Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka

membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

merupakan faktor yang penting dalam membangun sumber daya manusia Indonesia

yang seutuhnya. Tuntutan global yang menuntut kesehatan merupakan salah satu

aspek yang mesti diperhatikan dalam human investment. Globalisasi bagi Indonesia

berarti menuntut kesiapan diri optimal untuk mampu bersaing dengan negara lain.

Daya saing tersebut bisa dikembangkan, salah satunya, dengan pengembangan

kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang mana salah satunya yaitu melalui

sektor kesehatan.

Pembangunan kesehatan secara berkesinambungan telah dimulai sejak

dicanangkannya Repelita I pada tahun 1969 yang secara nyata telah berhasil

mengembangkan berbagai sumber daya kesehatan, serta melaksanakan upaya

kesehatan yang berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Krisis

ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 cukup mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat. Krisis ekonomi menyebabkan segenap risorsis yang kita miliki

menjadi terbatas, termasuk risorsis untuk penyelenggaraan usaha-usaha kesehatan.

Sehingga diperlukan keterlibatan langsung masyarakat untuk berpartisipasi aktif


dalam pembangunan kesehatan. Visi “Indonesia Sehat 2010” yang dicanangkan awal

tahun 1999 merupakan langkah baru untuk semakin mengembangkan upaya

kesehatan yang semakin komprehensif yang melibatkan seluruh pihak baik negara,

masyarakat, dan swasta.

Pembangunan kesehatan dan upaya kesehatan tidak bisa dilepaskan dari peran

pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana dan prasarana kesehatan. Namun,

tentu saja penyediaan sarana dan prasarana kesehatan ini tidak bisa terlepas pula dari

ketersediaan dana pemerintah yang memadai. Pembangunan kesehatan yang

komprehensif yang menuntut keterlibatan semua pihak, membuat pemerintah mesti

berpikir untuk merangsang partisipasi aktif semua pihak. Partisipasi itu tentu saja

berupa keikutsertaan dalam penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang

memadai. Pemerintah dengan regulasinya mesti menunjang hal tersebut. Namun,

tentu saja tidak cukup sekedar penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, tetapi juga

kesadaran masyarakat dalam memelihara kesehatannya.

Pembangunan kesehatan juga berperan penting dalam membangun manusia

sebagai sumber daya pembangunan. Derajat kesehatan masyarakat yang tinggi

menjadi investasi sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Derajat kesehatan masyarakat yang tinggi akan meningkatkan produktivitas dan

kreativitas tenaga kerja dalam menghasilkan barang, jasa, dan karya-karya yang

bermutu dan inovatif. Profil Kesehatan Indonesia 2000 (Depkes RI, 2001)

menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakat Indonesia memang mengalami

2
peningkatan, namun dibandingkan dengan negara-negara tetangga masih relatif

rendah.

Di dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang optimal. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting

dalam meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Untuk

mencapai kondisi tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang

memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang

dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan

sebagai tempat pelayanan kesehatan, di mana di antaranya berupa pusat kesehatan

masyarakat (puskesmas). Puskesmas adalah penanggung jawab penyelenggara upaya

kesehatan untuk jenjang tingkat pertama. Untuk menjangkau seluruh wilayah

kerjanya, puskesmas diperkuat dengan puskesmas pembantu (pustu) serta puskesmas

keliling (pusling). Selain itu, untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan,

puskesmas dilengkapi dengan fasilitas rawat inap.

Pada saat ini puskesmas telah didirikan di hampir seluruh pelosok tanah air.

Untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, puskesmas diperkuat dengan

puskesmas pembantu serta puskesmas keliling. Jumlah puskesmas di Indonesia

sampai dengan akhir tahun 2009 sebanyak 8.737 unit dengan rincian jumlah

puskesmas perawatan 2.704 unit dan puskesmas non perawatan sebanyak 6.033 unit.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk

3
terhadap puskesmas adalah rasio puskesmas per 100.000 penduduk. Dalam kurun

waktu 2005 hingga 2009, rasio ini menunjukkan adanya peningkatan. Rasio

puskesmas per 100.000 penduduk pada tahun 2005 sebesar 3,50 pada tahun 2009

meningkat menjadi 3,78 (Profil kesehatan indonesia, 2009).

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat di

puskesmas, beberapa puskesmas non perawatan telah ditingkatkan statusnya menjadi

puskesmas perawatan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2005-2009

telah terjadi peningkatan jumlah puskesmas perawatan dari 2.077 unit pada tahun

2005 menjadi 2.704 unit pada tahun 2009 (Profil kesehatan indonesia, 2009).

Upaya kesehatan yang dilakukan masih belum mampu secara efektif dalam

rangka mengatasi permasalahan kesehatan yang ada selama ini. Maka diperlukan

kebijakan pembangunan kesehatan yang dinamis dan proaktif dengan melibatkan

semua sektor terkait baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Keberhasilan

pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kinerja sektor kesehatan semata,

melainkan juga sangat dipengaruhi oleh interaksi yang dinamis dari berbagai sektor.

Salah satu kendala dalam pembangunan kesehatan adalah keterbatasan anggaran yang

bersumber daerah, oleh karena itu dalam peningkatan pelayanan kesehatan perlu

dipikirkan penggalian sumber anggaran dan pengelolaannya untuk menuju ke arah

mandiri.

Pengelolaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu masalah yang perlu

mendapatkan porsi besar dari seluruh perhatian kita terhadap pembangunan

kesehatan. Persoalan kualitas pelayanan kesehatan masih menjadi isu yang penting

4
untuk diperhatikan, seperti masih belum meratanya pelayanan puskesmas, rendahnya

kualitas dan ketidaksesuaian SDM, persoalan biaya pengobatan, belum lengkapnya

sarana dan prasarana di Puskesmas, dan persoalan kemandirian Puskesmas dalam

melakukan pengelolaan pelayanannya.

Salah satu sasaran pembangunan kesehatan adalah peningkatan mutu

pelayanan kesehatan dan keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan oleh

masyarakat. Dengan demikian diharapkan masyarakat, terutama di daerah perdesaan

dan daerah-daerah terpencil dapat memanfaatkan sarana kesehatan.

Menurut Pedoman Kerja Puskesmas Departemen Kesehatan RI, Puskesmas

adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat

pengembangan kesehatan masyarakat, yang juga membina peran serta masyarakat,

memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Puskesmas juga membina dan membantu

pelayanan yang diselenggarakan oleh masyarakat seperti Posyandu yang berada di

wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes nomor 128 tahun 2004, peran puskesmas

adalah sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian

wilayah kecamatan. Sedangkan fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat pembangunan

berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat, serta pusat

pelayanan kesehatan yang melayani masyarakat dan perorangan.

Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas sebagai pusat pelayanan

kesehatan masyarakat menjadi faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga

5
dan individu. Puskesmas menjadi pilihan utama rumah tangga di perdesaan karena

keberadaaan puskesmas ditemukan hampir di setiap kecamatan, bahkan hingga di

tingkat desa/kelurahan di mana juga terdapat pustu (SMERU, 2008: 27).

Sejak dikenalkan konsep Puskesmas tersebut pada tahun 1968, telah tampak

berbagai perbaikan, terutama dalam hal penurunan angka kematian ibu dan bayi serta

adanya peningkatan angka harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia. Namun

demikian, masih terjadi adanya disparitas status kesehatan (RPJMN 2010-2014).

Dalam dokumen RPJMN 2010-2014, walaupun secara nasional, kualitas kesehatan

masyarakat mengalami peningkatan, namun terdapat disparitas status kesehatan antar

tingkat status sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar wilayah perkotaan-perdesaan

yang cukup tinggi. Angka kematian bayi dan balita pada golongan termiskin hampir

empat kali lipat dibanding pada golongan terkaya. Angka kematian ibu dan bayi lebih

tinggi di perdesaan, juga di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan

tingkat pendidikan rendah. Persentasi anak balita yang berstatus gizi kurang dan

buruk di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan.

Demikian juga dengan cakupan imunisasi pada golongan miskin lebih rendah

daripada golongan kaya. Menilik kondisi tersebut, kebijakan pembangunan kesehatan

di antaranya diarahkan pada pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan

dasar.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pemanfaatan fasilitas kesehatan masih

relatif perlu peningkatan. Demikian juga bagi anak balita, pemanfaatan fasilitas

kesehatan tentu saja diperlukan untuk peningkatan status kesehatan anak balita,

6
terutama dalam rangka penurunan angka kematian bayi dan balita. Penurunan angka

kematian bayi dan balita masih merupakan salah satu prioritas pembangunan

kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-

2014.

Dalam laporan hasil Riskesdas Nasional 2007 terungkap bahwa salah satu

penyebab disparitas status kesehatan adalah adanya persoalan akses dan utilitas

layanan kesehatan oleh masyarakat. Persoalan akses umumnya terkait dengan jarak

dan waktu tempuh tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk mengakses

sarana pelayanan kesehatan rumah sakut, puskesmas, pustu, dokter praktik dan bidan

praktik (sarana yankes), sebanyak enam persen rumah tangga berada lebih dari 5 km

dari lokasi tersebut. Dari segi waktu tempuh ke sarana yankes, sebanyak 67,2 persen

dapat mencapainya kurang atau sama dengan 15 menit, sebanyak 23,6 persen dapat

mencapainya antara 16-30 menit, dan 9,2 persen yang memerlukan waktu lebih dari

30 menit. Yang lebih mengejutkan, ternyata penggunaan layanan kesehatan rawat

jalan di puskesmas dalam satu tahun terakhir hanya sebesr 1,3 persen.

Musadad, dkk. (1997) mengungkapkan bahwa masih terdapat sekitar 37,9

persen balita yang mengalami keluhan sakit namun tidak mencari atau mendapatkan

pengobatan medis. Dari total balita yang mengalami sakit atau mengeluh sakit, 21,6

persen melakukan pengobatan sendiri, 4,7 persen diobati oleh dukun tradisional, dan

11,8 persen tidak melakukan tindakan apapun. Pemanfaatan fasilitas kesehatan

dipengaruhi oleh keberadaan tempat persalinan, status imunisasi, jarak ke fasilitas

kesehatan, rendahnya melek media massa, dan lama waktu mengalami keluhan sakit.

7
Strauss, et.al. (2004) mengungkapkan terjadi penurunan dalam pemanfaatan

semua jenis fasilitas kesehatan oleh balita dari sekitar 60 persen lebih pada tahun

1997 menjadi sekitar 55 persen lebih pada tahun 2000 (penurunan 5,3 persen bagi

balita laki-laki dan 7,5 persen bagi perempuan). Penurunan yang cukup besar terjadi

dalam pemanfaatan pelayanan posyandu oleh balita dari 52 persen di tahun 1997

menjadi 40 persen di tahun 2000. Penurunan tersebut terjadi di perdesaan dan

perkotaan, di mana penurunan terbesar terjadi di perdesaan. Justru terjadi kenaikan

pada pemanfaatan praktik kesehatan swasta, yaitu pada perawat praktik dan bidan

praktik swasta.

Dalam laporan hasil Riskesdas Nasional 2007 menyebutkan bahwa rendahnya

pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara

lain:

(1) menurunnya daya beli masyarakat;

(2) menurunnya minat masyarakat untuk berobat ke puskesmas karena:

a. merasa tidak puas dengan pelayanan;

b. merasa tidak puas dengan kualitas obat;

c. tarif pelayanan;

(3) akses geografis ke sarana pelayanan sulit.

Di samping itu ada perubahan paradigma pelayanan yang menempatkan

pengguna sebagai pelanggan, dan petugas pemberi pelayanan kesehatan adalah

pemberi pelayanan, sehingga pelanggan mempunyai posisi tawar yang lebih baik, dan

mereka dapat memilih pelayanan kesehatan yang paling dipercayainya (Trisnantoro,

8
2000) dalam Susanto dan Hasanbasri (2006: 2). Hasil studi kualitatif yang dilakukan

Triratnawati (2006) pada Februari dan Maret 2000 pada puskesmas di Kabupaten

Purworejo, mengindikasikan adanya under-utilization puskesmas di wilayah tersebut.

Permasalahan yang dijumpai anatara lain (1) sedikitnya jumlah kunjungan pasien

setiap hari; (2) adanya pasien yang tidak dapat dilayani karena ketiadaan dokter pada

saat jam kerja atau singkatnya jam pelayanan di puskesmas; dan (3) lamanya waktu

menunggu sebelum mendapatkan pelayanan oleh tenaga medis dan/atau paramedis.

Selain itu, terdapat persepsi di masyarakat, bahwa puskesmas hanya melayani

penyakit-penyakit ringan seperti influenza, batuk, demam atau penyakit pada balita.

Andersen (1974) yang dikutip Notoatmodjo (2007b), menjelaskan bahwa

keputusan seseorang memanfaatkan pelayan kesehatan tergantung pada 3 komponen,

yaitu komponen predisposing, enabling dan need. Nilai pemanfaatan puskesmas

sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat dan kegiatan sumber daya manusia.

Addani (2008) dalam penelitiannya mengatakan, rendahnya angka pemanfaatan

puskesmas dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor masyarakat sebagai

pengguna pelayanan kesehatan maupun faktor puskesmas itu sendiri sebagai penyedia

pelayanan kesehatan.

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, puskesmas belum dimanfaatkan

secara maksimal. Keadaan ini dapat dilihat dari data provinsi yang kunjungan ke

puskesmas kurang dari 6 % antara lain : Sumatera Utara (5.8 %), Banten (5,7 %),

Kalimantan Tengah (5.7 %) dan Riau (5.5 %). Banten, Sumatera Utara dan Riau

mempunyai wilayah yang luas, kebanyakan penduduk dipedesaan kurang memanfaatkan

9
fasilitas kesehatan modren yang ada. Kemungkinan besar karena masalah terbatasnya

fasilitas yang ada dan jarak fasilitas yang cukup jauh berdasarkan susenas (2005) dalam

Purba (2009).

Hal ini sesuai dengan penelitian Hasibuan (1993) dalam Siregar (2004) yang

menyatakan bahwa pemerataan pelayanan yang belum baik, mutu pelayanan yang belum

optimal sehingga belum mampu memuaskan masyarakat, inefisiensi dan inefektivitas,

pola pembiayaan dan pelayanan yang kurang baik, mutu sumber daya manusia yang

memberikan pelayanan masyarakat masih rendah, ketersediaan dan bahan peralatan yang

kurang dan tidak sesuai dengan penggunaannya.

Sedangkan menurut Trimurthy (2008) menyatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan tergantung pada

pengetahuan apa yang ditawarkan dalam pelayanan, bagaimana, kapan, oleh siapa dan

dengan biaya berapa pelayanan kesehatan dapat diperoleh. Jadi pemanfaatan pelayanan

kesehatan dipengaruhi oleh permintaan, sikap dan pengalaman mereka.

Kondisi pendidikan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam

mengukur tingkat pembangunan manusia suatu negara. Melalui pengetahuan, pendidikan

berkontribusi terhadap perubahan perilaku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam

mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat (Profil kesehatan indonesia,

2009)

Pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat terhadap

kesehatan. Jika masyarakat tahu apa saja pelayanan puskesmas, maka kemungkinan

10
masyarakat akan menggunakan pelayanan kesehatan juga akan berubah seiring dengan

pengetahuan seperti apa yang diketahuinya (Notoatmodjo, 2007). Namun pemanfaatan

pelayanan puskesmas harus didukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap

seperti penelitian Lubis (2006) dalam Hasibuan (2008) yang mengatakan bahwa semakin

lengkap fasilitas maka semakin tinggi tingkat pemanfaatan pelayanan puskesmas.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka ingin dirumuskan permasalahan bagaimana

pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan di Puskesmas di Indonesia.

Adapun rumusan pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. bagaimana pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan di Puskesmas di

Indonesia?

2. bagaimana faktor-faktor perilaku terkait faktor predisposisi, pemungkin dan

kebutuhan dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan di

Puskesmas?

3. Bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan rawat jalan di Puskesmas di Indonesia?

Penelitian ini ingin menggunakan data-data yang betul-betul mendalam dan

komprehensif seperti yang dimiliki Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau Survei

Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI). Penelitian ini mencoba

untuk melakukannya dengan memanfaatkan data IFLS tahun 2007. Dalam IFLS,

instrumen yang digunakan memungkinkan adanya data yang betul-betul mendalam

11
mengenai aspek kehidupan rumah tangga dan masyarakat, termasuk di antaranya

aspek kesehatan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dari studi ini diharapkan dapat melihat tren

pemanfaatan pelayanan kesehatan di Indonesia dan dapat mengidentifikasi faktor-

faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat melakukan pelayanan kesehatan.

Sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan alternatif-alternatif rekomendasi kebijakan

yang dapat dilakukan terkait peningkatan pemanfaatan dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan di Indonesia.

Bagi pembuat kebijakan, dapat menjadi acuan dalam menentukan arah dan

sasaran kebijakan publik, khususnya di bidang kesehatan. Bagi pihak penyedia

pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dapat menjadi acuan dalam

peningkatan kualitas pelayanannya.

Studi-studi administrasi negara yang memanfaatkan data-data dari suatu

survei boleh dikatakan sangat jarang dilakukan. Diharapkan dengan adanya studi ini

dapat merangsang minat para mahasiswa lain -dari semua level- khususnya

mahasiswa administrasi publik, untuk memanfaatkan data-data survei.

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

12
Bab I Pendahuluan

Bab II Tinjauan Pustaka, Kerangka Konsep, dan Definisi Operasional

Bab III Metodologi Penelitian

Bab IV Analisis dan Pembahasan

Bab V Penutup: Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I adalah pengantar yang akan

menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan. Bab II adalah tinjauan pustaka, kerangka konsep, dan definisi

operasional yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian. Bab III adalah bagian

mengenai metodologi penelitian, terkait dengan desain penelitian, lokasi penelitian,

populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, unit analisis, serta alat

penelitian dan analisis data. Bab IV adalah analisis data yang berisi gambaran umum

mengenai pemanfaatan rawat jalan di Puskesmas. Bab IV juga memaparkan hasil

analisis bivariat dan multivatriat tentang pemanfaatan rawat jalan di Puskesmas.

Kemudian pada bagian akhir Bab IV akan dibahas mengenai hasil analisis tersebut.

Dan terakhir adalah Bab V yang merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran

atas hasil penelitian. Bab ini berisi kesimpulan hasil analisis yang didapatkan dari

penelitian sebagai jawaban atas tujuan penelitian, saran yang disampaikan sebagai

sumbangan pemikiran, dan keterbatasan dari penelitian yang dilakukan.

13

Anda mungkin juga menyukai