Anda di halaman 1dari 9

MODUL 3

Pada praktikum ini dilakukan percobaan farmakokinetika sediaan oral. Percobaan kali ini

bertujuan untuk mengetahui dan memahami prinsip dan cara menentukan profil farmakokinetika

sediaa oral pada tikus. Farmakokinetika atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek

tubuh terhadap obat sehingga dapat mengetahui proses awal mula kerja awat sampai obat tidak

berefek dalam tubuh dan agar sediaan obat yang diberikan dapat diketahui proses distribusi dan

volume distribusinya secara di dalam tubuh . Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni absorpsi,

distribusi, metabolisme dan ekskresi (Ganiswara, 2017; Shargel, 2012).

Rute pemakaian oral merupakan rute yang paling lazim dan popular dari pendosisan obat.

Bentuk sediaan oral harus dirancang untuk memperhitungkan rentang pH yang ekstrim, ada atau

tidak adanya makanan, degradasi enzim, perbedaan permeabilitas obat dalam darah yang berbeda

dalam usus, dan motilitas saluran cerna. Tablet, kapsul, atau cairan oral ditelan, dan begitu berada

didalam lambung, tablet atau kapsul tersebut hancur dan melepaskan zat aktif obat. Pelintasan obat

kedalam tubuh harus dicapai melalui absorpsi melewati membrane bioogi, untuk rute pemberian

obat secara oral, membrane biologi yang dimaksud adalah membrane sel yang melapisi dinding

lambung dan usus. Pemberian obat melalui mulut memberi banyak keuntungan bagi pasien, obat

oral mudah diberikan dan dapat membatasi jumlah infeksi sistemis yang dapat mempersulit tata

laksana. Selain itu, toksisitas atau overdosis karena pemberian oral dapat diatasi dengan pemberian

antidot, seperti arang aktif. (Harvey, 2009). (Shargel, 2012).


Bila dibandingkan melalui rute lain, rute oral lebih menyenangkan, murah serta aman

walaupun responnya lebih lambat dan absorpsinya tidak teratur karena tergantung pada beberapa

faktor, antara lain (Syamsuni, 2006) :

1. Jumlah dan jenis makanan yang ada di saluran lambung

2. Kemungkinan obat dapat dirusak oleh reaksi asam lam

3. bung atau enzim-enzim pencernaan. Misalnya, insulin harus diberikan dengan cara injeksi

karena dapat dirusak oleh enzim proteolitik pada saluran gastrointestinal.

4. Keadaan penderita muntah-muntah atau koma

5. Kerja awal yang cepat dikehendaki sehingga tidak memungkinkan pemberian secara oral.

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena

karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat

dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan

getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan

bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,

tergantung dari rute pemberian oba (Shargel, 2005).

Pada tahap awal percobaan, dilakukan pembuatan kurva baku parasetamol. Pembuatan larutan

baku parasetamol dilakukan dengan melarutkan 10 mg pct dalam NaOH. Tujuan dari penambahan

NaOH adalah untuk melarutkan parasetamol, karena parasetamol Larut dalam air mendidih dan

dalam natrium hidroksida 1 N; mudah larut dalam etanol (FI V). NaoH bersifat basa sedangkan

pct bersifat asam sehingga saat dilarutkan dengan NaOH akan terjadi reaksi netralisasi dan akan

membentuk garam sehinga kelarutan pct akan meningkat. kemudian dikocok untuk
menghomogenkan larutan. Kemudian dibuat larutan seri dan dilakukan pengukuran panjang

gelombang maksimum dari pct. Berdasarkan percobaan didapatkan lamda maks pct adalah 247

nm. Pada spektrofotometer UV-Vis membutuhkan penentuan panjang gelombang maksimum,

dimana panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang yang memberikan

absorbansi maksimal terhadap kompleks warna yang terbentuk dari analit. Penentuan panjang

gelombang maksimal dapat dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan

panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

Tahap selanjutnya dilakukan pemberikan sediaan eliksir pct pada tikus. Sebelum diberikan sediaan

oral eliksir pct, tikus dipuasakan terlebih dahulu kurang lebih 5 jam sebelum pemberian obat agar

pengaruh makanan terhadap proses farmakokinetik obat dihindari, setelah dipuasakan tikus

ditimbang bobot badan tikus. Alasan penggunaan tikus sebagai hewan percobaan karena tikus

memiliki fisiologis yang hampir sama dengan manusia. Pada tikus memiliki bobot 148 gram,

kemudian dilakukan perhitungan konversi dosis tikus pct dan volume pemberian berdasarkan

bobot badan tikus. Tujuan pengkonversian dosis pada tikus adalah untuk menyesuaikan dosis

dengan kondisi organ tikus karena luas permukaan tubuh tikus dan manusia berbeda. Faktor

konversi yang digunakan yaitu 0,018. Pada tikus dosis paracetamol yang diberikan 6,66 mg dan

volume pemberiannya adalah 0,2664 ml ~ 0,3 mL. kemudian sediaan eliksir pct diberikan secara

oral pada tikus menggunakan sonde oral. Penggunaan eliksir karena kelarutannya lebih baik

dan proses absorbsi yang cepat. Setelah tiu dilakukan pengambilan darah pada bagian ekor tikus

pada menit ke 15,30,….

Pengambilan darah dilakukan dibagian ekor tikus dengan cara menggunting ekor tikus yang telah

direndam terlebih dahulu dalam air hangat. Tujuan pengambilan darah melalui ekor karena pada

ekor terdapat pembuluh darah. Setelah itu, darah yang didapat disentrifuga dengan kecepatan 4000
rpm selama 15 menit. Tujuan dari sentrifuga adalah untuk mendapat supernatant berupa plasma

yang mengandung obat. Lalu dipipet dan diencerkan dengan menggunakan campuran methanol :

asam Asetat (80:20). Kegunaan dari methanol dan asam asetat adalah untuk memutuskan ikatan

protein di dalam plasma. Methanol dan as asetat merupakan pelarut organik polar yang akan

menurunkan nilai KD dari plasma yang mengandung protein terlarut shg nilai KD plasma akan

semakin jauh dengan nilai KD protein akan tetap karena merupakan zat terlarut bukan pelarut,

akibatnya nilai KD protein dengan plasma berbeda. Perbedaan nilai KD tersebut menyebabkan

protein menjadi tidak larut sempurna dan protein akan mengendap. Kemudian dilakukan proses

sentrifuga kembali dan setelah itu diambil kembali supernatanya dan ditambah dengan NaOH.

Pengambilan supernatant tanpa endapannya ini dilakukan dengan tujuan untuk mengambil obat

yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat diprotein plasma tidak akann aktif secara

farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau dengan akan dapat menyebabkan data

hasil pengamatan tidak valid. Kemudian kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometer

uv-vis lalu ditentukan kadar parasetamol, persamaan regresi dan parameter farmakokinetiknya.

Prinsip kerja spektrofotometri didasarkan pada hukum lambert-beer yaitu bila cahaya

monokromatik melalui suatu media maka sebagian cahayanya diserap, sebagian dipantulkan,

sebagian lagi dipancarkan

Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya

kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung. Hal ini disebabkan

Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi

terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna.

Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri
paska melahirkan dan keadaan lain. Pada penggunaan per oral parasetamol diserap dengan cepat

melalui saluran cerna. kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60

menit setelah pemberian (Katzung, 2012)

Parasetamol adalah senyawa yang memiliki sifat polar, dengan gugus kromofor dan auksokrom

yang dimilikinya menyebabkan senyawa ini dapat menyerap sinar radiasi pada daerah ultraviolet.

Dalam strukturnya parasetamol memiliki gugus kromofor, yaitu gugus yang bertanggung jawab

untuk berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. Detektor yang digunakan pada percobaan ini

adalah detector UV dengan panjang gelombang 243 nm.

Ikatan ganda antara dua


atom yang memiliki
pasangan elektron bebas

Cincin benzene, ikatan rangkap


yang terkonjugasi

Gambar struktur parasetamol

Gugus auksokrom mengandung pasangan elektron bebas yang disebabkan oleh terjadinya

mesomeri kromofor. Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan menggeser maksimum

absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang (Watson, 2009). Parasetamol
mempunyai spectrum ultraviolet dalam suasana asam pada panjang gelombang 245 nm dan pada

larutan basa absorbansi maksimumnya pada panjang gelombang 257.

Pada sedian oral (eliksir parasetamol) yang diberka pada tikus terjadi proses biofarmasi yang

meliputi proses difusi, absorbsi, distribusi, dan metabolisme. Perjalanan eliksir di dalam tubuh

dimuali dari sediaan dimasukkan melalui mulut dan kerongkongan hingga sampai di tahap difusi

zat aktif ke dinding lambung. Selanjutnya terjadi proses absorpsi, absorpsi terjadi di berbagai

tempat pemberian obat misalnya melalui alat cerna. Proses absorpsi dipengaruhi oleh kelarutan

obat, kemampuan difusi melintasi sel membran, konsentrasi obat, dan bentuk sediaan obat. Obat

yang telah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh badan dan harus melalui

membran sel agar tercapai tepat pada efek aksi. Faktor yang dapat mempengaruhi proses

distribusi adalah perfusi darah melalui jaringan, transport aktif, katan obat dan protein plasma,

dsb. selanjutnya terjadi proses metabolisme. Tujuan dari metabolisme obat adalah pengubahan

yang sedemikian rupa hingga mudah dieskresi oleh ginjal hal ini menjadikannya lebih hidrofil

yang dapat dipengaruhi oleh faktor seperti fngsi hati, usia, faktor genetic, dsb. tahap terakhir

adalah eksresi yaitu penglaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal

melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit atau dalam bentuk asalnya. (aktzung,

shargel.)

Dari hasil pengamatan yang didapat, grafik menunjukkan bahwa sediaan eliksir parasetamol

yang diberikan secara oral mengikuti orde ke satu. Pada orde ke satu dianggap bahwa pada saat

diabsorpsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran sistemik. Parameter yang digunakan untuk

menunjukkan fraksi obat yang sampai di saluran sistemik yaitu F (bioavaibilitas), Selain itu ada
pula Ka atau tetapan laju absorpsi obat di saluran gastrointestinal. (saluran cerna). Bioavailabilitas

menunjukan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan aktif atau bagian aktif yang diabsorbsi dari suatu

produk obat dan tersedia pada site aksi. Untuk produk obat yang tidak ditujukan diabsorbsi ke dalam

aliran darah, bioavailabilitas availabilitas absolut (Hakim, 2012). Metode yang digunakan adalah

metode residual. Metode residual menganggap Ka>K, harga eksponensial kedua akan menjadi

kecil yang tidak bermakna terhadap waktu, oleh karena itu dapat dihilangkan. Pada keadaan

tersebut, laju absorbs obat cepat dan absorpsi obat dianggap sempurna. (Shargel, 2012).

Selanjutnya dilakukan pengolahan data dari persamaan linieritas kurva kalibrasi. Didapatkan

persamaan regresi fase eliinasi y= dan fase distribusi. Selanjutnya dilaukan penentuan parameter

farmakokinetika sediaan oral yaitu penentuan nilai K, Ka, t ½ eliminasi, t1/2 abs , t max cpmax

dan vd.

1. nilai konstanta absorbsi (Ka) adalah 0,0558 , sedangkan nilai konstanta eliminasi (K) adalah

0,0558. Nilai tetapan absrobsi (Ka) merupakan parameter yang mengambarkan laju

absorbsi suatu obat, dimana agar suatu obat diabsorbsi mula-mula obat harus larut

dalam cairan. Sedangkan tetapan eliminasi (K) adalah parameter yang gambarkan laju

eliminasi suatu obat tubuh. Dengan ekskresinya obat dan metabolit obat, aktivitas dan

keberadaan obat dalam tubuh dapat dikatakan berakhir. Nilai parameter t ½ yang

didapat untuk t1/2 abs adalah 11,8868 menit sedangkan nilai t ½ eliminasi adalah

12,4194 menit. Nilai waktu paruh *t ½) menyatakan waktu yang diperlukan oleh se!umlah obat

atau konsentrasi obat untuk berkurang men!adi separuhnya. Selanjutnya pada parameter tmax

diadapatkan nilai 17,5314 menit. Menurut lusiana,2010 waktu paruh parasetamol adalah 1-3 jam,
berdasarkan perhitungan nilai t1/2 yang didapat tidak sesuai dengan literature karena nilai t1/2 yang

didapat lebih cepat dibandingkan dengan literature.

T max meruoakan Waktu mencapai kadar puncak, dimana Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat

dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah

dilihat dari mundurnya/memanjangnya tmax (Tjay dan rahardja, 2002)., nilai tmax yang didapat adalah

17,5314 menit. selanjutnya kadar puncak (cmax) yang didapat adalah sebesar 23, 1038

mcg/mL. Kadar puncak (Cmax) adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah, serum, plasma.

Cmax ini umumnya juga digunakan sebagai tolak ukur, apakah dosis yang diberikan cenderung

memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi

kadar toksik minimal (Setiawati, 2005). Menurut sweetman, 2010, Paracetamol siap diabsorpsi dari

saluran gastrointestinal dengan konsentrasi puncak plasma mencapai sekitar 30-60 menit

dengan dosis per oral. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar yang didapat tidlak sesuai dengan

literature dimana nilai konsentrasi puncak yang didapat lebih kecil. Selanjutnya pada parameter

volume distribusi dipatkan nilai 12,3618 mL, harga vd tergantung dari kecepatan aliran darah pada

jaringan, kelarutan obat dalam tubuh, koefisien partisi yang mempengaruhi kelarutan obat dalam lipid,

jenis jaringan (mempengaruhi volume yang ditempati, pH lingkungan dan ikatan dengan material

biologi.

Paracetamol didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh. Melewati plasenta dan

mengalir melalui air susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik

normal, namun dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Paracetamol dimetabolisme

dalam hati dan diekskresi melalui urin sebagai glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5%

diekskresi sebagai paracetamol. Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam (Sweetman, 2009). Kadar

tertinggi parasetamol di sirkulasi darah ditemukan kirakira 2 jam setelah pemberian peroral

Waktu paruh dari obat ini dalam plasma adalah 1-3 jam setelah pemberian peroral. Metabolisme
di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi

dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari

pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan

berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari

glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari

protein hati (sweetman, 2009, lusiana, 2010).

Berdasarkan keseluruhan hasil parameter farmakokinetika yang didapatkkan sebagian besar tidak

memenuhi syarat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai parameter farmakokinetika

tidak sesuai dengan literature, salah satunya adalah kondisi fisiologis hewan uji seperti faktor

stress yang dialami hewan uji. Selain itu nilai parameter yang paling menentukan adalah nilai K

dan Ka, apabila nilai k yang didapat tidak memenuhi syarat maka akan perpengaruh terhadap

parameter lainnya. Kesalahan dalam penentuan persamaan fase eliminasi dan fase distribusi akan

menghasilkan parameter yang tidak valid (shargel, 20120.

Anda mungkin juga menyukai