Anda di halaman 1dari 12

Ide : Percintaan / Romance

Tema : Perjalanan Menemukan Cinta Sejati


Judul : Find To Someone
Find To Someone
Prolog
Diandra masih diam terpaku. Mulutnya terbuka sedikit, tatapan matanya hampa
dan yang paling kontras akan ketidaknyamanan Diandra adalah keringat dingin yang
mulai terlihat dibagian dahi putihnya.
Tidak semudah ini bagi Diandra untuk berjumpa kembali dengan Dedy -- nya.
Apa masih pantas makna kepemilikan itu dipergunakan untuk laki-laki tinggi jangkung
ini? Setelah lebih dari tiga purnama mereka.terpisah oleh sebuah keadaan.
"Apa kabarmu, Yang." Seringan itu ia menyebutnya. Seringan beban yang
terlihat tidak ada didalam kehidupannya.
"Jangan melotot begitu! Nanti kau kembali jatuh cinta padaku." Kali ini
disertai tawa yang sangat di sukai Diandra.
Diandra mencoba menguasai dirinya. Membuat tenang debaran di dada yang
masih ada, menjaga agar keringat dinginnya tidak mengalir deras dan menata agar
kalimat yang keluar dari bibirnya dalam nada yang tenang dan datar.
"Aku harus bicara denganmu!"
"Untuk apa? Sudah tidak ada lagi yang perlu kau bicarakan!" Kali ini Diandra
mencoba untuk tidak berteriak, walau sebenarnya ia sangat ingin berteriak sekeras
mungkin sekarang.
"Aku tidak ingin kau salah paham terus kepadaku!" Lagi-lagi ia sedemikian
yakinnya.
"Ded! Semua sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Pernikahanmu dengan Naomi
sudah merupakan bukti, bahwa kau bukan laki-laki yang bisa bertanggung jawab. Kau
setan, hantu, demit dan semua yang jelek yang ada dimuka bumi ini adalah simbol bagi
dirimu saat ini."
Entah dari mana kekuatan itu muncul. Yang pasti, saat ini Diandra merasa
sedikit lega karena sudah menumpahkan semua beban didadanya.
"Kau tidak bisa menjaga hati yang kutitipkan padamu. Kau tidak pantas untuk
ku perjuangkan dan kau tidak layak untuk menjadi laki-laki yang bisa diandalkan!
Semuanya sudah usai Ded, usai ketika kau pergi dari sisiku tanpa penjelasan dan tanpa
aku tahu salahku padamu!"
Akhirnya Diandra menyelesaikan semuanya dengan singkat. Tidak ia pandang
lagi Dedy yang ingin bersuara, tidak dilihatnya bagaimana ekspresi penuh sesal dari
laki-laki kebanggaannya dulu. Semuanya sudah usai. Tidak ada yang perlu ditangisinya
saat ini, jika Dedy bukan seseorang untuknya. Kaki ini akan membawanya melangkah
menghampiri takdir yang sudah digariskan Tuhan nanti kepadanya. Dimana? kapan?
dan siapa biarlah menjadi rahasia Tuhan saja.
Bab I
Tanah Perjuangan

“Yakin mau diambil?" tanya Papa kepada Diandra yang masih terdiam sambil
menggenggam SK penempatan nya di daerah antah berantah.
"Kalau Dian tidak ambil, kami tidak akan marah." Kali ini Mama yang unjuk
bicara.
Tetap saja gadis manis berlesung pipi berwajah lembut ini tidak bergeming.
Mata bening berbingkai alis indah berhias bibir tipis yang ranum menggoda tetap saja
terlihat muram. Tidak ada kebahagiaan di sana. Padahal bekerja sebagai abdi negara
dengan mengalahkan ratusan pesaing seharusnya menempatkan gadis yang biasa
dipanggil Dian ini merasakan kebahagian. Namun yang dihadapinya kini justru jauh
panggang dari pada api.
Kegelisahan jelas tergambar dari wajah oval miliknya. Bibir yang indah
sekarang tetap saja berbentuk kerucut dengan bingkai kening yang berkerut. Papa dan
Mama yang berada didekatnya merasakan ketidaknyaman tersebut. Namun, mereka
tidak bisa melakukan apa-apa. Tetap saja keputusan harus diserahkan sepenuhnya
kepada anak gadisnya. Sepahit apapun nanti keputusan yang diambil gadis ini, mereka
sebagai orang tua tetap akan mendukung dan mendoakan yang terbaik.
"Di, butuh waktu!" Hanya itu yang disampaikannya pada kedua orang tua yang
sedari tadi menunggu keputusannya.
"Waktu berjalan, Nak. Secepatnya keputusan harus diambil."
"Iya, Pa! Secepatnya keputusan final akan Dian ambil." Sebuah janji terucap
sudah, sebuah pernyataan yang nanti pasti akan diminta pertanggungjawaban. Namun
untuk kali ini, Diandra tidak bisa menjanjikan apa-apa, keputusannya belum bulat, ia
masing bimbang dan sangat ragu.
Tanpa terasa hari ini berlalu begitu cepat. Tadi pagi ketika mereka berdiskusi
dan tidak memberikan hasil, sampai akhirnya ketika langit sebelah barat sudah ditaburi
oleh warna jingga. Mentari yang tadinya bersinar terik, sekarang perlahan redup dan
tenggelam.
Masih dengan tempat yang sama yaitu taman belakang rumah mereka, dan
masih tetap dengan orang yang sama. Mereka bertiga, duduk di teras belakang yang
langsung berhubungan dengan taman bunga yang sengaja dirawat khusus oleh tangan
lembut Mama.
Beraneka ragam tumbuhan dari bunga, daun sampai buah semua tersaji di sini.
Warna hijau yang rimbun membuat mata sejuk memandangnya. Duduk berlama-lama di
sini sungguh sebuah keindahan yang nyata. Apalagi sambil menikmati minuman hangat
dan cemilan ringan hasil olah dapur Mama. Tidak ada yang mampu untuk dikatakan
selain, nikmat mana lagi yang akan kau dustai.
"Sudah dapat keputusannya?" Papa adalah sosok yang apa adanya. Beliau tidak
akan mampu membuat bahasa-bahasa pengalihan yang membuat orang semakin
penasaran. Tipe Papa selalu tidak ada basa basi.
"Bagaimana? Dian sudah punya jawaban?" Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang
unsurnya adalah ketidaksabaran.
"Papa ini! Kalau anaknya belum mau bicara jangan dipaksa," Mama mencoba
menetralisir keadaan dengan mencoba menenangkan pasangannya.
"Insyaallah, Dian akan ambil pekerjaan ini, Pa!" Akhirnya apa yang dinanti ke
dua orang tuanya tersampaikan juga.
Walau masih ada ragu, tapi ia yakin bahwa apa yang sudah diperolehnya kini
adalah sebuah takdir dari Yang Maha Kuasa. Terlalu sombong kalau takdir itu ditolak
atau diabaikan. Semoga keputusan ini membawa berkah bagi dirinya dan keluarga
mereka.
"Jadi selanjutnya?" Kali ini Mama yang bertanya.
Diandra pun tidak tahu menjawabnya seperti apa. Yang pasti segala
adminstrasi harus diselesaikan. Selanjutnya ia belum mampu menjawab apa-apa.
Sejenak kebimbangan kembali menyelimuti hatinya. Sampai usianya yang
memasuki 23 tahun pada tahun ini. Namun, tidak pernah sekalipun Diandra jauh dari
Mama dan Papa. Kesempatan yang didapatnya sekarang adalah sebuah perubahan yang
akan terjadi. Inilah kali pertamanya Diandra akan tinggal berjauhan dari Mama dan
Papa.
Mampukan ia menghadapi semuanya ini? Sekarang Diandra tidak mampu
memberi jawaban pasti. Setidaknya, keputusan untuk menerima pekerjaan ini adalah
satu langkah untuk menghadapi perubahan tersebut. Selanjutnya apa yang terjadi
Diandra pasrahkan ke tangan Tuhan.
Setelah hampir dua minggu menyelesaikan segala pernak dan pernik
adminstrasi, akhirnya semuanya selesai dengan baik dan lancar. Surat menyurat yang
dibawa Diandra ketempat tugas yang baru sudah diselesaikan dan sudah diserahkan
pada Kantor Dinas Pendidikan di cabang terdekat.
Sekarang tinggal memutuskan, kapan dan bagaimana datang ketempat tugas
tersebut. Sebuah daerah yang tidak pernah ada dalam pemikiran Diandra selama ini.
Daerah yang tidak pernah ada dalam khayalannya. Tidak mengenal dan tidak
mengetahuinya. Di ujung minggu sebuah kabar diterima Diandra, sedikit menyejukkan
hati dan memberikan ketenangan pada kedua orangtuanya.
[Ini nomor telepon yang bisa, Ibu hubungi. Pak Abidin adalah kepala sekolah
tempat Ibu bertugas]
Begitu isi pesan yang masuk ke gawai Diandra melalui aplikasi WhatsApp
miliknya. Bukan hanya pesan tapi juga nomor kontak dan alamat dari Pak Abidin yang
nanti akan menjadi kepala sekolahnya nanti.
"Bapak yang jumpa waktu ambil SK." Begitu panjang identitas yang
disematkannya pada nomor kontak tersebut. Tidak sempat ia menanyakan nama atau
sekedar berbasa-basi.
Diandra hanya mengenal sosok yang memberikan informasi ini, adalah seorang
laki-laki berusia awal 30 an, berkulit sawo matang, dengan kumis tipis yang menghiasi
bibirnya. Dari kesemua tampilan itu ada satu yang disukai Diandra, yaitu mata
teduhnya.
[Terimakasih informasinya, Pak]
Seperti itu Diandra membalasnya. Formal dan biasa saja. Tidak ada keinginan
untuk sekedar bertanya nama si pemberi informasi itu siapa. Artinya nama sebagai
identitas tidak akan tergantikan. Tetap sebuah nama pengingat kejadian yang
disematkan kepada dewa penolong tersebut.
Perjalanan panjang dan melelahkan sudah membawa Diandra dan kedua
orangtuanya mengunjungi daerah yang belum pernah sama sekali didatangi. Ada
kebingungan tapi lebih banyak rasa penasaran. Seperti pergi berwisata, mereka bertiga
begitu menikmati perjalanan. Jarak tempuh ratusan km dengan waktu tempuh lebih
kurang lima jam mengakhiri perjalanan mereka disebuah kecamatan Simpang Kanan.
Sebuah daerah diujung kabupaten Rokan Hilir.
Entah karena doa yang selalu dipanjatkan atau juga mungkin karena
memasrahkan diri dihadapan Tuhan, tiga hari menjelang keberangkatan, Mama
mendapat kabar bahagia.
Salah seorang dari siswa Mama di sekolah ternyata Ayahnya adalah camat di
kecamatan tempat Diandra akan mengabdi. Seluk beluk daerah, akses masuk dan
kebiasaan semua informasi itu menjadi bekal bagi Diandra untuk berada di daerah baru
tersebut. Jadi selain orang yang memberikan nomor telepon Pak Abidin, Pak Camat ini
juga orang yang berjasa untuk Diandra.
Tawaran untuk tinggal di rumah dinas camat, disambut Diandra dengan baik,
setidaknya untuk sementara. Mama dan Papa yang hanya mengantarkan menitipkan
gadisnya dalam pengawasan Pak Joko dan Ibu, seperti itu kami memanggil Pak Camat
tersebut.
***
Walau sudah berusaha menahan air mata, tapi pada akhirnya jatuh dan tumpah
juga. Setelah di Minggu pagi Mama dan Papa pamit untuk pulang dan kembali ke
rumah. Ada berbagai macam rasa yang tak terungkapkan oleh Diandra saat ini. Sedih
harus berpisah dengan mereka. Di rumah pun nanti Mama dan Papa akan tinggal
berdua, karena anak mereka hanya ia seorang. Begitu juga Diandra di tanah perjuangan
ini. Ia akan menjadi manusia mandiri yang harus bijaksana dalam mengambil
keputusan, harus pandai membawa dan menjaga diri, harus pandai menyikapi
permasalahan.
"Kita datang bukan untuk mencari lawan ya, Nak. Tapi kita datang untuk
mencari teman." nasihat Papa yang sangat membantu dalam kehidupannya di sini.
Bab 2
Teman Rasa Saudara
“Kak, hari minggu kita main ke Rantau yuk,” ajak Eci rekan sesama mengajar.
Aku tersenyum belum bisa memastikan untuk menjawab ya atau tidak. Soalnya hari
minggu biasanya Bapak dan Ibu, begitu Diandra memanggil Bapak dan Ibu Camat
mereka punya kegiatan dinas ke ibukota Kabupaten atau pulang ke Pekanbaru. Kalau itu
terjadi artinya Diandra tidak bisa pergi karena harus menjaga rumah.
“Kakak selalu nggak mau kalau diajak,” sungut Eci.
“Bukan nggak mau, Ci. Tapi waktunya yang belum pas,” balas Diandra
memberikan alasan. Eci hanya bisa terdiam pasrah. Bu Guru yang masih berusia 23
tahun itu terlihat memaklumi apa yang menjadi alasan bagi Diandra.
“Pokoknya minggu ini Kakak harus ikut. Kalau nggak putus persaudaraan
kita,” ucapnya sambil berlalu dari hadapan Diandra.
Ruang kepala labor kembali sepi. Sejak bertugas di sekolah ini Diandra
dipercayai menjadi kepala laboratorium dan mendapat ruang khusus di sebelah
laboratorium kimia. Ruang berukuran 4 x 4 m2 hanya berisi meja kerja dan lemari
tempat penyimpanan alat-alat labor yang berharga mahal. Jika dilihat dari luar ruangan
ini tidak jauh berbeda dengan ruang lain di sekolah ini. Namun, bakat tata ruang yang
dimiliki Diandra membuat gadis itu menyulap ruangan kerjanya menjadi tempat yang
nyaman untuk bekerja dan beristirahat. Jadi tidak mengherankan jika rekan-rekannya
sering berkunjung di sini hanya sekedar untuk menumpang sholat atau sekedar berleha-
leha menunggu jam pembelajaran berikutnya.
Tidak terasa, hari ini tepat enam bulan Diandra bergabung dengan 15 guru
lainnya di SMAN 1 Simpang Kanan ini. Sekolah ini bukanlah sekolah dengan rombel
yang besar. Saat ini hanya punya 9 rombel dengan jumlah siswa kurang dari 300 orang.
Sekolah ini termasuk sekolah yang baru berdiri, jadi sangat wajar jika kelas yang
dimiliki sekolah ini belum banyak begitu juga dengan guru dan siswanya.
Keakraban dan kedekatan satu sama lain sangat dirasakan Diandra ketika
pertama kali bergabung di sekolah ini. Bersama dengan Pak Surya guru Bahasa Inggris,
mereka menjadi guru PNS yang diangkat tahun 2006 dan ditugaskan di sini. Pak Surya
yang sudah berkeluarga tidak tinggal di sini. Beliau memilih menempuh perjalanan 2
jam pulang dan pergi dari Simpang Kanan ke Bagan Batu dimana keluarga Pak Surya
tinggal. Jadi walau sama-sama ditugaskan pada sekolah yang sama, Diandra sangat
jarang bertemu dan bercengkrama dengan Pak Surya. Padahal biasanya teman satu
angkatan lebih dekat dari pada yang lain.
“Bu Dian.” Sapaan seseorang dari luar ruangannya membuat Diandra beranjak
dari tempat duduknya. Membuka pintu ruangan dan melihat siapa yang bertamu pada
jam ia ingin beristirahat sebentar sebelum bel pulang berbunyi panjang.
“Pak Surya. Ada apa? Tumben mampir kemari?” tanya Diandra sambil
mempersilahkan rekan kerjanya tersebut masuk.
Setelah melepas sepatu, laki-laki yang dipanggil Diandra dengan panggilan Pak
Surya itu duduk di kursi dihadapan Diandra. Setelah menyuguhkan teh kotak yang
selalu tersedia di ruangan kerjanya, Diandra membiarkan tamunya menghabiskan
suguhanannya terlebih dahulu.
“Pantas kawan-kawan sering kemari. Ternyata disemua ruang yang ada
ruangan ini yang terasa sejuk dan nyaman.” Sebuah komentar positif.
“Kebetulan ruangan ini terletak di ujung, makanya lebih sejuk dibandingkan
ruangan yang lain.”
Pak Surya tersenyum, walau ia tidak terlalu dekat dengan Diandra, namun
semua kabar yang didengarnya dari rekan kerjanya yang lain, gadis ini selalu
mendapatkan komentar yang baik tentang keramahannya, kesupelan dalam bergaul dan
kepintarannya. Sebuah komposisi yang unik dan menarik yang menjadi aset berharga
buat sekolah ini.
“Saya ingin minta pendapat, Bu Dian,” ucap Pak Surya setelah menyeruput teh
kotaknya sampai kosong.
“Maksudnya, Pak?” tanya Diandra heran. Karena tidak biasanya Pak Surya
minta pendapatnya.
“Saya lagi merintis jalan untuk mutasi ke Bagan Sinembah. Jadi saya
menawarkan kepada Bu Dian, mau ikutan mengurus atau bagaimana. Mumpung SK
PNS kita belum keluar, jadi sekarang harus kita urus agar nanti pada SK penuh sudah
ditempat tugas yang baru.”
Panjang lebar Pak Surya memaparkan alasan, tujuan dan rencananya. Diandra
menyimaknya dengan baik, namun entah mengapa untuk saat ini tidak adil rasanya jika
ia harus meninggalkan sekolah ini. Keinginannya untuk mutasi ke tempat yang lebih
dekat dengan Pekanbaru adalah sebuah rencana yang belum terpikirkan sekarang, tapi
akan dirintisnya nanti setelah ia memiliki ilmu yang cukup untuk dibagikan pada
sekolah yang lain.
“Saya pikirkan dulu ya, Pak. Saya tanya dengan orang tua dulu. Tapi apa nggak
jadi masalah nanti jika kita berdua langsung pindah dari sini, Pak?”
“Itu tidak usah kita pikikan, Bu. Pak Abidin pasti sudah menyadari, bahwa jika
gurunya tidak berasal dari sini, tentu suatu waktu nanti akan mengurus mutasi. Dan
beliau sudah siap akan itu.”
Tetap saja penjelasan dari Pak Surya tidak memperbesar ingin Diandra
mengikuti jejaknya saat ini. Sekolah ini terdapat di Kecamatan paling ujung dari
Kabupaten Rokan Hilir. Jika ada PNS yang ditugaskan di sini itu sama dengan istilah
terbuang atau dicampakkan. Ketika pertama kali bertemu dengan Pak Abdin, beliau
juga sudah bisa melihat seperti apa kemampuan bertahan Diandra di tempat ini.
“Saya beri kesempatan buat Bu Dian untuk pulang ke Pekanbaru dalam satu
bulan dua kali pulang. Tinggal Ibu atur jadwal mengajarnya dengan Pak Ponidi wakil
kurikulum kita.” Saran yang diberikan Pak Abidin adalah sebuah cara agar Diandra
betah ditempat tugasnya dan bisa bekerja dengan baik sehingga prestasi sekolah ini
meningkat.
Jadi tidak adil jika kebaikan Pak Abidin kepadanya harus dibalas dengan
mutasi secepat ini. Ini sama dengan pepatah yang mengatakan air susu di balas air tuba.
Diandra diajarkan Papa dan Mama menghargai dan membalas kebaikan orang lain
dengan kebaikan pula atau justru lebih baik lagi.
“Semoga rencana Bapak berjalan lancar,” doa tulus Diandra diberikan kepada
Pak Surya.
“Terimakasih, Bu. Saya harap perbincangan ini hanya untuk saya dan Ibu
saja,” pesan Pak Surya.
“TentuPak,” jawab Diandra pasti. Setelah Pak Surya keluar dari ruangan,
pikiran Diandra melayang pada keadaan enam bulan yang lalu ketika pertama kali ini ke
sekolah ini.
Perjalanan dari rumah dinas Camat di mana Diandra tinggal memakan waktu
lebih kurang 45 menit. Diandra yang tidak terlalu hebat dalam membawa sepeda motor,
harus ekstra hati-hati melewati jalan yang tidak tersentuh aspal. Jalan yang ketika
musim hujan akan menjadi kubangan lumpur dan licin dan akan menjadi berdebu ketika
musim kemarau menerjang. Perjalanan yang ditemani perkebunan karet dan sawit
warga membuat Diandra menambah kewaspadaannya terhadap resiko keamanan diri.
Namun, dibalik kesulitan, rintangan dan halangan yang dihadapinya, tetap Diandra
menemukan kenyamanan dan kedamaian ketika berada di dalam lingkungan sekolah ini.
Warga sekolah yang ramah dan bersahabat membuat Diandra menemukan
keluarga baru di sini. Kedekatannya dengan Eci guru Ekonomi sudah seperti saudara.
Karena mereka masih gadis, sehingga kedekatan itu semakin mudah terjalin. Belum lagi
jika Diandra bicara tentang Mami NJ begitu Diandra memanggilnya. Beliau guru
Bahasa Indonesia yang sudah seperti kakak sendiri buat Diandra. Dengan Mami,
Diandra akan bercerita apa saja, ketika Diandra sedang perang dingin dengan Eci, Mami
yang akan mendinginkan mereka.
Pak Santo, Pak Tar, Pak Leo sampai Darwin adalah rekan-rekan yang
tergolong dekat dengan Diandra. Ke tiga Bapak tersebut ibarat satpam bagi Diandra dan
Eci, setiap ada pemuda yang ingin mendekati Diandra dan Eci, mereka bertigalah yang
akan memutuskan lanjutkan atau hentikan. Sementara Darwin guru Olahraga di kenal
sebagai laki-laki yang humoris, jika berada didekatnya yang ada hanyanya tawa dan
canda.
Dengan segala nikmat dan kebaikan itu, rasanya bagi Diandra belum ada
terpikir di hatinya untuk meninggalkan mereka saat ini. Di tambah lagi, baik Papa
maupun Mama belum ada menyinggung masalah mutasi. Di setiap komunikasi via
telepon, Papa dan Mama hanya berpesan baik-baik bergaul dan bekerjalah dengan baik.
Walau rumah terasa sepi, namun bagi mereka keadaan anak gadisnya yang sehat dan
baik di rantau orang adalah obat rindu yang mujarb buat orang tua itu. Jika rindu itu
sudah menggunung hanya kunjungan dan pertemuan yang bisa menuntaskan, dan
Diandra akan mencari waktu yang pas untuk pulang melepas rindu tersebut.
Demikian sulitnya daerah ini menurut sebagian orang, tapi bagi Diandra daerah
ini seperti rumah ke dua baginya. Rekan kerjanya adalah saudara baru buatnya. Diandra
yang terlahir sebagai anak tunggal di sini ia memiliki Kakak, Abang dan Adik
sekaligus. Di sini Diandra juga menemukan orang-orang yang bersedia membela,
menjaga dan melindunginya. Walau mereka semua adalah teman dan rekran kerja, tapi
rasa yang ada di hati Diandra rasanya seperti saudara. ‘
Untuk saat ini mutasi bukanlah solusi yang dipikirkannya. Pada waktu ini,
nikmat persaudaraan yang terjalin antara dirinya dan rekan kerjanya adalah sebuah
kenikmatan yang sempurna. Sehingga setiap Papa dan Mama meneleponnya, dengan
pasti dan bangga Diandra akan menjawa bahwa ia baik-baik saja di sini.

Anda mungkin juga menyukai