Anda di halaman 1dari 34

Rangkuman Materi

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Dosen Pengampu :
Dr. Sirojuddin Aly, M.A.

Disusun oleh :
Rosanno Hanif Prasetyo
(11191130000075)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

2020
1. PENDEKATAN STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
 Pengertian Politik menurut Islam
Untuk konsumsi umum sehari-hari, ada kesan miring, bahkan negatif pada makna
yang terkandung dari kata “politik”. Untuk pengertian ini, misalnya, ketika
Prof.Dr.H.M. Amin Rais bertanya kepada salah seorang politikus yang juga seorang
kiyai tentang alasan kepindahan sang tokoh dari satu partai ke partai lain yang sangat
mungkin membuat bingung pengikutnya. Sang tokoh dengan santai menjawab bahwa
politik itu kan urusan dunia, sementara urusan dunia itu hanya permainan saja.
Bukankah Allah dalam QS. Al-An’am/6:32 Allah swt. Berfirman :

َ‫اخ َرةُ خَ ْي ٌر لِّلَّ ِذينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَاَل تَ ْعقِلُون‬


ِ ‫َو َما ْٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ْنيَٓا إِاَّل لَ ِعبٌ َولَ ْه ٌو ۖ َولَل َّدا ُر ٱلْ َء‬
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka.
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?”

Sementara untuk makna yang berkonotasi negatif, kata politik dipahami sebagai
bidang kegiatan yang mengandung unsur-unsur kelicikan, hipokrisi, ambisi buta,
penghianatan, penipuan dan sejumlah kata lainnya yang mengandung makna kurang
terpuji. Dari pemahaman seperti inilah maka dapat dipahami, kenapa sebagian orang
tua mewanti-wanti putra-putrinya untuk tidak terjun ke dunia politik. Terlepas dari
pemahaman masyarakat umum yang cukup keliru seperti tergambar di atas, ternyata
kajian politik adalah salah satu kajian yang cukup menarik. Cukup banyak ahli yang
telah mengambil bahagian dalam membahas dan mengembangkannya, baik
pemikiran politik secara umum maupun secara khusus, yang dikaitkan dengan konsep
ajaran tertentu, seperti agama, budaya dan sebagainya. Kata atau istilah “politik”
dalam bahasa Indonesia terambil dari kata bahasa Inggris, yakni politic, yang secara
harfiah bermakna (1) acting or juding wisely; prudent (2) well judged; prudent atau
sikap bijaksana atau hati-hati dalam bersikap, dan melakukan kebijaksanaan atau
tindakan bijak. Kata tersebut juga bermakna The art of government atau tata
pemerintahan/seni pemerintahan.
Kata turunan dari kata “politik”, seperti “politikus” atau “politisi” berarti orang
yang ahli di bidang politik atau ahli ketatanegaan atau orang yang berkecimpung di
bidang politik. Kata, “politis” berarti bersifat politik atau bersangkutan dengan
politik, dan “politisasi” berarti membuat keadaan (perbuatan, gagasan dan
sebagainya) bersifat politis. Sementara itu, makna dari kata “aspek-aspek politik”
yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, sistem negara,
hubungan antara pemerintah dengan rakyat, hubungan antar negara

politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan)


umat, baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam.
Pelakunya bisa negara (khalifah) ataupun kelompok atau individu rakyat. Berbeda
dengan pandangan Barat, politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah
kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Sedangkan
dalam Islam, agama disebut AdDin (the religion). Ad-Din hanya untuk agama Islam
sebab hanya ada di dalam alQur’an.Agama-agama lain disebut ad-Din (religion).
Berbagai definisi tentang agama versi Barat hanya memperlihatkan hubungan vertikal
antara manusia dan Tuhan.Elliade, misalnya mendefinisikan agama sebagai
seperangkat nilai, ide, atau pengalaman yang berkembang dalam acuan kultural

Pengertian politik Islam dalam arti terminologi adalah Islam sebagai subyek
utama yang diterangkan dan ditegaskan sebagai koridor oleh subyek berikutnya
(subyek yang menerangkan) yaitu politik yang memunculkan arti, Islam yang
mencakup tentang politik. Berdasarkan arti kata per kata dalam keterangan tersebut
maka arti secara luasnya menjadi “Sebuah Sistem dan aturan dalam syariat yang
diturunkan oleh Allah yang mencakupi permasalahan Ketatanegaraan serta sistem
hukum beserta produknya (berupa aturan/perundang-undangan)”. Sedangkan
pengertian politik Islam adalah: “Sebuah tatacara dan sistem ketatanegaraan yang
dilandasi oleh syariat dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.” Islam
politik merupakan syariat yang berhubungan dengan kekuasaan/negara) dan politik
Islam (kekuasaan/negara yang sesuai dengan syariat) mempunyai titik temu yang
sama, yaitu tentang sebuah ketatanegaraan yang sesuai dengan syariat.
2. GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN DAN POLITIK ERA MEKKAH
 Kondisi Mekkah Pra-Islam
Kondisi masyarakat Mekah pra Islam atau biasa disebut dengan sebutan
masyarakat Jahiliyah dalam beberapa aspek sangat kacau, meskipun dalam beberapa
hal kehidupan yang lain mengalami kemajuan, misalnya dalam kesusastraan,
perangkat-perangkat aturan dalam mengatur kehidupan masyarakat karena pada
dasarnya mereka sudah dapat mengatur kehidupan masyarakatnya dan secara dinamis
mereka mampu menjadikan Mekah sebagai salah satu pusat kota transit perdagangan
yang potensial, di mana para pedagang dari Yaman singgah di kota Mekah sebelum
mereka melanjutkan perjalanannya ke Syam (Syria saat ini). Hal ini dikarenakan
dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki kitab suci, ideologi agama
dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem
pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral sehingga
terjadinya (krisis moral).

 Kondisi Keagamaan Mekkah Pra-Islam


Terdapat enam kategori kehidupan Religius masyarakat Arab Pra-Islam.
a. Pertama, Fetishism (penyembahan pada batu) Fetisisme adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu dan segala
aktivitas untuk mempergunakan benda-benda sakti semacam itu dalam
ilmu gaib.
b. Kedua, Animisme, yang berarti memiliki kepercayaan terhadap roh.
c. Ketiga, Dinamisme yang berarti kepercayaan terhadap nenek moyang.
d. Keempat, Totemisme yang berarti kepercayaan kekuatan dalam suatu
berupa burung, ikan atau tumbuhan.
e. Kelima, Astral Triadism yang berarti kepercayaan pada tiga serangkaian
benda langit, matahari bulan dan Venus.
f. Keenam, Monoterisme berarti empercayai bahwa Tuhan adalah satu atau
tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu.
 Masuknya Agama Islam ke Mekkah
Nabi Muhammad pada tahap awal periode ini sebatas seorang pendakwah atau
da’i yg menyampaikan ajaran agamanya secara diam-diam. Rasulullah berupaya
menghimpun orang-orang yang sudah memeluk Islam dalam satu komunitas yang
masih ekslusif. Aktivitas nabi Muhammad dalam menyiarkan ajaran islam
menimbulkan banyak sekali interupsi dari orang-orang kafir Quraisy. Nabi
Muhammad dan orang-orang islam pada saat itu mendapat banyak sekali penghinaan,
penyiksaan, fitnah, hingga pemboikotan, dan sebagainya. Kondisi ini secara politis
tidak menguntungkan perjuangan dan dakwah Nabi, maka dalam rangka melindungi
dan menyalamatkan akidah segelintir orang-orang yang sudah memeluk Islam, Nabi
Muhammad saw melakukan beberapa langkah strategis, yaitu;
a. Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada beberapa orang Islam Mekah
untuk berhijrah atau mengungsi sementara ke negeri Habsyah. Sebelumnya
Nabi Muhammad saw sudah menginformasikan bahwa di sana ada seorang
penguasa yang saleh meskipun dia beragama Kristian, yaitu Raja Najjasyi
yang dapat dimintai pertolongan untuk memberikan suaka politik. Hal ini
mengindikasikan ketajaman kebijakan Nabi yang dibuktikan dengan
keberhasilan melakukan negosiasi melalui orang-orang muslim yang datang
ke negeri Habsyah,
b. Mengadakan kerja sama dengan suku-suku atau qabilah-qabilah yang ada di
luar kota Mekah,
c. Mengadakan bai`at( janji setia kepada Nabi ) dari orang-orang Qabilah Aus
dan Khazraj,
d. Melindungi orang-orang tertindas,
e. Mengupayakan terwujudnya kesejahteraan dan sebagainya.

 Peristiwa Bai’at Aqabah


Dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad Bersama umat Islam (sahabat-
sahabatnya) sebelum hijrah ke Yatsrib atau Madinah, tiga pertemuan Nabi dengan
beberapa orang penting yang datang dari Yasrib merupakan peristiwa penting yang
menjadi dasar starting poin dalam merealisasikan agenda-agenda besar. Tiga
Pertemuan tersebut adalah bai’at aqabah I, bai’at aqabah II, dan bai’at aqabah III.
Setelah peristiwa baiat itu selesai, Rasulullah mengeluarkan perintah hijrah dan dalam
waktu dua bulan sudah terdapat seratus lima puluh orang yang hijrah ke madinah,
menyisakan Rasulullah, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Alasan belum
berangkatnya Rasulullah dikarenakan menunggu izin dari Allah SWT untuk ikut
hijrah ke Madinah

3. ORIENTASI POLITIK ERA MADINAH


 Terbentuknya Dasar-Dasar Politik di Madinah
Pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama Hijriyah umat Islam melakukan
penghijrahan dari Makkah ke Yastrib, Madinah. Pada periode Yastrib menjadi era
baru bagi sejarah Islam karena pada Periode ini menjadi kekuatan politik bagi umat
islam serta lahirnya peraturan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan mudahnya
untuk melaksanakan dakwah Islam di Yastrib melahirkan pemikiran politik Islam
yang berbeda dengan sebelumnya, bahkan sebenarnya yang mempermudah dakwah
Islam di Madinah karena sudah ada gerakan – gerakan politik yaitu pada Aqabah satu
dan dua yang dipimpin oleh seorang Nabi. Dengan begitu saat di Madinah Nabi
Muhammad saw, mendapatkan kedudukan sebagai kepala negara juga. Penghijrahan
ini mejadi sejarah yang penting bagi Islam karena menjadi hal pertama kalender islam
serta menjadi perubaha besar sebab ini Islam mejadi lebih besar dan kuat dibawah
kepemimpinan Nabi dan agama yang sama. Faktor yang menjadi pembentukan umat
Islam di Madinah yaitu hubungan agama dan negara yang saling terkait menjadi
konsep ideal.
 Rekonstruksi Madinah
Dalam kontruksi Madinah menerapkan langkah-langkah demi memperbaiki aspek
kehidupan di Madinah yang sudah rusak, langkah pertama. yaitu menetapkan Al-Ikha
(persaudaraan) agar sesama komunitas tetap rukun. Langkah kedua, yaitu Al-
Mahabbah (kasih sayang) sebab dalam persaudaraan pun dapat terjadi konflik, tetapi
dengan adanya kasih sayang akan meningkatkan harmonis dari berbagai komunitas.
Langkah ketiga Al-Adl (keadilan) dengan adanya keadilan akan memperbaiki aspek
kehidupan yang telah rusak. Langkah keempat, yaitu Al-Musawa (persamaan) hal ini
akan menyamaratakan hak dan kewajiban masyarakat Madinah. Langkah kelima,
menetapkan piagam Madinah yang dapat mengatur orang-orang Islam, Muhajirin,
Anshor, Yahudi yang terdiri dari berbagai etnik serta mengatur seluruh warga
Madinah.
Kedatangan nabi Muhammad ke Yatsrib menjadi sebuah tanggung jawab yang
besar bagi beliau untuk memperbaiki kondisi masyarakat Yatsrib yang sudah rusak.
Hal ini bertujuan agar terciptanya masyarakat atau umat yang mampu mengemban
risalah Islam.serta dapat melahirkan generasi yang terdidik diwarnai dengan al-
muhabbah (kasih sayang) dan al-ikha (persaudaraan). transformasi dan reformasi
yang dicanangkan oleh Rasulullah SAW ini meliputi berbagai aspek, seperti:
a. Mengubah nama kota Yatsrib menjadi kota Madinah atau Madinatur Rasul.
b. Mengganti nama Qabilah di kota Yatsrib dari Aus & Khazraj menjadi Al-
Anshar.
Dari sini kemudian mulai direalisasikan keadilan dan persamaan hak di antara
masyarakat kota Madinah melalui penerapan langkah-langkah strategis oleh Nabi
Muhammad yang nantinya berhasil menciptakan masyarakat Madinah yang unggul.
langkah-langkah tersebut bertujuan untuk membentuk dan membina masyarakat
Madinah sebagaimana yang terbagi menjadi langkah umum dan langkah khusus.
Salah satunya adalah dengan menetapkan Piagam Madinah

 Piagam Madinah
Piagam ini merupakan naskah politik yang kedudukanya sebagai Dustur atau
Konstitusi. Piagam ini memiliki tiga bagian dan empat puluh tujuh atau empat puluh
delapan poin(bundan).
Pertama; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-orang Islam
Muhajirin dan Anshar,
Kedua; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-orang Yahudi
yang terdiri dari berbagai etnik,
Ketiga; Aturan-aturan yang diberlakukan secara umum meliputi seluruh warga
Madinah.
Piagam Madinah yang dijadikan konstitusi negara Madinah dapat menjadikan
negara yang demokratis, adil dan damai. Dalam rangka terciptanya persatuan dan
solidaritas bagi seluruh warga Madinah, maka Piagam ini menetapkan bahwa setiap
individu dari penduduk Madinah memiliki ikatan dan tanggung jawab bersama
terhadap yang lainnya. Sebagai bukti adanya sikap inklusivitas umat Islam, Piagam
ini memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk memeluk agama Islam.
Selain itu, dapat membuat masyarakat memiliki ikatan tanggung jawab yang sama
dalam mempertahankan negara Madinah dari ancaman musuh. Piagam Madinah pun
membuat masyarakat lebih toleransi atau memperbaiki hubungan anat komunitas
yang ada di Madinah

4. POLITIK ERA KULAFA UR RASYIDIN


 Konflik Pada Masa Kepemimpinan Khilafah yang Baru
Pasca kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, hal pertama yang diperdebatkan
adalah perihal siapa pemimpin pemerintahan yang berhak menggantikan Nabi
Muhammad SAW. Perdebatan terjadi dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak
menunjuk pemimpin yang selanjutnya akan menggantikan beliau, begitu pula dengan
bagaimana metode pemilihan pemimpin yang islami.
a. Abu bakar pun akhirnya terpilih menjadi Khalifah pertama yang berperan untuk
menggantikan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Islam menggunakan
metode pemilihan pemimpin dilakukan oleh para sahabat melalui ijtihad dengan
bermusyawarah, sebagaimana cara Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya kerap
kali menggunakan metode musyawarah demi kepentingan orang banyak. Hal yang
menjadikan kisruh dan banyak pertentangan pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq
adalah terdapatnya banyak sahabat dan para umat muslim yang mulai kembali ragu
dan banyak bermunculan kaum murtadin yang juga mengajak yang lainnya untuk
kembali ke ajaran nenek moyang dahulu, serta bermunculannya nabi-nabi palsu yang
mengaku adalah penerus ajaran Muhammad SAW. oleh karenanya mereka dibantai
dan dihabisi pada zaman Abu Bakar agar tidak semakin merusak kaidah dan aqidah
umat muslim yang saat itu sendiri tengah dilanda krisis kepercayaan dan mulai
banyak bermunculan kaum murtadin.
b. Selanjutnya pasca kepemimpinan Abu Bakar, beliau menunjuk Umar bin Khattab
untuk menggantikannya. Hal tersebut bukan tanpa alasan, dikarenakan Umar bin
Khattab dapat dikatakan merupakan orang yang cakap sebagai pemimpin. Secara
jelas, Umar bin Khatab semasa kepemimpinannya berhasil membangun kekuatan
Islam. Sebagaimana dalam politik, ia memiliki kebijakan politiknya yaitu
membebaskan tawanan pemberontak di Yamamah. Seperti dijelaskan di atas bahwa
pembaiatan Umar atas penunjukan Abu Bakar terhadap hasil musyawarahnya dan
pendapatnya dengan berbagai tokoh masyarakat yang ada di Madinah saat itu, dan
memang atas dasar ketertarikan dan juga simpatik masyarakat terhadap khalifah
Umar membuat stabilnya keadaan politik, dan berbagai aspek lainnya tidak seperti
sebelumnya bermunculan para kaum riddah dan juga nabi palsu yang menjadi oposisi
dan juga menjadi musuh umat saat itu, karena mengancam aqidah umat saat itu pasca
sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. dan di zaman Umar merupakan salah satu
zaman paling stabil diantara ke empat khulafaur rasyidin. Namun, bukan berarti tanpa
kendala dan tanpa masalah, karena menjelang wafatnya khalifah Umar yang dibunuh
oleh seorang kaum budak yang merupakan keturunan Persia yang merasa dendam
karena Persia telah ditaklukan oleh khalifah Umar dan membuatnya dendam.
c. Pada masa kepemimpinan selanjutnya ditunjuk Ustman bin Affan untuk
menggantikan posisi kepemimpinan Umar bin Khattab. Masa pemerintahannya
terjadi hingga rentang 12 tahun, dalam awal masa pemerintahan Ustman berhasil
melakukan perluasan wilayah Islam. Hal tersebut ditandai dengan pembentukan
armada laut yang tangguh sehingga ekspansi penyebaran wilayah Islam pun semakin
meluas. Namun pada akhir-akhir masa kepemimpinannya diduga terdapat nepotisme
dalam pemerintahan Ustman, disamping itu juga adanya pemberontakan yang
mengakibatkan terbunuhnya Ustman bin Affan, yang diduga adanya motif politik.
d. Setelah wafatnya Ustman bin Affan, masa kepemimpinan dilanjutkan oleh Ali bin
Abi Thalib. Namun, terpilihnya Ali sebagai pemimpin kerap menuai kontra oleh
sekelompok penduduk Mekkah yang dipimpin Aisyah Ra, dan Thalhah, Zubair. Pada
awalnya, hal itu terjadi karena pihak Ali menolak untuk menjadikan Thalhah dan
Zubair sebagai calon pemimpin yang patut dipertimbangkan. Pada masa Ali bin Abi
Thalib kerap memicu perbedaan pendapat dengan kalangan Islam lainnya sehingga
pecahlah Perang Jamal dan Perang Shiffin. Pada akhirnya pasukan Ali pun terpecah
menjadi dua golongan yakni, Khawarij dan Syiah, dikarenakan juga adanya
perbedaan pendapat mengenai tahkim. Terlepas dari semua itu, masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib dijalankan dengan tegas, beliau juga melakukan hubungan politik
dengan mengirim surat kepada gubernur untuk menjaga perdamaian.
5. KEBIJAKAN POLITIK EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
a. Abu Bakar al-Siddiq
Tidak lama setelah Abu Bakar dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan
pidato kenegaraan pertamanya. Dalam pidato tersebut Abu Bakar menekankan pada
karakter dan sifat yang sudah diajarkan Nabi Muhammad kepadanya yaitu sikap jujur,
adil dan tegas. Pidato kenegaraan tersebut kemudian menjadi landasan atau dasar
politik pemerintahan Abu Bakar dalam menentukan kebijakan-kebijakan politiknya
yaitu :
1) Penumpasan terhadap Nabi Palsu yang melakukan pemberontakan
2) Dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang
dari kebenaran (orang yang murtad, tidak mau membayar zakat, dan mengaku
dirinya nabi), sehingga semua kembali ke jalan yang benar. Ketegasan Abu bakar
ini disambut oleh hampir seluruh kaum muslimin. Untuk memerangi kemurtadan
ini dibentuklah sebelas pasukan.
3) Perluasan wilayah kekuasaan. Setelah berhasil mengatasi kekacauan dalam
negeri, Abu bakar kemudian mengerahkan kekuatannya ke luar wilayah
kekuasaan untuk melakukan ekspansi wilayah. Khalid bin Walid diutus sebagai
pemimpin tantara islam ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M,
lalu ke Syiria dikirim ekspedisi di utus empat Jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amru
bin `Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil.
4) Model kekuasaan bersifat sentralistik, di mana kekusaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif berada ditangan Khalifah, belum terlembagakan dalam masing-masing
lembaga tersendiri yang terpisah dan memang di era Khalifah Abu Bakar belum
terbentuk pemerintah daerah yang dipimpin Gubernur atau Amir, karena wilayah
kekuasaanya masih sebatas semenangjung Arabia. Pada waktu itu belum terjadi
distribusi kekuasaan, karena memang dinamika perpolitikannya saat itu masih
dalam tahap-tahap pembinaan dan pembenahan
b. Umar Bin Khattab
1. Ekspansi Wilayah Kekuasaan
Di zaman pemerintahan Umar, gerakan ekspansi dilakukan besar-besaran,
yaitu perluasan daerah kekuasaan, dan pertama kali terjadi pada Ibu Kota Syam
(Syiria); Damaskus yang berhasil dikuasai pada tahun 635 M. setahun kemudian
seluruh daerah Syiria dapat dikuasai oleh tentara Islam. Ekspansi kemudian
diteruskan ke Mesir di bawah pasukan yang dikomandoi Amr bin Ash dan
berhasil menguasai daerah Iskandariah yang menjadi Ibu kota Mesir saat itu
pada tahun 641 M. kemudian tentara Islam yang dipimpin oleh Sa`ad bin Abi
Waqqas diperintahkan untuk memasuki wilayah Iraq dan berhasil menguasai
daerah al-Qadisiyah pada tahun 637 M. selanjutnya tentara Islam berhasil
menguasasi ibu kota Persia; al-Madain pada tahun yang sama. Pada tahun 641 M.
daerah Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Semenangjung Arab,
Palestina, Syam ( Syiria ), sebagian besar wilayah Persia dan Mesir
2. Pembenahan Administrasi Negara
Dalam mengelola wilayah kekuasaan yang luas, Umar bin Khattab mulai
mengatur administrasi dan birokrasi pemerintahan sebagai langkah dan kebijakan
yang diambilnya dalam menata perpolitikan. Khalifah Umar membagi daerah
kekuasaan Islam ke dalam beberapa wilayah. Hal ini dilakukan bertujuan agar
pemimpin-pemimpin wilayah, yaitu Amir, Wali, atau Gubernur dapat
memaksimalkan peningkatan sumber pendapatan negeri atau wilayah tersebut.
3. Menguatkan Pengelolaan Baitul Mal
Baitul Mal merupakan lembaga yang berfungsi sebagai tempat menyimpanan
harta kekayaan negara. Harta kekayaan negara ini diperoleh dari sumber-sumber
pendapatan negara dan dipergunakan untuk berbagai kepentingan umum, serta
untuk kesejahteraan umat. Oleh karenanya harta yang disimpan di Baitul Mal
adalah milik negara. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Baitul
Mal semakin dikembangkan fungsinya sehingga menjadi lembaga resmi negara
dan permanen. Baitul Mal di masa pemerintahan Khalifah Umar tidak hanya ada
di Ibu Kota Negara; Madinah, melainkan juga didirikan di wilayah-wilayah yang
sudah dikuasai umat Islam.
c. Utsman Bin Affan
Utsman diangkat sebagai khalifah dengan kontribusi yang cukup besar dan
bermanfaat yakni penyeragaman tulisan dan bacaan Alquran atau disebut dengan al-
Qur’an Mushaf Utsmaniy sehingga mengakibatkan terjadinya persattuan dan kesatuan
umat Islam dengan satu pusat kekuasaan.
1) Melaksanakan Fungsi Keamanan di Wilayah Kekuasaan
Utsman bin Affan dalam masa kekuasaannya berhasil meredam tindakan
separatisme di wilayah-wilayah bekas kepemilikan Persia dan Romawi. Wilayah
kekuasaan ketika Utsman bin Affan menduduki kursi kekhalifahan membentang
dari ujung Persia di Timur, perbatasan Sirenaika dan Tripoli di Barat, dan dari
laur Kaspia di Utara, hingga ke Nubia di Selatan menurut ahli sejarah Ibun Katsir.
2) Bantuan Sosial dan Pemetaan Kekayaan
Utsman bin Affan melanjutkan pemerintahan dengan asset negara yang cukup
melimpah dikarenakan pada masa Umar, dasar kebijakan kontrol atas penggunaan
uang yang digunakan para pejabat atas konsep zuhud (hidup yang jauh dari
gemerlap dunia) cukup memiliki pengaruh yang signifikan. Namun sayangnya
kebijakan tersebut tidak dilanjutkann pada masa kepemimpinan Utsman.
3) Aset Negara Pada Masa Khalifah Utsman
Pada masa itu, hukum perang yang diterapkan dan Syariat Islam menjelaskan
bahwa al-futuhat al-Islamiyah atau penaklukan dari suatu kawasan mengakibatkan
pengendalian penuh penakluk kawasan atas tiap-taip sumber kekayaan alam dan
makhluk hidup yang ada dalam kawasan tersebut.
d. Ali bin Abi Thalib
Dasar kebijakan politik yang di implementasikan oleh Ali secara Konstitusional
adalah ketika Ali melakukan pidato atas amanah yang dilakukannya atau pidato yang
dilakukan nya di mana beliau menitikan garis garis visi yakni sumber hukum yang
akan di terapkan dalam kepemimpinan nya adalah Alquran serta sunnah nabi,
mengimplementasikan nilai ideal dari Alquran, melaksanakan wujud kepemimpinan
dengan ikhlas dan berintegrasi, menghargai dan jaga kehormatan rakyat dari
kedzaliman, serta mengkonstruksi kehidupan masyarakat dengan penuh tanggung
jawab dan responsibilitas tinggi sebagai bangsa dan negara dengan dasar taqwa
kepada Allah.
Berdasarkan garis politik yang disampaikan oleh Ali, kepemimpinan Ali selama
pelaksanaannya didasarkan oleh nilai nilai Islam yakni keadilan, persamaan,
Persaudaraan, kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan yang juga sejalan dengan
tujuan tujuan atau cara yang dilaksanakan selama kepemimpinan Khalifah Umar.
Perbedaan nya adalah jaman yang dirasakan selama kepemimpinan Ali dengan Umar
berbeda seperti Diisi sosial, politik, solidaritas yang berbeda dan lain sebagainya.

6. SISTEM PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH


Dinasti bani Umayyah merupakan pemerintahan kaum Muslimin yang
berkembang setelah masa Khulafa al-Rasyidin yang dimulai pada tahun 41 H/661 M.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Nama Dinasti
Umayyah dinisbahkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf.
Perintisan dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyyah dengan cara menolak
membaiat Ali, berperang melawan Ali, dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan
pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyyah. Setelah kaum Khawarij
berhasil membunuh Ali r.a pada tahun 661 M. Jabatan setelah Ali dipegang oleh putranya
Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun, karena tidak didukung oleh pasukan yang
kuat, sedangkan pihak Muawiyyah kuat akhirnya Muawiyyah membuat perjanjian
dengan Hasan bin Ali, yang berisi bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada
umat Islam setelah pemerintahan Muawiyyah berakhir. Perjanjian ini terjadi pada tahun
661 M. (41 H) Dan tahun itu disebut am jamaah karena perjanjian ini mempersatukan
umat Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik yaitu Muawiyyah.
Setelah Daulah Bani Umayyah berdiri, adapun langkah pertama yang dilakukan
oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah memindahkan ibu kota pemerintahan islam dari
Madinah ke kota Damaskus di wilayah Suriah. Selain itu Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga
merubah sistem pemerintahan yang ada, pemerintah yang bersifat demokratis berubah
menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh
dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Sukses kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Perintah Muawiyah ini merupakan bentuk pengukuhan terhadap sistem pemerintahan
yang turun-temurun yang dibangun Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan
berdasarkan asas musyawarah dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah
telah mengubah model kekuasaan dengan model kerajaan, kepemimpinan diberikan
kepada putra mahkota. dengan berlakunya sistem (monarki) tersebut, orang-orang yang
berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang
sama untuk naik sebagai pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti
hanya memberlakukan kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan
cara hidup Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa' ar-Rasyidin yang mana baik
pemimpin dan orang biasa menjalani kehidupannya dengan sederhana dan sama rata.
Namun, pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem kerajaan pra-Islam
di Timur Tengah, para petinggi menjaga jarak dengan masyarakat karena tinggal di istana
yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup dengan bergelimang kemewahan
dan memiliki kekuasaan mutlak.
 Kebijakan-kebijakan pada masa dinasti umayyah
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari madinah ke damaskus
2) Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam
perjuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat
kembali menjadiGubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah yang diangkat
menjadi Gubernur di Persia.
3) Ketiga, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika
tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan dan menumpas kaum
pemberontak.
4) Membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan yaitu darat, lautdan
kepolisisan yang tangguh dan loyal. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin
stabilitaskeamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri
yaitu memperluaswilayah kekuasaan.
5) Meneruskan wilayah kekuasaan islam baik ke timur maupun ke barat.
Perluasanwilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah seperti Khalifah
Abd al-Malik ke Timur,Khalifah al-Walid ke Barat dan Perancis di zaman
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah di Dinasti ini merupakan
ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama dizaman Umar bin Khattab.
6) Baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda
dari zaman Khulafa Rasyidin.
7) Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintah dan
melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang sangat banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan Byzantium.
8) Kebijaksanaan dan keputusan politik penting dibuat oleh Khalifah Muawiyah
adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak
Demokratis menjadi sistem Monarki dengan mengangkat putranya, Yazid menjadi
putra mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini
berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun-temurun yang diikuti oleh
para pengganti Muawiyah. Dengan demikian, ia mempelopori meninggalkan
tradisi di zaman Khulafa ar-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui
pemilihan oleh umat

7. PEMERINTAHAN DINASTI ABBASIYAH


Salah satu dinasti Islam terlama adalah Abbasiyah. Setelah keruntuhan Dinasti
Umayyah, muncul Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari lima abad (750-1258) dan
pernah mewujudkan zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan membagi masa
kekuasaan Abbasiyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri, pola perubahan
pemerintahan, dan struktur sosial politik ataupun tahap perkembangan peradaban yang
dicapai.
Secara umum, para sejarawan ini berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti
Abbasiyah dapat dibagi atas empat periode. Keempat periode tersebut adalah Periode
Awal (750-847), Periode Lanjutan (847-945), Periode Buwaihi (945-1055), dan Periode
Seljuk (1055-1258). Kekuasaan Dinasti Umayyah yang lebih Arabsentris digantikan oleh
Dinasti Abbasiyah. Berbeda dari pendahulunya, Dinasti Abbasiyah mendistribusikan
kekuasaan secara lebih luas, tidak terbatas di kalangan orang Arab saja, tetapi juga
mengikutsertakan Muslim non-Arab lainnya, terutama orang Persia dan Turki.

 Kehidupan Islami
Para sejarawan mengungkapkan beberapa alasan mengapa banyak masyarakat
yang melakukan oposisi terhadap kekuasaan Umayyah dan berupaya menggantikannya
dengan kekuasaan yang baru. Bagi kalangan ulama, terutama sejak perang saudara silih
berganti melanda umat Islam--karena Khalifah Usman bin Affan dibunuh--umat Islam
mendambakan kehidupan yang lebih Islami.
Gerakan ulama ini berupaya menghindari persaingan politik sekaligus berseru
kepada para penguasa agar menegakkan tatanan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan
Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Pengaruh mereka sangat besar di kalangan umat
Islam. Tak mengherankan jika gerakan anti-Umayyah yang dikobarkan oleh kelompok
pendukung Abbasiyah memperoleh dukungan secara keagamaan dari para ulama. Dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, dipaparkan bahwa sejak awal keberadaannya, gerakan
ini mengampanyekan penghancuran Dinasti Umayyah karena dinilai telah keluar dari
ajaran Islam dan mencanangkan terwujudnya pemerintahan yang lebih Islami. Untuk itu,
sejak berkuasa, penguasa Abbasiyah mengangkat ulama terkenal untuk menjalankan
fungsi hukum. Kekuasaan peradilan diserahkan sepenuhnya kepada para kadi (hakim).
Mereka melaksanakan fungsi yudikatif yang bebas dari intervensi penguasa.
Dalam skala kekuasaan yang lebih luas, dinasti ini banyak mengadopsi tradisi
pemerintahan Sasaniyah Persia yang menganggap raja sebagai pemegang kekuasaan
absolut yang mendapat mandat Tuhan. Oleh karena itu, kekuasaan Abbasiyah sangat
terkonsentrasi di tangan khalifah.

 Pembentukan departemen
Pemerintahan Abbasiyah sebetulnya tidak banyak berbeda dari Dinasti Umayyah
karena sejak awal Abbasiyah senantiasa berhadapan dengan berbagai pesaing politik,
cenderung menyingkirkan para pesaingnya, dan juga berjasa dalam menaikkan dinasti
baru ke takhta pemerintahan. Hal ini diikuti pula dengan usaha mengonsentrasikan
kekuasaan di tangan khalifah. Konsentrasi kekuasaan di tangan khalifah ini terjadi secara
efektif pada masa Khalifah al-Mansur (754-775) dan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-
809). Ini tampak jelas dengan dibangunnya Baghdad sebagai ibu kota baru Abbasiyah.
Pemerintahan Abbasiyah mengangkat seorang gubernur (amir) untuk memimpin suatu
wilayah. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang semakin luas.
Agar sistem pemerintahan berjalan efektif, khalifah membentuk sistem birokrasi
pada era awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Salah satunya adalah mengadakan jabatan
baru seperti wazir. Wazir adalah penasihat khalifah dengan tingkat pengaruh yang
beraneka ragam, tetapi kemudian bisa bertindak sebagai kepala pemerintahan.

 Sentralisasi anggaran
Untuk menjalankan pemerintahan, telah disediakan anggaran khusus. Anggaran
negara ini pertama diperoleh dari hasil pajak. Jenis pajak yang paling penting adalah
kharaj, yaitu pajak atas tanah dan hasil pertanian. Kedua, anggaran negara bersumber dari
jizyah, yaitu pajak yang dipungut dari rakyat non-Muslim sebagai kompensasi atas
dibebaskannya mereka dari kewajiban militer. Sumber ketiga adalah zakat yang
diwajibkan kepada seluruh orang Islam.
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah
adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi keuangan dan
perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari kekuasaan Umayyah.
Perkembangan administrasi keuangan dan perpajakan mendapatkan bentuknya yang lebih
sempurna sejak kelompok Baramikah menjadi pelaksana pemerintahan pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang
sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang
memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.

8. PEMIKIRAN POLITIK IBNU ABI RABI’


a. Teori Asal-Usul Negara
Ibn Abi Rabi` berpendapat bahwa manusia secara alami membutuhkan orang lain
untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, dan tidak mungkin mereka dapat
memenuhi semua kebutuhannya tanpa kerjasama dengan orang lain. Oleh karena itu
terjadi interaksi di antara mereka. Hal ini membuat mereka saling membantu dan
bersosialisasi, serta menetap di suatu tempat. Dari proses inilah, kota-kota terbentuk
dan nantinya kota-kota ini akan membentuk negara . Keperluan yang membentuk
organisasi kekuasaan (negara) ini terbagi menjadi:
1. Pakaian ( al-libas ) untuk melindungi diri dari iklim.
2. Kebutuhan terhadap makanan.
3. Tempat tinggal.
4. Reproduksi.
5. Pelayanan kesehatan untuk menjaga kestabilan jasmani.
b. Empat Pilar Negara
Demi mencapai tujuan untuk menegakkan keadaan politik yang stabil, sebuah
negara harus memiliki landasan tertentu dalam mewujudkannya. Menurut Ibnu Abi
Rabi’, terdapat 4 unsur atau konsepsi yang menjadi landasan berdirinya sebuah
negara yang disebut dengan arkan al-daulah.
1. Kepala Negara
Suatu keadaan masyarakat di dalam negara merupakan cerminan dari sikap
seorang pemimpinnya. Mengetahui hal tersebut, Ibnu Abi Rabi’ menciptakan
konsep mengenai batasan-batasan yang harus ditaati seorang pemimpin atau
kepala negara. Hal ini dibuat dengan tujuan agar masyarakat dapat bercermin dari
sikap-sikap positif pemimpin negaranya. (2018:160)
a) Seorang kepala negara tidak boleh orang yang mudah marah, yaitu pemarah.
b) Bukan orang yang mudah bersumpah.
c) Tidak boleh orang yang pelit.
d) Tidak boleh orang yang memiliki sikap dengki (pendengki) atau pendendam.
e) Bukan orang yang suka melakukan tindakan yang tidak berfaidah (menyia-
nyiakan waktu).
f) Tidak boleh orang yang penakut.
g) Tidak boleh orang yang suka berfoya-foya dan suka berbangga dengan
keduniaan (hidup glamour dan hura-hura).
2. Keadilan
Menerapkan konsep keadilan merupakan salah satu ketentuan dari Allah.
Keadilan diperlukan untuk terciptanya kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Ibnu
Abi Rabi’ membagi keadilan menjadi 3 bagian, yaitu :
1) Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak Allah.
Keadilan ini terkait dengan perintah-perintah Allah yang harus ditaati. Seperti
contohnya mendekatkan diri kepada-Nya, meramaikan tempat-tempat ibadah,
baik masjid atau mushola melalui berbagai bentuk ibadah dan melaksanakan
amalan-amalan sunnah.
2) Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak antara sesama individu.
Keadilan yang direalisasikan dengan menjunjung hak dan tanggung jawab
kepada sesama individu demi mencipakan interaksi dan komunikasi yang baik
antara sesama. Contohnya seperti: menunaikan kewajiban seseorang kepada
sesama individu, komitmen kepada kejujuran (amanah), mengembalikan
titipan (wadi’ah) kepada pemiliknya, memberikan saksi kepada yang hak
(yang benar).
3) Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak orang yang sudah wafat.
Keadilan ini dimaksudkan untuk menunaikan hak-hak bagi orang telah wafat
atau meninggal dunia. Seperti diantaranya mengurus jenazah dengan benar
(memandikan, mengafankan, menguburkan dan sebagainya), memberi
sedekah kepada anak yatim dan keluarga yang telah ditinggalkan.
3. Rakyat
Negara tidak akan ada atau bertahan tanpa adanya penduduk tetap yang
dinamakan warga negara/rakyat negara. Ibnu Abi Rabi’ menciptakan gagasan
untuk kepala negara dengan menerapkan bagaimana cara untuk mengarahkan
rakyat agar berada dalam keadaan yang kondusif, aman dan damai.
a) Kepala negara harus senantiasa menundukkan hati rakyatnya untuk
mempertahankan loyalitas mereka terhadap negara namun tanpa adanya
paksaan dan ketakutan.
b) Kepala negara harus menyediakan fasilitas demi kemudahan rakyat agar
tercipta kehidupan yang nyaman dan sejahtera.
c) Kepala negara harus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat
untuk mengambil sikap dan kebijakan yang pantas dalam pemecahan suatu
masalah sesuai perkembangan tersebut.
d) Selalu berupaya agar kecintaan rakyat terhadap negara berdasarkan keyakinan
agama, bukan kepentingan-kepentingan sesaat.
e) Mengetahui perilaku dan akhlak rakyatnya melalui latar belakang
pengalamannya. Dengan maksud untuk digunakan dalam pertimbangan bila
akan diberikan tanggung jawab atau jabatan dan melaksanakannya dengan
amanah.
f) Mengikuti perkembangan negara tetangga agar dapat mempertahankan
kepentingan wilayahnya dari setiap tindakan negara tetangga yang
mengancam stabilitas politik dan keutuhan wilayah, terutama di wilayah
perbatasan.
g) Memperbarui pemberian hadiah kepada pasukan tentara agar mereka tidak
mengajukan pengaduan yang negatif.
h) Mendengarkan apa yang dibicarakan rakyatnya dan jika ada orang yang
melakukan fitnah atau melancarkan makar, kepala negara harus segera
melakukan tindak hukum.
i) Menindak para pejabat yang bekerja semata-mata untuk mendapatkan
keuntungan pribadi yang negatif.
j) Tidak membiarkan rakyatnya berada dalam ancaman dan ketakutan.
k) Kepala negara tidak boleh menempatkan orang-orang baik (orang yang saleh)
bersama dengan orang-orang yang berperilaku jahat karena dikhawatirkan
akan menularkan virus keburukan kepada orang-orang yang baik jika mereka
tidak mampu memproteksi diri.
l) Kepala negara harus segera memotong mata rantai faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya konflik antarsesama warga masyarakat.
m) Kepala negara harus melakukan tindakan hukum kepada orang-orang yang
melakukan tindakan kriminal.

4. Pengelolaan
Pengelolaan negara atau mentadbir negara merupakan suatu keharusan
yang dilakukan unutk menjaga kestabilitasan negara. Pengelolaan negara
merupakan aktivitas yang berhubungan langsung antara pemerintah di satu sisi
dan di sisi lain dengan pihak-pihak yang diperintah, yaitu rakyat. Ibnu Abi Rabi’
mengingatkan kepada kepala negara untuk menghindari hal-hal yang akan
merusak rencana pengelolaan negara seperti berikut:
a. Mengangkat seseorang yang tidak memiliki kelayakan, tidak memiliki
kapabilitas larena hal ini akan berakibat fatal terhadap kondisi negara.
b. Mengangkat seseorang yang tidak jujur, yaitu orang yang tidak dapat
dipercaya.
c. Mengangkat seseorang yang bertugas menjaga rahasia negara, tetapi tidak
dapat dipercaya (tidak amanah) karena dia akan membuka rahasia negara.
d. Mengangkat seseorang yang bertugas untuk menjaga keamanan, tetapi
tidak memiliki kecakapan, maka akibatnya dia akan merusak.
e. Mengangkat seseorang untuk menjadi penjabat, tetapi mengabaikan
tugasnya. Ini menunjukkan kelemahan integritasnya.

9. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM AL-FARABIY


 Asal Mula Negara
Menurut al-Farabiy, salah satu elemen terbentuknya negara adalah manusia, maka
al-Farabiy memulai dengan pembahasan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam
karya fenomenal al-Farabiy Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah bahwa negara muncul
dari sekumpulan manusia. Manusia saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari yang disebut al-Farabiy dengan Asosiasi (al-Ijtimâ‟at al-Insâniyah).
Menurut al-Farabiy manusia termasuk makhluk yang tidak dapat menyelesaikan
urusan-urusan penting mereka, ataupun mencapai kondisi terbaik mereka, kecuali
melalui asosiasi (perkumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang
sama. Hal inilah menjadi awal terbentuknya negara. Al-Farabiy beranggapan bahwa
negara lahir atas kesepakatan bersama dari sekumpulan manusia yang saling
membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
 Konsep Negara Ideal
Al-Farabiy mengklasifikasikan negara berdasarkan ideologi, bukan berdasarkan
sistem pemerintahan, seperti monarkhi, absolut, dan demokrasi. Al-Farabiy tidak
sependapat dengan pembagian negara secara modern yang berdasarkan kedaulatan
rakyat, kekuasaan, dan hukum. Al-Farabiy memiliki gagasan sendiri dalam hal ini.
Dengan demikian, al-Farabiy mengkonsepsikan Negara Utama sekaligus lawan dari
Negara Utama.
a) Al-Madînah al-Fâdlilah (Negara Ideal/Utama)
Negara Utama menurut al-Farabiy adalah negara yang didirikan oleh
warga negara dengan tujuan jelas, yaitu kebahagiaan. Dalam kitab Ârâ Ahl
Madînah al-Fâdlilah terwujudnya kota utama di dalam negara utama apabila
penduduknya memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut: Warga memiliki
kecerdasan spiritual dan material untuk sampai pada akal aktif. Warga
mengetahui sebab-sebab pertama dan tujuan keberadaan manusia. Kemudian
munculnya kota utama yaitu suatu kota yang warganya memproleh kebahagiaan
yang diidam-idamkan.
b) Al-Madînah al-Jâhiliah (Negara Jahiliyah)
Negara jahiliyah menurut al-Farabiy adalah negara yang tidak mempunyai
ideologi yang tinggi, artinya tidak mempunyai tujuan yang ideal sama sekali atau
menganut ideologi yang salah, yang beretentangan dengan kebahagiaan. Kota ini
dihuni oleh warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang
seharusnya menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak terlintas di
dalam benak mereka. Jika diarahkan secara benar untuk sampai kepada hal
tersebut (kebahagiaan), mereka tetap tidak dapat memahaminya, bahkan tidak
mempercayainya. Al-Farabiy membagi negara Jahiliyah menjadi enam macam,
yaitu sebagai berikut :Al-Madînah al-Dharûriyyah (Negara Kebutuhan Dasar); Al-
Madînah al-Baddalah (Negara Jahat); Al-Madînah al-Khissah wal al-Siquut
(Negara Rendah dan Hina); Al-Madînah al-Karîmah (Negara Kehormatan,
Aristrokatik); Al-Madînah al-Taghallub (Negara Imperalis); Al-Madînahal-
Jamâiyyah (Negara Komunis).
c) Al-Madînah al-Fâsiqah (Negara Fasiq)
Negara Fasik yaitu sebuah negara dengan penduduk yang mengenal
kebahagiaan, Tuhan, dan Akal Fa‟al, seperti penduduk negara utama. Akan tetapi,
tingkah laku penduduk negara fasik sama dengan negara bodoh. Apa yang mereka
lakukan berbeda dengan apa yang mereka ucapkan. Orientasi warga negara fasik
melakukan itu semua dengan alasan yang bermacam-macam antara lain ialah:
mempertahankan prestise, kemenangan, dan lain-lain sehingga mereka melakukan
hal-hal demikian di luar dari apa yang mereka yakini kebenarannya. Jadi,
persamaan antara warga dari negara fasik dan warga negara Ideal/Utama adalah
dari segi pendapat yang mereka yakini saja, tidak pada praktiknya.
d) Al-Madînah al-Mubaddilah (Negara yang Bertukar Kebutuhan)
Negara yang Bertukar Kebutuhan adalah negara yang pandangan-
pandangan dan perbuatan-perbuatan penduduknya pada mulanya sama dengan
pandangan dan perbuatan masyarakat negara utama, kemudian beralih dari
pandangan itu karena kemasukan pandangan lain sehingga menyeleweng dari
pandangan semula. Penyelewengan-penmyelewengan itu menyebabkan negara
menyimpang jauh dari garis-garis yang ada dalam negara utama sehingga apa
yang mereka lakukan semakin menjauh dari tercapainya kebahagiaan.
e) Al-Madînah al-Dhallah (Negara Sesat)
Negara Sesat yaitu negara yang penduduknya memiliki pemikiran yang
salah tentang Tuhan dan akal Fa’al. Meskipun demikian, kepala negara ini tetap
menganggap bahwa dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain
dengan ucapan dan tingkah lakunya.
 Hubungan Politik dengan Akhlak
Al-Farabiy menjadikan politik sebagai ilmu yang sangat penting di masa ilmu-
ilmu lainnya melayani ilmu politik. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa
kecenderungan pada politik menguasai pemikiran al-Farabiy, dan bahkan
mengarahkannya pada suatu pendirian bahwa masalah-masalah filsafat semuanya
tunduk (dalam arti melayani pada politik).
Dengan demikian, al-Farabiy telah menghubungkan hal-hal yang ideal (al-fadhail)
dengan mazhab politiknya (bi mazahibihi as-siyasiy), di mana al-Farabiy berpendirian
bahwa untuk mencapai hal-hal ideal (al-fadhail) yang bermacam-macam itu, baik
aspek pemikiran, akhlak (moral, etika yang baik), wawasan, maupun pemberdayaan
kinerja (al-shanaatu al-amaliyah) pada umat, semuanya dapat dicapai secara efektif
melalui dua pola utama, yaitu melalui pengajaran dan praktik (al-ta’lim wa al-ta’dib).
Pengajaran (al-ta’lim) adalah pola untuk melahirkan pandangan-pandangan ideal
tentang umat dan peradaban mereka. sementara praktik (al ta’dib) adalah pola untuk
menciptakan atau melahirkan perilaku atau tindakan-tindakan ideal, pemberdayaan
kinerja yang ideal bagi umat. Pengajaran (al ta’lim) dapat dilakukan melalui ucapan,
sementara praktik bisa melalui ucapan, dan bisa juga melalui tindakan atau perbuatan.
Atas dasar inilah gagasan-gagasan al-Farabiy terkait dengan akhlak (perilaku yang
baik) ada hubungan yang sangat erat dengan mazhab filsafat al-Farabiy, terutama
mazhab politiknya. Hal ini karena pengajaran dan praktik tidak dapat sempurna atau
efektif, melainkan harus ditangani oleh seorang pengajar dan pendidik (mu’alim dan
mu’adalib).

10. PEMIKIRAN POLITIK AL MAWARDI


 Enam Pilar Negara
Manusia (dengan kelemahannya masing–masing di satu sisi, dan dengan
kelebihan talenta yang berbeda-beda pada sisi lain) terdorong untuk hidup
berkelompok dan bersatu untuk saling membantu. Usaha dan aktualisasi untuk hidup
bersatu itu pada puncaknya akan mendorong manusia untuk membentuk suatu negara
(a state). Dengan demikian, lahirnya sebuah negara adalah berasal dari keinginan
manusia untuk mempertemukan kebutuhan–kebutuhan umum mereka dan juga
berasal dari tuntutan akal sehat mereka yang menginspirasikan untuk hidup saling
membantu dan mengelola kebutuhan kelompoknya. Dalam konteks ini al-Mawardi
menegaskan bahwa negara memerlukan enam pilar (sittatin qawa’id). Diantaranya :
1. Agama yang diamalkan
Agama diperlukan karena agama dapat mengendalikan hawa nafsu dan dapat
mengontrol hati nurani manusia. Hal ini memang lebih efektif jika benar-benar
didasarkan pada penghayatan agama, oleh karenanya agama merupakan dasar
pokok dalam rangka terciptanya kondisi yang kondusif dan situasi politik yang
stabil.
2. Penguasa yang berwibawa
Dengan kewibawaanya, kepala negara dapat mengakomodasi berbagai
kepentingan yang berbeda-beda lebih efektif, sehingga dia dapat mengelola
negara dengan baik untuk mencapai tujuan yang mulia, menjaga dan memelihara
agama agar dapat diamalkan sepenuhnya, melindungi rakyat dari hal-hal yang
mengancam ketentraman hidup, memastikan wujudnya keamanan, serta dapat
menjamin dan mengembangkan mata pencarian (ekonomi) rakyat, karena
penghormatan, penghargaan dan ketaatan adalah karena jabatannya.

3. Keadilan yang merata


Dengan meratanya keadilan di kalangan masyarakat dan semua warga
negara akan lahir keakraban di antara sesama warga negara. Ini juga memotivasi
lahirnya ketaatan atau loyalitas dari rakyat kepada pimpinan, maka negara akan
berkembang, melahirkan berbagai bakat dan skill pada masyarakat, jumlah
penduduk akan semakin bertambah melalui kelahiran generasi berkualitas yang
memiliki harga diri dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Dengan
demikian, akan tercipta kondisi sosial politik yang kondusif, dan penguasa merasa
aman dan tentram.
4. Keamanan yang merata
Keamanan akan memberi inner peace (kedamaian batin) kepada rakyat
dan pada akhirya mendorong rakyat berinisiatif dan berkreatif dalam membangun
negara.Lahirnya kondisi aman sebagai dampak positif meratanya keadilan pada
masyarakat. Sebaliknya kejahatan lahir dari kondisi sosial masyarakat yang tidak
ada keadilan dan keamanan.
5. Kesuburan tanah yang berkesinambungan
Dalam arti terpenuhinya semua kebutuhan dan ketersediaan berbagai
fasilitas yang diperlukan untuk kesuburan tanah, diantaranya penyediaan sungai,
irigasi, atau saluran air yang dapat mengaliri tanah, serta pengelolaannya yang
dilaksanakan secara profesional agar dapat menghasilkan hasil pangan yang
berkualitas.Menurut al-Mawardi, dengan kesuburan tanah akan meminimalisir
terjadinya rasa iri hati diantara sesama anggota masyarakat. Hal ini dimaksudkan
karena masing-masing orang dapat bekerja, baik sebagai pemilik tanah ataupun
sebagai pekerja untuk mendapatkan upah (gaji).
Kebencian dan iri hati muncul jika makanan tidak tersedia dengan merata,
dan hanya berada pada beberapa orang saja, sementara yang lainnya kekurangan
makanan. Kondisi seperti ini akan berdampak buruk terhadap kehidupan
masyarakat secara keseluruhan, bahkan kondisi seperti ini menyebabkan
kecemburuan sosial dari orangorang yang tidak memiliki kecukupan makanan
terhadap orang-orang yang memiliki
makanan yang berlebihan.
6. Harapan kelangsungan hidup
Dalam kehidupan manusia terdapat kaitan yang erat antara satu generasi
dengan generasi berikutnya. Generasi yang sekarang adalah pewaris generasi
masa lalu, dan yang mempersiapkan sarana-sarana hidup bagi generasi yang akan
datang, sehingga generasi yang sekarang dapat melahirkan harapan untuk
menggapai apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Hal ini tentu saja
memerlukan program dan perencanaan yang tertata dengan baik agar dapat
memastikan keberhasilan mengenai apa yang diinginkan.
Jika generasi masa lalu tidak memberikan harapan-harapan dan sarana-
sarana kepada generasi hari ini, maka menurut al-Mawardi, persediaan kebutuhan
untuk satu hari pun tidak akan mencukupi, apalagi sampai melewati hari
berikutnya. Jika ini yang terjadi, maka pergantian dunia kepada generasi akan
datang akan hancur berantakan

11. PEMIKIRAN POLITIK AL-GHAZALI


 Politik dan Akhlak
Al-Ghazali menghubungkan politik dengan akhlak, maka politik harus diarahkan
kepada pembelajaran edukasi, mensucikan diri, dan bimbingan (al-ta’lim, al-tazhib,
wa al-irsyad). Oleh karena itu, menurut al-Ghazali politik menduduki posisi yang
tinggi dan istimewa (muntaz).
Dalam konteks ini, al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan manusia hidup telat
tersurat di dalam agama dan pengelolaan dunia (siyasah al-dunya), oleh karena itu,
menurutnya tidak akan tercipta keteraturan dalam beragama, kecuali jika ada
keteraturan politik, karena sesungguhnya dunia adalah tempat menanam (mazra’ah)
untuk akhirat. Dengan demikian, dunia adalah tempat atau fasilitas yang dapat
dipergunakan untuk menghantarkan (al-musilah) manusia kepada Allah, bukan
menjadikannya tempat tinggal selama-lamanya (waathonan wa mustaqiman).
Al-Ghazali membagi empat kategori pekerjaan atau profesi untuk melahirkan apa
yang diperlukan manusia kehidupan agar tertata rapi.
1) Pertanian (al-zira’ah)
Pekerjaan atau pengelolaan pertanian yang akan menghasilkan bahan
makanan (al-math’am), baik itu makanan poko atau makanan suplemen yang
dibutuhkan manusia.
2) Permintalan atau tekstil
Pekerjaan atau pengelolaan permintalan yang akan menghasilkan bahan-bahan
pakaian yang diperlukan oleh manusia.
3) Bangunan perumahan
Pekerjaan yang menghasilkan tempat tinggal atau rumah (al-maskan) yang
diperlukan manusia, untuk sebagai kantor-kantor, lembaga-lembaga, tempat
ibadan, dan lainnya.
4) Politik
Politik merupakan pengelolaan berbagai aktivitas kehidupan melalui otoritas
kekuasaan, dimana pengelolaan ini memerlukan penanganan serius untuk
menumbuhkan upaya kerja sama untuk terciptanya kehidupan (al-ma’isyah wa
al-hayat al-ijtimma’iyah) yang tenteram, damai, kondusif, dan stabil.
Dan dari keempat pekerjaan tersebut, pengelolaan politik merupakan yang paling
penting dan mulia karena politik berkaitan dengan pengaturan dan pengelolaan
tatanan kehidupan dan kepentingan umatnya untuk menciptakan kemaslahatan
bersama. Politik (al-Siyasah) yang dimaksud al-Ghazali ini adalah tindakan dan
upaya untuk memperbaiki kondisi manusia untuk diarahkan ke jalan yang benera
dalam rangka memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu,
politik menurut al-Ghazali terbagi dalam ke empat tingkatan, yaitu:
1) al-Siyasah al-Ulya (high politic), yaitu politik para Nabi (Siyasah al-Ambiya),
yang mana kekuasaan dan otoritas mereka ini ditujukan kepada semua orang,
baik yang zahir dan yang bathin.
2) Politik para khalifah, para raja, para sulthan, yang mana kekuasaan dan
otoritas mereka ditujukan kepada orang-orang khusus dan juga umum, tetapi
hanya berkaitan dengan hal-hal yang real saja dan tidak pada hal-hal yang
spritiual mereka.
3) Politik para ulama (Siyasatul Ulama), yaitu pengaturan hubungan antara Allah
dan agama-Nya, dimana mereka ini adalah para pewaris Nabi (warasatul
Ambiya), sehingga kekuasaan mereka pada bathin atau spiritual orang-orang
secara khusus.
4) Politik para da’i dan para muballigh (al-Wu’az), yang mana kekuasan dan
otoritas mereka diarahkan kepada bathin atau spiritual orang-orang umum.
Lalu, Munawir Sjadzali menjelaskan profesi politik menurut al-Ghazali ini meliputi
empat subprofesi, yaitu.
1) Subprofesi pengukuran tanah (shona’atul masahah atau agraria)
Yaitu profesi untuk menjamin kepastian ukuran tanah milik para warga
negara.
2) Subprofesi ketentaraan (shona’atul jundi)
Yaitu profesi untuk menjamin keamanan dan pertahanan negara, dari ancaman
yang datang baik itu dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
3) Subprofesi kehakiman (shona'atun lil-hukmi)
Yaitu profesi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para warga
negara.
4) Subprofesi pembuatan undang-undang atau peraturan (al-hajat ila al-fiqh)
Yaitu profesi untuk menyusun undang-undang dan peraturan guna menjamin
hubungan antara warga negara dan pelanggaran hak, baik itu oleh sesama
warga negara atau oleh negara.
12. PEMIKIRAN POLITIK IBNU TAIMIYAH
Menurut jalan pemikiran Ibnu Taimiyah integrasi politik dan agama adalah
menyatunya politik dan agama dalam satu lembaga negara. Atas dasar pemikiran
integrasi politik dan agama ini, maka semua aktivitas perpolitikan didasarkan pada
agama, dalam arti agama menjadi dasar bagi semua kebijakan-kebijakan strategis
negara.al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang saheh menjadi sumber aturan kehidupan
bernegara, oleh karenanya al-Qur`an dan Sunnah Nabi merupakan satu-satunya tarkiz
rujukan dalam seluruh aktivitas perpolitikan
Ibnu Taimiyah dengan pendirian yang tegas menyatakan keharusan mendasarkan
aktivitas perpolitikan pada ajaran agama Syariah, dan keharusan membangun politik
berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi, maka praktik perpolitikanpun menjadi bersifat
integratif. Karena Ibnu Taimiyah percaya dan yakin bahwa ajaran agama Islam
diberbagai sektor manapun akan saling berhubungan dan tentunya akan membawa setiap
kalangan yang meyakininya menuju jalan kebaikan dan kemaslahatan umat.

 Teori Amanah dalam Politik menurut Ibnu Taimiyah


Keseluruhan pemikiran politik Ibnu Taimiyah dibangun berdasarkan teori amanah.
Berbeda dengan para pemikir politik Islam sebelumnya, Ibnu Taimiyah menjadikan
amanah sebagai suatu pembahasan tersendiri di dalam karyanya; al-Siyasah al-
Syar`iyah Fiy Islah al-Ra`i waal-Ra`iyah (Politik Berdasarkan Syari`ah Untuk
Kebaikan Pemimpin dan Rakyat). Dengan tertanamnya sikap amanah pada setiap
individu muslim, terutama para pemimpin, para pejabat, maka dengan sendirinya
akan berimplikasi lahirnya beberapa sikap positif, antaranya;
• Adil dalam menegakkan kebenaran berdasarkan fakta dan objektif,
• Komitmen pada aturan dan sistem,
• Disiplin dalam memenaj waktu dan kerja,
• Bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Ibnu Taimiyah mendasarkan teorinya kepada ayat al-Qur`an surat al-Nisa ayat 58.
Ayat ini memerintahkan umat Islam agar menyerahkan amanah kepada orang yang
berhak atau layak menerimanya. Dalam konteks ini, selanjutnya Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa menyerahkan, menunaikan amanah adaul amanah terbagi dalam
dua bagian; menunaikan amanah kekuasaan al-wilayah, dan menunaikan amanah
harta kekayaan al-amwal. Adapun penjelasan mengenai ketiga hal tersebut adalh
sebagai berikut.
1. Amanah Kekuasaan atau Al-Wilayah
Merujuk pada asbabun nuzul dari surat An-Nisa ayat 58 bahwa ketika Nabi
Muhammad saw. memperoleh kemenangan atas kota Mekkah fathu Mekkah pada
tahun ke 7 H. sebagai bukti kekuasaan berada di tangannya, Nabi kemudian
diserahi kunci Ka`bah oleh pimpinan Kabilah Syaibah yang selama ini
dipegangnya. Kemudian al-Abbas mengusulkan kepada Nabi agar urusan atau
jabatan penyediaan minuman untuk Jemaah Haji Siqayatul haj dijadikan satu
dengan urusan penggantian Kelambu Ka`bah Sadanatul Biyt, tetapi kemudian
tiba-tiba turun ayat 58 surat al-Nisa sebagaimana disebutkan di atas, maka Nabi
kemudian mengembalikan kunci Ka`bah tersebut kepada Kabilah bani Syaibah.
Dilihat dari ha tersebut maka dapat dipahami bahwa orang-orang yang
memiliki kelayakan dalam menduduki sebuah jabatan adaah orang-orang yang
ahli dalam hal tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Nabi Muhammad SAW.
“Siapa saja mengangkat atau memberi kekuasaan kepada seseorang, sementara
ada orang lain yang lebih layak aslah ketimbang dia, maka orang tersebut telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin.”
2. Amanah Harta Kekayaan Negara atau Al. Amwal
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa para penegak hukum agar mengembalikan
kepada para pemilik apa-apa yang diambil tanpa hak oleh para pejabat atau
pengeola. Demikian juga, Ibnu Taimiyah menetapkan larangan melakukan
rasywah (memberikan sogokan untuk pelicin proses) kepada para pejabat atau
orang-orang yang terkait hanya karena untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan tanpa melalui prosedur resmi yang sah. Demikianlah yang dinyatakan
oleh Ibnu Taimiyah dan menjadikan pernyataan tersebut sebagai sebuah
persyaratan untuk orang-orang yang akan mengurus atau mengelola harta negara.

Ibnu Taimiyah mendasarkan teori politiknya atas nash-nash al-qur’an dan hadits
sebagai otoritas tertinggi, sehingga beliau termasuk orang yang amat ketat dalam
menerapkan al-qur’an dan sunah berbagai bidang kehidupan, terumata dalam konteks
politik. Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang
diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin
hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintahan
merupakan syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk
menegakkan keadilan. Untuk itu, lembaga- lembaga dalam pemerintahan dan hukum
harus menekankan prinsip keadilan. Ibnu Taimiyah tidak tertarik pada negara dan
formasinya. Negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan
yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah
negara itu berbentuk khalifahan, monarki, atau pun republik. Ia lebih memilih meletakkan
keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, dibanding mempersoalkan
bentuk negara.

13. PEMIKIRAN POLITIK IBNU KHALDUN


 Teori Kemunculan Pemimpin Negara

Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memberikan penegasan bahwasanya hidup


bermasyarakat merupakan suatu kemestian dan keniscayaan (dharuriyyun) bagi
manusia, jika tidak maka eksistensi mereka dalam kehidupannya tidaklah sempurna,
dan tidak akan sempurna juga segala sesuatu yang menjadi kehendak Allah bagi
kehidupan manusia, diantaranya seperti memakmurkan alam dunia ini, serta
melakukan pembangunan khilafah di muka bumi ini, dalam arti melaksanakan
regenerasi manusia sebagai makhluk hidup yang mengemban amanah dalam rangka
membangun dan memakmurkan bumi ini untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Untuk itu, masyarakat manusia harus memiliki seorang pemimpin atau Sulthan (rais,
auw sulthan).

Masyarakat membutuhkan seseorang yang memiliki pengaruh dan dapat bertindak


sebagai penengah dan pemisah (al-wazi`) saat terjadi konflik atau terjadi perbedaan
kepentingan di tengah masyarakat, selain terkadang manusia memiliki watak agresif
dan tidak adil (zalim). Penangkal untuk menghalau hal-hal di atas ternyata tidak
datang dari luar, tetapi dari dalam diri masyarakat itu sendiri, yaitu seseorang yang
memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai penengah dan pemisah (al-wazi’).
Seseorang yang memiliki kemampuan sebagai penengah dan pemisah setidaknya
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Harus berasal dari masyarakat itu sendiri
2. Harus yang paling memiliki pengaruh dan wibawa di antara yang lain, dan
3. Harus mempunyai kekuasaan dan otoritas di atas mereka.

 Sumber Kebijakan Politik


Menurut Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu
negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik sosial-politik tertentu, yang
oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiayah. Karakteristik ini justru berada hanya
dalam kerangka kebudayaan desa. Oleh karena itu penguasaan atas kekuasaan dan
pendirian Negara, sehingga munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya
ashabiyah yang mengakibatkan melemahnya Negara.Ashabiyah adalah kekuatan
penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu Negara atau dinasti.
Bilamana Negara atau dinasti tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan
ashabiyah.
Ashabiyah mempunyai peran besar dalam perluasan Negara setelah sebelumnya
merupakan landasan tegaknya Negara tersebut. Bila ashabiyah itu kuat, maka Negara
yang muncul relatif terbatas. Ashabiyah bisa merupakan alat perjuangan, alat
penyerang dan bertahan. Dapat pula sebagai alat penyelesaian konflik antar golongan,
yakni bila konflik ini haris diselesaikan secara kekerasan. Dalam masyarakat menetap
tujuan terakhir Ashabiyah adalah Mulk, kekuasaan-wibawa yang pada akhirnya
melemahkan kemauan agar dituruti, kalau perlu dengan kekerasan. Pada tahap
selanjutnya, alat-alat kekuasaan termasuk Ashabiyah kurang memegang peranan
sebagaimana ia diperlukan untuk menegakkan kekuasaan itu di awal mula. Penguasa
dan orang-orang yang telah membantunya menegakkan kekuasaan itu mulai melihat
kepada hal-hal lain yang dirasakan lebih menarik, terutama kemewahan yang datang
tanpa dicari.

 Ashabiyah dan Kepemimpinan


Mengenai sosok pemimpin, menurut Ibnu Khaldun, seorang pemimpin haruslah
menjadi cerminan rakyatnya. Oleh karenanya, kriteria imam harus memenuhi empat
syarat yaitu intelektual, adil, sehat dan kapabilitas. Tingkat intelektual yang dimaksud
adalah tingkat pengetahuan yang membuat seorang pemimpin mampu bersikap
mandiri dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin juga harus adil
karena ia berhadapan dengan persoalan penegakkan keadilan dalam masyarakat.
Kapabilitas artinya, seorang pemimpin harus memiliki kesanggupan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang yang
dibebankan implementasinya kepada pemimpin, termasuk kemampuannya untuk
berperang sekalipun, memahami kondisi aktual masyarakat dan negaranya, dan yang
demikian secara langsung ia melindungi agamanya, berjihad melawan musuh,
menegakkan hukum dan memahami kepentingan umum. Seorang pemimpin juga
harus terbebas dari cacat fisik yang menyebabkan pemimpin tersebut tidak mampu
melaksanakan tugasnya, seperti bisu, tuli buta dan cacat fisik lainnya yang sekiranya
dapat mengganggu seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa seorang pemimpin sebaiknya berasal dari
keturunan Quraisy. Syarat ini pun hingga kini masih mengundang perdebatan. Ibnu
Khaldun ternyata tidak memaknai syarat tersebut secara etimologis-dogmatis,
melainkan ia lebih mengedepankan analisis sosial-historis. Menurutnya, Kaum
Quraisy dinilai memiliki kesanggupan sebagai pemimpin yang adil, amanah, jujur,
intelek, dan bertanggung jawab yang mana prototipe ini hanya dimiliki suku Quraisy.
Sehingga, pada waktu itu merupakan hal yang wajar bila menganggap suku Quraisy
sebagai sosok ideal seorang pemimpin.
Dengan demikian, jika kepemimpinan diserahkan kepada kaum Quraisy kecil
kemungkinan akan terjadi disintegrasi dan konflik. Meski dengan perkembangan
zaman persyaratan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan, tetapi nilai esensinya
tetap sama dan masih bisa digunakan sebagai indikator dalam memilih sosok
pemimpin ideal. Dalam hal ini, apabila persyaratan kepribadian tersebut telah dimiliki
seseorang di luar suku Quraisy, maka ia berhak untuk memperoleh kepercayaan
sebagai pemimpin umat.

Anda mungkin juga menyukai