Dosen Pengampu :
Dr. Sirojuddin Aly, M.A.
Disusun oleh :
Rosanno Hanif Prasetyo
(11191130000075)
2020
1. PENDEKATAN STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Pengertian Politik menurut Islam
Untuk konsumsi umum sehari-hari, ada kesan miring, bahkan negatif pada makna
yang terkandung dari kata “politik”. Untuk pengertian ini, misalnya, ketika
Prof.Dr.H.M. Amin Rais bertanya kepada salah seorang politikus yang juga seorang
kiyai tentang alasan kepindahan sang tokoh dari satu partai ke partai lain yang sangat
mungkin membuat bingung pengikutnya. Sang tokoh dengan santai menjawab bahwa
politik itu kan urusan dunia, sementara urusan dunia itu hanya permainan saja.
Bukankah Allah dalam QS. Al-An’am/6:32 Allah swt. Berfirman :
Sementara untuk makna yang berkonotasi negatif, kata politik dipahami sebagai
bidang kegiatan yang mengandung unsur-unsur kelicikan, hipokrisi, ambisi buta,
penghianatan, penipuan dan sejumlah kata lainnya yang mengandung makna kurang
terpuji. Dari pemahaman seperti inilah maka dapat dipahami, kenapa sebagian orang
tua mewanti-wanti putra-putrinya untuk tidak terjun ke dunia politik. Terlepas dari
pemahaman masyarakat umum yang cukup keliru seperti tergambar di atas, ternyata
kajian politik adalah salah satu kajian yang cukup menarik. Cukup banyak ahli yang
telah mengambil bahagian dalam membahas dan mengembangkannya, baik
pemikiran politik secara umum maupun secara khusus, yang dikaitkan dengan konsep
ajaran tertentu, seperti agama, budaya dan sebagainya. Kata atau istilah “politik”
dalam bahasa Indonesia terambil dari kata bahasa Inggris, yakni politic, yang secara
harfiah bermakna (1) acting or juding wisely; prudent (2) well judged; prudent atau
sikap bijaksana atau hati-hati dalam bersikap, dan melakukan kebijaksanaan atau
tindakan bijak. Kata tersebut juga bermakna The art of government atau tata
pemerintahan/seni pemerintahan.
Kata turunan dari kata “politik”, seperti “politikus” atau “politisi” berarti orang
yang ahli di bidang politik atau ahli ketatanegaan atau orang yang berkecimpung di
bidang politik. Kata, “politis” berarti bersifat politik atau bersangkutan dengan
politik, dan “politisasi” berarti membuat keadaan (perbuatan, gagasan dan
sebagainya) bersifat politis. Sementara itu, makna dari kata “aspek-aspek politik”
yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, sistem negara,
hubungan antara pemerintah dengan rakyat, hubungan antar negara
Pengertian politik Islam dalam arti terminologi adalah Islam sebagai subyek
utama yang diterangkan dan ditegaskan sebagai koridor oleh subyek berikutnya
(subyek yang menerangkan) yaitu politik yang memunculkan arti, Islam yang
mencakup tentang politik. Berdasarkan arti kata per kata dalam keterangan tersebut
maka arti secara luasnya menjadi “Sebuah Sistem dan aturan dalam syariat yang
diturunkan oleh Allah yang mencakupi permasalahan Ketatanegaraan serta sistem
hukum beserta produknya (berupa aturan/perundang-undangan)”. Sedangkan
pengertian politik Islam adalah: “Sebuah tatacara dan sistem ketatanegaraan yang
dilandasi oleh syariat dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.” Islam
politik merupakan syariat yang berhubungan dengan kekuasaan/negara) dan politik
Islam (kekuasaan/negara yang sesuai dengan syariat) mempunyai titik temu yang
sama, yaitu tentang sebuah ketatanegaraan yang sesuai dengan syariat.
2. GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN DAN POLITIK ERA MEKKAH
Kondisi Mekkah Pra-Islam
Kondisi masyarakat Mekah pra Islam atau biasa disebut dengan sebutan
masyarakat Jahiliyah dalam beberapa aspek sangat kacau, meskipun dalam beberapa
hal kehidupan yang lain mengalami kemajuan, misalnya dalam kesusastraan,
perangkat-perangkat aturan dalam mengatur kehidupan masyarakat karena pada
dasarnya mereka sudah dapat mengatur kehidupan masyarakatnya dan secara dinamis
mereka mampu menjadikan Mekah sebagai salah satu pusat kota transit perdagangan
yang potensial, di mana para pedagang dari Yaman singgah di kota Mekah sebelum
mereka melanjutkan perjalanannya ke Syam (Syria saat ini). Hal ini dikarenakan
dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki kitab suci, ideologi agama
dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem
pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral sehingga
terjadinya (krisis moral).
Piagam Madinah
Piagam ini merupakan naskah politik yang kedudukanya sebagai Dustur atau
Konstitusi. Piagam ini memiliki tiga bagian dan empat puluh tujuh atau empat puluh
delapan poin(bundan).
Pertama; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-orang Islam
Muhajirin dan Anshar,
Kedua; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-orang Yahudi
yang terdiri dari berbagai etnik,
Ketiga; Aturan-aturan yang diberlakukan secara umum meliputi seluruh warga
Madinah.
Piagam Madinah yang dijadikan konstitusi negara Madinah dapat menjadikan
negara yang demokratis, adil dan damai. Dalam rangka terciptanya persatuan dan
solidaritas bagi seluruh warga Madinah, maka Piagam ini menetapkan bahwa setiap
individu dari penduduk Madinah memiliki ikatan dan tanggung jawab bersama
terhadap yang lainnya. Sebagai bukti adanya sikap inklusivitas umat Islam, Piagam
ini memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk memeluk agama Islam.
Selain itu, dapat membuat masyarakat memiliki ikatan tanggung jawab yang sama
dalam mempertahankan negara Madinah dari ancaman musuh. Piagam Madinah pun
membuat masyarakat lebih toleransi atau memperbaiki hubungan anat komunitas
yang ada di Madinah
Kehidupan Islami
Para sejarawan mengungkapkan beberapa alasan mengapa banyak masyarakat
yang melakukan oposisi terhadap kekuasaan Umayyah dan berupaya menggantikannya
dengan kekuasaan yang baru. Bagi kalangan ulama, terutama sejak perang saudara silih
berganti melanda umat Islam--karena Khalifah Usman bin Affan dibunuh--umat Islam
mendambakan kehidupan yang lebih Islami.
Gerakan ulama ini berupaya menghindari persaingan politik sekaligus berseru
kepada para penguasa agar menegakkan tatanan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan
Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Pengaruh mereka sangat besar di kalangan umat
Islam. Tak mengherankan jika gerakan anti-Umayyah yang dikobarkan oleh kelompok
pendukung Abbasiyah memperoleh dukungan secara keagamaan dari para ulama. Dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, dipaparkan bahwa sejak awal keberadaannya, gerakan
ini mengampanyekan penghancuran Dinasti Umayyah karena dinilai telah keluar dari
ajaran Islam dan mencanangkan terwujudnya pemerintahan yang lebih Islami. Untuk itu,
sejak berkuasa, penguasa Abbasiyah mengangkat ulama terkenal untuk menjalankan
fungsi hukum. Kekuasaan peradilan diserahkan sepenuhnya kepada para kadi (hakim).
Mereka melaksanakan fungsi yudikatif yang bebas dari intervensi penguasa.
Dalam skala kekuasaan yang lebih luas, dinasti ini banyak mengadopsi tradisi
pemerintahan Sasaniyah Persia yang menganggap raja sebagai pemegang kekuasaan
absolut yang mendapat mandat Tuhan. Oleh karena itu, kekuasaan Abbasiyah sangat
terkonsentrasi di tangan khalifah.
Pembentukan departemen
Pemerintahan Abbasiyah sebetulnya tidak banyak berbeda dari Dinasti Umayyah
karena sejak awal Abbasiyah senantiasa berhadapan dengan berbagai pesaing politik,
cenderung menyingkirkan para pesaingnya, dan juga berjasa dalam menaikkan dinasti
baru ke takhta pemerintahan. Hal ini diikuti pula dengan usaha mengonsentrasikan
kekuasaan di tangan khalifah. Konsentrasi kekuasaan di tangan khalifah ini terjadi secara
efektif pada masa Khalifah al-Mansur (754-775) dan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-
809). Ini tampak jelas dengan dibangunnya Baghdad sebagai ibu kota baru Abbasiyah.
Pemerintahan Abbasiyah mengangkat seorang gubernur (amir) untuk memimpin suatu
wilayah. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang semakin luas.
Agar sistem pemerintahan berjalan efektif, khalifah membentuk sistem birokrasi
pada era awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Salah satunya adalah mengadakan jabatan
baru seperti wazir. Wazir adalah penasihat khalifah dengan tingkat pengaruh yang
beraneka ragam, tetapi kemudian bisa bertindak sebagai kepala pemerintahan.
Sentralisasi anggaran
Untuk menjalankan pemerintahan, telah disediakan anggaran khusus. Anggaran
negara ini pertama diperoleh dari hasil pajak. Jenis pajak yang paling penting adalah
kharaj, yaitu pajak atas tanah dan hasil pertanian. Kedua, anggaran negara bersumber dari
jizyah, yaitu pajak yang dipungut dari rakyat non-Muslim sebagai kompensasi atas
dibebaskannya mereka dari kewajiban militer. Sumber ketiga adalah zakat yang
diwajibkan kepada seluruh orang Islam.
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah
adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi keuangan dan
perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari kekuasaan Umayyah.
Perkembangan administrasi keuangan dan perpajakan mendapatkan bentuknya yang lebih
sempurna sejak kelompok Baramikah menjadi pelaksana pemerintahan pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang
sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang
memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.
4. Pengelolaan
Pengelolaan negara atau mentadbir negara merupakan suatu keharusan
yang dilakukan unutk menjaga kestabilitasan negara. Pengelolaan negara
merupakan aktivitas yang berhubungan langsung antara pemerintah di satu sisi
dan di sisi lain dengan pihak-pihak yang diperintah, yaitu rakyat. Ibnu Abi Rabi’
mengingatkan kepada kepala negara untuk menghindari hal-hal yang akan
merusak rencana pengelolaan negara seperti berikut:
a. Mengangkat seseorang yang tidak memiliki kelayakan, tidak memiliki
kapabilitas larena hal ini akan berakibat fatal terhadap kondisi negara.
b. Mengangkat seseorang yang tidak jujur, yaitu orang yang tidak dapat
dipercaya.
c. Mengangkat seseorang yang bertugas menjaga rahasia negara, tetapi tidak
dapat dipercaya (tidak amanah) karena dia akan membuka rahasia negara.
d. Mengangkat seseorang yang bertugas untuk menjaga keamanan, tetapi
tidak memiliki kecakapan, maka akibatnya dia akan merusak.
e. Mengangkat seseorang untuk menjadi penjabat, tetapi mengabaikan
tugasnya. Ini menunjukkan kelemahan integritasnya.
Ibnu Taimiyah mendasarkan teori politiknya atas nash-nash al-qur’an dan hadits
sebagai otoritas tertinggi, sehingga beliau termasuk orang yang amat ketat dalam
menerapkan al-qur’an dan sunah berbagai bidang kehidupan, terumata dalam konteks
politik. Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang
diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin
hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintahan
merupakan syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk
menegakkan keadilan. Untuk itu, lembaga- lembaga dalam pemerintahan dan hukum
harus menekankan prinsip keadilan. Ibnu Taimiyah tidak tertarik pada negara dan
formasinya. Negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan
yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah
negara itu berbentuk khalifahan, monarki, atau pun republik. Ia lebih memilih meletakkan
keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, dibanding mempersoalkan
bentuk negara.