Anda di halaman 1dari 10

Impact

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, Factor: 3.012
27-36
p-ISSN 1412-0712, e-ISSN 2527-8312, doi: 10.17509/bs_jpbsp.v19i1.20756

Leksikon Makanan Tradisional dalam Bahasa Jawa


sebagai Cerminan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa

Akhmad Dzukaul Fuad, & Yusita Titi Hapsari


IKIP PGRI Jember
dzukaul.fuad@gmail.com ; hapsari.yusita@gmail.com

How to cite (in APA Style): Fuad, A.D., & Hapsari, Y.T. (2019). Leksikon Makanan
Tradisional dalam Bahasa Jawa sebagai Cerminan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra, 19(1), 27- 36, doi: 10.17509/bs_jpbsp.v19i1.20756
Article History: Received (4 September 2018);Revised (11 November 2018); Accepted (1 April
2019).
Journal homepage: http://ejournal.upi.edu./index.php/BS_JPBSP

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrisikan leksikon MT berbahasa Jawa pada
masyarakat desa Tanjungrejo. Penelitian ini berpijak pada teori (:hipotesis) relatifitas bahasa
dan pemenuhan research gap tentang kajian makanan yang selama ini hanya dikaji dari aspek
unsur (:komponen) kimiawi semata, seperti kandungan nutrisi, gizi, dan senyawa kimia
lainnya. Penelitian ini menggunakan perpaduan metode linguistik dan antropologi. Metode
linguistik berperan untuk mencari dan menginventarisasi leksikon berbahasa Jawa
berdasarkan analisis lingual, sedangkan metode antropologi berperan untuk
mengklasifikasikan data lingual berdasarkan ranah dan domain. Dari analisis ranah dan
domain akan ditemukan tema-tema budaya yang secara implisit menggambarkan
seperangkat manah kolektif (collective mind) masyarkat Jawa yang tersimbolisasi dan
terekspresi dalam bentuk leksikon makanan tradisional. Manah kolektif masyarakat Jawa
terejawantahkan dalam sikap, prilaku dan tata nilai serta norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat dalam wujud kearifan lokal.
Kata kunci: makanan tradisional; bahasa Jawa; kearifan lokal.

Traditional Food Lexicon in Javanese as a Reflection of


Javanese Local Wisdom

Abstract: This study aims to describe the Javanese MT lexicon in the Tanjungrejo village
community. This research is based on the theory (: hypothesis) of the relativeity of language
and the fulfillment of research gaps on food studies which have only been examined from
the aspect of chemical elements (: components), such as nutrient content, nutrition, and
other chemical compounds. This study uses a combination of linguistic and anthropological
methods. The linguistic method plays a role in finding and inventorying the Javanese
lexicon based on lingual analysis, while the anthropological method has the role of
classifying lingual data based on domains. From the domain analysis, cultural themes that
implicitly describe a collective mind of Javanese society symbolized and expressed in the
form of traditional food lexicon. The collective mind of the Javanese society is embodied in
the attitude, behavior and values of norms and norms that apply in a society in the form of
local wisdom.
Keywords: traditional food; Javanese language; local wisdom.

Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved. 27


Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, 27-36

PENDAHULUAN budaya dalam makanan. Fenomena bir


Makanan dapat dipakai sebagai tolak ukur jawi memberikan gambaran kepada kita
tinggi rendahnya kebudayaan dari suatu bahwa tingkat budaya adiluhung mJ
bangsa. Dalam artian makanan (:modern sedemikian tinggi karena dapat
dan tradisional) dapat kita maknai sebagai memadupadankan antara pengetahuan
budaya yang mengekspresikan identitas dan sistem tata nilai dalam budaya yang
kedaerahan secara spesifik dan sanggup mengakomodir berbagai unsur
keanekaragaman jenis makanan dalam balutan peradaban.
mencerminkan potensi sumber daya alam Ekspresi harmonisasi pola pikir
yang dimiliki oleh suatu bangsa (:daerah). dan potensi sumber daya alam
Makanan tidak hanya sebagai sarana sebagaimana kita lihat pada deskripsi di
untuk pemenuhan kebutuhan gizi atas menuntut adanya kreasi penyebutan
seseorang, tetapi juga merupakan ekspresi (:pelabelan) terhadap produk olahan
dari strategi setiap masyarakat dalam makanan dalam kehidupan sehari-hari
menjaga ketersediaan makanan untuk yang dapat menjadi pembeda dan
mempertahankan keberlangsungan karakteristik makanan tertentu.
kehidupan (Nawiyanto, 2011; Susanto, Penyebutan terhadap suatu makanan
2013). dalam bentuk bahasa dapat mengungkap
Dalam hal makanan tradisional, sistem manah kolektif mJ dalam setiap
bangsa Indonesia memiliki penyebutan (:leksikon). Pada mJ desa
beranekaragam makanan, jajanan dan Tanjungrejo dijumpai leksikon marning
minuman tradisional yang dipengaruhi dan orog-orong. Keduanya merupakan
oleh budaya dan nilai masyarakat makanan berbahan dasar jagung, cara
Indoneisia (Susilo, 2015). Sebagai ilustrasi, pengolahannyalah yang menjadikan
penjajah Belanda datang ke nusantara penyebutan keduanya berbeda. Marning
dengan membawa budaya berupa adalah produk olahan jagung yang
kebiasaan mengkonsumsi minuman didahului dengan proses perebusan,
beralkohol, di lain pihak budaya penjermuran, dan penggorengan,
masyarakat nusantara kala itu memandang sedangkan pengolahan orong-orong hanya
mengkonsumsi alkohol tidak sesuai dikukus dan saat disajikan orog-orog
dengan norma dan moral masyarakat ditaburi (:dicampur) dengan parutan
Jawa (mJ) yang dikenal dengan ajaran moh kelapa muda.
limo. Fenomena tersebut disikapi secara Perilaku penyebutan makanan di
arif dan bijaksana oleh raja-raja dari atas mencerminkan pola perilaku yang
keraton Yogyakarta dengan menciptakan dihasilkan dari hubungan interaksi
minuman bir jawi dan bir pletok pada harmonis dengan pemanfaatan SDA
masyarakat Betawi (Muliani, 2007). secara maksimal dan berkelanjutan serta
Keduanya berbahan dasar dari rempah- menjadi kearifan lokal suatu masyarakat
rempah hasil SDA khas nusantara. dan terwariskan kepada tiap generasi.
Pemenuhan aspek manfaat dan fungsi Realitas keberagaman penyebutan
dalam bir jawi dan bir pletok setidaknya makanan tradisional (MT) dalam bentuk
sepadan “kalau enggan menyebutnya data kebahasaaan (:leksikon) menjadi
sama” karena memiliki fungsi fokus dalam rangka mengisi kekosongan
menghangatkan tubuh. tema penelitian yang selama ini dibiarkan
Sikap arif dan bijaksana dalam terbuka. Selama ini penelitian tentang MT
bentuk strategi adaptasi mJ terhadap banyak difokuskan pada pengembangan
perkembangan dengan pergesekan antar industri dan pola diversifikasi MT (Suarni,
budaya berupa pola diversifikasi, 2013; Putranto, 2014) dan inventarisasi
penerapan teknologi, dan simbolisasi MT pada suatu daerah (Nurhayati, 2014;

28 Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Impact
Fuad & Hapsari, Leksikon makanan tradisional dalam Factor:Jawa
bahasa 3.012…

Sabana, 2007). Kajian makan dan kognisi mJ yang tercermin dalam leksikon
makanan yang berkaitan dengan budaya MT.
ditulis oleh Dewi (2011) dan Wurianto Kerangka dan tahapan penelitian
(2008), Mufidah (2012), dan Susilo (2015). linguistik, peneliti merujuk pada
Research gap yang peneliti tangkap adalah Sudaryanto (1993) dengan tiga tahapan
pada inventarisasi leksikon MT berbahasa strategis, tahapan pertama berupa
Jawa melahirkan katagorisasi lingual dan penyediaan data, tahapaan kedua analisis
antropologis yang dapat mengungkap data, tahapan ketiga berupa tahapan
manah kolektif (collective mind) mJ sebagai penyajian hasil analisis data. Proses
kearifan lokal yang tercermin pada setiap penelitian diawali dengan menetapkan
leksikon MT berbahasa Jawa. klasifikasi beberapa informan, teknik
Di pihak lain, arus modernisasi di wawancara dengan teknik libat cakap
seluruh aspek kehidupan mengakibatkan dengan mengajukan pertanyaan-
perubahan gaya hidup dan pola makan pertanyaan deskriptif, struktural, dan
dalam masyarakat. Menjamurnya restoran kontras.
cepat saji semakin menggerus eksistensi Tahapan strategis kedua berupa
MT. MT adalah aset, cerminan jati diri, analisis data, peneliti menggunakan
dan cerminan etnosains khas suatu metode padan dan agih (distribusional).
daerah. Generasi muda kita lebih Metode padan dibedakan atas metode
mengenal pizza dari pada tiwul, justru referensial, metode translasional, metode
tiwul-lah cerminan jati diri kita sebagai ortografis dan pragmatis. Teknik dasar
etnik Jawa, cerminan kemampuan dalam metode padan adalah teknik pilah
diversifikasi, dan wujud etnosains dari unsur penentu sedangkan dalam metode
para leluhur kita, sedangkan pizza agih teknik dasarnya adalah teknik bagi
merupakan cerminan dan identitas bangsa unsur langsung dengan menggunakan
lain. Penelitian ini pada akhirnya dapat teknik lesap dan teknik ganti, teknik
menjadi bahan renungan dan sarana perluas, teknik sisip, teknik balik, teknik
untuk membangkitkan pamahaman dan ubah ujud dan teknik ulang.
rasa memiliki kekayaan kuliner bangsa Metode berikutnya adalah metode
Indonesia. etnografi dalam antroplogi, peneliti
merujuk pada Spradley (1997) dengan dua
METODE belas langkah alur penelitian. Dengan
Penggabungan dua metode, linguistik dan menggolongkan penyajian data dengan
antropologi dalam penelitian ini mengajukan pertanyaan kepada para
dikarenakan aspek analisis tidak berhenti informan, tahapan berikutnya analisis
pada pengungkapan dan analisis secara wawancara, analisis domain, analisis
lingual saja, akan tetapi masuk pada taksonomi, analisis komponen dan
pengungkapan seperangkat sistem budaya langkah terakhir adalah menemukan
yang tercermin pada data lingual berupa tema-tema budaya merupakan tahapan
leksikon MT berbahasa Jawa pada mJ berikutnya yang dalam perjalannanya akan
desa Tanjungrejo Kecamatan Wuluhan beriringan dengan analisis data pada
Kabupaten Jember. metode linguistik.
Pendekatan dalam penelitian Setelah tahapan analisis akhir dalam
terfokus pada tujuan untuk metode antropologis selesai dengan
mengungkapkan prinsip-prinsip ditemukannya tema-tema budaya yang
pengklasifikasian menurut sistem manah tercermin pada setiap leksikon MT
kolektif (collective mind) masyarakat Jawa. berbahasa Jawa dilanjutkan dengan
Data berupa leksikon MT berbahasa penyajian data pada metode linguistik dan
Jawa. Pengklasifikasian MT berdasarkan penulisan naskah etnografis pada
ranah dan domain akan terungkap penelitian antropologi.
bagaimana cara pandang dan sistem

Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved. 29


Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, 27-36

pembangunan perekonomian masyarakat,


HASIL DAN PEMBAHASAN baik sebagai penyediaan bahan pangan,
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
1. Gambaran Umum Desa
pendapatan masyarakat. Sebutan petani
Tanjungrejo
dalam pandangan orang masyarakat
Tanjungrejo adalah nama desa yang
Tanjungrejo terpilah menjadi tiga yaitu,
terletak di bagian selatan Kabupaten
petani pemilik sawah sekaligus penggarap,
Jember ± 30 km dari pusat kota dan
pemilik sawah bukan penggarap,
merupakan wilayah administratif
penggarap, dan buruh tani tanpa upah
Kecamatan Wuluhan. Desa Tanjungrejo
(ngedok), buruh tani.
menaungi sembilan rukun warga (RW)
Dalam kehidupan sehari-hari
dan 103 rukun tetangga (RT). Desa
masyarakat Tanjungrejo menggunakan
Tanjungrejo di sebelah utara berbatasan
bahasa Jawa sebagai wahana komunikasi.
dengan desa Glundengan, sebelah selatan
Bahasa Jawa masih dipertahankan sebagai
berbatasan dengan desa Sabrang
bahasa ibu, dan peneliti masih banyak
Kecamatan Ambulu, sebelah timur
menjumpai leksikon khas bahasa Jawa
berbatasan dengan Desa Kesilir dan
yang sudah jarang ditemukan di wilayah
sebelah barat berbatasan dengan Desa
laiinya di Kabupaten Jember. Kita ambil
Ampel.
contoh, kata gendul “botol”, suru “sendok
Dalam hal pemanfaatan lahan
yang terbuat dari daun pisang”, blandong
masyarakat Tanjungrejo mayoritas
“wadah air yang difungsikan sebagai
berprofesi sebagai petani. Sektor
penampungan air untuk mandi” (Fuad,
pertanian merupakan sektor pemasukan
2018a).
utama dan berperan dominan bagi
Budaya Jawa yang adiluhung masih kompetensi dan performa pada generasi
dipegang erat oleh masyarakat desa muda, paruh baya terlebih pada penutur
Tanjungrejo masih terlebih pada ajaran generasi tua. Masyarakat Tanjungrejo
falsafah/ajaran yang bersifat “tabu”. masih menganggap “jangkar” tidak sopan
Dalam hal bahasa, masyarakat atau bahkan bisa disebut “kurang ajar”
Tanjungrejo fasih betul dalam bagi mereka yang tidak menggunakan boso
penggunaan bahasa Jawa secara (:tingkat tutur) pada yang lebih “senior”.
Susilo (2015) mengutip pendapat
2. Katagorisasi MT Berbahasa Jawa Claude Levi-Strauss dan Mary Douglas
Secara kodrati manusia tercipta yang mengatakan bahwa makanan dapat
sebagai animal symbolicum dengan redaksi dipahami sebagai struktur umum lintas
yang berbeda manusia didefinisikan budaya yang berbeda-beda. Pada
sebagai hayawanun natiq (hewan yang dapat masyarakat Jawa misalnya, penyebutan
berbicara). Manusia hidup dalam sistem lauk pauk dengan sebutan iwak. Iwak
simbol yang teraktualisasi dalam sistem secara leksikal bermakna “ikan” sehingga
pengetahuan, seni, tata nilai sosial, dan penggabungan kata iwak petek bermakna
religi diekspresikan (:terekspresi) dalam “ikan ayam” terdengar janggal (:aneh) jika
wujud bahasa. Sistem bahasa terealisasi ditinjau dan dimaknai dari budaya
dalam hubungan antar manusia dalam masyarakat lain. Penyebutan
kerangka konseptual dan psikologis. (:pengkatagorian) daging menjadi iwak
Bahasa dapat dianggap sebagai ekspresi merupakan budaya Jawa yang seharusnya
atau ungkapan pengalaman kehidupan dipandang dari perspektif budaya Jawa.
manusia, baik dalam tataran mikro Penyebutan iwak merupakan karakteristik
kosmik maupun makro kosmik. Melalui dan cara pandang mJ tentang dunia dan
bahasa yang bewujud ujaran, ide maupun pengalamannya (Dewi, 2011,p.164).
gagasan dapat diungkapkan secara nyata Katagorisasi tentang makanan
dan dipahami oleh manusia lainnya. dengan perspektif yang berbeda pernah

30 Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Impact
Fuad & Hapsari, Leksikon makanan tradisional dalam Factor:Jawa
bahasa 3.012…

diutarakan oleh Helman, sebagaimana dengan manusia berupa pemanfaatan


dikutip oleh Susilo (2015) bahwa tipe SDA, dan manusia dengan pencipta alam
sistem katagorisasi makanan diperikan semesta dengan menjadikan polo pendem
menjadi food versus non food (makanan dan sebagai sarana lelaku.
bukan makanan), sacred versus profane foods Pada mJ desa Tanjungrejo dijumpai
(makan keramat dan makan biasa) , leksikon (2) gatot (3) awuk-awuk (4) carang
parallel food classifications (klasifikasi mas. Ketiganya merupakan MT berbahan
makanan berdasarkan konsekuensinya), dasar pohong. Data (2) berjenis kata sifat
food as medicine (makanan yang berfungsi yang dalam konteks MT berjenis kata
obat) dan medicine as food (obat yang benda, proses nominalisasi verba terjadi
berfungsi makanan), dan social foods dalam manah mJ ketika disebutkan kata
(makanan berfungsi sosial). gatot, bukan bermakna kuat dan ulet
Katagori pertama, food versus (Fuad: 2018b) melainkan bermakna MT
non food, pada tipe ini membedakan benda demikian halnya pada data (3) yang
mana yang bisa dan tidak bisa dimakan, berupa kata sifat awuk “acak-acakan”
baik sebelum diolah maupun dengan mengalami reduplikasi. Pada data ke (4)
didahului dengan proses pengolahan berupa frase penggabungan kata benda
(:memasak). Pada mJ desa Tanjungrejo [carang] “bakal ranting muda” dengan
dikenal pembagaian jenis MT dengan benda [mas] “emas”, frase tersebut
beberapa katagorisasi, katagori tersebut berubah dari pemaknaan leksikalnya. Pada
adalah panganan “makanan”, omben-omben data (2) dan (3) merupakan produk
“minuman”, dan jajanan “jajanan”. olehan yang berasal dari gaplek, gaplek
Sebagaimana beras, singkong “pohong” adalah singkong yang dikeringkan dengan
merupakan bahan pangan alternatif yang dijemur di bawah terik matahari langsung.
umum dikonsumsi oleh masyarakat desa Secara tidak sadar, dengan mengeringkan
Tanjungrejo. Merujuk pada klasifikasi mereka mengurangi atau bahkan
Helman yang pertama, masyarakat desa menghilangkan kadar air singkong.
Tanjungrejo dapat membedakan pohong Berkurangnya kadar air dalam singkong
mana yang bisa dan tidak dikonsumsi. mJ secara otomatis membuat singkong tahan
Tanjungrejo mengenal pohong genderowo lama untuk di simpan. Gaplek merupakan
yang dapat menyebabkan mendem ekspresi etnosains berupa teknologi
“keracunan” ketika dikonsumsi, oleh pengawetan makanan dan sekaligus
karenanya pohong genderuwo tidak dapat mencerminkan ekspresi strategi adapatasi
dikonsumsi demikian halnya dengan ketahanan pangan masyarakat Jawa.
gadung. Selain pohong, bahan dasar MT di Pada data (4) bentuk etnosains
desa Tanjungrejo dijumpai jagung, beras berupa pengawetan MT pada carang mas
dan beras ketan, serta MT berbahan umbi- dengan menambahkan gula berfungsi
umbian lainnya. mJ Tanjungrejo membuat makanan semakin lama
menyebut umbi-umbian dengan istilah (1) bertahan untuk dikonsumsi. Selain
polo pendem. Polo pendem merupakan frase pengembangan etnosains yang tergambar
polo “otak” pendem “kubur”, secara pada data (2, 3, dan 4) ditemukan
leksikal bermakna otak (:pikiran) yang pengembangan pola diversifikasi makanan
terkubur, akan tetapi dalam manah pada (5) orog-orog (6) marning. Data (5) dan
kolektif mJ polo pendem adalah makanan (6) menggambarkan hubungan kedekatan
orang yang melakukan tirakat “laku dan harmonisasi hubungan mJ dengan
tertentu demi terkabulkannya sumber daya alam yang melahirkan
permohonan”. Laku tirakat dengan tidak keberagaman penyebutan berupa leksikon
memakan kecuali polo pendem disebut MT berbahan dasar jagung.
dengan ngerowot. Ngerowot merupakan Katagori kedua, sacred versus profane
realitas dalam menjalin harmonisasi foods, katagori tipe ini merupakan
(:hubungan yang harmonis) antara alam klasifikasi yang dipengaruhi oleh faktor

Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved. 31


Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, 27-36

pengalaman dan pengetahuan yang dengan kata sifat yang menunjukkan


diperoleh seseorang dalam masyarakat. warna, sehingga secara berurutan
Pada katagorisasi jenis pertama, bermakna jenang yang berwarna merah,
katagorisasi makanan dipengaruhi oleh putih, dan hitam.
pengetahuan naluriah seseorang, Data pada katagori ini merupakan
sedangkan pada katagorisasi ini lebih simbolisasi dalam bentuk petitih, nasehat
dipengaruhi oleh nilai, moral, serta norma dan ajaran kepada manusia yang
yang berlaku pada masyarakat tertentu. disimbolkan dalam bentuk MT. Data (7)
Terlebih pengaruh dogma agama yang memiliki makna yen dilem atimu ojo memper
memberikan batasan terhadap jenis “janganlah berbesar hati ketika
makanan mana yang boleh “halal” untuk mendapatkan pujian” yang merupakan
dikonsumsi dan tidak “haram”, seperti perwujudan lain dari ajaran ojo dumeh.
larangan untuk mengkonsumsi binatang Data (8 dan 9) biasanya disajikan pada
yang memiliki cakar dan taring. Demikian saat peringatan hari raya idul fitri maupun
halnya adanya larangan kepada adlha yang merupakan simbolisasi sikap
masyarakat Cireundeu penganut aliran saling bermaaf-mafan dengan orang lain,
kepercayaan/penghayat untuk sehingga kesalahan dan kekhilafan orang
mengkonsumsi beras (Putranto, 2014). lain disimbolkan dengan lontong, olone dadi
Pada budaya mJ terdapat larangan kotong “terbebas dari kesalahan”, karena
bagi seorang perempauan memakan seluruh bentuk kesalahan dan kekhilafan
pisang yang dampit, larangan tersebut di-lepet, disilep kang rapet “kesalahan orang
lahir karena adanya keyakinan bahwa lain disimpan rapat-rapat”.
pisang dampit tersebut akan berpengaruh Senada dengan deskripsi Helman
terhadap janin yang kelak akan dikandung yang dikutip Susilo (2015) bahwa data (10
atau yang sedang dikandung nantinya dan 11) berfungsi sebagai wahana atau
akan berwujud dampit ketika lahir. Wujud perantara komunikasi manusia dengan
pengaruh ajaran agama sangat dominan wilayah makro kosmik dan wilayah
pada katagorisasi ini tidak hanya terkait transenden. Masyarakat meyakini pada
wujud atau bentuk makanan saja, akan bulan-bulan tersebut gusti Allah
tetapi cara dan sarana untuk menurunkan rahmat dan pertolonganNya
memperolehnya. Dalam ajaran Islam kepada para nabi dan kekasihnya dan
misalnya, ada teks hadits yang berbunyi la masyarakat Jawa percaya pada bulan-
yadhulul jannata damun walahmun nabata ala bulan tersebut segala permohonan akan
sukhtin “tidak akan masuk syurga darah terkabul. Ekspresi yang dapat kita tarik
dan daging yang tumbuh dari sesuatu kesimpulan bahwa dalam manah
(:makanan) yang berkatagori dan masyarakat Jawa masih meyakini dan
diperoleh dengan cara yang jelek (:tidak mengimani adanya kekuatan lain yang ada
benar). di luar dari diri mereka dan kekuatan
MT yang dapat kita katagorikan tersebut memberikan pengaruh baik
pada jenis ini adalah (7) lemper (8) lepet (9) positif maupun negatif, terlebih pada
lontong (10) jenang suro (11) jenang sapar (12) bulan suro masyarakat Jawa mempunyai
jenang abang (13) jenang putih (14) jenang pantangan yang ketika dilanggar akan
ireng. Data (7, 8, 9) berjenis kata benda mengakibatkan kekurangberuntungan
dan pada data (10, 11, 12, 13, dan 14) atau kesialan yang akan menimpa bagi
berbentuk frase, data (10 dan 11) yang melanggar pantangan tersebut.
merupakan penggabungan kata jenang Data (12, 13, dan 14) merupakan
“bubur” dengan nama bulan dalam MT yang peruntukannya mayoritas
kalender hijriyah sehingga frase tersebut digunakan untuk sesaji, karena proporsi
bermakna jenang yang dibuat dan disajikan penyajiannya hanya dalam takir kecil.
pada bulan suro dan sapar. Data (12, 13, Takir adalah wadah yang terbuat dari
dan 14) bentuk penggabungan kata jenang daun pisang dengan menggunakan biting

32 Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Impact
Fuad & Hapsari, Leksikon makanan tradisional dalam Factor:Jawa
bahasa 3.012…

sebagi perekatnya. Biting adalah potongan penggabungan kata madu “madu” mongso
lidi dengan ukuran + 3 cm yang dibuat “masa”. Semua data adalah hidangan khas
meruncing pada setiap ujungnya. Peran yang disajikan pada acara walimahan
dan fungsi dari data di atas adalah sebagai “resepsi pernikahan” yang oleh mJ desa
sarana dan wahana yang dipakai untuk Tanjungrejo disebut dengan manggulan
menyampaikan maksud kepada yang kecuali data (21). Argumentasi
mereka anggap pemelihara alam semesta memasukkan data di atas pada katagori
agar terhindar dari mala petaka atau untuk ketiga karena lebih mengacu pada
mempermudah terkabulkannya identitas yang terdapat pada MT tersebut,
permohonan mereka. kapan MT disajikan, data lingual berupa
Sikap arif yang mereka miliki [...sopo iki bune seng rabi lakok oleh wajik
merupakan buah dari keyakinan dari suatu karo madu mongso...] “kok dapat oleh-oleh
aturan yang tidak tertulis dalam menjaga wajik dan masu mongso, siapa yang
keteraturan kehidupan di alam dunia menyelenggarakan resepsi pernikahan”
maupun di akhirat kelak. Aturan tersebut sebagai bukti bahwa penyajian MT
melembaga dalam manah kolektif tersebut memilih identitas dan ciri
masyarakat Jawa agar tidak terjadi dilaksanakannya manggulan. Data (21)
benturan antara wilayah kasat mata dan merujuk pada akibat yang timbul setelah
wilayah nyata. Pembuatan jenang suro, dan mengkonsumsinya. Data (21) merupakan
sapar sebetulnya merupakan ekspresi rasa perlambang pecahnya bisul dengan
cinta dan belas kasih terhadap orang lain melumernya gula yang berada di dalam
dengan saling berbagi terlebih pada bulan- ketika digigit (Fuad: 2018b).
bulan yang dimuliakan. Mereka juga Keempat dan kelima adalah food as
percaya terhadap ajaran agama mereka medicine dan medicine as food. Helman
yang menyebutkan tahaadu tachabbu menganggap tipe klasifikasi ini
“saling berbagilah kalian niscaya kalian merupakan katagorisasi yang tumpang
akan saling mengasihi dan mencintai”. tindih antara makanan dan obat. Secara
Ketiga, parallel food classifications, kultural manusia menjadikan makanan
klasifikasi pada tipe ini membutuhkan bukan hanya sekedar pemenuh kebutuhan
eksplorasi karena batasan energi untuk aktivitas dan bertahan hidup
pengklasifikasian sangat bergantung pada tetapi juga untuk menjaga kesehatan. Pada
paradigma dan cara pandang masyarakat aspek yang lain sebagian masyarakat
di daerah tertentu dan dengan budaya mengkonsumsi makanan tertentu sebagai
tertentu pula. Cara kerja klasifikasi ini obat, pada aspek yang inilah tipe food as
seperti berjalan dengan nilai simbolis atau medicine berlaku. Seiring dengan
pengaruh yang timbul pada saat setelah perkembangan industri farmasi, obat-
dikonsumsi. mJ menganggap obatan dikomsumsi sebagai suplemen
mengkonsumsi daging kambing dan atau justru berfungsi sebagai alat untuk
daging sapi akan memberikan pengaruh menunda atau justru menghilangkan rasa
yang berbeda. Daging kambing dipercaya lapar. Fenomena tersebut justru
memiliki simbol panas dan melahirkan klasifikasi tipe kelima berupa
mengakibatkan pengkonsumsinya medicine as food karena sudah menjadi
merasakan sensasi yang berbeda jika bagian dari kebutuhan sehari-hari.
dibandingkan dengan setelah Rujak sebagai data (22) sangat
mengkonsumsi daging sapi. familiar di telinga kita dan hampir dapat
MT yang dapat dimasukkan pada dipastikan kita pernah menyantap dan
katagori ini adalah (15) nagasari/utri (16) menikmati. Kekonsistenan (:keajekan)
mendut (17) tetel (18) madu mongso (19) jadah unsur dan kekhasan cita rasa yang dimiliki
(20) wajik (21) klepon. Keseluruhan membuat kita selalu rindu untuk
merupakan jenis kata benda kecuali pada menikmatinya berulang kali terlebih rujak
data (18) yang berupa frase, diyakini mJ dapat mengobati dan terbukti

Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved. 33


Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, 27-36

manjur untuk menyembuhkan flu. Secara yang relatif mahal dan hanya terjangkau
lingual rujak berjenis kata benda yang oleh sebagian masyarakat tertentu. Dalam
diyakini berasal dari bahasa Arab raja’ konteks ini makanan tanpa disadari
“kembali/pengharapan” sebagaimana membangun identitas sosial tertentu
apem berasal dari kata afwun “maaf”. dengan pola dan menu serta cita rasa
Kemutakhiran teknologi makan tradisional misalnya.
kedokteran telah menyatakan bahwa (23) Perubahan budaya erat kaitannya
kenikir dan (24) kelor memiliki manfaat dengan perubahan gaya hidup masyarakat
yang luar biasa. Kenikir merupakan termasuk di dalamnya adalah perubahan
kulupan “sayuran” yang sudah terbiasa pola/gaya makanan. Kita ambil contoh
dan lumrah dikonsumsi oleh masyarakat bagaimana pola makan masyarakat desa
karena dipercaya dapat menghilangkan dengan kota. Masyarakat desa lebih
bau mulut dan bau badan, tanpa memilih makan makanan yang berasal
mengetahui bahwa kenikir mengandung dari hasil alam yang ada, makanan alamiah
unsur pembunuh sel kanker yang baik. begitu Nurti (2017) menyebutnya, berasal
Kelor biasa dikonsumsi sebagai jangan dari hasil pertanian seperti beras, gandum,
beneng “sayur” yang menyegarkan badan dan jagung tanpa ada sentuhan teknologi
tanpa mereka mengetahui bahwa kelor dalam pengolahannya yang oleh
kaya akan mineral. (Fadhilah, 2013: 24) dipandang sebagai
Data di atas semakin meyakinkan pola tindakan rasionalitas instrumental
kepada kita bahwa mJ sebetulnya sudah dan tindakan tradisional. Tindakan
memiliki sistem pengetahuan yang mereka rasional memiliki dasar bahwa tindakan
kemas dalam etnosains tentang teknologi individu-individu di masyarakat diarahkan
pengawetan bahan pangan seperti pada kepada suatu tujuan berdasarkan kriteria
data (2 dan 4) dan dendeng (25), pola tertentu dalam menentukan suatu pilihan
teknologi diversifikasi pada data (5) dan masyarakat memilih jagung sebagai
(6), pengetahuan tentang tanaman obat makanan pokok, sebagai bentuk adaptasi
terlebih kaitannya dengan nilai dan norma terhadap lingkungan geografis yang
dalam masyarakat sebagai buah dari sikap berbukit-bukit serta lahan kering, selain
arif dalam mensikapi kehidupan. itu untuk memenuhi sumber pangan
Katagori keenam, social foods jagung bisa dipanen muda, jagung juga
menggambarkan tipe makanan berfungsi mudah diolah.
sosial. Pada tipe ini makanan bermakna Tindakan tradisional, dalam
relasi. Dalam tayangan televisi kita dapati konteks ini masyarakat Molamahu
iklan minuman kemasan [...PDKT mengkonsumsi jagung dalam kehidupan
makan, sukuran makan, stres makan, sehari-hari dan terjadi terus berulang-
ketemuan dengan teman makan, tak bisa ulang dan berlangsung secara turun
tidur makan, reunian makan, ulang tahun temurun sehingga melahirkan semangat
makan, putus makan, nonton bareng solidaritas dan menjadi identitas
makan, karena di meja banyak cerita seru masyarakat Molamahu. Dalam kerangka
yang terjadi, apapun makanannya berfikir tindakan rasional masyarakat
minumannya tetap...] mengekspresikan Cireundeu lebih pada aspek perlawanan
bagimana makanan menjadi sarana budaya terhadap kolonial Belanda dengan
pengikat keeratan keakraban dalam sikap penolakan dan keengganan
kehangatan relasi hubungan antar menggadaikan harga diri demi beras
manusia. Aspek lain pada tipe ini, dengan tetap memilih mengkonsumsi rasi
makanan dapat menyimbolkan status sebagai makanan pokok. Pilihan sikap
sosial dalam masyarakat yaitu dengan pilihan politik tersebut menunjukkan
dengan makanan yang menawarkan fungsi food as social power (Susilo: 2015)
menu-menu langka, dengan citarasa yang yang pernah terjadi sekitar tahun 1918
nikmat dan eksotis tentunya dengan harga

34 Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Impact
Fuad & Hapsari, Leksikon makanan tradisional dalam Factor:Jawa
bahasa 3.012…

dan berlanjut menjadi budaya makan MT. Leksikon MT mayoritas berjenis kata
masyarakat Cireundeu. benda dengan pemaknaan baku menurut
Fenomena menjamurnya warung sudut pandang mJ dan masing-masing
kopi di desa Tanjungrejo, merupakan orang mempunyai seperangkat
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pengetahuan tentang setiap leksikon
tempat yang berfungsi sebagai tempat tersebut.
untuk mengekspresikan peran sosial Katagorisasi MT memberikan
seseorang dalam masyarakat, tempat petunjuk bagaimana fungsi MT
pertukaran informasi, sampai tempat berdasarkan tema-tema budaya menurut
transaksi perniagaan dan bisnis perspektif mJ tentang dunianya.
“makelaran”. Di sela-sela menikmati Katagorisasi nerupakan cerminan
“srupatan” secangkir kopi di atas meja paradigma dan cara pandang mJ pada
tersaji (26) rondo royal dan (27) ote-ote. tataran mikro dan makro kosmik yang
Rondo royal merupakan frase kaitannya dengan MT.
penggabungan dari rondo “janda” dan royal Pada tataran mikro kosmik,
“tidak pelit”, pemaknaan rondo royal bukan leksikon MT merupakan ekspresi yang
merujuk pada makna leksikal, akan tetapi lahir sikap arif dalam pemanfaatan SDA
pemaknaan baru berupa jenis MT yang secara maksimal dalam bentuk teknologi
berbahan dasar tape yang dilumuri tepung diversifikasi bahan pangan menjadi
beras kemudian digoreng. Data (27) berbagai produk olahan dan gambaran
merupakah bentuk reduplikasi penuh etnosains dalam pengawetan bahan
yang secara leksikal bermakna makanan sebagai strategi adaptasi mJ
“bertelanjang dada” akan tetapi pada dalam menyikapi perubahan iklim dan
konteks penelitian ini bermakna MT yang cuaca demi ketersediaan bahan pangan.
berbahan dasar tepung beras yang Pada tataran makro kosmik, MT
dicampur dengan kubis, wortel, dan berfungsi sebagai ekspresi dan simbolisasi
kecambah dan digoreng dengan cetakan sistem tata nilai yang tidak tertulis dalam
irus “alat yang digunakan untuk manah kolektif mJ dalam menjaga
mengambil sayuran dari mangkuk”. keharmonisan hubungan manusia dengan
Fokus perhatian sejenak kita wilayah transenden. Pada tataran makro
pindahkan ke realitas cafe, terlintas di kosmik MT digunakan sebagai sarana dan
benak kita sekarang suasana yang berbeda wanaha komikasi yang diyakini dapat
dengan warung kopi. Menu yang menghantarkan pesan kepada sang
ditawarkan bukan lagi wedang kopi, wedang pencipta dan pemelihara alam. Pesan
jahe, dan serbat akan tetapi latte, macchiato, tersebut berupa pengharapan dan
milk shake, dan milk tea dengan menu permohonan terpenuhinya kebutuhan
pendamping berupa nachos dan chicken ataukah berupa permintaan perlindungan
fingers. Realitas tersebut cukup terhadap pengaruh negatif dalam bentuk
memberikan gambaran kepada kita bahwa bencana dan kesialan.
makanan merupakan ekspresi sosial
seseorang, baik status sosial, cara DAFTAR PUSTAKA
pandang, dan gaya hidup seseorang.
Dewi, T.K.S. (2011). Kearifan Lokal
SIMPULAN “Makanan Tradisional”:
Perpaduan analisis lingual dan Rekonstruksi Naskah Jawa dan
antropologi berhasil melihat sudut Fungsinya Dalam Masyarakat.
pandang yang berbeda tentang makanan Jurnal Manassa, 1(1), 161-182.
khususnya MT. Berdasarkan analisis Fadhilah, A. (2013). Kearifan Lokal
lingual didapatkan data berupa kata, frase, Dalam Membentuk Daya pangan
dan bentuk pengulangan (reduplikasi) Lokal Komunitas Molamahu
penuh kata dasar yang mengekspresikan

Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved. 35


Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, 27-36

Pulubala Gorontalo. Turas, 19 (1), Sabana, S. (2007). Nilai Estetis Pada


23 – 37. Makanan Tradisional Yogyakarta.
Mufidah, N.L. (2012). Pola Konsumsi Vis Art, 1(1),10-25.
Masyarakat Perkotaan: Studi Spradley, J.A. (1997). Metode Etnografi.
Deskriptif Pemanfaatan Foodcourt (terjemahan). Yogyakarta: Tiara
Oleh Keluarga. BioKultur, 1(2), 157 Wacana.
– 178. Suarni. (2013). Pengembangan pangan
Muliani, L. (2007). Mempromosikan Bir Tradisional Berbasis Jagung
Pletok Sebagai Minuman Khas Mendukung Diversifikasi Pangan.
Betawi Melalui Penyajian Sebagai IPTEK tanaman Pangan, 8(1), 39-47
Welcome Drink. BIJAK: Majalah Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka
Ilmiah Institut STIAMI, 14(2), 291 - Teknik Analisis Bahasa : Pengantar
235 Penelitian Wahana Kebudayaan secara
Nawiyanto, Subarianto, A., Badriyanto, Linguistik. Yogyakarta: Duta
B.S., & Krisnadi, IG. (2011). Wacana Press
Pangan, Makan, Dan Ketahanan Susanto, Widayati, W., & Astuti, P.
Pangan: Konsepsi Etnis Jawa dan (2013). Pola Kelembagaan Rumah
Madura. Yogyakarta: Galangpress Tangga Dalam Mewujudkan
dan Pusat Penelitian Budaya dan Ketahanan Pangan Berbasis
Pariwisata Universitas Jember. Kearifan Lokal Di Desa
Nurhayati, E., et al. (2014). Inventarisasi Giyombong, Kecamatan Bruno
makanan tradisional jawa unsur Kabupaten Purworejo Tahun
sesaji di pasar-pasar tradisional 2012. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2
Kabupaten Bantul. Humaniora 19 ( (2).
2), 124-140. Susilo, F. (2015). Fragmentasi Manusia
Nurti, Y. (2017). Kajian makanan dalam Dalam Kultur Makan Masa Kini.
perspektif antropologi. Jurnal Jurnal Melintas an International jurnal
Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, 19 or Phylosopy an religion, 31 (2), 201-
(1), 1 – 10. 219.
Putranto, K., & Taofik, A. (2014). Pola Wurianto, A.B. (2008). Aspek Budaya
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pada Tradisi Kuliner Tradisional
Masyarakat Adat Kampung di Kota Malang Sebagai Identitas
Cireundeu Kota Cimahi Jawa Sosial Budaya (Sebuah Tinjauan
Barat. ISTEK (Jurnal Kajian Islam, Folklore). Laporan Penelitian.
Sains dan Teknologi), 3(1),159 – Malang: Lembaga Penelitian
181. Universitas Muhammadiyah.

36 Copyright ©2019 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai