Pada praktikum ini dilakukan percobaan farmakokinetika sediaan oral. Percobaan kali ini
bertujuan untuk mengetahui dan memahami prinsip dan cara menentukan profil farmakokinetika
sediaa oral pada tikus. Farmakokinetika atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat sehingga dapat mengetahui proses awal mula kerja awat sampai obat tidak
berefek dalam tubuh dan agar sediaan obat yang diberikan dapat diketahui proses distribusi dan
volume distribusinya secara di dalam tubuh . Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni absorpsi,
Rute pemakaian oral merupakan rute yang paling lazim dan popular dari pendosisan obat.
Bentuk sediaan oral harus dirancang untuk memperhitungkan rentang pH yang ekstrim, ada atau
tidak adanya makanan, degradasi enzim, perbedaan permeabilitas obat dalam darah yang berbeda
dalam usus, dan motilitas saluran cerna. Tablet, kapsul, atau cairan oral ditelan, dan begitu berada
didalam lambung, tablet atau kapsul tersebut hancur dan melepaskan zat aktif obat. Pelintasan obat
kedalam tubuh harus dicapai melalui absorpsi melewati membrane bioogi, untuk rute pemberian
obat secara oral, membrane biologi yang dimaksud adalah membrane sel yang melapisi dinding
lambung dan usus. Pemberian obat melalui mulut memberi banyak keuntungan bagi pasien, obat
oral mudah diberikan dan dapat membatasi jumlah infeksi sistemis yang dapat mempersulit tata
laksana. Selain itu, toksisitas atau overdosis karena pemberian oral dapat diatasi dengan pemberian
walaupun responnya lebih lambat dan absorpsinya tidak teratur karena tergantung pada beberapa
3. bung atau enzim-enzim pencernaan. Misalnya, insulin harus diberikan dengan cara injeksi
5. Kerja awal yang cepat dikehendaki sehingga tidak memungkinkan pemberian secara oral.
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena
karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat
dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan
getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan
bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
Pada tahap awal percobaan, dilakukan pembuatan kurva baku parasetamol. Pembuatan larutan
baku parasetamol dilakukan dengan melarutkan 10 mg pct dalam NaOH. Tujuan dari penambahan
NaOH adalah untuk melarutkan parasetamol, karena parasetamol Larut dalam air mendidih dan
dalam natrium hidroksida 1 N; mudah larut dalam etanol (FI V). NaoH bersifat basa sedangkan
pct bersifat asam sehingga saat dilarutkan dengan NaOH akan terjadi reaksi netralisasi dan akan
membentuk garam sehinga kelarutan pct akan meningkat. kemudian dikocok untuk
menghomogenkan larutan. Kemudian dibuat larutan seri dan dilakukan pengukuran panjang
gelombang maksimum dari pct. Berdasarkan percobaan didapatkan lamda maks pct adalah 247
absorbansi maksimal terhadap kompleks warna yang terbentuk dari analit. Penentuan panjang
gelombang maksimal dapat dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan
Tahap selanjutnya dilakukan pemberikan sediaan eliksir pct pada tikus. Sebelum diberikan sediaan
oral eliksir pct, tikus dipuasakan terlebih dahulu kurang lebih 5 jam sebelum pemberian obat agar
pengaruh makanan terhadap proses farmakokinetik obat dihindari, setelah dipuasakan tikus
ditimbang bobot badan tikus. Alasan penggunaan tikus sebagai hewan percobaan karena tikus
memiliki fisiologis yang hampir sama dengan manusia. Pada tikus memiliki bobot 148 gram,
kemudian dilakukan perhitungan konversi dosis tikus pct dan volume pemberian berdasarkan
bobot badan tikus. Tujuan pengkonversian dosis pada tikus adalah untuk menyesuaikan dosis
dengan kondisi organ tikus karena luas permukaan tubuh tikus dan manusia berbeda. Faktor
konversi yang digunakan yaitu 0,018. Pada tikus dosis paracetamol yang diberikan 6,66 mg dan
volume pemberiannya adalah 0,2664 ml ~ 0,3 mL. kemudian sediaan eliksir pct diberikan secara
oral pada tikus menggunakan sonde oral. Penggunaan eliksir karena kelarutannya lebih baik
dan proses absorbsi yang cepat. Setelah tiu dilakukan pengambilan darah pada bagian ekor tikus
Pengambilan darah dilakukan dibagian ekor tikus dengan cara menggunting ekor tikus yang telah
direndam terlebih dahulu dalam air hangat. Tujuan pengambilan darah melalui ekor karena pada
ekor terdapat pembuluh darah. Setelah itu, darah yang didapat disentrifuga dengan kecepatan 4000
rpm selama 15 menit. Tujuan dari sentrifuga adalah untuk mendapat supernatant berupa plasma
yang mengandung obat. Lalu dipipet dan diencerkan dengan menggunakan campuran methanol :
asam Asetat (80:20). Kegunaan dari methanol dan asam asetat adalah untuk memutuskan ikatan
protein di dalam plasma. Methanol dan as asetat merupakan pelarut organik polar yang akan
menurunkan nilai KD dari plasma yang mengandung protein terlarut shg nilai KD plasma akan
semakin jauh dengan nilai KD protein akan tetap karena merupakan zat terlarut bukan pelarut,
akibatnya nilai KD protein dengan plasma berbeda. Perbedaan nilai KD tersebut menyebabkan
protein menjadi tidak larut sempurna dan protein akan mengendap. Kemudian dilakukan proses
sentrifuga kembali dan setelah itu diambil kembali supernatanya dan ditambah dengan NaOH.
Pengambilan supernatant tanpa endapannya ini dilakukan dengan tujuan untuk mengambil obat
yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat diprotein plasma tidak akann aktif secara
farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau dengan akan dapat menyebabkan data
hasil pengamatan tidak valid. Kemudian kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometer
uv-vis lalu ditentukan kadar parasetamol, persamaan regresi dan parameter farmakokinetiknya.
Prinsip kerja spektrofotometri didasarkan pada hukum lambert-beer yaitu bila cahaya
monokromatik melalui suatu media maka sebagian cahayanya diserap, sebagian dipantulkan,
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya
kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung. Hal ini disebabkan
Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi
terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna.
Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri
paska melahirkan dan keadaan lain. Pada penggunaan per oral parasetamol diserap dengan cepat
melalui saluran cerna. kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60
Parasetamol adalah senyawa yang memiliki sifat polar, dengan gugus kromofor dan auksokrom
yang dimilikinya menyebabkan senyawa ini dapat menyerap sinar radiasi pada daerah ultraviolet.
Dalam strukturnya parasetamol memiliki gugus kromofor, yaitu gugus yang bertanggung jawab
untuk berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. Detektor yang digunakan pada percobaan ini
Gugus auksokrom mengandung pasangan elektron bebas yang disebabkan oleh terjadinya
mesomeri kromofor. Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan menggeser maksimum
absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang (Watson, 2009). Parasetamol
mempunyai spectrum ultraviolet dalam suasana asam pada panjang gelombang 245 nm dan pada
Pada sedian oral (eliksir parasetamol) yang diberka pada tikus terjadi proses biofarmasi yang
meliputi proses difusi, absorbsi, distribusi, dan metabolisme. Perjalanan eliksir di dalam tubuh
dimuali dari sediaan dimasukkan melalui mulut dan kerongkongan hingga sampai di tahap difusi
zat aktif ke dinding lambung. Selanjutnya terjadi proses absorpsi, absorpsi terjadi di berbagai
tempat pemberian obat misalnya melalui alat cerna. Proses absorpsi dipengaruhi oleh kelarutan
obat, kemampuan difusi melintasi sel membran, konsentrasi obat, dan bentuk sediaan obat. Obat
yang telah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh badan dan harus melalui
membran sel agar tercapai tepat pada efek aksi. Faktor yang dapat mempengaruhi proses
distribusi adalah perfusi darah melalui jaringan, transport aktif, katan obat dan protein plasma,
dsb. selanjutnya terjadi proses metabolisme. Tujuan dari metabolisme obat adalah pengubahan
yang sedemikian rupa hingga mudah dieskresi oleh ginjal hal ini menjadikannya lebih hidrofil
yang dapat dipengaruhi oleh faktor seperti fngsi hati, usia, faktor genetic, dsb. tahap terakhir
adalah eksresi yaitu penglaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit atau dalam bentuk asalnya. (aktzung,
shargel.)
Dari hasil pengamatan yang didapat, grafik menunjukkan bahwa sediaan eliksir parasetamol
yang diberikan secara oral mengikuti orde ke satu. Pada orde ke satu dianggap bahwa pada saat
diabsorpsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran sistemik. Parameter yang digunakan untuk
menunjukkan fraksi obat yang sampai di saluran sistemik yaitu F (bioavaibilitas), Selain itu ada
pula Ka atau tetapan laju absorpsi obat di saluran gastrointestinal. (saluran cerna). Bioavailabilitas
menunjukan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan aktif atau bagian aktif yang diabsorbsi dari suatu
produk obat dan tersedia pada site aksi. Untuk produk obat yang tidak ditujukan diabsorbsi ke dalam
aliran darah, bioavailabilitas availabilitas absolut (Hakim, 2012). Metode yang digunakan adalah
metode residual. Metode residual menganggap Ka>K, harga eksponensial kedua akan menjadi
kecil yang tidak bermakna terhadap waktu, oleh karena itu dapat dihilangkan. Pada keadaan
tersebut, laju absorbs obat cepat dan absorpsi obat dianggap sempurna. (Shargel, 2012).
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dari persamaan linieritas kurva kalibrasi. Didapatkan
persamaan regresi fase eliinasi y= dan fase distribusi. Selanjutnya dilaukan penentuan parameter
farmakokinetika sediaan oral yaitu penentuan nilai K, Ka, t ½ eliminasi, t1/2 abs , t max cpmax
dan vd.
1. nilai konstanta absorbsi (Ka) adalah 0,0558 , sedangkan nilai konstanta eliminasi (K) adalah
0,0558. Nilai tetapan absrobsi (Ka) merupakan parameter yang mengambarkan laju
absorbsi suatu obat, dimana agar suatu obat diabsorbsi mula-mula obat harus larut
dalam cairan. Sedangkan tetapan eliminasi (K) adalah parameter yang gambarkan laju
eliminasi suatu obat tubuh. Dengan ekskresinya obat dan metabolit obat, aktivitas dan
keberadaan obat dalam tubuh dapat dikatakan berakhir. Nilai parameter t ½ yang
didapat untuk t1/2 abs adalah 11,8868 menit sedangkan nilai t ½ eliminasi adalah
12,4194 menit. Nilai waktu paruh *t ½) menyatakan waktu yang diperlukan oleh se!umlah obat
atau konsentrasi obat untuk berkurang men!adi separuhnya. Selanjutnya pada parameter tmax
diadapatkan nilai 17,5314 menit. Menurut lusiana,2010 waktu paruh parasetamol adalah 1-3 jam,
berdasarkan perhitungan nilai t1/2 yang didapat tidak sesuai dengan literature karena nilai t1/2 yang
T max meruoakan Waktu mencapai kadar puncak, dimana Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat
dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah
dilihat dari mundurnya/memanjangnya tmax (Tjay dan rahardja, 2002)., nilai tmax yang didapat adalah
17,5314 menit. selanjutnya kadar puncak (cmax) yang didapat adalah sebesar 23, 1038
mcg/mL. Kadar puncak (Cmax) adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah, serum, plasma.
Cmax ini umumnya juga digunakan sebagai tolak ukur, apakah dosis yang diberikan cenderung
memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar puncak obat tidak melebihi
kadar toksik minimal (Setiawati, 2005). Menurut sweetman, 2010, Paracetamol siap diabsorpsi dari
saluran gastrointestinal dengan konsentrasi puncak plasma mencapai sekitar 30-60 menit
dengan dosis per oral. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar yang didapat tidlak sesuai dengan
literature dimana nilai konsentrasi puncak yang didapat lebih kecil. Selanjutnya pada parameter
volume distribusi dipatkan nilai 12,3618 mL, harga vd tergantung dari kecepatan aliran darah pada
jaringan, kelarutan obat dalam tubuh, koefisien partisi yang mempengaruhi kelarutan obat dalam lipid,
jenis jaringan (mempengaruhi volume yang ditempati, pH lingkungan dan ikatan dengan material
biologi.
mengalir melalui air susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik
dalam hati dan diekskresi melalui urin sebagai glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5%
diekskresi sebagai paracetamol. Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam (Sweetman, 2009). Kadar
tertinggi parasetamol di sirkulasi darah ditemukan kirakira 2 jam setelah pemberian peroral
Waktu paruh dari obat ini dalam plasma adalah 1-3 jam setelah pemberian peroral. Metabolisme
di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi
dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari
pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan
berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari
Berdasarkan keseluruhan hasil parameter farmakokinetika yang didapatkkan sebagian besar tidak
memenuhi syarat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai parameter farmakokinetika
tidak sesuai dengan literature, salah satunya adalah kondisi fisiologis hewan uji seperti faktor
stress yang dialami hewan uji. Selain itu nilai parameter yang paling menentukan adalah nilai K
dan Ka, apabila nilai k yang didapat tidak memenuhi syarat maka akan perpengaruh terhadap
parameter lainnya. Kesalahan dalam penentuan persamaan fase eliminasi dan fase distribusi akan