Anda di halaman 1dari 6

1.

Data kematian maternal dan neonatus


Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator yang peka terhadap
kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan dengan kehamilan,
persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup
tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di Kawasan ASEAN. Pada
tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di Singapura hanya 6 per
100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per
100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per
100.000 kelahiran hidup.

Gambar 1. Angka Kematian Ibu di Indonesia Tahun 1991 – 2012


AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007 mengalami penurunan dari 390
menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sejak tahun 1990 telah
melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI dengan pendekatan safe
motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan
sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe
Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan
Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan
disamping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi
masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran
yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
ke masyarakat. Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi
intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan
strategi Making Pregnancy Safer.
Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan,
yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu,
pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal
and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan
neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan
jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi
tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia
berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu
di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di
Indonesia secara signifikan.

Gambar 2. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita


Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan angka
kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan anak yakni Angka
Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita
(AKABA). Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian
bayi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1.000
kelahiran hidup. Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 dan
hanya menurun 1 point dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran
hidup. Untuk mencapai target penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu sebesar 23 per
1.000 kelahiran hidup maka peningkatan akses dan kualitas pelayanan bagi bayi baru
lahir (neonatal) menjadi prioritas utama. Komitmen global dalam MDGs menetapkan
target terkait kematian anak yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua per
tiga dalam kurun waktu 1990-2015.
Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI: 2015

2. Tujuan SKN
SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen
Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Penyusunan SKN ini
dimaksudkan untuk menyesuaikan SKN 2009 dengan berbagai perubahan dan
tantangan eksternal dan internal, agar dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan kesehatan baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
termasuk badan hukum, badan usaha, dan lembaga swasta. Tersusunnya SKN ini
mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi
manusia, memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan
misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
(RPJP-K), memantapkan kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif,
melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu,
meningkatkan investasi kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional. Tujuan
SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua komponen bangsa,
baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum,
badan usaha, dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna,
sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sumber:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem
Kesehatan Nasional.
3. Faktor penyebab tingginya angka kematian bayi di CST
NTT adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan angka kematian neonatal
yang cukup tinggi; 26/1000 kelahiran yang hidup, dibandingkan dengan angka nasional
20/1000 kelahiran hidup. Beberapa program inovatif telah diperkenalkan untuk
meningkatkan kesehatan ibu dan neonatal di NTT. Selain melaksanakan berbagai
program nasional, NTT juga memiliki program inovatif “Revolusi KIA” yang
diluncurkan oleh Pemerintah Daerah pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, Program
Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesehatan Ibu dan Neonatal (Australia-Indonesia
Partnership for Maternal and Neonatal Health - AIPMNH) juga dimulai. Dengan
bekerja secara kolaborasi dengan pemerintah dan mitra-mitra lainnya, peningkatan
sistem pelayanan kesehatan ibu dan neonatal di NTT telah diraih. Jumlah kunjungan
pelayanan antenatal (ANC), persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan
persalinan di fasilitas kesehatan telah meningkat dengan pesat. Jumlah kematian
neonatal yang dilaporkan di 14 Kab/Kota yang mendapatkan bantuan AIPMNH turun
dari 756 pada tahun 2009 ke 683 pada tahun 2010, dan kemudian turun lagi menjadi
595 pada tahun 2011. Namun, yang mengejutkan pada tahun 2012, jumlah kematian
dilaporkan naik menjadi 791; (ini kira-kira sekitar 10/1000 kelahiran hidup).
Diperkirakan angka kematian riil masih lebih tinggi dari angka yang dilaporkan ini,
mengingat hasil Survei Demografi dan Kesehatan (Demographic and Health Survey –
DHS) tahun 2012, angka kematian neonatal di NTT diperkirakan sekitar 26/1000
kelahiran hidup.
Faktor Risiko Utama Kematian Neonatal
Faktor risiko utama yang berkaitan dengan risiko kematian neonatal, yaitu meliputi:
1. neonatal mengalami kompilasi pada saat dilahirkan;
2. neonatal mempunyai masalah kesehatan;
3. rendahnya pengetahuan ibu mengenai tanda-tanda bahaya bagi bayi baru lahir;
4. neonatal memiliki Apgar skor rendah;
5. ibu mempunyai komplikasi kehamilan;
6. melakukan persalinan di rumah;
7. ibu memiliki riwayat komplikasi;
8. bayi dengan lahir berat badan rendah (BBLR) tidak mendapatkan metode Kanguru;
9. bayi tidak mendapatkan inisiasi dini ASI;
10. kehamilan risiko tinggi; dan
11. usia menikah terlalu dini.
Enam faktor risiko (1, 2, 3, 4, 5, 6) secara statistik signifikan berkontribusi
meningkatkan risiko kematian neonatal selama 0-28 hari. Tiga faktor risiko (1, 2, 3)
diketahui berkontribusi meningkatkan risiko kematian neonatal dini (early neonatal
death 0-7 hari). Empat faktor risiko (1, 2, 3, 4) berkaitan dengan peningkatan risiko
late kematian neonatal (8-29 hari). Untuk bayi-bayi yang dilahirkan dengan berat lahir
rendah, enam faktor risiko (1, 2, 3, 4, 5, 6) secara statistik signifikan berkontribusi
meningkatkan risiko kematian neonatal; sementara bagi neonatus yang dilahirkan
dengan berat normal, hanya tiga risiko faktor (1, 2, 3) ditemukan secara signifikan
berkaitan dengan peningkatan risiko kematian neonatal. Selain itu, kepemilikan listrik
sendiri (indikasi faktor kemiskinan) ditemukan secara independen sebagai faktor risiko
kematian neonatal.
Sumber :
Abdullah A., Butu Y., Hort K., Simpson L., Kerong I.H., Mappa H., Dayal P.,
Wungouw E. E., Trisno I., Tibuludji P., Nita Y.Y., Kana E., Budiyono T., Th Ire J.,
Wibawa H., Lobo I., Bunga M.O.D., Bunga T.H.A., Kale M., dan Pah R.E. Kesehatan
Ibu & Faktor Risiko Berkaitan dengan Kematian Neonatal di 14 Kab/Kota Provinsi
Nusa Tenggara Timur: A Matched Case-Control Study. Kupang: Australia Indonesia
Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH); 2014

4. Puskesmas PONED
Salah satu upaya pengembangan puskesmas yang penting adalah Pelayanan
Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Upaya kesehatan ini dilakukan
untuk mendekatkan akses masyarakat kepada pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan
neonatal dasar. Akses masyarakat yang semakin mudah terhadap pelayanan
kegawatdaruratan diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan AKI dan AKB.
Badan kesehatan dunia (WHO) menargetkan agar minimal terdapat empat
Puskesmas PONED di tiap kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2014 jumlah
kumulatif Puskesmas PONED sebanyak 2.855 unit. Terdapat 347 kabupaten/kota
(67,77%) yang telah memenuhi syarat minimal tersebut. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan tahun 2013 sebesar 333 kabupaten/kota (67%). Pada tahun 2014, jumlah
kabupaten/kota yang hanya memiliki satu sampai dengan tiga Puskesmas PONED
sebanyak 130 dan terdapat 34 kabupaten/kota yang belum memiliki Puskesmas
PONED.
Terdapat tiga provinsi dengan persentase kabupaten/kota yang telah memenuhi
syarat minimal empat Puskesmas PONED sebesar 100%, yaitu Sulawesi Barat, Nusa
Tenggara Barat dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah
adalah Papua sebesar 10,34%, Papua Barat sebesar 15,38%, dan Kepulauan Bangka
Belitung sebesar 28,57%.
Konsep rawat inap yang digunakan dalam Puskesmas PONED berbeda dengan
konsep yang digunakan puskesmas rawat inap. Konsep rawat inap pada Puskesmas
PONED adalah perawatan inap kepada pasien pasca tindakan emergensi (one day
care). Dengan demikian, puskesmas non rawat inap yang memiliki tempat tidur dan
mampu melakukan tindakan emergensi obstetri dan neonatal dasar, dapat
menyelenggarakan PONED.
Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI: 2015

Anda mungkin juga menyukai