Anda di halaman 1dari 49

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Alergi

Penyakit alergi termasuk diantaranya rinitis alergi, asma alergi, dermatitis

alergi, konjungtivitis alergi, anafilaksis, reaksi alergi makanan atau alergi obat

merupakan mayoritas penyakit yang mengenai hampir 22% populasi di dunia (He

et al., 2013). Prevalensi penyakit alergi di Amerika Serikat sekitar 20% dan

tampaknya semakin meningkat. Sebuah survei di Amerika yang dipublikasikan

tahun 2006 memperlihatkan bahwa 54,6% penduduk Amerika yang menjalani tes

memiliki hasil positif sedikitnya terhadap satu alergen (Chaaban et al., 2014).

Istilah “alergi” diperkenalkan pada tahun 1906 oleh Von Pirquet, diartikan

sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang sama

untuk kedua kalinya atau lebih (Baratawidjaja, 2000; Kay, 2001). Hal ini

dikatakan berhubungan dengan adanya imunitas protektif dan reaksi

hipersensitivitas, dimana pada kedua hal tersebut diinduksi oleh antigen yang

menyebabkan perubahan reaktif. Seiring berjalannya waktu istilah tersebut

mengalami perubahan dan saat ini digunakan istilah sinonim yaitu penyakit alergi

terkait IgE. Pernyataan dari Von Pirquet tersebut seharusnya digunakan pada

respon biologi yang tidak diketahui, dimana nantinya akan dapat menunjukkan

kekebalan (efek menguntungkan) atau penyakit alergi (efek merugikan).

Sedangkan istilah “atopi” berasal dari bahasa Yunani atopos yang berarti tidak

pada tempatnya, seringkali istilah ini digunakan untuk menggambarkan penyakit


yang terkait dengan IgE. Seseorang yang atopi memiliki predisposisi genetik

untuk menghasilkan antibodi IgE untuk melawan alergen lingkungan dan

memiliki satu atau lebih penyakit atopi seperti rinitis alergi, asma dan eksim atopi.

Beberapa penyakit alergi seperti dermatitis kontak dan pneumonitis hipersensitif

dapat terjadi melalui mekanisme yang tidak terkait IgE dan hal ini dimasukkan

dalam kondisi penyakit alergi non-atopi (Kay, 2001).

Memahami imunologi merupakan dasar untuk mengerti patofisiologi,

diagnosis dan penatalaksanaan dari berbagai penyakit tersebut. Rinitis alergi

dengan gejala gatal, bersin, hidung berair dan kongesti merupakan contoh klasik

dari penyakit yang berhubungan dengan imunologi (Chaaban et al., 2014).

Respon imun merupakan hasil dari aktivasi yang berkesinambungan dari

beberapa komponen pada sistem imun bawaan maupun sistem imun yang didapat.

Komponen tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1) barier fisik (kulit

dan permukaan mukosa), 2) sistem imun bawaan yang merespon patogen yang

sesuai dengan beberapa pola termasuk diantaranya epitel, endotelial, stroma dan

sel fagositosis (sel dendritik, netrofil, monosit/makrofag dan eosinofil), sel natural

killer (NK) dan sistem komplemen, 3) sistem imun yang didapat yang diinduksi

oleh sel dendritik, sel limfosit T primer dan limfosit B untuk mensekresi sitokin

yang spesifik sesuai imun respon tersebut (Escribese et al., 2015).

Respon alergi digambarkan dengan jelas sebagai respon inflamasi spesifik

dari sistem imun terhadap alergen lingkungan yang kontak dengan kulit atau

mukosa. Sistem imun primer yang berperan pada respon alergi adalah sel mast

positif reseptor imunoglobulin E (IgE) yang terdapat pada jaringan dan basofil
yang bersirkulasi pada plasma. Ketika alergen tertangkap, dua atau lebih antibodi

IgE bereaksi terhadap sel mast yang merupakan sinyal untuk mengaktifkan respon

alergi cepat dengan berbagai proses inflamasi. Sebagai awal dan tanda proses

inflamasi tersebut adalah degranulasi atau pelepasan substansi awal dari granula

sel mast seperti histamin, heparin, triptase dan beberapa sitokin inflamasi ke

jaringan. Kemudian sel mast juga memulai proses sintesis mediator inflamasi

lainnya seperti sitokin pro-inflamasi (interleukin: IL-1, IL-6), tumor necrosis

factor (TNF)-α, prostaglandin pro-inflamasi dan leukotrin. Substansi ini yang

akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, edema, kemoatraktif

beberapa sel imun, vasodilatasi dan nyeri. Pencegahan dari reaksi ini memerlukan

pemahaman terhadap proses yang terjadi (Guilliams, 2007).

Reaksi terhadap alergen udara sangat luas pengaruhnya, beberapa individu

memiliki suseptibilitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini dikarenakan

respon alergi memerlukan individu dengan sel B yang memproduksi antibodi IgE

yang mengikat alergen yang telah terekspos oleh individu tersebut (Guilliams,

2007).

Proses alergi merupakan suatu proses yang memiliki komponen inflamasi

yang sangat penting. Hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang patologik,

terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehinggga menimbulkan kerusakan

jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas tersebut menurut Gell dan Coombs dapat

dibagi menjadi 4 tipe yaitu: (Baratawidjaja, 2000; Bellik et al. 2013)


1. Reaksi hipersensitivitas Tipe I

Reaksi ini disebut juga sebagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaktik

yang dimediasi oleh IgE. Sel mast dan basofil memiliki peranan penting pada

inflamasi alergi tipe cepat melalui pelepasan mediator kimia seperti histamin dan

leukotrin, sitokin dan kemokin. Reaksi yang terjadi akan melibatkan kulit (eksim),

mata (konjungtivitis), nasofaring (rinitis), jaringan bronkopulmoner (asma) dan

traktus gastrointestinal (gastroenteritis).

Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2000)

a. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

b. Fase aktivasi yaitu waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang

spesifik, sel mast melepaskan isinya yang berisikan granul yang menimbulkan

reaksi.

c. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai

efek bahan-bahan yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Sekitar 50-70% dari masyarakat membentuk IgE terhadap antigen yang

sampai di permukaan mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva,

tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10%

yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit,

segera diikat oleh sel mast atau basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel

mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitisasi dapat pula terjadi secara

pasif bila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau

sirkulasi orang normal.


Reaksi yang terjadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem (kemerahan

oleh karena dilatasi vaskular) dan edem (pembengkakan yang disebabkan oleh

masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi dalam 10-15 menit.

Dalam fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel sebagai akibat metilasi

fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++. Dalam fase ini energi dilepas akibat

glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke

permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap

degranulasi. Peningkatan cAMP akan menghambat sedangkan peningkatan cGMP

akan membantu degranulasi. Pelepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak

menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai lagi

fungsinya.

Reaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan antigen menimbulkan influks

Ca++ yang menimbulkan degranulasi sel dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi

sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilaktoksin, C3a dan C5a. Disamping

histamin, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang

dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat akan berperanan pada fase lambat

dari reaksi cepat tersebut, yang sering timbul beberapa jam sesudah terpajan

dengan alergen. PG dan leukotrin merupakan mediator yang harus dibentuk dulu

dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Oleh karena itu

mediator-mediator itu disebut newly generated (Baratawidjaja, 2000).

2. Reaksi hipersensitivitas Tipe II

Reaksi ini dikenal sebagai sitotoksik terkait antibodi yang dimediasi oleh antibodi

dari klas IgM atau IgG dan komplemen. Antibodi akan secara langsung berikatan
dengan antigen pada permukaan sel yang menyebabkan kerusakan sel seperti pada

penyakit hemolisis pada bayi baru lahir (Rh disease) dan miastenia gravis.

3. Reaksi hipersensitivitas Tipe III

Reaksi ini disebut juga sebagai hipersensitivitas imun kompleks yang dimediasi

oleh IgG atau IgM. Reaksi akan terjadi secara umum (serum sickness) atau

melibatkan salah satu organ termasuk kulit (systemic lupus erythematosus), sendi

(rheumatoid arthritis) atau organ lainnya.

4. Reaksi hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi ini dikenal sebagai hipersensitivitas tipe lambat atau cell mediated. Reaksi

yang terjadi akan dimediasi oleh CD4+ sel T, dan terlibat pada patogenesis

beberapa penyakit autoimun (multiple sclerosis). Bentuk lain dari hipersensitivitas

tipe lambat yaitu dermatitis kontak (poison ivy).

Intervensi terapi pada penyakit alergi akan berfokus pada menekan produksi

IgE dan menghambat aktivasi histamin, sehingga akan terjadi regulasi ekspresi

atau pelepasan sitokin, kemokin, adesi molekul atau mediator inflamasi (Bellik et

al. 2013).

Individu dengan riwayat keluarga asma, eksim, penyakit flu alergi dan

urtikaria serta positif pada tes kulit termasuk didalam individu yang atopi. Orang

tua yang alergi memiliki proporsi yang lebih tinggi untuk memiliki anak-anak

yang alergi, 50% anak-anaknya akan berkembang menjadi alergi pada kedua

orang tua yang memiliki alergi. Apabila salah satu orang tua yang alergi maka

kemungkinannya menjadi 30%. Hal ini menyebabkan riwayat keluarga

merupakan faktor risiko yang penting untuk terjadinya penyakit-penyakit alergi


dan mengindikasikan pentingnya mengevaluasi kemungkinan anak-anak yang

berpotensi memiliki alergi (Chaaban et al., 2014).

Perubahan gaya hidup yang terjadi pada beberapa tahun terakhir

kemungkinan menyebabkan meningkatnya berkembangnya atopi dan

meningkatkan prevalensi alergi pada negara-negara maju. Diet pada ibu hamil

termasuk diantaranya menurunnya konsumsi asam lemak tak jenuh

(polyunsaturated fatty acid), konsumsi serat yang larut, antioksidan dan asam

folat selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan terjadinya asma dan

penyakit alergi (Chaaban et al., 2014).

2.1.1 Imunoglobulin E (IgE)

Imunoglobulin adalah glikoprotein yang terdiri dari 82-96% polipeptida dan

4-18% komponen karbohidrat. Dimana merupakan hampir 20% dari total protein

plasma. Fungsi dari imunoglobulin yaitu menangkap dan mengagregasi toksin dan

bakteri. Imunoglobulin memfasilitasi dan mengaktivasi dari sistem komplemen

seperti mengaktifkan makrofag, netrofil dan limfosit untuk membersihkan

komponen asing. Ikatan antara antibodi dan reseptor dari sel mast menyebabkan

sensitisasi sel tersebut untuk terjadinya hipersensitivitas tipe cepat (Chaaban et al.,

2014).

Struktur antibodi imunoglobulin secara umum terdiri dari beberapa molekul

rantai polipeptida besar dan rantai polipeptida yang ringan yang digambarkan

pada Gambar 2.1. Pada manusia yang sehat terdapat 9 isotipe dari imunoglobulin

dan 4 kelas berbeda yaitu IgG, IgA, IgM dan IgE (Chaaban et al., 2014).
Gambar 2.1 Struktur antibodi (Chaaban et al., 2014)

Normalnya komposisi IgE meliputi hanya 0,004% dari total serum

imunoglobulin, tetapi memiliki afinitas dan daya ikat yang kuat terhadap sel mast

dan basofil via sisi Fc pada IgE , dimana merupakan bagian yang berperan penting

pada respon alergi. IgE normalnya berbentuk monomerik. IgE diproduksi oleh sel

B setelah inisiasi pada 2 sinyal penting yaitu IL-4 dan IL-13 yang memiliki target

Cε gene yang menyebabkan bergantinya rekombinasi dan interaksi dari sel T yang

teraktivasi ligan CD40 dengan CD40 pada permukaan sel B untuk menginisiasi

rekombinasi delesi. Meskipun mekanisme ini belum sepenuhnya dipahami,

pembentukan IgE pada penderita atopi atau pasien alergi memegang peranan

penting pada proses penyakitnya. IgE juga diproduksi secara lokal di mukosa

hidung pada pasien dengan rinitis alergi (Chaaban et al., 2014).

Antibodi IgE terikat pada sel mast pada permukaan sel yang berikatan dengan

alergen, dimana akan terjadi penanda pelepasan mediator inflamasi seperti


histamin, triptase, dan protease dari sel mast dan basofil. IgE memiliki

kemungkinan untuk mendukung sel mast dengan cara berikatan kuat dengan

bagian reseptornya yang memiliki afinitas tinggi pada sel mast yang akan

menyebabkan meningkatnya ekspresi molekul anti apoptosis. Kelangsungan

adanya sel proinflamasi pada kondisi inflamasi alergi merupakan faktor yang

menyebabkan gejala kronis dari penyakit tersebut walaupun setelah paparan

alergen dihentikan.

Gambar 2.2 Perkembangan IgE (Chaaban et al., 2014)

IgE juga berikatan dengan makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel dendritik

melalui reseptor yang memiliki afinitas rendah. Pada makrofag akan terjadi ikatan

dengan reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi dan akan menghasilkan IL-10.
Ekspresi IgE pada netrofil tampak pada pasien asma, hal tersebut

mengindikasikan bahwa netrofil juga kemungkinan memiliki peranan pada respon

alergi melalui mekanisme aktivasi yang terkait IgE. Eosinofil diketahui

menghasilkan IL-10 melalui ikatan yang terjadi pada reseptornya. Sehingga terapi

pada alergi menargetkan pada IgE yang secara klinis telah terbukti. Perkembangan

IgE ditunjukkan pada Gambar 2.2. Strategi yang penting juga dilakukan dengan

memodulasi sintesis IgE dengan cara menghambat faktor transkripsi untuk

pembentukan IgE (Chaaban et al., 2014).

2.1.2 Mekanisme Alergi

Inflamasi alergi merupakan dasar dari perubahan patologis dari suatu proses

alergi, dimana hipersensitivitas tipe I dari sistem imun merupakan dasar

mekanisme inflamasi alergi (He et al., 2013).

Rinitis alergi berkembang setelah sensitisasi terhadap alergen. Alergen seperti

serbuk sari atau rumput, debu kotoran binatang dan jamur akan tertimbun pada

permukaan mukosa. Setelah antigen tersimpan, sel dendritik yang berikatan dgn

antigen akan bermigrasi ke limfonodi dimana akan mempresentasikan antigen

tersebut kepada sel T yang telah tersensitisasi. Ketika alergen terikat dengan IgM

spesifik pada sebuah Antigen Presenting Cell (APC) seperti sel Langerhans pada

epidermis, alergen akan masuk ke dalam tubuh dan akan memecahkan lisosom

yang akan mempresentasikan fragmen dalam ukuran kecil dan membentuk

kompleks sel permukaan dengan Major Histocompatibility Complex (MHC)-II.

Selama interaksi ini pada jaringan limfoid lokal, kompleks tersebut


dipresentasikan kepada sel T helper (Th). Sel Th akan mensekresikan sitokin

seperti IL-4. Sel T akan memperlihatkan reseptor IL-4 dan ligan CD40 pada

permukaannya. IL-4 akan berikatan dengan sel T pada reseptornya pada sel

limfosit B. Sensitisasi alergen pada hidung menghasilkan produksi IgE pada tahap

ini (Chaaban et al., 2014).

Transkripsi kuman pada lokus rantai popipeptida besar menghasilkan sebuah

perubahan isotipe dari IgM menjadi IgE dan sintesis dari IgE. Hal ini ditampilkan

pada Gambar 2.2 dimana sinyal 1 merupakan interaksi IL-4 dengan reseptor IL4

pada sel B, dan sinyal 2 merupakan stimulasi dari sinyal CD40 pada sel B dengan

CD40L pada sel Th2.

Respon mukosa hidung terkait IgE dalam respon terhadap paparan alergen

dapat terjadi pada fase cepat dan fase lambat. Pada fase cepat terdapat predominan

sel mast. Aktivasi sel mast akan menyebabkan tanda kardinal seperti bersin, gatal,

hidung berair dan hidung tersumbat. Fase lambat terjadi beberapa jam setelah fase

cepat terjadi dengan melibatkan interaksi beberapa sel. Interaksi ini tidak hanya

mencetuskan gejala utama sumbatan tetapi menyebabkan dihasilkannya produk

tambahan dari ikatan alergen dengan IgE spesifik dan meningkatkan respon

terhadap alergen awal tersebut apabila terjadi paparan berulang (hiperresponsif)

(Chaaban et al., 2014).

Respon awal alergi

Respon awal ini terjadi saat host yang tersensitisasi terjadi dalam waktu

beberapa menit setelah paparan suatu alergen. Pasien awalnya akan merasa gatal

pada hidung diikuti dengan bersin, hidung berair, mata berair dan kemudian
hidung tersumbat. Sebagian besar respon ini kecuali hidung tersumbat, terjadi

karena pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi, penimbunan cairan

pada pembuluh darah vaskular, kelenjar dan stimulasi saraf (Chaaban et al.,

2014).

Peranan sel mast

Sel mast dapat dibagi menjadi dua subtipe berdasarkan kandungan

proteasenya. Kedua subtipe mengandung histamin dan beredar pada mukosa

hidung. Produksi dari sel mast antara lain histamin, mediator lipid seperti

prostaglandin (PG) dan leukotrin, kemokin seperti eotaksin dan RANTES, dan

juga sitokin seperti IL-3, IL-4, TNF-α, GSM-CSE dan MIP-1α. Sel mast akan

dipengaruhi oleh sitokin lokal yang mempengaruhi perkembangan, maturasi dan

kematiannya. Sitokin yang bertanggung jawab untuk perkembangan dan

proliferasi sel mast adalah stem cell factor (SCF atau c-kit ligand). SCF

menginduksi pelepasan histamin dari sel mast tetapi tidak dari sel basofil, dan

terbentuk dari sel stroma sumsum tulang, sel endotel dan fibroblas. Sitokin

lainnya juga memegang peranan pada proliferasi sel mast termasuk diantaranya

IL-3, IL-5, IL-9, IL-10, IL-11 dan nerve growth factor (NGF).

Sel mast memegang peranan penting pada respon awal dan juga berperan

pada respon lanjut pada paparan alergen. IgE spesifik antigen memiliki

kemampuan mengikat dengan afinitas yang kuat pada reseptor sel mast pada

permukaan selnya. Pada paparan ulang dengan alergen, IgE spesifik antigen akan

berikatan dengan permukaan sel mast yang akan menyebabkan terjadinya influks

ion kalsium. Hasil dari proses ini adalah terjadinya eksostosis komponen kelenjar
dan pelepasan preform mediator seperti histamin, heparin dan enzim proteolitik

(triptase dan β-glukosaminidase) (Chaaban et al., 2014).

Respon lanjut alergi

Respon lanjut pada paparan alergen hidung dengan antigen menunjukkan

gejala dan reaksi inflamasi yang terjadi beberapa jam setelah paparan antigen.

Eosinofil berespon terhadap IL-5 yang diproduksi oleh sel T, dan sel T akan

mengaktifkan dan memfasilitasi rangkaian proses yang merupakan reaksi

inflamasi lokal yang tampak pada fase lambat. IL-4 akan dilepaskan oleh sel mast

dan sel T-helper yang juga akan berperan pada fase ini.

Pada respon terhadap IL-4, IL-1β atau TNF-α, epitel lokal akan melakukan

regulasi yang lambat terhadap antigen dan ICAM-1 pada permukaannya. Sel T,

basofil, monosit dan eosinofil akan dihasilkan via vascular cell adhesion molecule

1 (VCAM-1) atau lymphocyte function-associated antigen 1 ligand pada respon

inflamasi. VCAM-1 dan E-selectin khususnya ditemukan meningkat pada endotel

vaskular pasien dengan rinitis alergi, dimana diketahui bahwa ICAM-1 ditemukan

berkorelasi dengan peningkatan regulasi E-selectin. RANTES dan eotaksin

berperan dalam merekrut sel T dan eosinofil pada mukosa hidung. TGF-α juga

diketahui meningkat pada epitel di konka inferior pasien atopi dan pasien dengan

rinitis, hal ini menggambarkan peran TGF-α pada kemoatraktif dan retensi sel

mast pada rinitis. Eotaksin pada bilasan cuci hidung pada pasien dengan rinitis

alergi khususnya ditemukan berkorelasi dengan adanya eosinofil pada mukosa.


Adanya eotaksin intranasal pada pasien rinitis alergi meningkatkan jumlah

eosinofil pada mukosa.

Perubahan intrasel dan perubahan pada permukaan sel endotel memfasilitasi

migrasi sel transendotelial. Kurangnya platelet endothelial cell adhesion molecule

1 (PECAM-1) secara in vitro dan in vivo menunjukkan resolusi lambat pada

permeabilitas vaskular yang menggambarkan kondisi proinflamasi yang

merupakan suatu hal yang konduktif terhadap berpindahnya sel inflamasi.

Seperti yang telah disebutkan di atas, proses inflamasi sangat banyak

jumlahnya dan saling tumpang tindih dalam fungsinya, hal ini menambah

kompleksitas dan meningkatnya kesulitan secara individu untuk membedakan

secara jelas kontribusi dan kepentingan masing-masing mediator. Interaksi yang

terjadi pada respon fase lanjut tidak hanya membuat gejala terjadi secara

keseluruhan, tetapi juga memproduksi tambahan IgE spesifik alergen dan akan

meningkatkan responsif dari individu terhadap alergen awal dan paparan iritan

(hipersensitif).

Hiperresponsif non spesifik merupakan salah satu karakteristik klinis dari

inflamasi alergi. Dengan adanya infiltrasi eosinofil pada mukosa hidung

menyebabkan hiperaktif terhadap stimulus normal dan mengakibatkan gejala

hidung seperti bersin, hidung berair, hidung gatal dan hidung tersumbat. Pasien

dengan rinitis alergi akan menampakkan hiperresponsif terhadap stimulus non

spesifik seperti asap rokok atau udara dingin dan kering. Respon awal dan respon

lanjut dari reaksi alergi ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Chaaban et al., 2014).
Gambar 2.3 A. Respon awal; B. Respon lanjut (Chaaban et al., 2014)

2.2 Rinitis Alergi

2.2.1 Definisi

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan dalam Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma (ARIA) Guideline tahun 2008 sebagai suatu kelainan

simptomatis pada hidung yang diinduksi oleh IgE pada proses inflamasi setelah

paparan alergen, yang ditandai dengan 4 gejala utama yaitu hidung berair, hidung

tersumbat, gatal pada hidung dan bersin-bersin (Min, 2010). Normalnya partikel

yang tidak berbahaya tidak dapat diatasi oleh respon imun pada pasien dengan

alergi yang akan menimbulkan gejala suatu inflamasi. Ketika substansi tidak

berbahaya menyebabkan inflamasi hal ini disebut dengan reaksi hipersensitivitas.

Atopi merupakan predisposisi genetik untuk berkembangnya reaksi


hipersensitivitas alergi, sebagai contoh rinitis alergi, dermatitis atopi dan alergi

makanan. Satu kondisi atopi akan menempatkan individu tersebut terhadap risiko

alergi lainnya (O‟Neil et al., 2014).

2.2.2 Epidemiologi

Telah dilaporkan secara global, penyakit atopi meningkat 0,5% setiap

tahunnya antara pertengahan tahun 1990 hingga pertengahan tahun 2000.

Peningkatan ini terjadi lebih banyak pada kelompok usia 6-7 tahun dibandingkan

anak usia 13-14 tahun. Hal ini terjadi tidak saja terjadi pada negara-negara yang

sedang berkembang tetapi juga terjadi pada beberapa negara di Asia. Beberapa

penyebab meningkatnya penyakit atopi tersebut diperkirakan karena

meningkatnya tingkat kemakmuran, peningkatan urbanisasi, perubahan gaya

hidup ke gaya hidup barat (Western lifestyle) dan pertumbuhan penduduk yang

sangat pesat (Gerez et al., 2010).

Menurut penelitian oleh Gerez et al. (2010) didapatkan bahwa prevalensi

rhinokonjungtivitis alergi dan dermatitis alergi pada negara-negara Barat lebih

tinggi dibandingkan pada negara-negara Asia. Pada tahun 2002-2003 prevalensi

rhinokonjungtivitis alergi pada anak anak usia 6-7 tahun pada Australia 12,9%,

Canada 10,8%, Inggris 10,1% dan New Zealand 11,4%. Sedangkan pada negara

Asia prevalensi pada tahun 2002-2003 di Hongkong sebesar 17,7%, Indonesia

3,6%, Jepang 10,6%, Thailand 10,4%, Singapura dan Korea Selatan masing-

masing 8,7%.
Penelitian oleh Kim et al. (2010) di Korea didapatkan bahwa kerugian akibat

rinitis alergi di bidang ekonomi mencapai $272,92 juta dimana disebutkan bahwa

kerugian akibat berkurangnya produktivitas sebesar $49,25 juta. Sedangkan oleh

Meltzer tahun 2011 di Amerika Serikat diperkirakan kerugian medis akibat rinitis

alergi mencapai $3,4 juta (O‟Neil et al., 2014).

Prevalensi rinitis alergi sulit diketahui dengan pasti, hal ini disebabkan oleh

beberapa alasan, termasuk perbedaan bagaimana cara penegakan diagnosa. Secara

umum rinitis alergi meningkat hampir di seluruh dunia. Rinitis alergi sering

terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada anak-anak. Di beberapa

negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita keluhan rinitis. Di Amerika

Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh Centre for Disease Control

(CDC) pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-anak (11%) dilaporkan

menderita keluhan pernafasan terkait alergi dalam 12 bulan terakhir. Disebutkan

pula rinitis alergi merupakan penyebab nomer dua dari penyakit kronis di

Amerika Serikat yang mengenai hampir 60 juta penduduknya, dimana kira-kira

terdapat 1 orang penderita pada setiap 4 rumah tangga. Dari jumlah penderita

tersebut lebih dari setengahnya mengalami gejala alergi lebih dari 10 tahun.

Rinitis alergi memiliki efek yang sangat bermakna pada kualitas hidup pasien,

kualitas tidur, performa pendidikan dan produktivitas (O‟Neil et al., 2014; Min,

2010).
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Perkembangan dari rinitis alergi seperti pada penyakit alergi lainnya berfokus

pada interaksi antara predisposisi genetik dan waktu paparan lingkungan. Paparan

lingkungan termasuk debu tungau, bulu binatang dan serbuk sari tanaman.

Adanya riwayat penyakit atopi dalam keluarga merupakan faktor risiko terhadap

perkembangan rinitis alergi, asma dan dermatitis atopik. Penelitian mengenai

rinitis alergi pada individu kembar maupun dengan individu atopi memperjelas

adanya kontribusi genetik pada perkembangannya. Pada kembar monozigot

kemungkinan rinitis alergi antara 45-60% yang menurun hingga 25% pada kasus

kembar dizigot (Chaaban et al., 2014).

Tenaga kesehatan juga harus paham terhadap adanya hubungan antara rinitis

alergi dengan kondisi yang lain seperti asma. Beberapa tahun terakhir terdapat

beberapa perkembangan mengenai penyakit yang terkait dengan IgE. Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa terdapat patofisiologi yang pararel antara rinitis

alergi dan asma setelah paparan dengan antigen. Hal ini termasuk respon yang

berlebihan hingga bahan iritan, sel yang terlibat dalam proses inflamasi, produksi

sitokin dan gambaran adhesi molekul setelah paparan. Rinitis dapat menyebabkan

asma melalui refleks nasobronkial, sekresi sitokin, meningkatnya mediator pada

sirkulasi atau mikroaspirasi. Beberapa studi patologi menunjukkan bahwa rinitis

alergi merupakan faktor risiko untuk berkembangnya asma dan dapat

meningkatkan derajat keparahan rinitis. Merupakan hal yang penting bagi klinisi

untuk mengetahui hubungan antara kondisi saluran nafas atas dan saluran nafas

bawah dalam menangani asma. Terapi rinitis dikatakan dapat mengontrol kondisi
asma dan penanganan alergi sedini mungkin dapat mencegah timbulnya asma

(Chaaban et al., 2014).

2.2.4 Klasifikasi

Menurut ARIA World Health Association (WHO), rinitis alergi dibagi

dalam dua kelompok yaitu intermiten dan persisten sesuai dengan lamanya waktu

serangan, sedangkan berdasarkan beratnya gejala dibagi menjadi ringan dan

sedang-berat. Rinitis alergi intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari

perminggu dan berlangsung selama kurang dari 4 minggu. Rinitis alergi persisten

apabila gejala timbul lebih dari 4 hari perminggu dan berlangsung lebih dari 4

minggu. Gejala disebut ringan apabila tidak mempengaruhi aktifitas sehari-hari

dan aktifitas tidur, sedangkan gejala sedang-berat apabila ada satu atau lebih

gangguan aktifitas sehingga kualitas hidup pasien menurun. Klasifikasi rinitis

alergi menurut ARIA dapat dilihat pada Gambar 2.4 dibawah ini (O‟Neil et al.,

2014; Roestiniadi, 2014).

Gambar 2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi (Min, 2010)


2.2.5 Patofisiologi

Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh IgE (Reaksi tipe I Gell dan

Coombs) mendasari penyakit-penyakit alergi. Suatu alergen dikenali oleh Antigen

Presenting Cell (APC) dan kemudian akan dipresentasikan kepada sel limfosit T-

helper (Th) yang membutuhkan reseptor Human Leukocyte Antigen (HLA). Sel

Th2 akan mempresentasikan alergen ke limfosit B yang mempunyai reseptor

khusus terhadap alergen tersebut. Interleukin 4 (IL-4) dan sitokin alergi lainnya

dapat menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE.

IgE kemudian beredar dalam sirkulasi dan berikatan pada reseptornya di basofil

dan sel mast di seluruh tubuh. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5

dibawah ini.

Gambar 2.5 Inflamasi dan sensitisasi oleh alergen (Min, 2010)

Pada paparan berulang alergen tersebut menyebabkan degranulasi basofil

dan sel mast yang diperantarai oleh IgE, melepaskan mediator-mediator inflamasi

diantaranya histamin. Histamin berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan
otot polos pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas, sehingga pasien akan mengalami keluhan hidung berair, bersin-

bersin dan hidung tersumbat. IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi

inflamasi fase lambat. Reaksi inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL-10 dan sel

T regulator (O‟Neil et al., 2014; Min, 2010).

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi diperoleh dari anamnesis (riwayat penyakit) yang

teliti dan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan

nasoendoskopi. Selanjutnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang

yang menunjukkan adanya IgE baik di kulit maupun di darah (tes alergi).

Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan eosinofil sekret hidung,

tes transpor mukosilier, tes buntu hidung, tes penciuman dan pemeriksaan

radiologi (CT scan dan MRI) (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014).

Gejala klinis pasien yang menderita rinitis alergi biasanya sangat spesifik

yaitu bersin-bersin, hidung berair, hidung tersumbat, gatal di hidung disertai mata

gatal dan berair. Apabila dua atau lebih gejala diatas tersebut timbul lebih dari 1

jam pada hampir setiap harinya, maka rinitis alergi sangat besar kemungkinannya.

Dalam hal ini tingkat keparahan penyakit diklasifikasikan menurut ARIA

guidelines dan konfirmasi diagnosis harus dilakukan dengan skin prick test atau

serum-spesific IgE level. Rinitis alergi merupakan penyakit kronis dan

berlangsung terus menerus, dan untuk memudahkan dalam melakukan anamnesis,

maka dapat dibuatkan daftar pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien dan
keluarga pasien. Ketika diagnosis rinitis alergi ditegakkan, pertanyaan apakah

penderita rinitis alergi juga menderita asma diperlukan, demikian halnya

mengenai gejala atopi lainnya seperti alergi makanan dan eksema. Beberapa studi

menyebutkan hampir 80% penderita asma juga menderita rinitis, dan 10%-40%

penderita rinitis juga menderita asma (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014; Min,

2010).

Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya allergic shinners, allergic salute,

nasal crease, facial grimacing, Dennie's line. Pemeriksaan rinoskopi anterior atau

endoskopi hidung dilakukan untuk menilai apakah konka udem, warnanya pucat,

ada sekret encer, kondisi meatus medius, nasofaring dan apakah ada kelainan

anatomi (septum deviasi dan polip) (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014).

Untuk menunjang diagnosis perlu dilakukan tes alergi untuk menilai IgE

secara in vivo maupun in vitro. Tes kulit (skin prick test) atau tes intradermal

(intradermal test) dilakukan untuk menilai IgE secara in vivo, sedangkan

pemeriksaan Radio Allergo Sorbent Test (RAST) untuk menilai IgE secara in

vitro. Tes paparan alergi ini akan menimbulkan subjek tersebut kepada reaksi

terhadap alergennya. Menaruh alergen langsung pada hidung pasien atau

menempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang mengandung

alergen dapat mencetuskan rinitis alergi. Pemeriksaan tes kulit atau serum spesific

IgE level secara umum digunakan untuk mendiagnosa alergen inhalan. Tes

paparan alergi ini merupakan alat diagnostik yang berguna apabila

dikombinasikan dengan riwayat penyakit yang jelas dan pemeriksaan fisik

(O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014).


Menurut KODI Alergi dan Imunologi Perhati-KL, diagnosis rinitis alergi

dimulai dari anamnesis adanya pilek yang tidak sembuh-sembuh ≥ 3 bulan disertai

dengan keluhan hidung gatal, bersin-bersin, pilek encer, buntu hidung hilang

timbul, adanya riwayat alergi di organ tubuh yang lain dan adanya riwayat alergi

pada keluarga. Pasien kemudian dilakukan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi,

dinilai warna mukosa hidung apakah pucat atau ada sekret hidung yang encer.

Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan eosinofil hidung, apabila ada gejala

tetapi hasilnya negatif, maka perlu diulang sampai 3x. Apabila pemeriksaan

eosinofil hidung positif pasien selanjutnya dilakukan tes alergi yaitu tes kulit

cukit. Bila hasil tes kulit positif maka perlu dievaluasi apakah ada keluhan

komorbid, baru ditentukan diagnosisnya menurut ARIA-WHO (Roestiniadi,

2014).

2.2.7 Penatalaksanaan

Penderita rinitis alergi yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara

adekuat akan mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan

proses belajar, produktivitas kerja dan stabilitas emosi. Menurut American

Collage of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI, 2005) penatalaksanaan

rinitis alergi antara lain allergen avoidance (eliminasi alergen), farmakoterapi,

imunoterapi dan pembedahan (O‟Neil et al., 2014; Pawarti, 2014).

Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan

rinitis alergi, akan tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di

negara tropis seperti Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah
tungau debu rumah, bulu binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat

dilakukan untuk menghindari tercetusnya rinitis alergi yaitu membungkus kasur

dan bantal dengan bahan khusus, atau mencuci alas tidur, sarung bantal dan

selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas (>55 oC) (O‟Neil et al.,

2014; Pawarti, 2014; Min, 2010; Suprihati, 2004).

Farmakoterapi diperlukan karena penderita rinitis alergi tidak bisa secara

total menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi

kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja

cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktivitas „anti-alergenik tinggi‟.

Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid

intranasal, dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti

leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana

dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat

yang dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal

maupun kombinasi (O‟Neil et al., 2014; Pawarti, 2014; Min, 2010).

Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil

tes kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak

menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang

simptomnya pada paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada

rinitis alergi terbukti efektif. Terdapat beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub

kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Injeksi sub kutan lebih banyak

dipraktekkan, sedangkan imunoterapi sublingual/peroral masih banyak diteliti dan

mulai banyak dipakai (O‟Neil et al., 2014; Min, 2010; Suprihati, 2004).
Berdasarkan ARIA-WHO tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien

dengan rinitis alergi persisten sedang-berat sesuai urutan adalah kortikosteroid

topikal, anti histamin H1 atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai

dengan asma, dan keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan adalah

setelah terapi medikamentosa gagal. Sebagian besar penelitian memasukkan

kriteria inklusi gagalnya terapi medikamentosa untuk rinitis alergi selama 1 bulan

lebih dulu, sebelum pasien dilakukan pembedahan. Terapi pembedahan dilakukan

bertujuan mengurangi sumbatan hidung untuk melapangkan aliran udara di

hidung. Terapi pembedahan yang ada diantaranya reduksi konka, reseksi

submukosa, septoplasti, bedah sinus endoskopi fungsional, dan neurektomi saraf

vidianus. Konka inferior terbukti menjadi penyebab terpenting sumbatan hidung

pada pasien rinitis alergi. Sebelum menjalani intervensi bedah, sangat penting

untuk memastikan bahwa segala terapi medikamentosa telah dilakukan secara

maksimal, karena intervensi bedah mungkin tidak efektif pada pasien yang

seharusnya masih dapat diterapi dengan medikamentosa (Irawati, 2014). Adapun

diagnosis dan terapi dari rinitis alergi menurut KODI Alergi dan Imunologi

Perhati-KL dapat dilihat pada Gambar 2.6 dibawah ini. Sedangkan

penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO dapat dilihat pada Gambar

2.7 berikut ini.


Gambar 2.6 Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi (Anonim, 2007)
Gambar 2.7 Penatalaksanaan rinitis alergi (Chaaban et al., 2014; Min, 2010)
2.3 Dewandaru (Eugenia uniflora L.)

2.3.1. Klasifikasi tanaman

Klasifikasi tanaman Dewandaru adalah sebagai berikut: (Rai et al., 2016;

Daniel, 2015; Lim, 2012)

Famili : Myrtaceace

Genus : Eugenia

Spesies : Eugenia uniflora

Nama latin : Eugenia uniflora L.

Nama Indonesia : Dewandaru, Belimbing londo

Nama Bali : Buah dewa

Nama Inggris : Surinam cherry, Brazilian cherry, Cayenne cherry, French

cherry, Pitanga, Barbados cherry, Red Brazil cherry

Tanaman dewandaru buahnya enak dimakan dan dari kepustakaan diartikan

pohon “Pembawa Wahyu Dewa”. Dalam bahasa bali disebut buah dewa,

merupakan salah satu pohon buah yang langka. Kata dewandaru banyak dijumpai

dalam kisah pewayangan, baik dalam khasanah bahasa Jawa Kuno maupun

Sansekerta, yang menunjukkan bahwa tanaman ini sudah popular sejak jaman

dahulu. Keberadaan tanaman dewandaru sering dikaitkan dengan mitos soal asal-

usulnya hingga khasiat magis sebagai kayu sakti dan bertuah sehingga kayu

dewandaru banyak dimanfaatkan membuat aksesoris benda-benda bertuah seperti

tasbih, gelang, keris batu cincin dan kalung. Selain itu juga sangat popular di

kalangan penghobi bonsai karena bentuk bonsai yang dihasilkan sangat artistik,

juga banyak dimanfaatkan sebagai hiasan pagar pembatas. Pohon Dewandaru


dikenal juga sebagai asem selong, belimbing londo, ceremai londo atau ceremai

asam. Minyak esensial dari tanaman ini juga dapat digunakan sebagai bahan

parfum. Pada suatu studi mengenai iritasi dan alergi akibat sinar ultraviolet

mengungkapkan bahwa minyak dari tanaman ini tidak menyerap sinar ultraviolet

pada panjang gelombang antara 290-400nm sehingga tidak berpotensi

menyebabkan iritasi dan alergi jika digunakan sebagai bahan parfum (Rai et al.,

2016; Lim, 2012).

2.3.2 Ciri umum

Tanaman dewandaru (Eugenia uniflora L.) berbentuk perdu dengan tinggi

dapat mencapai lebih dari 5 meter dan hidup menahun. Batang pohon dewandaru

tegak, berkayu, berbentuk bulat dengan kulit kayu berwarna coklat. Daun

berwarna hijau dan merupakan daun tunggal, tersebar, berbentuk lonjong, ujung

runcing dan pangkal meruncing. Tepi daun rata, pertulangan menyirip dengan

panjang 5-6cm dan lebar 3-4cm. Daun berwarna kemerahaan saat masih muda dan

berwarna hijau gelap saat tua, dan pada daerah 4 musim berwarna merah saat

musim dingin. Tanaman ini memiliki bunga berbentuk tunggal, berkelamin dua

dengan daun pelindung yang kecil berwarna hijau. Kelopak bunga bertajuk tiga

sampai lima, benang sari banyak berwarna putih. Putik berbentuk silindris,

mahkota bunga berbentuk kuku dan berwarna kuning.

Buah Eugenia uniflora berupa buah buni, bulat, diameter 1-2cm dan

berwarna merah. Warna buah berubah secara bertingkat dari hijau saat masih

muda menjadi kuning, oranye dan merah sesuai dengan tingkat kematangan
buahnya. Bagian luar buah terdapat tonjolan-tonjolan yang mempermudah orang

membedakan dengan buah tanaman lainnya. Bijinya keras, berwarna coklat dan

kecil. Akar memiliki warna coklat dan merupakan akar tunggang (Rai et al.,

2016).

Buah dewandaru dapat dimakan segar, daging buahnya bertekstur lembut dan

terasa manis saat matang. Selain mengandung air buah, dewandaru juga

mengandung protein, karbohidrat dan vitamin C. Berbeda dengan ceremai yang

berwarna kuning saat matang, buah ini saat matang berwarna merah. Gambar 2.8

di bawah ini menampilkan gambar batang, bunga, daun dan buah dewandaru (Rai

et al., 2016).

Gambar 2.8 Tanaman Dewandaru, (a). batang pohon Dewandaru,


(b) susunan daun, (c) bunga, (d) buah matang di pohon,
(e) buah siap konsumsi (Rai et al. 2016)
Buah dewandaru yang matang kaya akan vitamin C dan dapat dimakan segar

ataupun ditambahkan taburan gula. Buah dewandaru ini sering digunakan sebagai

perasa makanan atau bahan dasar pembuatan selai, jeli dan saus salad. Buah ini

banyak digunakan untuk shortcake, fruit cups, salad, puding, custard, yogurt, es

krim, sari minuman, sirup atau jus. Jus juga kadang difermentasi dengan cuka atau

wine dan kadang disajikan dalam minuman. Buahnya juga bisa dikonsumsi

dengan direbus (Lim, 2012).

2.3.3 Tempat tumbuh

Dari kepustakaan yang ada, tanaman dewandaru disebutkan tersebar di daerah

Amerika Selatan seperti Brazil, Suriname, Argentina, Uruguay dan Paraguay.

Menurut Hutapea, di Indonesia tanaman dewandaru ini dapat ditemukan di

beberapa tempat di pulau Jawa, Sumatera dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Salah

satu daerah yang dikenal sebagai habitat tanaman dewandaru ini adalah kepulauan

Karimunjawa. Dari survei, tanaman dewandaru di Bali ditemukan di beberapa

tempat di Kabupaten Gianyar yaitu Kecamatan Payangan, Kecamatan Tegallalang

dan Kecamatan Tampak Siring (Rai et al., 2016).

Dalam bahasa Brazil tanaman ini disebut sebagai Pitanga, dapat tumbuh pada

daerah beriklim tropis dan subtropis dengan ketinggian dari permukaan laut

hingga ketinggian 1800 meter seperti pada daerah Guatemala. Tanaman

dewandaru ini dikatakan berasal dari hutan Amazon di Amerika Selatan. Tanaman

ini dibudidayakan di Argentina, Venezuela dan Colombia, hingga kepulauan

Karibia dan juga Florida. Banyak tersebar pada negara-negara Amerika Selatan
seperti Argentina, Brazil, Uruguay dan Paraguay. Dan disebutkan makin banyak

di daerah Bermuda dan beberapa daerah di Australia (Lim, 2012; Consolini et al.,

2002).

2.3.4 Pemanfaatan sebagai tanaman obat

Tanaman ini diperkenalkan secara empiris pada bidang medis sekitar abad ke-

15, dan daun segar maupun daun keringnya dikatakan sangat populer

penggunaannya pada dosis terapeutik 0,7-1,5g daun kering per liter dalam air

yang direbus dan dapat dikonsumsi setiap hari (0,4-0,8mg/kg/h) (Consolini et al.,

2002).

Tanaman dewandaru (Eugenia uniflora L.) merupakan tanaman yang telah

memiliki berbagai manfaat yang teruji klinis. Buah dewandaru mengandung

protein, karbohidrat dan vitamin C. Kulit kayunya mengandung tanin. Sedangkan

daunnya banyak mengandung minyak atsiri, saponin dan flavonoid. Dengan

berbagai kandungan yang dimiliki tersebut, tanaman ini banyak digunakan secara

tradisional di negara-negara Amerika latin seperti Paraguay, Brazil dan Suriname,

diantaranya sebagai peningkat kualitas astringent, mengurangi tekanan darah

tinggi (Consolini et al., 1999), penurun kolesterol, penurun metabolisme lipid

(Arai et al., 1999) dan sebagai antioksidan (Rai et al., 2016; Lim, 2012; Consolini

et al., 2002).

Tanaman dewandaru khususnya daun dan buahnya sudah dimanfaatkan oleh

warga Brazil untuk mengobati gangguan kesehatan secara turun menurun. Daun

dan buah tanaman ini digunakan untuk mengatasi diare dan penyakit saluran
cerna, antiinflamasi (Schapoval et al., 1994), mengatasi rematik, antidiabetes

(Schumacher et al., 2015), antikolesterol (Arai et al., 1999), antimikroba (Fadeyi

et al., 1989; Fiuza et al., 2008) dan terapi sepsis (Rattmann et al., 2012) serta

potensiasi terhadap antibiotik (Coutinho et al. 2010). Khasiatnya yang sudah

terkenal itu telah mencuri perhatian ilmuwan untuk melakukan penelitian, dengan

tujuan untuk memberikan landasan ilmiah dalam pemakaiannya. Bahkan saat ini

sudah mulai dibicarakan khasiat dewandaru sebagai antikanker (Rai et al., 2016;

Ismiyati et al., 2012). Lee et al. (2000) pada penelitiannya mendapatkan bahwa

eugeniflorin D1 dan D2 memiliki potensi inhibisi dari enzim DNA polimerase

pada Epstein-Barr Virus yang sering diasosiasikan dengan karsinoma nasofaring.

Banyak kepustakaan yang menyebutkan pemanfaatan tanaman Eugenia

uniflora L. ini. Lim (2012) menyebutkan tanaman ini diantaranya memiliki

aktivitas antimikroba, antihiperglikemia, vasorelaksan, aktivitas antivirus,

antinosiseptif, diuretik, efek pada sistem saraf pusat, efek antiinflamasi, efek anti

diare, aktivitas kontraksi otot, tripanosidal dan aktivitas potensiasi antibiotik.

2.3.5 Kandungan kimia

Daun tanaman dewandaru kaya akan kandungan polifenol seperti flavonoid,

saponin dan tanin. Flavonoid dari daun berupa mirisetin, mirisitrin, galokatekin,

kuersetin dan kuersitrin (Rai et al., 2016; Santos et al., 2011; Schmeda-

Hirschmann et al.,1987). Senyawa tanin yang diisolasi dari fraksi aktif Eugenia

uniflora antara lain gallokatekin, oenothein B, eugeniflorin D1 dan D2 dan flavonol

mirisitrin (Rai et al., 2016; Santos et al., 2011). Menurut penelitian oleh Samy et
al. (2014) dari ekstrak daun Eugenia uniflora dapat diisolasi 8 komponen yaitu 1

sterol (β-sitosterol), 2 triterpen (asam betulinik dan centelloside), 3 flavonoid

(mirisetrin, mirisetin 3-O-(4‟‟-O-galloyl)-α-L-rhamnopiranosid, dan mirisetin 3-

O-β-D-glucopiranosid) dan 2 megastigman, actinidioionosid dan (6S,9R)-

roseoside.

Dewandaru mempunyai antioksidan yang lebih atraktif dibanding dengan

buah atau sayuran lainnya, karena tumbuhan tersebut mengandung sebagian besar

flavonoid antioksigen dengan aktivitas yang lebih besar dari tokoferol (vitamin

E), yang berperan pada efek antioksidan yang dihasilkannya (Rai et al., 2016).

Tanaman dewandaru memiliki kandungan polifenol maupun komponen

flavonoid yang cukup tinggi. Ekstrak metanol buah dewandaru mengandung

cynadin-3-O-&-glucopyranoside dan delphinidin-3-O-&-glucopyranoside, suatu

antosianin antioksidan (Rai et al., 2016; Einbond et al., 2003).

Pada penelitian oleh Denardin et al. (2015) didapatkan bahwa beberapa buah

yang tumbuh di Brazil bagian selatan seperti pitanga berwarna ungu, blackberry

dan araca mengandung sumber yang kaya akan komponen phenol dan memiliki

aktivitas yang baik sebagai antioksidan. Demikian halnya dengan penelitian oleh

Costa et al. (2013) mendapatkan bahwa komponen bioaktif yang penting dan

memiliki nilai kesehatan dimiliki oleh buah eksoktik tropis buah redberry dan

blackberry salah satunya adalah Eugenia uniflora.

Reynertson et al. (2005) mengatakan bahwa pada ekstrak daun terdapat

mirisetin 100%, kuersetin 71% dan kaemferol 24% pada 17 spesies Eugenia yang

diteliti. Disebutkan pula bahwa flavonoid antioksidan yang sudah banyak dikenal
terdapat pada ekstrak daun termasuk diantaranya mirisetin, mirisitrin, galokatekin,

kuersetin, dan kuersitrin.

Pada penelitian oleh Bakr et al. (2017) didapatkan ekstrak daun Eugenia

uniflora L. mengandung mirisetin 3-O-(4‟‟,6‟‟-digalloyl) glucopyranoside. Pada

penelitian oleh Daniel et al. (2015) mendapatkan hasil bahwa daun Eugenia

uniflora L. memiliki potensi yang besar sebagai sumber obat yang sangat berguna

yang disebabkan oleh adanya berbagai macam metabolit primer dan sekunder. Hal

tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini yang menunjukkan analisa

kualitatif dari daun Eugenia uniflora L. pada berbagai macam pelarut.

Tabel 2.1 Hasil skrining fitokimia daun Eugenia uniflora L. pada berbagai pelarut
(Daniel et al., 2015)
2.4 Flavonoid sebagai antialergi

Penelitian mengenai obat-obatan yang berasal dari tanaman akhir-akhir ini

banyak dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu baik secara selular, biokimia, teknik

biologi molekuler maupun penelitian dan bioinformatikanya. Proses alergi

memiliki komponen inflamasi yang penting. Sel mast dan basofil menunjukkan

ikatan yang kuat terhadap IgE yang berperan penting pada proses inflamasi alergi

melalui pelepasan mediator kimia seperti histamin dan leukotrin sistenil, sitokin

dan kemokin. Intervensi terapi pada penyakit alergi telah difokuskan pada

penekanan produksi IgE dan menghambat kerja histamin yang mengendalikan

ekspresi atau melepaskan sitokin, kemokin, molekul adesi dan mediator inflamasi.

(Bellik et al., 2012).

Fitokimia terutama golongan fenol menunjukkan aktivitas antiinflamasi dan

antialergi secara in vivo dan in vitro. Fitokimia dalam diet makanan dapat

dibedakan menjadi karotenoid, fenol, alkaloid, komponen nitrogen dan komponen

organosulfur.

Golongan fenol mewakili hampir sebagian besar penelitian terhadap

kelompok fitokimia dalam diet makanan. Gambar 2.9 menampilkan klasifikasi

polifenol dalam diet makanan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Singh

et al., 2011)
Gambar 2.9 Klasifikasi polifenol dalam diet makanan (Singh et al., 2011)

Sebagian besar manfaatnya disebabkan karena efek antioksidan dan

antiinflamasi dari golongan fenol. Dari penelitian secara epidemiologi hewan coba

dan secara molekuler, penelitian menemukan hubungan antara antioksidan dengan

asma dan lebih sedikit data mengenai hubungannya terhadap dermatitis atopi dan

rinitis alergi. Pada Gambar 2.10 ditampilkan mekanisme kerja polifenol pada

penyakit alergi. Secara umum, fitokimia seperti fenol menampakkan aktivitas

imunomodulator yang kuat yang dapat mempengaruhi inisiasi dan berlangsungnya

proses inflamasi alergi melalui pengaruhnya terhadap:

 Presentasi antigen dan maturasi dari APC

 Pelepasan mediator pada proses inflamasi alergi dari sel efektornya

 Mekanisme regulasi sistem imun, produksi IgE dan sitokin (Velickovic et al.,

2014).
Gambar 2.10 Mekanisme kerja polifenol pada penyakit alergi (Singh et al., 2011)

Flavonoid merupakan istilah yang umum untuk menggambarkan lebih dari

4000 komponen pada tanaman yang mengandung cincin flavon. Komponen ini

sangat beragam termasuk diantaranya flavon, isoflavon, flavanol, katekin, dan

antosianin. Komponen tersebut merupakan komponen yang paling banyak

dipelajari dari tanaman yang memiliki beberapa aktivitas biologi secara klinis.
Di antara flavonoid disebutkan bahwa kuersetin merupakan komponen yang

paling banyak dipelajari mengenai aktivitas terhadap sel mast dan berhubungan

dengan beberapa antiinflamasi yang potensial (Guilliams, 2007). Kuersetin

dikatakan dapat menghambat proses inflamasi melalui stabilisasi membran

neutrofil yang aktif dan menghambat hyaluronidase yang terjadi karena pecahnya

protein matriks kolagen. Fungsi ini menyebabkan kuersetin mampu mencegah

degranulasi sel mast dan basofil, sekresi enzim lisosom neutrofil dan produksi

leukotrin. Disebutkan pula pada sebuah studi terhadap sel mast dari mukosa

kavum nasi pada pasien rinitis alergi perenial, kuersetin dikatakan secara

signifikan mampu menghambat pelepasan histamin yang diinduksi oleh alergen

(Resnick et al. 2008). Kuersetin dapat dikatakan sebagai substansi antialergi yang

aman yang memiliki potensi yang sama dengan formula herbal cina yang disebut

Food Allergy Herbal Formula (FAHF) pada suatu penelitian yang dihubungkan

dengan penghambatan anafilaksis karena kacang pada tikus percobaan. Hal ini

sementara masih dalam perspektif luas dan memerlukan penelitian lebih lanjut

mengenai kemungkinan penggunaan obat alami dan fitokimia sebagai obat

sesungguhnya (Chirumbolo, 2011).

Cheong et al. (1998) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa diantara 22

komponen flavonoid yang diuji, luteolin, apigenin, diosmetin, fisetin dan

kuersetin dikatakan memiliki aktifitas menghambat degranulasi sel mast. Min et

al. (2007) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa kuersetin dapat

digunakan sebagai terapi terhadap penyakit inflamasi alergi yang berhubungan

dengan sel mast.


Pada penelitian oleh Medeiros et al. (2008) didapatkan bahwa mirisetin pada

ekstrak bee pollen memiliki efek antialergi. Shimosaki et al. (2011) dalam

penelitiannya mendapatkan bahwa mirisitrin yang merupakan suatu flavonoid

yang secara natural dan banyak terdapat pada tanaman tingkat tinggi

menunjukkan aktifitas antialergi secara in vitro dan in vivo. Mengkonsumsi

flavonoid yang tepat dengan aktivitas antialergi dapat sebagai bentuk dari terapi

pelengkap dan alternatif terapi yang efektif dalam strategi pencegahan penyakit

alergi (Kawai et al., 2007).

Flavonoid menggambarkan sebagian besar golongan polifenol, seperti pada

Gambar 2.9 diatas. Flavonoid meliputi sebagian besar kelompok dengan berat

molekul rendah dari metabolit sekunder dari tanaman yang banyak ditemukan

pada sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, batang, bunga, akar,

kulit pohon, teh, wine dan kopi, yang ada pada sebagian besar makanan kita

sehari-hari. Diperkirakan bahwa flavonoid merupakan dua pertiga dari fenol pada

makanan kita. Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, dan

antivirus, serta memiliki efek antiinflamasi, analgesik, hepatoprotektif, sitostatik,

apoptotik, efek esterogenik atau antiesterogenik maupun efek antialergi

(Velickovic et al., 2014; Tanaka, 2013).

Berdasarkan strukturnya, flavonoid dapat dibagi menjadi 8 kelompok yaitu

flavan, flavanon, isoflavon, flavon, isoflavanon, antosianidin, chalcone dan

flavonolignan. Struktur dari flavanoid terdiri dari hidrokarbon heterosiklik atau

chromane dan substitusi pada cincin C pada posisi 2 atau 3 dengan grup fenil

(cincin B) menghasilkan flavan atau isoflavan. Struktur dasar flavonoid seperti


ditampilkan pada Gambar 2.11. Flavonoid secara alami terdapat dalam bentuk

glukosida. Sebagian besar penelitian untuk mengevaluasi efek flavanoid pada

sistem imun dilakukan secara in vitro sehingga dapat mengetahui secara jelas

mekanisme molekuler dan target sel dari flavonoid. Hanya sedikit penelitian

dilakukan secara in vivo untuk mengetahui lebih jelas efek flavonoid setelah

proses absorpsi dan metabolisme (Velickovic et al., 2014; Tanaka et al., 2003).

Gambar 2.11 Struktur dasar flavonoid (Velickovic et al., 2014)

Flavonoid telah banyak dikenal karena efek imunomodulator dan aktivitas

antiinflamasinya. Efek ini disebabkan karena flavonoid memiliki efek

penghambatan pada produksi sitokin proinflamasi dan reseptornya. Beberapa

flavonoid juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan menghambat


terjadinya radikal bebas. Flavonoid juga memiliki efek terhadap beberapa enzim

yang terlibat pada respon alergi dan inflamasi seperti tyrosine dan serine-

threonine protein kinase, phospholipase A2, phospholipase C dan lipoxygenase

(Jannesar et al., 2017).

Aktivitas antioksidan dari flavonoid dikatakan melalui beberapa cara antara

lain menghambat pembentukan reactive oxygen species (ROS) dengan

menginhibisi kerja enzim atau berikatan dengan chelating trace element yang

terlibat dalam produksi radikal bebas, mengikat reactive oxygen species (ROS)

dan meningkatkan mekanisme antioksidan sebagai sistem pertahanan. Disebutkan

beberapa kelas komponen flavonoid yang memiliki kemampuan mengikat ROS

antara lain katekin, luteolin, kaemferol, kuersetin, naringenin dan hesperidin.

Flavonoid sebagai antioksidan salah satunya karena dapat menginhibisi kerja

enzim yang bertanggung jawab terhadap produksi anion superoksid seperti xantin

oksidase. Flavonoid juga dikatakan dapat menghambat kerja enzim

siklooksigenase dan lipooksigenase, mikrosomal monooksidase, glutathione S-

transferase, mitokondrial suksinoksidase dan NADH oksidase, dimana semua

enzim tersebut terlibat dalam pembentukan ROS (Cazarolli et al., 2008).

Konsumsi antioksidan dapat mengurangi timbulnya efek buruk akibat ROS

dan radikal bebas pada sistem imun, yang hasilnya akan memperbaiki kualitas

sistem imun itu sendiri. Fitokimia dalam diet seperti polifenol dan komponen

flavonoid dengan antioksidan memiliki efek meningkatkan respon imun pada

kelompok vertebrata. Pada penelitian in vitro menunjukkan bahwa flavonoid


memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin E dan C

(Jannesar et al., 2017).

Beberapa mekanisme flavonoid sebagai antiinflamasi dijelaskan pada

beberapa penelitian secara in vivo dan in vitro. Dikatakan flavonoid mampu

memodulasi fungsi dan aktivitas antiinflamasi dan sistem imun melalui inhibisi

pelepasan histamin dari sel mast, bersifat imunosupresif terhadap proliferasi sel T

dan sintesis IL-2, dan meregulasi sekresi dari IgG, IgM dan IgA. Salah satu dari

aksi langsung flavonoid yaitu memodulasi aktivitas asam arakidonat dalam

memetabolisme enzim. Pembentukan asam arakidonat tergantung pada sintesis

prostaglandin, leukotrien dan platelet activating factor, dimana jalur ini

dicetuskan oleh fosfolipase A2. Asam arakidonat berperan pada beberapa

metabolisme produk aktif (eicosanoid) melalui 2 jalur utama yaitu

siklooksigenase dan lipooksigenase. Flavonoid awal yang diketahui bekerja

menginhibisi aktivitas fosfolipase A2 adalah kuersetin. Flavonoid lainnya yang

bekerja serupa yaitu hesperetin, naringenin, kaemferol, mirisetin dan biflavonoid.

Beberapa flavonoid yang dapat menginhibisi enzim siklooksigenase antara lain

luteolin, 3‟,4‟-dihidroksiflavon, galangin dan morin. Juga terdapat pada baikalin,

katekin, rutin, krisin dan derivatifnya, kaemferol dan kuersetin. Sedangkan

flavonol yang diketahui menginhibisi enzim lipooksigenase lebih kuat daripada

flavon antaralain kaemferol, kuersetin, morin dan mirisetin (Cazarolli et al.,

2008).

Nitrit oksida (NO) merupakan salah satu mediator sel pada proses fisiologis

dan patologis yang melibatkan proses inflamasi yang diproduksi secara biokimia
dari sintesis L-arginin oleh nitric oxide synthase (NOS). Kuersetin, apigenin,

luteolin, genistein, kaemferol, krisin dan derifatnya, diketahui mampu

menginhibisi pembentukan NO untuk melawan NOS melalui aktivitas inhibisi

induced NOS (iNOS) dan menurunkan regulasi ekspresi iNOS dari berbagai sel

yang berbeda (Cazarolli et al., 2008).

Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1β merupakan kontibutor permanen

pada penyakit inflamasi kronis. Genistein dan beberapa flavonoid dikatakan

mampu menginhibisi IL-1β, IL-6 dan TNF-α. Kuersetin, rutin dan kaemferol

dapat menginhibisi ekspresi dan produksi TNF-α dan ICAM-1. Flavonoid lainnya

seperti mirisitrin dikatakan dapat menginhibisi respon nosiseptif pada model nyeri

akut melalui inhibisi pada fosfatidilinositol 3-kinase dan aktivitas protein kinase

C, produksi NO, ekspresi iNOS dan aktivasi NF-kB (Cazarolli et al., 2008).

Selain memiliki efek sebagai antiinflamasi, flavonoid dapat menghambat

beberapa fungsi sel yang berhubungan dengan alergi dan hipersensitivitas.

Dimana dikatakan dapat menghambat degranulasi sel mast dan menghambat

pelepasan histamin, triptase, IL-6, IL-8 dari sel tersebut (Comalada et al., 2013).

Sebagai bentuk alami dari ekstrak tanaman, flavonoid dikatakan mampu

meningkatkan efek antiinflamasi pada proses inflamasi akut maupun kronis

seperti pada rinitis alergi, dermatitis alergi dan beberapa kelainan alergi (Kim et

al., 2004). Penelitian yang paling efisien dan baik pada kelompok flavonoid di

bidang kelainan hipersensitivitas adalah flavanol (katekin), flavonol dan flavon

(Velickovic et al., 2014; Tanaka et al., 2003).


Aktivitas antialergi golongan flavanol telah banyak dipelajari, seperti pada

katekin pada teh hijau yang memiliki efek yang menguntungkan pada kelainan

sistem imun. Polifenol pada teh juga merupakan chelator ion logam yang berguna

saat mencegah terbentuknya radikal bebas. Aktivitas antialergi pada teh hijau

dihubungkan dengan efeknya pada sel efektor, basofil dan jaringan

pendukungnya, sel mast melalui inhibisi langsung saat proses degranulasi pada

reaksi alergi dan sekresi mediator inflamasi (Velickovic et al., 2014).

Aktivitas antialergi golongan flavonol seperti kaemferol, menunjukkan

aktivitas yang poten dalam melindungi dan mencegah kelainan alergi terkait IgE.

Juga telah didemonstrasikan efek inhibisi pada aktivasi STAT6 yang berkorelasi

baik dengan inhibisi respon sel terhadap sitokin IL-4. Pada penelitian telah

didapatkan bahwa kuersetin dan kaemferol secara efektif menekan perkembangan

inflamasi alergi terkait IgE pada model sel intestinal. Flavonol juga diketahui

menekan aktivasi sinyal ekstraregulasi protein kinase pada IgE spesifik OVA dan

pada pelepasan kemokin. Flavonol juga memiliki efek pada IL-4, IL-13 dan

ekspresi ligan CD40 oleh basofil. Flavonol lainnya yaitu fisetin dikatakan

menekan ekspresi sitokin Th2 (IL-4,IL-13, dan IL-5) oleh basofil (Velickovic et

al., 2014; Tanaka, 2013; Tanaka et al., 2006).

Efek antialergi pada golongan flavon seperti pada luteolin dan apigenin

diketahui menekan ekspresi ligan CD40 oleh basofil. Flavon secara signifikan

menurunkan jumlah sel pada permukaan dan ekspresi protein γc, dimana diketahui

bahwa γc mungkin merupakan molekul target pada inhibisi oleh flavon pada

sinyal IL-4 (Velickovic et al., 2014).


Flavonoid telah diketahui memiliki aktivitas inhibisi pada sel mast dan hal

tersebut yang menurunkan gejala alergi. Aktifitas ini tampaknya ditingkatkan

dengan mengkombinasikan komponen ini dengan proteoglikan sulfat (Bielory,

2016). Dari penelitian yang ada, tampaknya penggunaan flavonoid dari bahan

alami secara umum tidak memiliki efek toksik pada percobaan terhadap hewan

dan manusia (Middleton et al., 1993).

Beberapa bukti menyebutkan bahwa hanya sel yang teraktivasi yang dapat

memodulasi efek flavonoid, seperti misalnya sel yang berespon terhadap adanya

stimulus. Beberapa flavonoid tertentu dikatakan memiliki efek antialergi

tergantung pada strukturnya, dimana pada adanya stimulus dapat menghambat

pelepasan proinflamasi dari sel mast, basofil dan eosinofil granular yang ikut serta

dalam proses terjadinya patogenesis dari penyakit seperti pada asma,

rhinokonjungtivitis alergi, urtikaria dan yang lainnya (Middleton, 1998).

Bioflavonoid telah menjadi fokus yang unik dari salah satu pilar alergi, yang

sejak tahun 1985 dr. Middleton telah mempelajari efek antialerginya. Kuersetin

merupakan salah satu agen awal yang dipelajari sebagai terapi antialergi

berdasarkan penelitian terhadap efek stabilisasi sel mast dan inhibisi beberapa

mediator inflamasi termasuk diantaranya histamin, IL-8, tumor necrosis factor

(TNF) dan pembentukan prostaglandin D2 (Bielory, 2016; Upadhyaya et al.,

2017). Gambar 2.12 dibawah ini menggambarkan respon alergi dan beberapa agen

yang menghambat proses inflamasinya.


Gambar 2.12 Respon alergi dan beberapa agen yang dapat menghambat
proses inflamasi (Guilliams, 2007)

2.5 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

Hampir 80% dari hewan coba adalah dari ordo rodensia termasuk

diantaranya mencit, tikus, guinea pigs dan lainnya. Sepuluh persen adalah ikan,

amfibi, reptil dan unggas. Kelompok lainnya yaitu kelinci, kambing, kerbau, dan

lebih sedikit pada anjing, kucing, dan beberapa spesies primata. Diantara ordo

rodensia, tikus merupakan hewan coba yang paling banyak digunakan dimana

diperkirakan merupakan 20% dari total mamalia yang digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan, diikuti mencit, kelinci, anjing, babi dan primata
terutama untuk penelitian in vivo. Penelitian biomedis yang banyak menggunakan

tikus antara lain penelitian di bidang toksikologi, teratologi, onkologi,

gerontologi, penelitian di bidang kardiovaskular, imunologi, penelitian

imunogenetik gigi dan parasitologi. Tikus banyak juga digunakan dalam

penelitian perilaku dan pada penelitian mengenai nutrisi (Sengupta, 2013).

Penelitian dengan hewan coba tikus dimulai pada abad ke-16, akan tetapi

perkembangan tikus laboratorium sebagai model hewan percobaan dimulai pada

tahun 1906 ketika Wistar Institute mengembangkan model tikus Wistar (Rattus

norvegicus). Rattus norvegicus banyak ditemukan di Eropa pada tahun 1700an.

Pada tahun 1800an hewan ini digunakan pada penelitian neuroanatomi di Amerika

Serikat dan Eropa. Saat ini diketahui spesies Rattus ada sebanyak 51 spesies baik

albino ataupun berwarna. Dan strain tikus Wistar dan tikus Sprague-Dawley yang

banyak digunakan sebagai hewan coba hampir di seluruh dunia (Sengupta, 2013).

Adapun taksonomi dari tikus Wistar adalah sebagai berikut: (Sharp et al.,

1998; Sharp et al., 2012)

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Sub ordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : norvegicus
Tikus adalah hewan nokturnal yang aktivitasnya kebanyakan pada malam

hari dan pada pagi hari. Tikus jantan biasanya lebih agresif dibandingkan betina.

Walaupun ada banyak strain, tikus secara umum tidak agresif, bersifat ingin tahu

dan mudah untuk dilatih. Tikus lebih nyaman pada suasana lingkungan yang kecil

dan gelap. Tikus jantan tidak seperti mencit, tikus biasanya tidak suka bertikai

ketika ditempatkan dalam satu kandang. Berikut ini pada tabel 2.2 ditampilkan

parameter biologi dari tikus Wistar: (Sharp et al., 1998; Sharp et al., 2012)

Tabel 2.2 Parameter biologi dasar tikus Wistar (Sharp et al., 2012)

Anda mungkin juga menyukai