Anda di halaman 1dari 39

Iskandar Muda dari

Aceh

Sultan Iskandar Muda (Aksara Jawoë :


‫( )ﺳﻠﻄﺎن إﺳﻜﻨﺪر ﻣﻮدا‬Lahir di Bandar Aceh
Darussalam, Kesultanan Aceh, 1590 atau
1593[1] – wafat di Bandar Aceh
Darussalam, Kesultanan Aceh, 27
Desember 1636) merupakan sultan yang
paling besar dalam masa Kesultanan
Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607
sampai 1636.[2] Aceh mencapai
kejayaannya pada masa kepemimpinan
Iskandar Muda, di mana daerah
kekuasaannya yang semakin besar dan
reputasi internasional sebagai pusat dari
perdagangan dan pembelajaran tentang
Islam.[1] Beliau juga pernah melakukan
serangan terhadap Portugis, tetapi
serangan tersebut tidak berhasil,
meskipun begitu Aceh tetap merupakan
kerajaan yang merdeka. Namanya kini
diabadikan untuk Universitas Iskandar
Muda, Kodam Iskandar Muda dan Bandar
Udara Internasional Sultan Iskandar
Muda di Banda Aceh. beliau dikenal
sangat piawai dalam membangun
kerajaan aceh darussalam.[3][4]
Sri Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam

Makam Sultan Iskandar Muda

Masa kekuasaan 1607 - 1636

Nama asli Iskandar Muda

Lahir 1593

Tempat lahir Bandar Aceh


Darussalam

Wafat 27 Desember 1636

Tempat wafat Bandar Aceh


Darussalam
Pemakaman Peuniti,
Baiturrahman, Banda
Aceh

Pendahulu Sultan Ali Riayat Syah

Pengganti Sultan Iskandar Tsani

Ratu Tengku Kamaliah dari


Pahang

Wangsa Darud Duniya

Dinasti Meukuta Alam

Ayah Sultan Mansur Syah

Ibu Puteri Raja Indera


Bangsa

Anak 1. Sultanah
Safiatuddin,
2. Merah Pupok

Agama Islam Sunni

Keluarga dan masa kecil

Asal usul …

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda


adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal,
dan dari pihak leluhur ayah merupakan
keturunan dari keluarga Raja Makota
Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam
dikatakan dahulunya merupakan dua
tempat permukiman bertetangga (yang
terpisah oleh sungai) dan yang
gabungannya merupakan asal mula Aceh
Darussalam. Iskandar Muda seorang diri
mewakili kedua cabang itu, yang berhak
sepenuhnya menuntut takhta.[2]

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa,


yang juga dinamai Paduka Syah Alam,
adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat
Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan
ini adalah putra dari Sultan Firman Syah,
dan Sultan Firman Syah adalah anak atau
cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan
Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan


upacara besar-besaran dengan Sultan
Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-
Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra
dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

Pernikahan …

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian


menikah dengan seorang Putri dari
Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal
dengan nama Putroe Phang. Konon,
karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan
pembangunan Gunongan di tengah
Medan Khayali (Taman Putroe Phang)
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang
puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap
kampung halamannya yang berbukit-
bukit. Oleh karena itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengubati rindu sang
puteri. Hingga saat ini Gunongan masih
dapat disaksikan dan dikunjungi.[5][6]

Putri Pahang dalam istana Darud Dunia


tidak hanya sebagai Permaisuri, juga
menjadi penasehat bagi suaminya Sultan
Iskandar Muda. Salah satunya
nasehatnya adalah pembentukan Majelis
Syura (Parlemen) yang beranggotakan 73
orang sebagai perwakilan penduduk
dalam kerajaan Aceh.[7]
Gunongan yang dibangun oleh Sultan Iskandar
Muda untuk Putroe Phang (Isterinya)

Sebagai penghormatan kepada Putroe


Phang sebuah Hadih Maja (Kata-kata
berhikmat) yang berbunyi:

Adat bak Poteu Meureuhom,

Hukom bak Syiah Kuala,

Kanun bak Putroe Phang,

Reusam bak Laksamana,


Hukom ngon adat lagee zat ngon sifuet,

Hadih Maja ini adalah ajaran tentang


pembagian kekuasaan dalam kerajaan
Aceh Darussalam3), yang bermakna:

1. Kekuasaan eksekutif berupa


kekuasaan politik/adat berada di
tangan Sultan sebagai Kepala
Pemerintahan. Sultan Iskandar
Muda menciptakan sistem ini, maka
dibangsakan kepadanya (Poteu
Meureuhom);
2. Kekuasaan yudikatif atau
pelaksanaan hukum berada di
tangan ulama. Syekh Abdurrauf
Syiah Kuala merupakan seorang ahli
hukum dan Kadi Malikul Adil yang
paling menonjol, maka pelaksanaan
yudikatif ini dibangsakan
kepadanya;
3. Kekuasaan legislatif atau
pembuatan undang-undang
dibangsakan kepada Putroe Phang
karena ia yang memberi nasehat
untuk membentuk Majelis Syura
(Parlemen);
4. Peraturan keprotokolan atau reusam
berada di tangan Laksamana
sebagai Panglima Angkatan Perang
Aceh dibangsakan kepada
Laksamana Malahayati;
5. Baris kelima adalah sintesis dari
silogisme empat baris sebelumnya,
yaitu: Dalam keadaan
bagaimanapun, adat, kanun, dan
reusam tidak boleh dipisahlan dari
hukum/ajaran Islam sebagai
penuntun jalan setiap orang yang
memegang kekuasaan di
Kesultanan Aceh Darussalam.[8]

Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda
yang dimulai pada tahun 1607 sampai
1636, merupakan masa paling gemilang
bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi
lain kontrol ketat yang dilakukan oleh
Iskandar Muda, menyebabkan banyak
pemberontakan di kemudian hari setelah
mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya


dan makmur pada masa kejayaannya.
Menurut seorang penjelajah asal Prancis
yang tiba pada masa kejayaan Aceh
pada zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh
mencapai pesisir barat Minangkabau.
Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga
Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa


pada tahun 1607, ia segera melakukan
ekspedisi angkatan laut yang
menyebabkan ia mendapatkan kontrol
yang efektif di daerah barat laut
Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana
dengan lancar di semua pelabuhan
penting di pantai barat Sumatra dan di
pantai timur, sampai ke Asahan di
selatan. Pelayaran penaklukannya
dilancarkan sampai jauh ke Penang, di
pantai timur Semenanjung Melayu, dan
pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan
menjadi pusat ilmu pengetahuan.[9]

Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu


bangunan bersejarah yang di bangun oleh Sultan
Iskandar Muda pada masa kejayaan Kesultanan
Aceh Darussalam
Aceh Darussalam

Kontrol di dalam negeri …

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda


membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah
administrasi yang dinamakan ulèëbalang
dan mukim; ini dipertegas oleh laporan
seorang penjelajah Prancis bernama
Beauliu, bahwa "Iskandar Muda
membabat habis hampir semua
bangsawan lama dan menciptakan
bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya
adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin
oleh seorang Imam (Aceh: Imeum).
Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada
awalnya barangkali bawahan-utama
Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa
mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik
feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar
dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang
penting.[9][10]

Persaingan Dengan Imperialis


Eropa

Kekuasaan Imperialisme Eropa yang


pertama datang ke Asia Tenggara adalah
Portugis, pada tahun 1511 menaklukkan
Malaka. Portugis kemudian menaklukkan
Samudera Pasai (1521) dan memperluas
pengaruhnya di Selat Malaka. Akan tetapi
dari Utara Sumatera muncul lawan
sepadan Aceh Darussalam, konflik
berlangsung ratusan tahun dan akhirnya
Sultan Aceh terbesar Iskandar Muda lahir
dan pertarungan kian dahsyat.
Sebagaimana diceritakan dalam Sejarah
Pahang.[11]

“Dalam bulan Juli 1613, Sultan


Iskandar Muda Mahkota
Alam, Raja Aceh yang masyhur
gagah perkasanya itu, telah
menghantar suatu angkatan
perang laut yang besar datang
menyerang dan mengalahkan
Negeri Johor, Batu Sawar dan
Kota Seberang. Bandar-bandar
utama di Negeri Johor masa
itu telah diduduki oleh orang-
orang Aceh. Mengikut
setengah sumber, Iskandar
Muda sendiri mengepalakan
Angkatan Perang Aceh yang
menyerang Negeri Johor itu.
Sultan Alauddin Riayat Syah
III, adinda baginda Raja
Abdullah serta Bendahara
(Perdana Menteri) Johor Tun
Sri Lanang dan beberapa
ramai pengiring-pengiring
Sultan Johor telah ditawan dan
dibawa ke Negeri Aceh…”
Setelah beberapa tahun di Aceh, Sultan
Alauddin Riayat Syah III berjanji tidak
akan lagi membantu Portugis yang telah
menduduki Malaka, maka Sultan
Iskandar Muda membebaskan Sultan
Alauddin dan diantar kembali serta
ditabalkan kembali sebagai Sultan Johor.
Akan tetapi ternyata Sultan Alauddin
Riayatsyah III ternyata berkhianat dan
bekerjasama dengan Portugis untuk
memperluas jajahan mereka di
Semenanjung Melayu. Alauddin
membantu Portugis untuk mengangkat
Raja Bujang menjadi Raja Pahang. Raja
Bujang sebelumnya adalah seorang
pangeran Pahang yang telah bersumpah
setia kepada Portugis.[12] Maka,
September 1615. Sultan Iskandar Muda
menyerang Johor kembali dengan
angkatan perang yang besar, Sultan
Alauddin ditangkap dan dibawa (lagi) ke
Aceh sampai meninggal. Serangan
armada Aceh Darussalam dilanjutkan ke
Pahang  sebagaimana yang dituliskan
oleh Haji Buyong Adil:

“Oleh sebab orang Portugis


telah menolong Sultan Johor
menaikkan Raja Bujang
menduduki Kerajaan Negeri
Pahang, pada tahun 1617
Sultan Aceh telah
mengeluarkan Angkatan
Perang Aceh menyerang
Negeri Pahang dan laskar-
laskar Aceh yang datang itu
telah membinasakan daerah di
Negeri Pahang. Raja Bujang
melarikan diri, sementara
ayah mertuanya, Raja Ahmad,
dan putranya yang bermana
Raja Mughal serta 10.000
rakyat negeri Pahang ditawan
ditahan dan dibawa ke Negeri
Aceh. Seorang pitri dari
keluarga diraja Pahang, yang
bernama Putri Kamaliah, juga
turut dibawa ke Aceh, yang
kemudian diperistri oleh
Sultan Iskandar Muda
Meukuta Alam, dan Putri
Pahang itu termasyur dalam
sejarah Aceh karena
kebijaksanaannya dan disebut
oleh orang-orang Aceh Putroe
Phang…”

Hubungan dengan bangsa


asing

Makam Sultan Iskandar Muda


Inggris …

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth


I, mengirimkan utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh
dan mengirim surat yang ditujukan:
"Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh
Darussalam." serta seperangkat
perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik
"saudarinya" di Inggris dan mengizinkan
Inggris untuk berlabuh dan berdagang di
wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu
Elizabeth I juga mengirim hadiah-hadiah
yang berharga termasuk sepasang
gelang dari batu rubi dan surat yang
ditulis di atas kertas yang halus dengan
tinta emas. Sir James pun dianugerahi
gelar "Orang Kaya Putih".[2]

Sultan Aceh pun membalas surat dari


Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat
Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh
pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal
tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions


below the wind, who holds sway over
the land of Aceh and over the land of
Sumatra and over all the lands tributary
to Aceh, which stretch from the sunrise
to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang
terhimpun di atas tanah Aceh dan atas
tanah Sumatra dan atas seluruh
wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk
matahari terbit hingga matahari
terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan


Inggris dilanjutkan pada masa Raja
James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja
James mengirim sebuah meriam sebagai
hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan
dikenal dengan nama Meriam Raja
James.[13]

Belanda …
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits
– pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta
bantuan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sultan menyambut maksud baik mereka
dengan mengirimkan rombongan
utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul
Hamid.[14]

Rombongan inilah yang dikenal sebagai


orang Indonesia pertama yang singgah di
Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku
Abdul Hamid sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri
oleh para pembesar-pembesar Belanda.
Namun karena orang Belanda belum
pernah memakamkan orang Islam, maka
ia dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja.
Kini di makam ia terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang
Yang Mulia Pangeran Bernhard suami
mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang
Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki …

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan


Aceh mengirim utusannya untuk
menghadap Sultan Utsmaniyah yang
berkedudukan di Konstantinopel. Karena
saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering
maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-
lantung demikian lamanya sehingga
mereka harus menjual sedikit demi
sedikit hadiah persembahan untuk
kelangsungan hidup mereka. Lalu pada
akhirnya ketika mereka diterima oleh
sang Sultan, persembahan mereka hanya
tinggal Lada Sicupak atau Lada
sekarung. Namun sang Sultan
menyambut baik hadiah itu dan
mengirimkan sebuah meriam dan
beberapa orang yang cakap dalam ilmu
perang untuk membantu kerajaan Aceh.
Meriam tersebut pula masih ada hingga
kini dikenal dengan nama Meriam Lada
Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan
Ottoman mengirimkan sebuah bintang
jasa kepada Sultan Aceh.[15]

Prancis …

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan


utusan Kerajaan Prancis. Utusan Raja
Prancis tersebut semula bermaksud
menghadiahkan sebuah cermin yang
sangat berharga bagi Sultan Aceh.
Namun dalam perjalanan cermin tersebut
pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin
tersebut sebagai hadiah bagi sang
Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar
Muda amat menggemari benda-benda
berharga.[2]

Pada masa itu, Kerajaan Aceh


merupakan satu-satunya kerajaan
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen
atau Aula Kaca di dalam Istananya.
Menurut Utusan Prancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari
dua kilometer. Istana tersebut bernama
Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe
Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya
meliputi Medan Khayali dan Medan
Khaerani yang mampu menampung 300
ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar
Muda juga memerintahkan untuk
menggali sebuah kanal yang mengaliri air
bersih dari sumber mata air di Mata Ie
hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh di
mana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat
dilihat, mengalir tenang di sekitar
Meuligoe. Di sanalah sultan acap kali
berenang sambil menjamu tetamu-
tetamunya.

Referensi
1. ^ a b c (Inggris)Encyclopedia
Britannica Online, diakses tanggal 31
Mei 2007
2. ^ a b c d e f LOMBARD, Denys.
Kerajaan Aceh: Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakan Populer Gramedia, 2006.
ISBN 979-9100-49-6
3. ^ Media, Kompas Cyber. "Biografi
Sultan Iskandar Muda dan
Perjuangannya Halaman all" .
KOMPAS.com. Diakses tanggal
2020-04-29.
4. ^ "Iskandar Muda Penguasa Selat
Malaka" . Serambi Indonesia.
Diakses tanggal 2020-04-29.
5. ^ tengkuputeh (2018-09-27).
"PUTROE PHANG JULUKAN DARI
TENGKU KAMALIAH SEORANG
PUTRI KESULTANAN PAHANG" .
Tengkuputeh (dalam bahasa
Inggris). Diakses tanggal
2020-04-29.
. ^ "Biografi Sultan Iskandar Muda
Pahlawan Asal Aceh" . Official
Website Initu.id. 2018-09-14. Diakses
tanggal 2020-04-29.
7. ^ Die Meulek; Kanun Al Asyi; Koleksi
Naskah Tua Perpustakaan A. Hasjmy
. ^ Hasjmy; Wanita Aceh Sebagai
Negarawan dan Panglima Perang;
Jakarta; Penerbit Bulan Bintang;
1996
9. ^ a b REID, Anthony. Asal Usul Konflik
Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur
Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh
Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005. ISBN 979-461-534-
X. Halaman 3
10. ^ "Sultana Tak Suka Permata" .
Historia - Majalah Sejarah Populer
Pertama di Indonesia. Diakses
tanggal 2020-04-29.
11. ^ "SEKILAS SEJARAH ACEH ABAD
KE- 16 | Ditjen Kebudayaan" .
Diakses tanggal 2020-04-29.
12. ^ Haji Buyong Adil; Sejarah Pahang;
Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan
Pustaka; 1972;
13. ^ "Mengenal Pahlawan Nasional dari
Aceh" . kumparan. Diakses tanggal
2020-04-29.
14. ^ "Catatan dari para pemimpin kapal
sipil Den Arent (burung Elang)
mengenai kota Aceh pada tahun
1689 :: Sejarah Nusantara" . sejarah-
nusantara.anri.go.id. Diakses tanggal
2020-04-29.
15. ^ "Kejayaan Aceh dari Selembar
Surat" . detiknews. Diakses tanggal
2020-04-29.

Catatan kaki …

1 Komunitas Muslim yang dapat


mengerahkan 40 orang laki-laki, jumlah
minimum yang diperlukan untuk
melakukan salat Jumat menurut fikih
Mazhab Syafi'i.

Bacaan lanjutan …

1. LOMBARD, Denys. Kerajaan Aceh:


Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Jakarta: Kepustakan Populer
Gramedia, 2006.ulasan di
ruangbaca.com ulasan di
pdat.co.id
2. REID, Anthony. Asal Usul Konflik
Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur
Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh
Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005. ISBN 979-461-534-
X

Pranala luar …

(Inggris)Iskandar Muda in the Eye's of


World by Yusra Habib Abdul Gani
(Indonesia)Makam Poteumeureuhom
Sultan Iskandar Muda di
SerambiNews.com

Lihat pula
Sultan Aceh
Kesultanan Aceh
Sejarah Aceh
Taman Putroe Phang

Didahului
oleh: Diteruskan oleh:
Sultan Aceh
Sultan Ali Sultan
1607—1636
Riayat Iskandar Tsani
Syah

Artikel bertopik biografi tokoh Sultan ini


adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan
mengembangkannya.
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Iskandar_Muda_dari_Aceh&oldid=17155548
"

Terakhir disunting 4 bulan yang lalu oleh Danu Widjajanto

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai