Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS INDONESIA

PERKEMBANGAN HUKUM ATAS PENGELOLAAN DAN KONSERVASI


SUMBER DAYA IKAN DI LAUT LEPAS DALAM HUKUM LAUT
INTERNASIONAL DAN HUKUM PERIKANAN INTERNASIONAL MENURUT
SUDUT PANDANG YURISDIKSI KEWILAYAHAN DAN PEMANFAATAN SERTA
PERSPEKTIF DARI INDONESIA ATAS HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA
MENGENAI PERIKANAN DI LAUT LEPAS SESUAI HUKUM INTERNASIONAL

3599 Kata

MAKALAH

Diajukan sebagai salah satu syarat

kelulusan mata kuliah Yurisdiksi dan Kewilayahan

Mohammad Rahmat Syahrul Ikhsan Lapadengan

2006548555

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER HUKUM

JAKARTA

DESEMBER 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung
jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum yang berlaku
di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan, namun tetap
memperhatikan ketentuan hukum internasional. Wilayah laut secara yuridis dapat
dibagi dalam tiga wilayah yang meliputi laut wilayah teritorial, wilayah ZEE (zona
ekonomi eksklusif dan laut bebas.

Berawal pada abad ke-19, berangkat dari alasan banyaknya perbatasan


wilayah laut yang menjadi batas antar negara menjadi alasan penting akan adanya
pengaturan mengenai lebar wilayah laut dan upaya untuk melebarkannya kedaulatan
negara-negara di wilayah laut. Dinamika-dinamika inilah yang kemudian menjadi
salah satu tujuan dari terbentuknya Konvensi Hukum Laut, United Nations
Convention on The Law of The Sea atau disebut dengan UNCLOS, dimulai dari 1958
atau UNCLOS I, 1960 atau disebut UNCLOS II dan terakhir adalah naskah final
UNCLOS III pada 1982 yang dikenal sampai sekarang. 1 Hukum mengenai laut lepas
dibahas di dalam Bab VII mulai dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 120.2

Laut lepas adalah salah satu topik penting yang dibahas di dalam UNCLOS,
laut lepas adalah wilayah laut yang bukan menjadi wilayah kedaulatan, atau wilayah
dengan hak berdaulat oleh suatu negara pantai atau negara kepulauan.3
Laut di mana bukan menjadi merupakan wilayah teritorial dari negara manapun biasa
dikenal dengan istilah res nullius atau wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapa
pun dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara berpantai maupun negara
tidak berpantai. Akan tetapi, pemanfaatan laut lepas hanya untuk kepentingan damai
dan tidak ada suatu negara yang boleh mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya
ada berada dibawah kedaulatanya.4
1
Marhaeni Ria Siombo, “Hukum Perikanan Nasional dan Internasional”, Gramedia Pustaka Utama,(Jakarta:
2010), 93.
2
UNCLOS 1982.
3
T. May Rudy, “Hukum Internasional 2”, Refika Aditama, (Bandung:2002), 19.
4
Kendis Runtunuwu, “Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”, Lex et
Societatis Vol. II. (2014). 61
Di dalam UNCLOS 1982 diatur mengenai kebebasan-kebebasan yang
dimungkinkan di laut lepas atau biasa disebut dengan freedom of the seas, oleh
Konvensi kepada negara-negara anggotanya, yaitu:5
1. Kebebasan berlayar;
2. kebebasan penerbangan;
3. kebebasan dalam instalasi pipa dan kabel di bawah laut;
4. kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain yang diperbolehkan dalam
hukum internasional;
5. kebebasan menangkap ikan dan;
6. kebebasan riset ilmiah.

Selain kebebasan, negara anggota juga menanggung kewajiban-kewajiban


sebagai akibat dari kebebasan yang ada di laut lepas. Hal ini dikarenakan, asas
kebebasan harus disertai dengan tindakan-tindakan pengawasan, karena kebebasan
tanpa pengawasan dapat mengacaukan kebebasan itu sendiri Oleh karena itu, terhadap
kebebasan di laut bebas tersebut terdapat beberapa pengecualian yang sama sekali
tidak boleh dilakukan di laut lepas. Pengecualian kebebasan di laut lepas tersebut
antara lain adalah Perompakan laut (piracy), pengejaran seketika (hot persuit),
penangkapan ikan dan pencemaran di laut lepas. 6

Khusus untuk perikanan, pelaksanaan hak kebebasan untuk melakukan


penangkapan ikan ini harus disertai dengan diindahkannya kewajiban untuk
melaksanakan tindakan konservasi sumber daya hayati di laut lepas.7

Kebebasan menangkap ikan ini dibatasi atas berbagai kewajiban yang dalam
ketentuan mengenai langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati
di laut lepas ini menyangkut pula jenis ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh.
Mengenai perikanan, Konvensi UNCLOS 1982 tidak dengan efektif mengatur
mengenai konservasi ikan beruaya baik yang jauh, maupun dekat. Masalah ini
kemudian menjadi semakin parah dengan tidak efektifnya ketentuan di dalam Bab VII

5
Runtunuwu, “Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”, 62.
6
Achmad Fahrudin, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-Undangan Indonesia”, Pustaka
UT, (2018) 16.
7
Achmad Fahrudin, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Perundang-Undangan Indonesia”, 16.
Konvensi mengenai pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas. Ketidakefektifan ini
berakibat pada penurunan sumber daya ikan secara drastis.8

Dengan uraian-uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis bermaksud


melakukan kajian penelitian terhadap laut lepas dengan judul penelitian sebagai
berikut: “Perkembangan Hukum Atas Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
di Laut Lepas dalam Hukum Laut Internasional dan Hukum Perikanan Internasional
Menurut Sudut Pandang Yurisdiksi Kewilayahan dan Pemanfaatan Serta Perspektif
dari Indonesia atas Hak dan Kewajiban Negara Mengenai Perikanan di Laut Lepas
Sesuai Hukum Internasional”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diuraikan beberapa pokok permasalahan dari


penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan rezim perikanan di laut lepas dalam hal Hukum


Laut Internasional dan Hukum Perikanan Internasional?
2. Bagaimana perspektif hukum nasional Indonesia dalam perkembangan rezim
perikanan di laut lepas menurut Hukum Laut Internasional dan Hukum Perikanan
Internasional?
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan beberapa pokok permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan terkini atas rezim


hukum laut lepas dalam hukum perikanan internasional.
2. Untuk memberikan penjelasan mengenai sudut pandang hukum nasional
Indonesia terkait perkembangan dari rezim hukum perikanan internasional di laut
lepas.
D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, diharapkan dapat memberikan


manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

8
Dikdik Mohamad S. “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”. Refika Aditama. (Bandung:
2016). 132.
Penulis berharap dengan rampungnya penelitian ini, bisa mendapat manfaat berupa
memperluas wawasan dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
hukum dan juga agar bisa dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai acuan untuk memahami
ketentuan Hukum Laut Internasional atas Laut Lepas dan Hukum Perikanan
Internasional.

E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang dipakai penulis untuk melakukan penelitian ini adalah
penggunaan studi kepustakaan yang meneliti bahan berupa perjanjian internasional, buku-
buku, atau literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini seperti Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982.

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian hukum deskriptif analitis
yang bertujuan untuk memberikan gambaran dan memaparkan objek penelitian
berdasarkan data dengan sistematis.9 Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan mengenai pengaturan hukum atas pengelolaan wilayah dan/atau objek di
laut lepas dan hukum perikanan internasional dikaitkan dengan cara Indonesia
memanfaatkan hak dan kewajibannya sesuai dengan hukum internasional.

3. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan
hukum sekunder, primer, dan tersier sesuai dengan metode pendekatan yang dipakai yaitu
melalui studi kepustakaan dengan menjadi literatur, dokumen resmi, peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan objek yang diteliti.10

Bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu: Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa


1982
b. The 1993 FAO Compliance Agreement

9
Ronny Hannitijo Soemitro, “Pengantar Ilmu Hukum”, Galia Indonesia (Jakarta: 1981), 97.
10
Soejono Soekanto, “Sosiologi: Suatu Pengantar”, CV Rajawali, (Jakarta: 1982), 52.
c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 1982
relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and
Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Fish Stocks Agreement) 1995.
d. FAO Code Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995
e. International Plan of Action to Prevent, Deter and Elimination Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU 2001)
f. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan sekunder ini diperoleh dari buku-buku,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan tulisan lain yang
berkaitan dengan objek yang dibahas.
4. Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data melalui studi dokumen. Studi dokumen merupakan alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dan menggunakan cara analisis isi
dari bahan kepustakaan.11

Studi dokumen dipakai terhadap data sekunder. Data sekunder adalah data yang
sekumpulan data diperoleh dari pihak lain, baik berisi tentang dokumen resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, maupun jurnal dan seterusnya. 12Data
sekunder tersebut terdapat di dalam bahan hukum primer dan sekunder.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan penulis menggunakan metode kualitatif, dimana data
sekunder setelah dikumpulkan, kemudian diolah guna mendapatkan kesimpulan dari
penelitian, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif.

Analisis kualitatif merupakan analisis dengan pendekatan kualitatif, dilakukan dengan


memusatkan analisis pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-
satuan gejala-gejala dalam kehidupan sosial budaya. Analisis ini dilakukan terhadap data
sekunder agar merumuskan kesimpulan dari penelitian. Dari kesimpulan tersebut,
melahirkan jawaban terhadap pokok permasalahan dari objek penelitian.13

6. Cara Penarikan Kesimpulan

11
Sugiyono, “Metode Penelitian Kualitatif”, Alfabeta, (Bandung: 2005), 58.
12
Sugiyono, “Metode Penelitian Kualitatif”, 12.
13
Burhan Ashshofa, “Metode Penelitian Hukum”, Rineka Cipta, (Jakarta: 2001), 21.
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan cara deduktif, yaitu metode penarikan
kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.14

F. Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, permasalahan yang akan
coba dijawab oleh penulis, tujuan penulis melakukan penelitian, manfaat yang bisa
didapatkan dari penelitian ini, metode yang digunakan dan sistematika penulisan.

BAB II: PEMBAHASAN

Di dalam bab ini, penulis menganalisis permasalahan yang diuraikan pada bab
pertama yaitu: Kajian pengaturan hukum internasional mengenai perikanan di laut lepas
dan hukum nasional mengenai hak dan kewajiban Indonesia di laut lepas akan perikanan
dari sudut pandang yurisdiksi dan kewilayahan.

BAB III: PENUTUP

Bab ini adalah bab akhir dari penelitian penulis, berisi kesimpulan.

14
Burhan Ashshofa, “Metode Penelitian Hukum”, 5.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Laut Lepas dan Hukum Perikanan Internasional


Asas kebebasan laut pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam
bukunya yaitu De jure Praedae (Hukum tentang Rampasan Perang) yang terbit tahun
1604 yang bab 12 nya secara khusus diterbitkan dengan judul Mare Liberum (Laut
Terbuka atau Laut Bebas) pada tahun 1609. Dalam bukunya, Grotius secara khusus
mengemukakan pendapatnya yang menyatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh
siapapun, karena itu harus terbuka bagi semua bangsa. Alasan Grotius berpendapat
bahwa laut berisfat terbuka dan bebas adalah laut sangatlah luas dan tidak ada orang
yang dapat hidup di laut secara permanen dalam waktu yang lama. Selain itu, laut
juga mengandung sumber daya alam tidak terbatas dan tidak akan habis apabila
dimanfaatkan oleh semua bangsa.15
Kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan tertib hukum yang mengatur
wilayah laut, baik untuk kepentingan negara pantai maupun kepentingan masyarakat
internasional, mencapai puncaknya pada Tahun 1982 di Montego Bay (Jamaika)
setelah ditandatanganinya UNCLOS 1982 yang menyepakati berbagai persoalan
kelautan yang menjadi isu penting sampai saat itu, termasuk penentuan lebar laut
teritorial suatu negara beserta cara pengukurannya. Berdasarkan hal tersebut setiap
negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya. sampai suatu batas
yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai
dengan Konvensi ini (UNCLOS 1982).Pentingnya penentuan dan pengaturan
mengenai batas-batas sebuah negara, dalam hal ini negara pantai, disebabkan oleh
beberapa faktor. Hal ini erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan suatu negara
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu masalah yang terjadi pada
perairan (laut) di sebuah negara pantai atau kepulauan yaitu Ilegal, Unreported,
Unregulated Fishing merupakan masalah yang berkaitan dengan penangkapan ikan di
laut.16

B. Ketentuan Mengenai Laut Lepas dalam UNCLOS 1982


15
I Wayan Parthiana, “Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia”, Yrama Widya, (Bandung:
2014), 7.
16
Ahmad Syofyan, “Hukum Laut Internasional dalam Perkembangannya”. Justice Publisher. (Lampung: 2015).
118.
Ketentuan mengenai laut lepas di dalam UNCLOS 1982 diadopsi dari High
Seas Convention 1958 di Pasal 2, menyebutkan: “high seas are open to all states, and
no states may validly purport to subject any part of them to its sovereignty.”.
Ketentuan ini diadopsi di dalam UNCLOS 1982 yang kemudian dituangkan di Pasal
87 dan 89 Konvensi.17
C. Yurisdiksi Laut Lepas
Meskipun di dalam Konvensi baik UNCLOS 1982, maupun High Seas
Convention 1958 menyatakan laut lepas tidaklah menjadi yurisdiksi negara manapun,
tetapi bukan berarti tidak ada yurisdiksi yang bisa ditegakkan di laut lepas. Di pasal
92 UNCLOS menyebutkan bahwa negara bendera kapal, memiliki hak eksklusif
untuk menegakkan hukum benderanya terhadap kapal yang berada di laut bebas
tersebut.18 Meskipun begitu, hak eksklusif dari negara bendera kapal tidak bersifat
absolut. Mengenai hal-hal tertentu, semua negara tidak dapat menegakkan
yurisdiksinya. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah termasuk kejahatan
internasional, antara lain: pembajakan, perdagangan manusia, penyiaran ilegal, dan
lain sebagainya, serta pengecualian lain terhadap hak eksklusif negara berbendera,
misalnya: pengejaran seketika, major pollution accident, exceptional measures, dan
rights under special treaties.19
D. Ketentuan Mengenai Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Hayati di Laut
Lepas
Di laut bebas, semua negara memiliki hak yang sama untuk menangkap ikan
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diterapkan. Menurut Pasal 116
UNCLOS 1982, Konvensi memberikan hak kepada seluruh negara untuk menangkap
ikan di laut lepas dengan pembatasan berupa:20
a. Kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian
internasional yang diadakan oleh mereka dan negara lain;
b. Hak dan kewajiban serta kepentingan negara pantai sebagaimana diatur
di dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal ayat (1) Konvensi;
c. Ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan
sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi ini.

17
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, Prenamedia Group, (Jakarta: 2017), 86.
18
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 88.
19
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 89.
20
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 141.
Ketentuan-ketentuan tersebut secara tegas mendahulukan kepentingan negara
pantai dan perlindungan sumber daya ikan.21

E. Manajemen Perikanan di Laut Bebas


Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs) adalah organisasi
tingkat regional yang bertanggung jawab atas pengelolaan stok ikan di laut lepas
terutama untuk spesies ikan yang beruaya jarak jauh. RFMOs juga bertugas untuk
melakukan konservasi spesies-spesies hayati lautan yang terpengaruh atas kegiatan
perikanan, termasuk penyu, lumba-lumba, ikan hiu, paus dan lain sebagainya yang
bukan merupakan target perikanan.22 RFMO sendiri dibentuk atas amanat dari Pasal
118 UNCLOS 1982 yang menyatakan tentang kerja sama yang dilakukan oleh
negara-negara dalam hal menangani konservasi dan pengelolaan sumber daya alam
hayati.23
Tanggung jawab dari RFMO sendiri tertulis di dalam perjanjian internasional
tentang laut yaitu FAO (Food and Agricultural Organisations) Agreement to Promote
Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing
Vessel on the High Seas 1993. Perjanjian ini merupakan ketentuan internasional yang
sifatnya mengikat (legally binding) yang mengatur langsung tentang reflagging dan
flag of convenience, khususnya mengenai kepatuhan dan penguatan tanggung jawab
negara bendera. Selain FAO, terdapat juga UN Fish Stock Agreement 1995.24
1. FAO Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas
Persetujuan ini lahir karena adanya perkembangan teknologi penangkapan
ikan yang menyebabkan konflik dan menurunnya sumber daya ikan, dimana
persetujuan ini dianggap sebagai peraturan pelaksana dari beberapa ketentuan
terkait dalam UNCLOS 1982. Dalam persetujuan ini secara khusus mengatur
mengenai stok ikan yang berimigrasi atau beruaya jauh dan terbatas.25
Dewan FAO, pada November 1992, menyatakan pendapatnya atas tindakan
dari pergantian bendera kapal oleh kapal ikan yang bertujuan untuk mengindari
pengaturan mengenai konservasi dan manajemen. Usulan Flagging Agreement
berkembang menjadi FAO Agreement to Promote Compliance with International
21
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 141.
22
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 91.
23
Dhiana Puspitawati, “Hukum Laut Internasional”, 91-92.
24
Ahmad Syofyan, “Hukum Laut Internasional dalam Perkembangannya”. 124.
25
Ahmad Syofyan, “Hukum Laut Internasional dalam Perkembangannya”. 125.
Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas
dan kemudian berlaku pada 24 April 2003. Perjanjian merupakan satu kesatuan
dari CCRF atau International Code of Conduct for Responsible Fisheries.26
2. Persetujuan PBB tentang Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut terkait dengan Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan
yang Bermigrasi Terbatas dan Jauh.
Tanggal 4 Desember tahun 1995 dalam UN Conference on Straddling Fish
Stocks and Highly Migratory Fish Stocks sesi ke 6, PBB berhasil mengadopsi
suatu persetujuan untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut di atas dalam
bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of
1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and
Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Fish Stocks Agreement) 1995.
Persetujuan tersebut merupakan upaya untuk menumbuhkan kesadaran global
akan pentingnya konservasi jenis ikan-ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi
terbatas, serta dalam kerangka mengimplementasikan ketentuan-ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982 yang memiliki keterkaitan dengan jenis ikan-ikan
yang telah disebutkan sebelumnya.27
Perjanjian ini adalah salah satu perjanjian perikanan di laut lepas yang efektif
sebagai aturan pelaksana UNCLOS 1982. Perjanjian yang juga dikenal sebagai
UN Fish Stocks Agreement 1995 merupakan penjabaran lebih lanjut atas
UNCLOS 1982 atas ketentuan konservasi sumber daya perikanan. Perjanjian ini
telah ditandatangani oleh 59 negara dan diratifikasi oleh 77 negara dan entry into
force pada tanggal 11 Januari 2001.28
3. FAO Code Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995
CCRF diawali dengan diskusi tentang status perikanan dunia yang dimulai
oleh FAO-COFI (Comitee on Fisheries) pada Maret 1991. Penyusunan CCRF
kemudian dilanjutkan di pertemuan Cancum 1992 yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Meksiko yang menghasilkan Deklarasi Cancun 1992 yang

26
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Indonesian Journal
of International Law Volume 2 Nomor 3. (2005), 513.
27
Muhammad Insan Tarigan, “Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Daya Ikan di Laut Lepas”, Fiat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 Nomor 4, (2015). 560
28
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, 511.
mengamanatkan kepada FAO untuk mmembuat Code of Conduct bagi kegiatan
perikanan yang bertanggung jawab.29
Penyusunan CCRF kemudian didukung oleh UNCED Rio Summit pada Juni
1992 dan ditindak lanjut dengan Pertemuan Teknis FAO atas Penangkapan Ikan di
Laut Lepas pada November 1992.
Menurut FAO, tujuan dari penyusunan CCRF ada sepuluh hal, antara lain: 30
a) Menyediakan prinsip-prinsip pengelolaan ikan yang relevan dengan
hukum laut internasional dalam konteks perikanan yang bertanggung
jawab;
b) Tersedianya prinsip dan kriteria untuk elaborasi dan implementasi
kebijakan nasional yang ditujukan untuk kelestarian SDP dan pengelolaan
serta pembangunan perikanan;
c) Sebagai referensi untuk negara di dunia dalam pengembangan
kerangka hukum dan institusi yang diperlukan dalam implementasi CCRF;
d) Menyediakan pedoman bagi implementasi kerja sama internasional
yang terkait dengan pemanfaatan SDP
e) Menyediakan fasilitas kerja sama teknis, finansial dan kerja sama lain
yang terkait dengan konservasi SDP dan pengelolaan dan pembangunan
perikanan;
f) Promosi atas kontribusi perikanan terhadap penyediaan bahan pangan
dalam konteks ketahanan dan kualitas pangan;
g) Mempromosikan perlindungan terhadap SDP, lingkunan perairan dan
kawasan pesisir;
h) Promosi atas perdagangan ikan secara bertanggung jawab dan sesuai
dengan aturan hukum internasional;
i) Promosi atas penelitian atau riset perikanan;
j) Penyediaan standar kode etik bagi pelaku perikanan.
4. International Plan of Action to Prevent, Deter and Elimination Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU 2001)
IPOA-IUU adalah suatu instrument internasional yang bukan merupakan satu-
kesatuan dari kerangka CCRF atas respon keprihatinan siding FOA pada Februari
29
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries Dalam Perspektif Negara
Berkembang”, Jurnal Hukum Internasional Volume 2 Nomor 3, (2005), 473.
30
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries Dalam Perspektif Negara
Berkembang”, 474
tahun 1992. Tujuan dari IPOA-IUU adalah untuk mencegah, mengurangi, dan
menghapus kegiatan IUU Fishing dengan memberikan tata cara kepada semua
negara untuk Menyusun langkah yang komprehensif, efektif dan transparan
dengan bekerja sama dengan RMFO yang berkompeten.31
F. Perspektif Hukum Nasional Indonesia atas Hukum Perikanan Internasional
Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumber daya perikanan
yang melimpah seperti Indonesia, Indonesia sebagai negaa kepulauan, berperan
penting dalam tindakan konservasi sumber daya ikan di laut. Kondisi geografis
Indonesia yang begitu baik, juga membawa pengaruh bagi biodiversity laut terluas di
dunia dan terumbu karang yang tersebar luas di seluruh nusantara untuk menopang
berlimpahnya ketersediaan ikan yang beragam.32
Oleh karena itu, kepedulian dan kepentingan Indonesia akan laut begitu besar,
hal ini terlihat dari terikatnya Indonesia dengan berbagai perjanjian dan konvensi
yang berkaitan dengan Hukum Laut Internasional dan Hukum Perikanan
Internasional. Keterikatan dengan perjanjian-perjanjian ini diimplementasikan dengan
instrument-instrumen hukum nasional, baik dalam bentuk Undang-Undang, maupun
peraturan lainnya.
Peraturan-peraturan tersebut antara lain:33
a) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
mengadopsi Bab V UNCLOS 1982 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan di ZEE. Akan tetapi berbeda dengan UU ZEEI, kedua UU
Perikanan ini mengandung ketentuan pengelolaan sumber daya ikan oleh
kapal perikanan berbendera Indonesia di luar wilayah Republik Indonesia,
khususnya di laut lepas. Hal ini tentu sejalan dengan ketentuan dalam UNIA
1995 tentang Persediaan Ikan dan CCRF.
b) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan sebagai aturan pelaksana dari Pasal 13 UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan dan Pasal 6 CCRF.
c) Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 12 Tahun 2012, aturan ini adalah aturan pelaksana dari UU No. 31 Tahun

31
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 168.
32
Marhaeni Ria S, “Hukum Perikanan Nasional dan Internasional”, 85.
33
Dikdik Mohamad S, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, 189-190.
2004, UU No. 21 Tahun 2009, UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Presiden
No. 9 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2007 dan Peraturan
Presiden No, 61 Tahun 2013 telah sesuai dengan prosedur izin penangkapan
ikan di laut lepas
d) Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1) dan
(2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2013 tentang
Sistem Pemantauan Kapal Perikanan yang diterbitkan untuk melaksanakan
Pasal 7 Ayat (1) huruf k UU No. 45 Tahun 2009 telah memenuhi syarat yang
diatur dalam Perestujuan PBB tentang Persediaan Ikan 1995 yang terkait
dengan pemantauan kapal.
e) Diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 13
Tahun 2012 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan telah sesuai dengan
ketentuan paragraph 66 IPOA-IUU untuk mendukung upaya nasional dan
regional dalam pemberantasan IUU Fishing.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas di bab seelumnya, maka bisa disimpulkan
bahwa:
a. Meskipun di dalam UNCLOS 1982 telah diatur mengenai kebebasan
dalam penangkapan ikan di laut lepas, tetapi penangkapan tersebut harus
memperhatikan kepentingan negara pantai dan konservasi dan pengelolaan
sumber daya ikan. Keseriusan masyarakat Internasional mengenai pengelolaan
dan konservasi sumber daya ikan berangkat dari perkembangan teknologi
penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dan menurunnya sumber daya
ikan. Oleh karena itu, dibentuklah beberapa instrumen internasional mengenai
konservasi dan pengelolaan ikan di laut lepas berupa FAO Compliance
Agreement 1993, UN Fish Stocks Agreement 1995, dan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) 1995 yang diharapkan menjadi pedoman bagi
negara anggota agar pengelolaan ikan yang relevan dengan hukum laut
internasional dalam konteks perikanan yang bertanggung jawab.
b. Indonesia dengan dengan letak geografis yang mumpuni serta sumber
daya alam yang melimpah, menjadikan Indonesia kaya akan biodiversity di
laut dan juga merupakan bagian dari masyarakat internasional, Indonesia
menunjukan sudut pandangnya yang peduli akan pengelolaan dan konservasi
akan sumber daya ikan dengan terikat di sejumlah konvensi dan perjanjian
internasional baik mengenai laut, maupun pengelolaan dan konservasi sumber
daya ikan. Indonesia juga menunjukan keseriusannya dengan
mengimplementasikan hasil perjanjian-perjanjian internasional ke dalam
hukum nasionalnya baik itu dalam bentuk Perundang-undangan, maupun
bentuk peraturan nasional lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Parthiana, I Wayan. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Bandung:
Yrama Widya, 2014.

Puspitawati, Dhiana. Hukum Laut Internasional. Jakarta: Prenamedia Group, 2017.

Rudy, T. May, Hukum Internasional 2. Bandung: Refika Aditama, 2002.

Siombo, Marhaeni Ria. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010

Sodik, Dikdik Mohamad. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia.


Bandung: Refika Aditama, 2016.

Soekanto, Soejono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali, 1982

Soemitro, Ronny Hannitijo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Galia Indonesia, 1981

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.

Syofyan, Ahmad. Hukum Laut Internasional dalam Perkembangannya. Lampung: Justice


Publisher, 2015.

B. Artikel Jurnal

Ariadno Melda Kamil, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut


Bebas”, Indonesian Journal of International Law Volume 2 Nomor 3 (2005): 503-504

Runtunuwu Kendis, “Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum


Laut 1982”, Lex et Societatis Vol. II. (2014): 61-70

Tarigan Muhammad Insan, “Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Daya Ikan di Laut
Lepas”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 Nomor 4 (2015): 543-576

Anda mungkin juga menyukai