end, 2002. "Harta Dalam Bejana", Jakarta BPK: Gunung Mulia. hal 276.
M.C. Ricklefs,(terj) 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi
Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. Seratus Tahun Kekristenan Dalam
Sejarah Rakyat Rakyat Batak. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum.
B. Napitupulu, 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan
HKBP.
Al Lumban Tobing, 1992. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Van den end & Weitjens, SJ. 2008, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Kozok, Uli. Utusan Damai di Kemelut Perang. Peran Zending dalam Perang Toba berdasarkan
Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, École
française d’Extrême-Orient. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial, Unimed, Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta. Jakarta 2011.