KAJIAN PUSTAKA
2.1 Alergi
alergi, konjungtivitis alergi, anafilaksis, reaksi alergi makanan atau alergi obat
merupakan mayoritas penyakit yang mengenai hampir 22% populasi di dunia (He
et al., 2013). Prevalensi penyakit alergi di Amerika Serikat sekitar 20% dan
tahun 2006 memperlihatkan bahwa 54,6% penduduk Amerika yang menjalani tes
memiliki hasil positif sedikitnya terhadap satu alergen (Chaaban et al., 2014).
Istilah “alergi” diperkenalkan pada tahun 1906 oleh Von Pirquet, diartikan
sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang sama
untuk kedua kalinya atau lebih (Baratawidjaja, 2000; Kay, 2001). Hal ini
hipersensitivitas, dimana pada kedua hal tersebut diinduksi oleh antigen yang
mengalami perubahan dan saat ini digunakan istilah sinonim yaitu penyakit alergi
terkait IgE. Pernyataan dari Von Pirquet tersebut seharusnya digunakan pada
respon biologi yang tidak diketahui, dimana nantinya akan dapat menunjukkan
Sedangkan istilah “atopi” berasal dari bahasa Yunani atopos yang berarti tidak
memiliki satu atau lebih penyakit atopi seperti rinitis alergi, asma dan eksim atopi.
dapat terjadi melalui mekanisme yang tidak terkait IgE dan hal ini dimasukkan
dengan gejala gatal, bersin, hidung berair dan kongesti merupakan contoh klasik
beberapa komponen pada sistem imun bawaan maupun sistem imun yang didapat.
Komponen tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1) barier fisik (kulit
dan permukaan mukosa), 2) sistem imun bawaan yang merespon patogen yang
sesuai dengan beberapa pola termasuk diantaranya epitel, endotelial, stroma dan
sel fagositosis (sel dendritik, netrofil, monosit/makrofag dan eosinofil), sel natural
killer (NK) dan sistem komplemen, 3) sistem imun yang didapat yang diinduksi
oleh sel dendritik, sel limfosit T primer dan limfosit B untuk mensekresi sitokin
dari sistem imun terhadap alergen lingkungan yang kontak dengan kulit atau
mukosa. Sistem imun primer yang berperan pada respon alergi adalah sel mast
positif reseptor imunoglobulin E (IgE) yang terdapat pada jaringan dan basofil
yang bersirkulasi pada plasma. Ketika alergen tertangkap, dua atau lebih antibodi
IgE bereaksi terhadap sel mast yang merupakan sinyal untuk mengaktifkan respon
alergi cepat dengan berbagai proses inflamasi. Sebagai awal dan tanda proses
inflamasi tersebut adalah degranulasi atau pelepasan substansi awal dari granula
sel mast seperti histamin, heparin, triptase dan beberapa sitokin inflamasi ke
jaringan. Kemudian sel mast juga memulai proses sintesis mediator inflamasi
beberapa sel imun, vasodilatasi dan nyeri. Pencegahan dari reaksi ini memerlukan
memiliki suseptibilitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini dikarenakan
respon alergi memerlukan individu dengan sel B yang memproduksi antibodi IgE
yang mengikat alergen yang telah terekspos oleh individu tersebut (Guilliams,
2007).
jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas tersebut menurut Gell dan Coombs dapat
Reaksi ini disebut juga sebagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaktik
yang dimediasi oleh IgE. Sel mast dan basofil memiliki peranan penting pada
inflamasi alergi tipe cepat melalui pelepasan mediator kimia seperti histamin dan
leukotrin, sitokin dan kemokin. Reaksi yang terjadi akan melibatkan kulit (eksim),
a. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik, sel mast melepaskan isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
c. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
sampai di permukaan mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva,
tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10%
yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit,
segera diikat oleh sel mast atau basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel
mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitisasi dapat pula terjadi secara
pasif bila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau
oleh karena dilatasi vaskular) dan edem (pembengkakan yang disebabkan oleh
masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi dalam 10-15 menit.
Dalam fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel sebagai akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++. Dalam fase ini energi dilepas akibat
permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap
akan membantu degranulasi. Pelepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak
menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai lagi
fungsinya.
Reaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan antigen menimbulkan influks
Ca++ yang menimbulkan degranulasi sel dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi
sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilaktoksin, C3a dan C5a. Disamping
histamin, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang
dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat akan berperanan pada fase lambat
dari reaksi cepat tersebut, yang sering timbul beberapa jam sesudah terpajan
dengan alergen. PG dan leukotrin merupakan mediator yang harus dibentuk dulu
dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Oleh karena itu
Reaksi ini dikenal sebagai sitotoksik terkait antibodi yang dimediasi oleh antibodi
dari klas IgM atau IgG dan komplemen. Antibodi akan secara langsung berikatan
dengan antigen pada permukaan sel yang menyebabkan kerusakan sel seperti pada
penyakit hemolisis pada bayi baru lahir (Rh disease) dan miastenia gravis.
Reaksi ini disebut juga sebagai hipersensitivitas imun kompleks yang dimediasi
oleh IgG atau IgM. Reaksi akan terjadi secara umum (serum sickness) atau
melibatkan salah satu organ termasuk kulit (systemic lupus erythematosus), sendi
Reaksi ini dikenal sebagai hipersensitivitas tipe lambat atau cell mediated. Reaksi
yang terjadi akan dimediasi oleh CD4+ sel T, dan terlibat pada patogenesis
Intervensi terapi pada penyakit alergi akan berfokus pada menekan produksi
IgE dan menghambat aktivasi histamin, sehingga akan terjadi regulasi ekspresi
atau pelepasan sitokin, kemokin, adesi molekul atau mediator inflamasi (Bellik et
al. 2013).
Individu dengan riwayat keluarga asma, eksim, penyakit flu alergi dan
urtikaria serta positif pada tes kulit termasuk didalam individu yang atopi. Orang
tua yang alergi memiliki proporsi yang lebih tinggi untuk memiliki anak-anak
yang alergi, 50% anak-anaknya akan berkembang menjadi alergi pada kedua
orang tua yang memiliki alergi. Apabila salah satu orang tua yang alergi maka
meningkatkan prevalensi alergi pada negara-negara maju. Diet pada ibu hamil
(polyunsaturated fatty acid), konsumsi serat yang larut, antioksidan dan asam
4-18% komponen karbohidrat. Dimana merupakan hampir 20% dari total protein
plasma. Fungsi dari imunoglobulin yaitu menangkap dan mengagregasi toksin dan
komponen asing. Ikatan antara antibodi dan reseptor dari sel mast menyebabkan
sensitisasi sel tersebut untuk terjadinya hipersensitivitas tipe cepat (Chaaban et al.,
2014).
rantai polipeptida besar dan rantai polipeptida yang ringan yang digambarkan
pada Gambar 2.1. Pada manusia yang sehat terdapat 9 isotipe dari imunoglobulin
dan 4 kelas berbeda yaitu IgG, IgA, IgM dan IgE (Chaaban et al., 2014).
Gambar 2.1 Struktur antibodi (Chaaban et al., 2014)
imunoglobulin, tetapi memiliki afinitas dan daya ikat yang kuat terhadap sel mast
dan basofil via sisi Fc pada IgE , dimana merupakan bagian yang berperan penting
pada respon alergi. IgE normalnya berbentuk monomerik. IgE diproduksi oleh sel
B setelah inisiasi pada 2 sinyal penting yaitu IL-4 dan IL-13 yang memiliki target
Cε gene yang menyebabkan bergantinya rekombinasi dan interaksi dari sel T yang
teraktivasi ligan CD40 dengan CD40 pada permukaan sel B untuk menginisiasi
pembentukan IgE pada penderita atopi atau pasien alergi memegang peranan
penting pada proses penyakitnya. IgE juga diproduksi secara lokal di mukosa
Antibodi IgE terikat pada sel mast pada permukaan sel yang berikatan dengan
kemungkinan untuk mendukung sel mast dengan cara berikatan kuat dengan
bagian reseptornya yang memiliki afinitas tinggi pada sel mast yang akan
adanya sel proinflamasi pada kondisi inflamasi alergi merupakan faktor yang
alergen dihentikan.
IgE juga berikatan dengan makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel dendritik
melalui reseptor yang memiliki afinitas rendah. Pada makrofag akan terjadi ikatan
dengan reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi dan akan menghasilkan IL-10.
Ekspresi IgE pada netrofil tampak pada pasien asma, hal tersebut
menghasilkan IL-10 melalui ikatan yang terjadi pada reseptornya. Sehingga terapi
pada alergi menargetkan pada IgE yang secara klinis telah terbukti. Perkembangan
IgE ditunjukkan pada Gambar 2.2. Strategi yang penting juga dilakukan dengan
Inflamasi alergi merupakan dasar dari perubahan patologis dari suatu proses
serbuk sari atau rumput, debu kotoran binatang dan jamur akan tertimbun pada
permukaan mukosa. Setelah antigen tersimpan, sel dendritik yang berikatan dgn
tersebut kepada sel T yang telah tersensitisasi. Ketika alergen terikat dengan IgM
spesifik pada sebuah Antigen Presenting Cell (APC) seperti sel Langerhans pada
epidermis, alergen akan masuk ke dalam tubuh dan akan memecahkan lisosom
seperti IL-4. Sel T akan memperlihatkan reseptor IL-4 dan ligan CD40 pada
permukaannya. IL-4 akan berikatan dengan sel T pada reseptornya pada sel
limfosit B. Sensitisasi alergen pada hidung menghasilkan produksi IgE pada tahap
perubahan isotipe dari IgM menjadi IgE dan sintesis dari IgE. Hal ini ditampilkan
pada Gambar 2.2 dimana sinyal 1 merupakan interaksi IL-4 dengan reseptor IL4
pada sel B, dan sinyal 2 merupakan stimulasi dari sinyal CD40 pada sel B dengan
Respon mukosa hidung terkait IgE dalam respon terhadap paparan alergen
dapat terjadi pada fase cepat dan fase lambat. Pada fase cepat terdapat predominan
sel mast. Aktivasi sel mast akan menyebabkan tanda kardinal seperti bersin, gatal,
hidung berair dan hidung tersumbat. Fase lambat terjadi beberapa jam setelah fase
cepat terjadi dengan melibatkan interaksi beberapa sel. Interaksi ini tidak hanya
tambahan dari ikatan alergen dengan IgE spesifik dan meningkatkan respon
Respon awal ini terjadi saat host yang tersensitisasi terjadi dalam waktu
beberapa menit setelah paparan suatu alergen. Pasien awalnya akan merasa gatal
pada hidung diikuti dengan bersin, hidung berair, mata berair dan kemudian
hidung tersumbat. Sebagian besar respon ini kecuali hidung tersumbat, terjadi
pada pembuluh darah vaskular, kelenjar dan stimulasi saraf (Chaaban et al.,
2014).
hidung. Produksi dari sel mast antara lain histamin, mediator lipid seperti
prostaglandin (PG) dan leukotrin, kemokin seperti eotaksin dan RANTES, dan
juga sitokin seperti IL-3, IL-4, TNF-α, GSM-CSE dan MIP-1α. Sel mast akan
proliferasi sel mast adalah stem cell factor (SCF atau c-kit ligand). SCF
menginduksi pelepasan histamin dari sel mast tetapi tidak dari sel basofil, dan
terbentuk dari sel stroma sumsum tulang, sel endotel dan fibroblas. Sitokin
lainnya juga memegang peranan pada proliferasi sel mast termasuk diantaranya
IL-3, IL-5, IL-9, IL-10, IL-11 dan nerve growth factor (NGF).
Sel mast memegang peranan penting pada respon awal dan juga berperan
pada respon lanjut pada paparan alergen. IgE spesifik antigen memiliki
kemampuan mengikat dengan afinitas yang kuat pada reseptor sel mast pada
permukaan selnya. Pada paparan ulang dengan alergen, IgE spesifik antigen akan
berikatan dengan permukaan sel mast yang akan menyebabkan terjadinya influks
ion kalsium. Hasil dari proses ini adalah terjadinya eksostosis komponen kelenjar
dan pelepasan preform mediator seperti histamin, heparin dan enzim proteolitik
gejala dan reaksi inflamasi yang terjadi beberapa jam setelah paparan antigen.
Eosinofil berespon terhadap IL-5 yang diproduksi oleh sel T, dan sel T akan
inflamasi lokal yang tampak pada fase lambat. IL-4 akan dilepaskan oleh sel mast
dan sel T-helper yang juga akan berperan pada fase ini.
Pada respon terhadap IL-4, IL-1β atau TNF-α, epitel lokal akan melakukan
regulasi yang lambat terhadap antigen dan ICAM-1 pada permukaannya. Sel T,
basofil, monosit dan eosinofil akan dihasilkan via vascular cell adhesion molecule
vaskular pasien dengan rinitis alergi, dimana diketahui bahwa ICAM-1 ditemukan
berperan dalam merekrut sel T dan eosinofil pada mukosa hidung. TGF-α juga
diketahui meningkat pada epitel di konka inferior pasien atopi dan pasien dengan
rinitis, hal ini menggambarkan peran TGF-α pada kemoatraktif dan retensi sel
mast pada rinitis. Eotaksin pada bilasan cuci hidung pada pasien dengan rinitis
jumlahnya dan saling tumpang tindih dalam fungsinya, hal ini menambah
terjadi pada respon fase lanjut tidak hanya membuat gejala terjadi secara
keseluruhan, tetapi juga memproduksi tambahan IgE spesifik alergen dan akan
meningkatkan responsif dari individu terhadap alergen awal dan paparan iritan
(hipersensitif).
hidung seperti bersin, hidung berair, hidung gatal dan hidung tersumbat. Pasien
spesifik seperti asap rokok atau udara dingin dan kering. Respon awal dan respon
lanjut dari reaksi alergi ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Chaaban et al., 2014).
Gambar 2.3 A. Respon awal; B. Respon lanjut (Chaaban et al., 2014)
2.2.1 Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan dalam Allergic Rhinitis and its
simptomatis pada hidung yang diinduksi oleh IgE pada proses inflamasi setelah
paparan alergen, yang ditandai dengan 4 gejala utama yaitu hidung berair, hidung
tersumbat, gatal pada hidung dan bersin-bersin (Min, 2010). Normalnya partikel
yang tidak berbahaya tidak dapat diatasi oleh respon imun pada pasien dengan
alergi yang akan menimbulkan gejala suatu inflamasi. Ketika substansi tidak
makanan. Satu kondisi atopi akan menempatkan individu tersebut terhadap risiko
2.2.2 Epidemiologi
Peningkatan ini terjadi lebih banyak pada kelompok usia 6-7 tahun dibandingkan
anak usia 13-14 tahun. Hal ini terjadi tidak saja terjadi pada negara-negara yang
sedang berkembang tetapi juga terjadi pada beberapa negara di Asia. Beberapa
hidup ke gaya hidup barat (Western lifestyle) dan pertumbuhan penduduk yang
rhinokonjungtivitis alergi pada anak anak usia 6-7 tahun pada Australia 12,9%,
Canada 10,8%, Inggris 10,1% dan New Zealand 11,4%. Sedangkan pada negara
3,6%, Jepang 10,6%, Thailand 10,4%, Singapura dan Korea Selatan masing-
masing 8,7%.
Penelitian oleh Kim et al. (2010) di Korea didapatkan bahwa kerugian akibat
rinitis alergi di bidang ekonomi mencapai $272,92 juta dimana disebutkan bahwa
Meltzer tahun 2011 di Amerika Serikat diperkirakan kerugian medis akibat rinitis
Prevalensi rinitis alergi sulit diketahui dengan pasti, hal ini disebabkan oleh
umum rinitis alergi meningkat hampir di seluruh dunia. Rinitis alergi sering
terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada anak-anak. Di beberapa
negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita keluhan rinitis. Di Amerika
Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh Centre for Disease Control
(CDC) pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-anak (11%) dilaporkan
pula rinitis alergi merupakan penyebab nomer dua dari penyakit kronis di
terdapat 1 orang penderita pada setiap 4 rumah tangga. Dari jumlah penderita
tersebut lebih dari setengahnya mengalami gejala alergi lebih dari 10 tahun.
Rinitis alergi memiliki efek yang sangat bermakna pada kualitas hidup pasien,
kualitas tidur, performa pendidikan dan produktivitas (O‟Neil et al., 2014; Min,
2010).
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Perkembangan dari rinitis alergi seperti pada penyakit alergi lainnya berfokus
pada interaksi antara predisposisi genetik dan waktu paparan lingkungan. Paparan
lingkungan termasuk debu tungau, bulu binatang dan serbuk sari tanaman.
Adanya riwayat penyakit atopi dalam keluarga merupakan faktor risiko terhadap
rinitis alergi pada individu kembar maupun dengan individu atopi memperjelas
kemungkinan rinitis alergi antara 45-60% yang menurun hingga 25% pada kasus
Tenaga kesehatan juga harus paham terhadap adanya hubungan antara rinitis
alergi dengan kondisi yang lain seperti asma. Beberapa tahun terakhir terdapat
alergi dan asma setelah paparan dengan antigen. Hal ini termasuk respon yang
berlebihan hingga bahan iritan, sel yang terlibat dalam proses inflamasi, produksi
sitokin dan gambaran adhesi molekul setelah paparan. Rinitis dapat menyebabkan
meningkatkan derajat keparahan rinitis. Merupakan hal yang penting bagi klinisi
untuk mengetahui hubungan antara kondisi saluran nafas atas dan saluran nafas
bawah dalam menangani asma. Terapi rinitis dikatakan dapat mengontrol kondisi
asma dan penanganan alergi sedini mungkin dapat mencegah timbulnya asma
2.2.4 Klasifikasi
dalam dua kelompok yaitu intermiten dan persisten sesuai dengan lamanya waktu
sedang-berat. Rinitis alergi intermiten apabila gejala timbul kurang dari 4 hari
perminggu dan berlangsung selama kurang dari 4 minggu. Rinitis alergi persisten
apabila gejala timbul lebih dari 4 hari perminggu dan berlangsung lebih dari 4
dan aktifitas tidur, sedangkan gejala sedang-berat apabila ada satu atau lebih
alergi menurut ARIA dapat dilihat pada Gambar 2.4 dibawah ini (O‟Neil et al.,
Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh IgE (Reaksi tipe I Gell dan
Presenting Cell (APC) dan kemudian akan dipresentasikan kepada sel limfosit T-
helper (Th) yang membutuhkan reseptor Human Leukocyte Antigen (HLA). Sel
khusus terhadap alergen tersebut. Interleukin 4 (IL-4) dan sitokin alergi lainnya
dapat menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE.
IgE kemudian beredar dalam sirkulasi dan berikatan pada reseptornya di basofil
dan sel mast di seluruh tubuh. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5
dibawah ini.
dan sel mast yang diperantarai oleh IgE, melepaskan mediator-mediator inflamasi
diantaranya histamin. Histamin berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan
otot polos pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan
bersin dan hidung tersumbat. IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi
inflamasi fase lambat. Reaksi inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL-10 dan sel
2.2.6 Diagnosis
teliti dan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
yang menunjukkan adanya IgE baik di kulit maupun di darah (tes alergi).
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan eosinofil sekret hidung,
tes transpor mukosilier, tes buntu hidung, tes penciuman dan pemeriksaan
radiologi (CT scan dan MRI) (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014).
Gejala klinis pasien yang menderita rinitis alergi biasanya sangat spesifik
yaitu bersin-bersin, hidung berair, hidung tersumbat, gatal di hidung disertai mata
gatal dan berair. Apabila dua atau lebih gejala diatas tersebut timbul lebih dari 1
jam pada hampir setiap harinya, maka rinitis alergi sangat besar kemungkinannya.
guidelines dan konfirmasi diagnosis harus dilakukan dengan skin prick test atau
maka dapat dibuatkan daftar pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien dan
keluarga pasien. Ketika diagnosis rinitis alergi ditegakkan, pertanyaan apakah
mengenai gejala atopi lainnya seperti alergi makanan dan eksema. Beberapa studi
menyebutkan hampir 80% penderita asma juga menderita rinitis, dan 10%-40%
penderita rinitis juga menderita asma (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014; Min,
2010).
nasal crease, facial grimacing, Dennie's line. Pemeriksaan rinoskopi anterior atau
endoskopi hidung dilakukan untuk menilai apakah konka udem, warnanya pucat,
ada sekret encer, kondisi meatus medius, nasofaring dan apakah ada kelainan
anatomi (septum deviasi dan polip) (O‟Neil et al., 2014; Roestiniadi, 2014).
Untuk menunjang diagnosis perlu dilakukan tes alergi untuk menilai IgE
secara in vivo maupun in vitro. Tes kulit (skin prick test) atau tes intradermal
pemeriksaan Radio Allergo Sorbent Test (RAST) untuk menilai IgE secara in
vitro. Tes paparan alergi ini akan menimbulkan subjek tersebut kepada reaksi
alergen dapat mencetuskan rinitis alergi. Pemeriksaan tes kulit atau serum spesific
IgE level secara umum digunakan untuk mendiagnosa alergen inhalan. Tes
dimulai dari anamnesis adanya pilek yang tidak sembuh-sembuh ≥ 3 bulan disertai
dengan keluhan hidung gatal, bersin-bersin, pilek encer, buntu hidung hilang
timbul, adanya riwayat alergi di organ tubuh yang lain dan adanya riwayat alergi
dinilai warna mukosa hidung apakah pucat atau ada sekret hidung yang encer.
tetapi hasilnya negatif, maka perlu diulang sampai 3x. Apabila pemeriksaan
eosinofil hidung positif pasien selanjutnya dilakukan tes alergi yaitu tes kulit
cukit. Bila hasil tes kulit positif maka perlu dievaluasi apakah ada keluhan
2014).
2.2.7 Penatalaksanaan
Penderita rinitis alergi yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara
adekuat akan mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan
rinitis alergi, akan tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Di
negara tropis seperti Indonesia, yang sangat berperan pada rinitis alergi adalah
tungau debu rumah, bulu binatang dan alergen kecoa. Beberapa cara yang dapat
dan bantal dengan bahan khusus, atau mencuci alas tidur, sarung bantal dan
selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas (>55 oC) (O‟Neil et al.,
total menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi
kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja
cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktivitas „anti-alergenik tinggi‟.
leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana
dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat
yang dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal
tes kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
rinitis alergi terbukti efektif. Terdapat beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi sub
kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Injeksi sub kutan lebih banyak
mulai banyak dipakai (O‟Neil et al., 2014; Min, 2010; Suprihati, 2004).
Berdasarkan ARIA-WHO tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien
topikal, anti histamin H1 atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai
kriteria inklusi gagalnya terapi medikamentosa untuk rinitis alergi selama 1 bulan
pada pasien rinitis alergi. Sebelum menjalani intervensi bedah, sangat penting
maksimal, karena intervensi bedah mungkin tidak efektif pada pasien yang
diagnosis dan terapi dari rinitis alergi menurut KODI Alergi dan Imunologi
Famili : Myrtaceace
Genus : Eugenia
pohon “Pembawa Wahyu Dewa”. Dalam bahasa bali disebut buah dewa,
merupakan salah satu pohon buah yang langka. Kata dewandaru banyak dijumpai
dalam kisah pewayangan, baik dalam khasanah bahasa Jawa Kuno maupun
Sansekerta, yang menunjukkan bahwa tanaman ini sudah popular sejak jaman
dahulu. Keberadaan tanaman dewandaru sering dikaitkan dengan mitos soal asal-
usulnya hingga khasiat magis sebagai kayu sakti dan bertuah sehingga kayu
tasbih, gelang, keris batu cincin dan kalung. Selain itu juga sangat popular di
kalangan penghobi bonsai karena bentuk bonsai yang dihasilkan sangat artistik,
asam. Minyak esensial dari tanaman ini juga dapat digunakan sebagai bahan
parfum. Pada suatu studi mengenai iritasi dan alergi akibat sinar ultraviolet
mengungkapkan bahwa minyak dari tanaman ini tidak menyerap sinar ultraviolet
menyebabkan iritasi dan alergi jika digunakan sebagai bahan parfum (Rai et al.,
dapat mencapai lebih dari 5 meter dan hidup menahun. Batang pohon dewandaru
tegak, berkayu, berbentuk bulat dengan kulit kayu berwarna coklat. Daun
berwarna hijau dan merupakan daun tunggal, tersebar, berbentuk lonjong, ujung
runcing dan pangkal meruncing. Tepi daun rata, pertulangan menyirip dengan
panjang 5-6cm dan lebar 3-4cm. Daun berwarna kemerahaan saat masih muda dan
berwarna hijau gelap saat tua, dan pada daerah 4 musim berwarna merah saat
musim dingin. Tanaman ini memiliki bunga berbentuk tunggal, berkelamin dua
dengan daun pelindung yang kecil berwarna hijau. Kelopak bunga bertajuk tiga
sampai lima, benang sari banyak berwarna putih. Putik berbentuk silindris,
Buah Eugenia uniflora berupa buah buni, bulat, diameter 1-2cm dan
berwarna merah. Warna buah berubah secara bertingkat dari hijau saat masih
muda menjadi kuning, oranye dan merah sesuai dengan tingkat kematangan
buahnya. Bagian luar buah terdapat tonjolan-tonjolan yang mempermudah orang
membedakan dengan buah tanaman lainnya. Bijinya keras, berwarna coklat dan
kecil. Akar memiliki warna coklat dan merupakan akar tunggang (Rai et al.,
2016).
Buah dewandaru dapat dimakan segar, daging buahnya bertekstur lembut dan
terasa manis saat matang. Selain mengandung air buah, dewandaru juga
berwarna kuning saat matang, buah ini saat matang berwarna merah. Gambar 2.8
di bawah ini menampilkan gambar batang, bunga, daun dan buah dewandaru (Rai
et al., 2016).
ataupun ditambahkan taburan gula. Buah dewandaru ini sering digunakan sebagai
perasa makanan atau bahan dasar pembuatan selai, jeli dan saus salad. Buah ini
banyak digunakan untuk shortcake, fruit cups, salad, puding, custard, yogurt, es
krim, sari minuman, sirup atau jus. Jus juga kadang difermentasi dengan cuka atau
wine dan kadang disajikan dalam minuman. Buahnya juga bisa dikonsumsi
beberapa tempat di pulau Jawa, Sumatera dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Salah
satu daerah yang dikenal sebagai habitat tanaman dewandaru ini adalah kepulauan
Dalam bahasa Brazil tanaman ini disebut sebagai Pitanga, dapat tumbuh pada
daerah beriklim tropis dan subtropis dengan ketinggian dari permukaan laut
dewandaru ini dikatakan berasal dari hutan Amazon di Amerika Selatan. Tanaman
Karibia dan juga Florida. Banyak tersebar pada negara-negara Amerika Selatan
seperti Argentina, Brazil, Uruguay dan Paraguay. Dan disebutkan makin banyak
di daerah Bermuda dan beberapa daerah di Australia (Lim, 2012; Consolini et al.,
2002).
Tanaman ini diperkenalkan secara empiris pada bidang medis sekitar abad ke-
15, dan daun segar maupun daun keringnya dikatakan sangat populer
penggunaannya pada dosis terapeutik 0,7-1,5g daun kering per liter dalam air
yang direbus dan dapat dikonsumsi setiap hari (0,4-0,8mg/kg/h) (Consolini et al.,
2002).
berbagai kandungan yang dimiliki tersebut, tanaman ini banyak digunakan secara
(Arai et al., 1999) dan sebagai antioksidan (Rai et al., 2016; Lim, 2012; Consolini
et al., 2002).
warga Brazil untuk mengobati gangguan kesehatan secara turun menurun. Daun
dan buah tanaman ini digunakan untuk mengatasi diare dan penyakit saluran
cerna, antiinflamasi (Schapoval et al., 1994), mengatasi rematik, antidiabetes
et al., 1989; Fiuza et al., 2008) dan terapi sepsis (Rattmann et al., 2012) serta
terkenal itu telah mencuri perhatian ilmuwan untuk melakukan penelitian, dengan
tujuan untuk memberikan landasan ilmiah dalam pemakaiannya. Bahkan saat ini
sudah mulai dibicarakan khasiat dewandaru sebagai antikanker (Rai et al., 2016;
Ismiyati et al., 2012). Lee et al. (2000) pada penelitiannya mendapatkan bahwa
antinosiseptif, diuretik, efek pada sistem saraf pusat, efek antiinflamasi, efek anti
saponin dan tanin. Flavonoid dari daun berupa mirisetin, mirisitrin, galokatekin,
kuersetin dan kuersitrin (Rai et al., 2016; Santos et al., 2011; Schmeda-
Hirschmann et al.,1987). Senyawa tanin yang diisolasi dari fraksi aktif Eugenia
mirisitrin (Rai et al., 2016; Santos et al., 2011). Menurut penelitian oleh Samy et
al. (2014) dari ekstrak daun Eugenia uniflora dapat diisolasi 8 komponen yaitu 1
roseoside.
buah atau sayuran lainnya, karena tumbuhan tersebut mengandung sebagian besar
flavonoid antioksigen dengan aktivitas yang lebih besar dari tokoferol (vitamin
E), yang berperan pada efek antioksidan yang dihasilkannya (Rai et al., 2016).
Pada penelitian oleh Denardin et al. (2015) didapatkan bahwa beberapa buah
yang tumbuh di Brazil bagian selatan seperti pitanga berwarna ungu, blackberry
dan araca mengandung sumber yang kaya akan komponen phenol dan memiliki
aktivitas yang baik sebagai antioksidan. Demikian halnya dengan penelitian oleh
Costa et al. (2013) mendapatkan bahwa komponen bioaktif yang penting dan
memiliki nilai kesehatan dimiliki oleh buah eksoktik tropis buah redberry dan
mirisetin 100%, kuersetin 71% dan kaemferol 24% pada 17 spesies Eugenia yang
diteliti. Disebutkan pula bahwa flavonoid antioksidan yang sudah banyak dikenal
terdapat pada ekstrak daun termasuk diantaranya mirisetin, mirisitrin, galokatekin,
Pada penelitian oleh Bakr et al. (2017) didapatkan ekstrak daun Eugenia
penelitian oleh Daniel et al. (2015) mendapatkan hasil bahwa daun Eugenia
uniflora L. memiliki potensi yang besar sebagai sumber obat yang sangat berguna
yang disebabkan oleh adanya berbagai macam metabolit primer dan sekunder. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini yang menunjukkan analisa
Tabel 2.1 Hasil skrining fitokimia daun Eugenia uniflora L. pada berbagai pelarut
(Daniel et al., 2015)
2.4 Flavonoid sebagai antialergi
banyak dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu baik secara selular, biokimia, teknik
memiliki komponen inflamasi yang penting. Sel mast dan basofil menunjukkan
ikatan yang kuat terhadap IgE yang berperan penting pada proses inflamasi alergi
melalui pelepasan mediator kimia seperti histamin dan leukotrin sistenil, sitokin
dan kemokin. Intervensi terapi pada penyakit alergi telah difokuskan pada
ekspresi atau melepaskan sitokin, kemokin, molekul adesi dan mediator inflamasi.
antialergi secara in vivo dan in vitro. Fitokimia dalam diet makanan dapat
organosulfur.
polifenol dalam diet makanan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Singh
et al., 2011)
Gambar 2.9 Klasifikasi polifenol dalam diet makanan (Singh et al., 2011)
antiinflamasi dari golongan fenol. Dari penelitian secara epidemiologi hewan coba
asma dan lebih sedikit data mengenai hubungannya terhadap dermatitis atopi dan
rinitis alergi. Pada Gambar 2.10 ditampilkan mekanisme kerja polifenol pada
Mekanisme regulasi sistem imun, produksi IgE dan sitokin (Velickovic et al.,
2014).
Gambar 2.10 Mekanisme kerja polifenol pada penyakit alergi (Singh et al., 2011)
4000 komponen pada tanaman yang mengandung cincin flavon. Komponen ini
dipelajari dari tanaman yang memiliki beberapa aktivitas biologi secara klinis.
Di antara flavonoid disebutkan bahwa kuersetin merupakan komponen yang
paling banyak dipelajari mengenai aktivitas terhadap sel mast dan berhubungan
neutrofil yang aktif dan menghambat hyaluronidase yang terjadi karena pecahnya
degranulasi sel mast dan basofil, sekresi enzim lisosom neutrofil dan produksi
leukotrin. Disebutkan pula pada sebuah studi terhadap sel mast dari mukosa
kavum nasi pada pasien rinitis alergi perenial, kuersetin dikatakan secara
(Resnick et al. 2008). Kuersetin dapat dikatakan sebagai substansi antialergi yang
aman yang memiliki potensi yang sama dengan formula herbal cina yang disebut
Food Allergy Herbal Formula (FAHF) pada suatu penelitian yang dihubungkan
dengan penghambatan anafilaksis karena kacang pada tikus percobaan. Hal ini
sementara masih dalam perspektif luas dan memerlukan penelitian lebih lanjut
ekstrak bee pollen memiliki efek antialergi. Shimosaki et al. (2011) dalam
yang secara natural dan banyak terdapat pada tanaman tingkat tinggi
flavonoid yang tepat dengan aktivitas antialergi dapat sebagai bentuk dari terapi
pelengkap dan alternatif terapi yang efektif dalam strategi pencegahan penyakit
Gambar 2.9 diatas. Flavonoid meliputi sebagian besar kelompok dengan berat
molekul rendah dari metabolit sekunder dari tanaman yang banyak ditemukan
kulit pohon, teh, wine dan kopi, yang ada pada sebagian besar makanan kita
sehari-hari. Diperkirakan bahwa flavonoid merupakan dua pertiga dari fenol pada
chromane dan substitusi pada cincin C pada posisi 2 atau 3 dengan grup fenil
sistem imun dilakukan secara in vitro sehingga dapat mengetahui secara jelas
mekanisme molekuler dan target sel dari flavonoid. Hanya sedikit penelitian
dilakukan secara in vivo untuk mengetahui lebih jelas efek flavonoid setelah
proses absorpsi dan metabolisme (Velickovic et al., 2014; Tanaka et al., 2003).
yang terlibat pada respon alergi dan inflamasi seperti tyrosine dan serine-
menginhibisi kerja enzim atau berikatan dengan chelating trace element yang
terlibat dalam produksi radikal bebas, mengikat reactive oxygen species (ROS)
enzim yang bertanggung jawab terhadap produksi anion superoksid seperti xantin
dan radikal bebas pada sistem imun, yang hasilnya akan memperbaiki kualitas
sistem imun itu sendiri. Fitokimia dalam diet seperti polifenol dan komponen
memodulasi fungsi dan aktivitas antiinflamasi dan sistem imun melalui inhibisi
pelepasan histamin dari sel mast, bersifat imunosupresif terhadap proliferasi sel T
dan sintesis IL-2, dan meregulasi sekresi dari IgG, IgM dan IgA. Salah satu dari
2008).
Nitrit oksida (NO) merupakan salah satu mediator sel pada proses fisiologis
dan patologis yang melibatkan proses inflamasi yang diproduksi secara biokimia
dari sintesis L-arginin oleh nitric oxide synthase (NOS). Kuersetin, apigenin,
induced NOS (iNOS) dan menurunkan regulasi ekspresi iNOS dari berbagai sel
mampu menginhibisi IL-1β, IL-6 dan TNF-α. Kuersetin, rutin dan kaemferol
dapat menginhibisi ekspresi dan produksi TNF-α dan ICAM-1. Flavonoid lainnya
seperti mirisitrin dikatakan dapat menginhibisi respon nosiseptif pada model nyeri
akut melalui inhibisi pada fosfatidilinositol 3-kinase dan aktivitas protein kinase
C, produksi NO, ekspresi iNOS dan aktivasi NF-kB (Cazarolli et al., 2008).
pelepasan histamin, triptase, IL-6, IL-8 dari sel tersebut (Comalada et al., 2013).
seperti pada rinitis alergi, dermatitis alergi dan beberapa kelainan alergi (Kim et
al., 2004). Penelitian yang paling efisien dan baik pada kelompok flavonoid di
katekin pada teh hijau yang memiliki efek yang menguntungkan pada kelainan
sistem imun. Polifenol pada teh juga merupakan chelator ion logam yang berguna
saat mencegah terbentuknya radikal bebas. Aktivitas antialergi pada teh hijau
pendukungnya, sel mast melalui inhibisi langsung saat proses degranulasi pada
aktivitas yang poten dalam melindungi dan mencegah kelainan alergi terkait IgE.
Juga telah didemonstrasikan efek inhibisi pada aktivasi STAT6 yang berkorelasi
baik dengan inhibisi respon sel terhadap sitokin IL-4. Pada penelitian telah
inflamasi alergi terkait IgE pada model sel intestinal. Flavonol juga diketahui
menekan aktivasi sinyal ekstraregulasi protein kinase pada IgE spesifik OVA dan
pada pelepasan kemokin. Flavonol juga memiliki efek pada IL-4, IL-13 dan
ekspresi ligan CD40 oleh basofil. Flavonol lainnya yaitu fisetin dikatakan
menekan ekspresi sitokin Th2 (IL-4,IL-13, dan IL-5) oleh basofil (Velickovic et
Efek antialergi pada golongan flavon seperti pada luteolin dan apigenin
diketahui menekan ekspresi ligan CD40 oleh basofil. Flavon secara signifikan
menurunkan jumlah sel pada permukaan dan ekspresi protein γc, dimana diketahui
bahwa γc mungkin merupakan molekul target pada inhibisi oleh flavon pada
2016). Dari penelitian yang ada, tampaknya penggunaan flavonoid dari bahan
alami secara umum tidak memiliki efek toksik pada percobaan terhadap hewan
Beberapa bukti menyebutkan bahwa hanya sel yang teraktivasi yang dapat
memodulasi efek flavonoid, seperti misalnya sel yang berespon terhadap adanya
pelepasan proinflamasi dari sel mast, basofil dan eosinofil granular yang ikut serta
Bioflavonoid telah menjadi fokus yang unik dari salah satu pilar alergi, yang
sejak tahun 1985 dr. Middleton telah mempelajari efek antialerginya. Kuersetin
merupakan salah satu agen awal yang dipelajari sebagai terapi antialergi
berdasarkan penelitian terhadap efek stabilisasi sel mast dan inhibisi beberapa
2017). Gambar 2.12 dibawah ini menggambarkan respon alergi dan beberapa agen
Hampir 80% dari hewan coba adalah dari ordo rodensia termasuk
diantaranya mencit, tikus, guinea pigs dan lainnya. Sepuluh persen adalah ikan,
amfibi, reptil dan unggas. Kelompok lainnya yaitu kelinci, kambing, kerbau, dan
lebih sedikit pada anjing, kucing, dan beberapa spesies primata. Diantara ordo
rodensia, tikus merupakan hewan coba yang paling banyak digunakan dimana
kepentingan ilmu pengetahuan, diikuti mencit, kelinci, anjing, babi dan primata
terutama untuk penelitian in vivo. Penelitian biomedis yang banyak menggunakan
Penelitian dengan hewan coba tikus dimulai pada abad ke-16, akan tetapi
tahun 1906 ketika Wistar Institute mengembangkan model tikus Wistar (Rattus
Pada tahun 1800an hewan ini digunakan pada penelitian neuroanatomi di Amerika
Serikat dan Eropa. Saat ini diketahui spesies Rattus ada sebanyak 51 spesies baik
albino ataupun berwarna. Dan strain tikus Wistar dan tikus Sprague-Dawley yang
banyak digunakan sebagai hewan coba hampir di seluruh dunia (Sengupta, 2013).
Adapun taksonomi dari tikus Wistar adalah sebagai berikut: (Sharp et al.,
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus
Tikus adalah hewan nokturnal yang aktivitasnya kebanyakan pada malam
hari dan pada pagi hari. Tikus jantan biasanya lebih agresif dibandingkan betina.
Walaupun ada banyak strain, tikus secara umum tidak agresif, bersifat ingin tahu
dan mudah untuk dilatih. Tikus lebih nyaman pada suasana lingkungan yang kecil
dan gelap. Tikus jantan tidak seperti mencit, tikus biasanya tidak suka bertikai
ketika ditempatkan dalam satu kandang. Berikut ini pada tabel 2.2 ditampilkan
parameter biologi dari tikus Wistar: (Sharp et al., 1998; Sharp et al., 2012)
Tabel 2.2 Parameter biologi dasar tikus Wistar (Sharp et al., 2012)