Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
3599 Kata
MAKALAH
2006548555
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
DESEMBER 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung
jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum yang berlaku
di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan, namun tetap
memperhatikan ketentuan hukum internasional. Wilayah laut secara yuridis dapat
dibagi dalam tiga wilayah yang meliputi laut wilayah teritorial, wilayah ZEE (zona
ekonomi eksklusif dan laut bebas.
Laut lepas adalah salah satu topik penting yang dibahas di dalam UNCLOS,
laut lepas adalah wilayah laut yang bukan menjadi wilayah kedaulatan, atau wilayah
dengan hak berdaulat oleh suatu negara pantai atau negara kepulauan.3
Laut di mana bukan menjadi merupakan wilayah teritorial dari negara manapun biasa
dikenal dengan istilah res nullius atau wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapa
pun dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara berpantai maupun negara
tidak berpantai. Akan tetapi, pemanfaatan laut lepas hanya untuk kepentingan damai
dan tidak ada suatu negara yang boleh mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya
ada berada dibawah kedaulatanya.4
1
Marhaeni Ria Siombo, “Hukum Perikanan Nasional dan Internasional”, Gramedia Pustaka Utama,(Jakarta:
2010), 93.
2
UNCLOS 1982.
3
T. May Rudy, “Hukum Internasional 2”, Refika Aditama, (Bandung:2002), 19.
4
Kendis Runtunuwu, “Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”, Lex et
Societatis Vol. II. (2014). 61
Di dalam UNCLOS 1982 diatur mengenai kebebasan-kebebasan yang
dimungkinkan di laut lepas atau biasa disebut dengan freedom of the seas, oleh
Konvensi kepada negara-negara anggotanya, yaitu:5
1. Kebebasan berlayar;
2. kebebasan penerbangan;
3. kebebasan dalam instalasi pipa dan kabel di bawah laut;
4. kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain yang diperbolehkan dalam
hukum internasional;
5. kebebasan menangkap ikan dan;
6. kebebasan riset ilmiah.
Kebebasan menangkap ikan ini dibatasi atas berbagai kewajiban yang dalam
ketentuan mengenai langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati
di laut lepas ini menyangkut pula jenis ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh.
Mengenai perikanan, Konvensi UNCLOS 1982 tidak dengan efektif mengatur
mengenai konservasi ikan beruaya baik yang jauh, maupun dekat. Masalah ini
kemudian menjadi semakin parah dengan tidak efektifnya ketentuan di dalam Bab VII
5
Runtunuwu, “Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”, 62.
6
Achmad Fahrudin, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-Undangan Indonesia”, Pustaka
UT, (2018) 16.
7
Achmad Fahrudin, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-Undangan Indonesia”, 16.
Konvensi mengenai pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas. Ketidakefektifan ini
berakibat pada penurunan sumber daya ikan secara drastis.8
B. Permasalahan
Berdasarkan beberapa pokok permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
8
Dikdik Mohamad S. “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”. Refika Aditama. (Bandung:
2016). 132.
Penulis berharap dengan rampungnya penelitian ini, bisa mendapat manfaat berupa
memperluas wawasan dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
hukum dan juga agar bisa dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai acuan untuk memahami
ketentuan Hukum Laut Internasional atas Laut Lepas dan Hukum Perikanan
Internasional.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe Penelitian yang dipakai penulis untuk melakukan penelitian ini adalah
penggunaan studi kepustakaan yang meneliti bahan berupa perjanjian internasional, buku-
buku, atau literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini seperti Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982.
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian hukum deskriptif analitis
yang bertujuan untuk memberikan gambaran dan memaparkan objek penelitian
berdasarkan data dengan sistematis.9 Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan mengenai pengaturan hukum atas pengelolaan wilayah dan/atau objek di
laut lepas dan hukum perikanan internasional dikaitkan dengan cara Indonesia
memanfaatkan hak dan kewajibannya sesuai dengan hukum internasional.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan
hukum sekunder, primer, dan tersier sesuai dengan metode pendekatan yang dipakai yaitu
melalui studi kepustakaan dengan menjadi literatur, dokumen resmi, peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan objek yang diteliti.10
9
Ronny Hannitijo Soemitro, “Pengantar Ilmu Hukum”, Galia Indonesia (Jakarta: 1981), 97.
10
Soejono Soekanto, “Sosiologi: Suatu Pengantar”, CV Rajawali, (Jakarta: 1982), 52.
c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 1982
relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and
Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Fish Stocks Agreement) 1995.
d. FAO Code Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995
e. International Plan of Action to Prevent, Deter and Elimination Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU 2001)
f. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan sekunder ini diperoleh dari buku-buku,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan tulisan lain yang
berkaitan dengan objek yang dibahas.
4. Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data melalui studi dokumen. Studi dokumen merupakan alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dan menggunakan cara analisis isi
dari bahan kepustakaan.11
Studi dokumen dipakai terhadap data sekunder. Data sekunder adalah data yang
sekumpulan data diperoleh dari pihak lain, baik berisi tentang dokumen resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, maupun jurnal dan seterusnya. 12Data
sekunder tersebut terdapat di dalam bahan hukum primer dan sekunder.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan penulis menggunakan metode kualitatif, dimana data
sekunder setelah dikumpulkan, kemudian diolah guna mendapatkan kesimpulan dari
penelitian, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif.
11
Sugiyono, “Metode Penelitian Kualitatif”, Alfabeta, (Bandung: 2005), 58.
12
Sugiyono, “Metode Penelitian Kualitatif”, 12.
13
Burhan Ashshofa, “Metode Penelitian Hukum”, Rineka Cipta, (Jakarta: 2001), 21.
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan cara deduktif, yaitu metode penarikan
kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.14
F. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, permasalahan yang akan
coba dijawab oleh penulis, tujuan penulis melakukan penelitian, manfaat yang bisa
didapatkan dari penelitian ini, metode yang digunakan dan sistematika penulisan.
Di dalam bab ini, penulis menganalisis permasalahan yang diuraikan pada bab
pertama yaitu: Kajian pengaturan hukum internasional mengenai perikanan di laut lepas
dan hukum nasional mengenai hak dan kewajiban Indonesia di laut lepas akan perikanan
dari sudut pandang yurisdiksi dan kewilayahan.
Bab ini adalah bab akhir dari penelitian penulis, berisi kesimpulan.
14
Burhan Ashshofa, “Metode Penelitian Hukum”, 5.
BAB II
PEMBAHASAN
17
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, Prenamedia Group, (Jakarta: 2017), 86.
18
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 88.
19
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 89.
20
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 141.
Ketentuan-ketentuan tersebut secara tegas mendahulukan kepentingan negara
pantai dan perlindungan sumber daya ikan.21
26
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Indonesian Journal
of International Law Volume 2 Nomor 3. (2005), 513.
27
Muhammad Insan Tarigan, “Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Daya Ikan di Laut Lepas”, Fiat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 Nomor 4, (2015). 560
28
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, 511.
mengamanatkan kepada FAO untuk mmembuat Code of Conduct bagi kegiatan
perikanan yang bertanggung jawab.29
Penyusunan CCRF kemudian didukung oleh UNCED Rio Summit pada Juni
1992 dan ditindak lanjut dengan Pertemuan Teknis FAO atas Penangkapan Ikan di
Laut Lepas pada November 1992.
Menurut FAO, tujuan dari penyusunan CCRF ada sepuluh hal, antara lain: 30
a) Menyediakan prinsip-prinsip pengelolaan ikan yang relevan dengan
hukum laut internasional dalam konteks perikanan yang bertanggung
jawab;
b) Tersedianya prinsip dan kriteria untuk elaborasi dan implementasi
kebijakan nasional yang ditujukan untuk kelestarian SDP dan pengelolaan
serta pembangunan perikanan;
c) Sebagai referensi untuk negara di dunia dalam pengembangan
kerangka hukum dan institusi yang diperlukan dalam implementasi CCRF;
d) Menyediakan pedoman bagi implementasi kerja sama internasional
yang terkait dengan pemanfaatan SDP
e) Menyediakan fasilitas kerja sama teknis, finansial dan kerja sama lain
yang terkait dengan konservasi SDP dan pengelolaan dan pembangunan
perikanan;
f) Promosi atas kontribusi perikanan terhadap penyediaan bahan pangan
dalam konteks ketahanan dan kualitas pangan;
g) Mempromosikan perlindungan terhadap SDP, lingkunan perairan dan
kawasan pesisir;
h) Promosi atas perdagangan ikan secara bertanggung jawab dan sesuai
dengan aturan hukum internasional;
i) Promosi atas penelitian atau riset perikanan;
j) Penyediaan standar kode etik bagi pelaku perikanan.
4. International Plan of Action to Prevent, Deter and Elimination Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU 2001)
IPOA-IUU adalah suatu instrument internasional yang bukan merupakan satu-
kesatuan dari kerangka CCRF atas respon keprihatinan siding FOA pada Februari
29
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries Dalam Perspektif Negara
Berkembang”, Jurnal Hukum Internasional Volume 2 Nomor 3, (2005), 473.
30
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries Dalam Perspektif Negara
Berkembang”, 474
tahun 1992. Tujuan dari IPOA-IUU adalah untuk mencegah, mengurangi, dan
menghapus kegiatan IUU Fishing dengan memberikan tata cara kepada semua
negara untuk Menyusun langkah yang komprehensif, efektif dan transparan
dengan bekerja sama dengan RMFO yang berkompeten.31
F. Perspektif Hukum Nasional Indonesia atas Hukum Perikanan Internasional
Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumber daya perikanan
yang melimpah seperti Indonesia, Indonesia sebagai negaa kepulauan, berperan
penting dalam tindakan konservasi sumber daya ikan di laut. Kondisi geografis
Indonesia yang begitu baik, juga membawa pengaruh bagi biodiversity laut terluas di
dunia dan terumbu karang yang tersebar luas di seluruh nusantara untuk menopang
berlimpahnya ketersediaan ikan yang beragam.32
Oleh karena itu, kepedulian dan kepentingan Indonesia akan laut begitu besar,
hal ini terlihat dari terikatnya Indonesia dengan berbagai perjanjian dan konvensi
yang berkaitan dengan Hukum Laut Internasional dan Hukum Perikanan
Internasional. Keterikatan dengan perjanjian-perjanjian ini diimplementasikan dengan
instrument-instrumen hukum nasional, baik dalam bentuk Undang-Undang, maupun
peraturan lainnya.
Peraturan-peraturan tersebut antara lain:33
a) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
mengadopsi Bab V UNCLOS 1982 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan di ZEE. Akan tetapi berbeda dengan UU ZEEI, kedua UU
Perikanan ini mengandung ketentuan pengelolaan sumber daya ikan oleh
kapal perikanan berbendera Indonesia di luar wilayah Republik Indonesia,
khususnya di laut lepas. Hal ini tentu sejalan dengan ketentuan dalam UNIA
1995 tentang Persediaan Ikan dan CCRF.
b) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan sebagai aturan pelaksana dari Pasal 13 UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan dan Pasal 6 CCRF.
c) Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 12 Tahun 2012, aturan ini adalah aturan pelaksana dari UU No. 31 Tahun
31
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 168.
32
Marhaeni Ria S, “Hukum Perikanan Nasional dan Internasional”, 85.
33
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 189-190.
2004, UU No. 21 Tahun 2009, UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Presiden
No. 9 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2007 dan Peraturan
Presiden No, 61 Tahun 2013 telah sesuai dengan prosedur izin penangkapan
ikan di laut lepas
d) Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1) dan
(2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2013 tentang
Sistem Pemantauan Kapal Perikanan yang diterbitkan untuk melaksanakan
Pasal 7 Ayat (1) huruf k UU No. 45 Tahun 2009 telah memenuhi syarat yang
diatur dalam Perestujuan PBB tentang Persediaan Ikan 1995 yang terkait
dengan pemantauan kapal.
e) Diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 13
Tahun 2012 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan telah sesuai dengan
ketentuan paragraph 66 IPOA-IUU untuk mendukung upaya nasional dan
regional dalam pemberantasan IUU Fishing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas di bab seelumnya, maka bisa disimpulkan
bahwa:
a. Meskipun di dalam UNCLOS 1982 telah diatur mengenai kebebasan
dalam penangkapan ikan di laut lepas, tetapi penangkapan tersebut harus
memperhatikan kepentingan negara pantai dan konservasi dan pengelolaan
sumber daya ikan. Keseriusan masyarakat Internasional mengenai pengelolaan
dan konservasi sumber daya ikan berangkat dari perkembangan teknologi
penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dan menurunnya sumber daya
ikan. Oleh karena itu, dibentuklah beberapa instrumen internasional mengenai
konservasi dan pengelolaan ikan di laut lepas berupa FAO Compliance
Agreement 1993, UN Fish Stocks Agreement 1995, dan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) 1995 yang diharapkan menjadi pedoman bagi
negara anggota agar pengelolaan ikan yang relevan dengan hukum laut
internasional dalam konteks perikanan yang bertanggung jawab.
b. Indonesia dengan dengan letak geografis yang mumpuni serta sumber
daya alam yang melimpah, menjadikan Indonesia kaya akan biodiversity di
laut dan juga merupakan bagian dari masyarakat internasional, Indonesia
menunjukan sudut pandangnya yang peduli akan pengelolaan dan konservasi
akan sumber daya ikan dengan terikat di sejumlah konvensi dan perjanjian
internasional baik mengenai laut, maupun pengelolaan dan konservasi sumber
daya ikan. Indonesia juga menunjukan keseriusannya dengan
mengimplementasikan hasil perjanjian-perjanjian internasional ke dalam
hukum nasionalnya baik itu dalam bentuk Perundang-undangan, maupun
bentuk peraturan nasional lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Parthiana, I Wayan. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Bandung:
Yrama Widya, 2014.
Siombo, Marhaeni Ria. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010
Soemitro, Ronny Hannitijo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Galia Indonesia, 1981
B. Artikel Jurnal
Tarigan Muhammad Insan, “Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Daya Ikan di Laut
Lepas”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 Nomor 4 (2015): 543-576