Anda di halaman 1dari 7

Untuk Antologi

Ide : Keluarga
Tema : Broken Untuk Tumbuh
Judul : Ketika Kembali Bersama
Ketika Kembali Bersama
Pohon randu tua itu masih berdiri kokoh di depan rumah sederhana berwarna
coklat muda. Kursi bambu yang terdapat di bawahnya menandakan pohon ini adalah
tempat bersantai yang sangat disukai oleh penghuni rumah. Sore ini pada saat langit di
sebelah barat sudah dipenuhi oleh warna jingga, di kursi bambu di bawah pohon randu
tersebut duduk seorang laki-laki paruh baya dengan ditemani secangkir kopi hitam yang
sudah tidak terlihat lagi hangatnya.
Entah apa yang ada dipikiran laki-laki itu saat ini, yang pasti ia sangat
menikmati kesendiriannya, ia merasa nyaman dengan situasi sekarang ini. Sendiri, sepi
dan tidak seorangpun yang perduli dengan keadaannya. Sampai suatu keadaan laki-laki
itu terperanjak ketika seorang gadis dengan rambut kucir kudanya datang dan menepuk
lembut pundaknya.
“Yah, kita masuk,” ajaknya pada laki-laki tersebut. Sesaat laki-laki yang
dipanggil Ayah oleh gadis tersebut tidak memperdulikannya. Laki-laki tua itu tetap
memandang ke langit barat yang sudah mulai pudar warnanya. Tidak menghiraukan
adanya orang lain bersamanya. Sampai akhirnya gadis itu mengulang lagi
permintaannya.
“Yah, ayo masuk. Ibu sudah menunggu di rumah.”
Seketika laki-laki itu mengalihkan pandangannya. Kali ini mata tua yang
terlihat teduh itu menatap erat gadis yang ada dihadapannya. Seakan minta kepastian.
“Ibumu sudah pulang?” tanya laki-laki itu dengan gembira.
Gadis itu hanya menganggukkan kepala. Terlihat ia enggan untuk menjawab
pertanyaan laki-laki tua tersebut. Sebelum dusta yang dikarangnya ketahuan secepatnya
laki-laki tua yang masih duduk di kursi bambu tersebut di bantunya berdiri dan
dipapahnya memasuki rumah sederhana berwarna coklat tempat pohon randu tersebut
tumbuh dengan gagahnya.
“Ibumu pulang dengan siapa? Kenapa kau tidak memberitahuku tadi. Akukan
bisa menjemputnya di tempat biasa,” protes laki-laki itu sambil berjalan dalam
bimbingan si gadis. Kaki kanannya yang lemah karena derita stroke yang menderanya
tiga tahun yang lalu, membuat kemampuan anggota badan sebelah kanannya melemah.
Laki-laki itu berjalan harus di bimbing agar tidak terjatuh. Dan gadis dengan rambut
ekor kuda itulah yang selalu setia membantunya berjalan.
“Ayah, mandi dulu. Ibu tadi bilang dengan Gayatri pergi sebentar membeli
putu bambu kesukaan Ayah.”
Kembali dusta yang diucapkan gadis yang bernama Gayatri tersebut. Bukan
karena ia inginkan tapi lebih tepatnya karena ia tidak punya cara lagi untuk membawa
Ayah kembali pada realita yang ada. Bahwa saat ini, di rumah sederhana ini hanya ada
ia dan Ayah tanpa ada Ibu bersama mereka.
***
Januari, 2016
Pagi belum muncul dengan sempurna, matahari penanda mulainya pagi masih
bersembunyi malu di langit timur. Hanya kokok ayam dan suara muratal Al Qur’an dari
masjid dekat rumah yang menandakan pagi akan menghampiri alam yang masih terlihat
gelap. Gayatri masih setengah sadar ketika sayup-sayup ia mendengar suara perdebadan
di kamar sebelah. Dengan tingkat kesadaran yang belum sempurna, Gayatri melihat jam
yang tergantung di sisi kanan kamarnya.
“Masih jam 04.45? Kenapa Ayah dan Ibu berisik sekali?” Sebuah tanya dalam
hati memaksa Gayatri keluar dari kamarnya.
“Aku sudah capek hidup seperti ini.” Terdengar suara Ibu dengan lantang dari
dalam kamar tidur mereka. Gayatri yang sudah berada di depan pintu kamar terpaksa
menyimak dengan baik apa yang sedang diperdebatkan oleh orang tuanya.
“Sabarlah. Aku pun sedang berusaha memenuhi impianmu.” Sekarang suara
Ayah yang terdengar. Tidak seperti Ibu yang berbicara dengan lantang, Ayah mampu
mengontrol perkataannya sehingga terkesan tidak emosi.
“Sudah lima tahun aku memberi kesempatan padamu. Tapi apa yang kudapat?
Aku sudah bosan mengurusmu, rumah ini dan anakmu!” Kali ini suara Ibu sudah tidak
terkontrol lagi volumenya. Sejenak Gayatri mencoba memahami makna dari perkataan
yang barusan didengarnya. Belum sempat otak anak-anaknya menganalisa apa yang
didengarnya, seketika pintu kamar terbuka. Terlihat Ibu keluar terburu-buru dengan
membawa satu tas besar berisi pakaian, dan dibelakangnya berdiri Ayah yang berupaya
untuk mencegah. Gayatri yang masih belum mengerti tentang kejadian pagi ini hanya
memandang Ibu yang berlalu pergi. Sementara Ayah hanya terpaku di depan pintu
rumah tanpa melakukan apapun.
“Ibu pergi kemana, Yah?” tanya Gayatri dua hari setelah kepergian Ibu. Itupun
ada keraguan untuk bertanya dengan Ayah.
Sejenak Ayah terdiam, ada semacam kecewa yang teramat besar dari raut
wajahnya. Seketika Ayah menjadi lebih tua sepuluh tahun dari seharusnya. Beliau
menyimpan beban itu sendiri, ia tidak ingin berbagi dengan Gayatri. Walau Gayatri
belum bisa membantu meringankan masalah Ayah, setidaknya dengan bercerita beban
yang Ayah pikul bisa berkurang.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan sekarang sudah hampir
empat bulan Ibu tidak pulang ke rumah ini. Gayatri hanya tinggal bersama Ayah. Dan
selama itu, tidak sekalipun Gayatri mengetahui apa sebab Ibu pergi meninggalkan
dirinya dan Ayah. Apa salah dirinya sehingga pada hari itu ia mendengar, bahwa ibu
sudah lelah mengurus rumah, Ayah dan dirinya. Seperti apa beban yang dipikul Ibu
sehingga mengatakan hal tersebut? Sampai genap dua tahun kepergian Ibu itu masih
menjadi misteri buat Gayatri.
Hujan yang turun sejak pagi masih meninggalkan sisa pada rerumputan yang
dilalui Gayatri. Gadis yang sekarang sudah berusia 17 tahun ini terlihat semakin
memancarkan pesona kecantikannya. Hari ini Gayatri sengaja menghabiskan minggu
paginya dengan berjalan di sekitar taman kota yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Kelelahan belajar sambil mengurus rumah dan merawat Ayah sejenak terbayarkan
dengan menikmati rimbunnya pepohonan dan segarnya udara. Kunjungannya di sini
selalu disempatkannya setidaknya dua atau tiga kali dalam satu bulan. Jika dilihatnya
keadaan Ayah cukup memungkinkan untuk ditinggalkan.
“Gayatri!” Sebuah suara khas yang sangat dikenali Gayatri memaksa gadis itu
menghentikan langkahnya. Terpaku seperti kehilangan tenaga untuk melihat dan
memastikan pemilik suara itu apakah sama seperti dugaannya.
“Kamu Gayatrikan?” Kini suara itu teramat dekat dengannya. Namun, Gayatri
tidak punya keberanian untuk melihat dengan pasti orang yang sudah menyapanya.
Seketika udara di sekitar menjadi sesak, kadar oksigen yang seharusnya cukup untuk
membantunya bernapas lega sekarang berkurang banyak, sehingga dadanya terasa sesak
dan keringan dingin mengalir pada dahi putih yang tertutup oleh jilbab segi empar
berwana marun.
“Ibu...” lirih Gayatri akhirnya bersuara setelah menatap perempuan yang tepat
berada dihadapannya. Perempuan yang sudah hampir dilupakan dari kehidupan,
perempuan yang membuat Ayah menjadi seperti mayat hidup, terserang stroke, dan
tidak mau berjuang untuk kembali sehat. Perempuan ini menghancurkan hampir
setengah dari kebahagian yang dulu dimiliki oleh Gayatri dan Ayah. Namun, sebenci
apapun rasa yang disematkan Gayatri untuk perempuan ini tetap Gayatri tidak lari dan
menjauh. Saat ini adalah kesempatan untuk menjawab semua rasa penasarannya kepada
perempuan yang sempat dipanggilnya Ibu.
“Apa kabar kalian?” tanya perempuan itu. Gayatri tidak menjawab, hanya
menatap heran pada perempuan berusia awal empat puluh yang masih terlihat cantik.
Pertanyaan itu tidak seharusnya ditanyakan pada Gayatri setelah empat tahun
menghilang, jadi pertanyaan itu hanya sebuah basa basi dan terkesan ejekkan buat
Gayatri.
“Ayah tidak pernah mau menjelaskan padaku apa sebabnya Ibu meninggalkan
kami. Karena Ibu di sini, aku minta Ibu menjelaskannya padaku,” pinta Gayatri pada
perempuan yang dipanggilnya Ibu. Terlihat perempuan itu berpikir, ada perasaan
menyesal pada wajahnya yang masih sedikit kerutan. Walau tidak ingin membuka luka,
namun gadis ini harus tahu keadaan yang sebenarnya.
“Memutuskan menikah dengan Ayahmu dulu ada sebuah impian yang ingin ku
wujudkan. Yaitu ingin merasakan hidup yang mapan. Ayahmu bukan tidak mampu, ia
punya kesempatan tapi tidak mau mengambilnya. Alasannya bagiku terlalu klise.
Zaman sekarang tidak ada yang dilakukan secara gratis, semuanya ada yang harus kita
berikan untuk mendapatkan sesuatu. Itu yang tidak mau dilakukan oleh Ayahmu.”
Sebuah kisah diceritan oleh Ibu dan tetap tidak mampu membuat Gayatri memahami
perpisahan Ibu dan Ayah.
“Ayahmu terlalu jujur Gayatri. Aku tidak bisa bertahan hidup dengan orang
seperti itu. Aku ingin lebih Gayatri, aku bukan hanya puas dengan uang bulanan yang
diberikan oleh Ayahmu, aku ingin aksis, aku ingin diakui dan aku menuntut lebih pada
Ayahmu. Dan itu tidak mampu diberikannyanya.”
“Apa yang tidak diberikan Ayah kepada Ibu?” tanya Gayatri dengan nada
kecewa. Ternyata uang bulanan yang hampir mendekati angka sepuluh juta waktu itu
sama sekali tidak memuaskan Ibu. Sungguh sangat serakah perempuan ini.
“Ayahmu salah satu kandidat terkuat untuk menjadi kepada cabang, untuk
mendapatkan tentu ada yang harus kita berikan pada orang-orang yang akan
memutuskan. Itu yang tidak diinginkan Ayahmu, laki-laki itu terlalu jujur. Jika itu yang
selalu menjadi prinsip Ayahmu, impianku sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud.
Jadi lebih baik aku pergi dan mencari orang yang bisa mewujudkan mimpiku. Dan
sekarang aku sudah menemukannya.”
Dengan kesombongan yang sempurna perempuan itu meninggalkan Gayatri.
Tidak ada sedikitpun perasaaan menyesal dari kisah yang diceritakannya. Sampai
perempuan itu meninggalkan Gayatri tidak ada permintaan maaf yang disampaikannya
untuk Ayah. Semua yang dilakukannya seakan adalah hal yang lumrah.
Setelah mengetahui rahasia yang selama empat tahun ini tidak pernah terjawab
setiap ia bertanya dengan Ayah, akhirnya Gayatri hanya bisa bersyukur perempuan itu
akhirnya pergi dari kehidupan mereka. Baru kali ini Gayatri merasa sebuah berkah yang
luar biasa yang diterima Gayatri. Tidak lagi disesalinya kehidupan yang dijalaninya
sekarang, tidak akan pernah ia kecewa dengan keadaaan Ayah sekarang. Justru dengan
keterbatasan yang dimiliki Ayah sekarang, laki-laki itu tetap pahlawan dimatanya.
Ayahnya mengajarkan satu hal kepadanya, bahwa kejujuran itu mutlak dan harus dijaga
walau akhirnya kita harus kehilangan cinta dari seseorang yang sangat berarti dalam
hidup kita. Bagi Ayah kehilangan cinta Ibu tidak akan mempengaruhi apapun,
dibandingkan kehilangan cinta dari Tuhan karena ketidak jujuran kita.
Saat ini yang ingin dilakukan Gayatri adalah berlari pulang dan memeluk
Ayah. Tidak ada lagi penyesalan yang dirasakan karena ditinggal Ibu, justru jika pada
waktunya nanti Ibu meminta untuk kembali bersama ia dengan pasti akan mengatakan.
“Kami justru lebih bahagia jika Ibu tidak bersama kami.”
Gayatri memantapkan hatinya untuk kembali menata hati dan harinya untuk
lebih menyintai dirinya, Ayah dan kehidupan mereka sekarang ini. Tidak ada lagi sesal
yang selalu disematkan Gayatri untuk Ayah, mulai sekarang ia akan lebih menghargai
arti kehidupannya sekarang. Gayatri ingin kembali bersama Ayah merasakan cinta yang
sebenarnya, berjuang bersama untuk mewujudkan bahagia bersama.
BIOGRAFI

Dahliana anak pertama dari pasangan pendidik. Lahir pada tanggal 29 Mei
1976 di kota Pekanbaru. Menulis adalah salah satu cara yang digunakan untuk berbagi
pengalaman, ilmu dan kisah hidup. Menulis juga adalah terapi jiwa, mengatasi sedih
dengan kisah, berbagi bahagia dengan kata. Sudah memiliki beberapa antologi dan satu
buku solo berupa kumpulan cerpen dengan judul Beda Langit. WA : 081371900243,
email : dahliana.2905@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai