Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 19, Nomor 1, April 2019, Factor: 3.012
27-36
p-ISSN 1412-0712, e-ISSN 2527-8312, doi: 10.17509/bs_jpbsp.v19i1.20756
How to cite (in APA Style): Fuad, A.D., & Hapsari, Y.T. (2019). Leksikon Makanan
Tradisional dalam Bahasa Jawa sebagai Cerminan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra, 19(1), 27- 36, doi: 10.17509/bs_jpbsp.v19i1.20756
Article History: Received (4 September 2018);Revised (11 November 2018); Accepted (1 April
2019).
Journal homepage: http://ejournal.upi.edu./index.php/BS_JPBSP
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrisikan leksikon MT berbahasa Jawa pada
masyarakat desa Tanjungrejo. Penelitian ini berpijak pada teori (:hipotesis) relatifitas bahasa
dan pemenuhan research gap tentang kajian makanan yang selama ini hanya dikaji dari aspek
unsur (:komponen) kimiawi semata, seperti kandungan nutrisi, gizi, dan senyawa kimia
lainnya. Penelitian ini menggunakan perpaduan metode linguistik dan antropologi. Metode
linguistik berperan untuk mencari dan menginventarisasi leksikon berbahasa Jawa
berdasarkan analisis lingual, sedangkan metode antropologi berperan untuk
mengklasifikasikan data lingual berdasarkan ranah dan domain. Dari analisis ranah dan
domain akan ditemukan tema-tema budaya yang secara implisit menggambarkan
seperangkat manah kolektif (collective mind) masyarkat Jawa yang tersimbolisasi dan
terekspresi dalam bentuk leksikon makanan tradisional. Manah kolektif masyarakat Jawa
terejawantahkan dalam sikap, prilaku dan tata nilai serta norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat dalam wujud kearifan lokal.
Kata kunci: makanan tradisional; bahasa Jawa; kearifan lokal.
Abstract: This study aims to describe the Javanese MT lexicon in the Tanjungrejo village
community. This research is based on the theory (: hypothesis) of the relativeity of language
and the fulfillment of research gaps on food studies which have only been examined from
the aspect of chemical elements (: components), such as nutrient content, nutrition, and
other chemical compounds. This study uses a combination of linguistic and anthropological
methods. The linguistic method plays a role in finding and inventorying the Javanese
lexicon based on lingual analysis, while the anthropological method has the role of
classifying lingual data based on domains. From the domain analysis, cultural themes that
implicitly describe a collective mind of Javanese society symbolized and expressed in the
form of traditional food lexicon. The collective mind of the Javanese society is embodied in
the attitude, behavior and values of norms and norms that apply in a society in the form of
local wisdom.
Keywords: traditional food; Javanese language; local wisdom.
Sabana, 2007). Kajian makan dan kognisi mJ yang tercermin dalam leksikon
makanan yang berkaitan dengan budaya MT.
ditulis oleh Dewi (2011) dan Wurianto Kerangka dan tahapan penelitian
(2008), Mufidah (2012), dan Susilo (2015). linguistik, peneliti merujuk pada
Research gap yang peneliti tangkap adalah Sudaryanto (1993) dengan tiga tahapan
pada inventarisasi leksikon MT berbahasa strategis, tahapan pertama berupa
Jawa melahirkan katagorisasi lingual dan penyediaan data, tahapaan kedua analisis
antropologis yang dapat mengungkap data, tahapan ketiga berupa tahapan
manah kolektif (collective mind) mJ sebagai penyajian hasil analisis data. Proses
kearifan lokal yang tercermin pada setiap penelitian diawali dengan menetapkan
leksikon MT berbahasa Jawa. klasifikasi beberapa informan, teknik
Di pihak lain, arus modernisasi di wawancara dengan teknik libat cakap
seluruh aspek kehidupan mengakibatkan dengan mengajukan pertanyaan-
perubahan gaya hidup dan pola makan pertanyaan deskriptif, struktural, dan
dalam masyarakat. Menjamurnya restoran kontras.
cepat saji semakin menggerus eksistensi Tahapan strategis kedua berupa
MT. MT adalah aset, cerminan jati diri, analisis data, peneliti menggunakan
dan cerminan etnosains khas suatu metode padan dan agih (distribusional).
daerah. Generasi muda kita lebih Metode padan dibedakan atas metode
mengenal pizza dari pada tiwul, justru referensial, metode translasional, metode
tiwul-lah cerminan jati diri kita sebagai ortografis dan pragmatis. Teknik dasar
etnik Jawa, cerminan kemampuan dalam metode padan adalah teknik pilah
diversifikasi, dan wujud etnosains dari unsur penentu sedangkan dalam metode
para leluhur kita, sedangkan pizza agih teknik dasarnya adalah teknik bagi
merupakan cerminan dan identitas bangsa unsur langsung dengan menggunakan
lain. Penelitian ini pada akhirnya dapat teknik lesap dan teknik ganti, teknik
menjadi bahan renungan dan sarana perluas, teknik sisip, teknik balik, teknik
untuk membangkitkan pamahaman dan ubah ujud dan teknik ulang.
rasa memiliki kekayaan kuliner bangsa Metode berikutnya adalah metode
Indonesia. etnografi dalam antroplogi, peneliti
merujuk pada Spradley (1997) dengan dua
METODE belas langkah alur penelitian. Dengan
Penggabungan dua metode, linguistik dan menggolongkan penyajian data dengan
antropologi dalam penelitian ini mengajukan pertanyaan kepada para
dikarenakan aspek analisis tidak berhenti informan, tahapan berikutnya analisis
pada pengungkapan dan analisis secara wawancara, analisis domain, analisis
lingual saja, akan tetapi masuk pada taksonomi, analisis komponen dan
pengungkapan seperangkat sistem budaya langkah terakhir adalah menemukan
yang tercermin pada data lingual berupa tema-tema budaya merupakan tahapan
leksikon MT berbahasa Jawa pada mJ berikutnya yang dalam perjalannanya akan
desa Tanjungrejo Kecamatan Wuluhan beriringan dengan analisis data pada
Kabupaten Jember. metode linguistik.
Pendekatan dalam penelitian Setelah tahapan analisis akhir dalam
terfokus pada tujuan untuk metode antropologis selesai dengan
mengungkapkan prinsip-prinsip ditemukannya tema-tema budaya yang
pengklasifikasian menurut sistem manah tercermin pada setiap leksikon MT
kolektif (collective mind) masyarakat Jawa. berbahasa Jawa dilanjutkan dengan
Data berupa leksikon MT berbahasa penyajian data pada metode linguistik dan
Jawa. Pengklasifikasian MT berdasarkan penulisan naskah etnografis pada
ranah dan domain akan terungkap penelitian antropologi.
bagaimana cara pandang dan sistem
sebagi perekatnya. Biting adalah potongan penggabungan kata madu “madu” mongso
lidi dengan ukuran + 3 cm yang dibuat “masa”. Semua data adalah hidangan khas
meruncing pada setiap ujungnya. Peran yang disajikan pada acara walimahan
dan fungsi dari data di atas adalah sebagai “resepsi pernikahan” yang oleh mJ desa
sarana dan wahana yang dipakai untuk Tanjungrejo disebut dengan manggulan
menyampaikan maksud kepada yang kecuali data (21). Argumentasi
mereka anggap pemelihara alam semesta memasukkan data di atas pada katagori
agar terhindar dari mala petaka atau untuk ketiga karena lebih mengacu pada
mempermudah terkabulkannya identitas yang terdapat pada MT tersebut,
permohonan mereka. kapan MT disajikan, data lingual berupa
Sikap arif yang mereka miliki [...sopo iki bune seng rabi lakok oleh wajik
merupakan buah dari keyakinan dari suatu karo madu mongso...] “kok dapat oleh-oleh
aturan yang tidak tertulis dalam menjaga wajik dan masu mongso, siapa yang
keteraturan kehidupan di alam dunia menyelenggarakan resepsi pernikahan”
maupun di akhirat kelak. Aturan tersebut sebagai bukti bahwa penyajian MT
melembaga dalam manah kolektif tersebut memilih identitas dan ciri
masyarakat Jawa agar tidak terjadi dilaksanakannya manggulan. Data (21)
benturan antara wilayah kasat mata dan merujuk pada akibat yang timbul setelah
wilayah nyata. Pembuatan jenang suro, dan mengkonsumsinya. Data (21) merupakan
sapar sebetulnya merupakan ekspresi rasa perlambang pecahnya bisul dengan
cinta dan belas kasih terhadap orang lain melumernya gula yang berada di dalam
dengan saling berbagi terlebih pada bulan- ketika digigit (Fuad: 2018b).
bulan yang dimuliakan. Mereka juga Keempat dan kelima adalah food as
percaya terhadap ajaran agama mereka medicine dan medicine as food. Helman
yang menyebutkan tahaadu tachabbu menganggap tipe klasifikasi ini
“saling berbagilah kalian niscaya kalian merupakan katagorisasi yang tumpang
akan saling mengasihi dan mencintai”. tindih antara makanan dan obat. Secara
Ketiga, parallel food classifications, kultural manusia menjadikan makanan
klasifikasi pada tipe ini membutuhkan bukan hanya sekedar pemenuh kebutuhan
eksplorasi karena batasan energi untuk aktivitas dan bertahan hidup
pengklasifikasian sangat bergantung pada tetapi juga untuk menjaga kesehatan. Pada
paradigma dan cara pandang masyarakat aspek yang lain sebagian masyarakat
di daerah tertentu dan dengan budaya mengkonsumsi makanan tertentu sebagai
tertentu pula. Cara kerja klasifikasi ini obat, pada aspek yang inilah tipe food as
seperti berjalan dengan nilai simbolis atau medicine berlaku. Seiring dengan
pengaruh yang timbul pada saat setelah perkembangan industri farmasi, obat-
dikonsumsi. mJ menganggap obatan dikomsumsi sebagai suplemen
mengkonsumsi daging kambing dan atau justru berfungsi sebagai alat untuk
daging sapi akan memberikan pengaruh menunda atau justru menghilangkan rasa
yang berbeda. Daging kambing dipercaya lapar. Fenomena tersebut justru
memiliki simbol panas dan melahirkan klasifikasi tipe kelima berupa
mengakibatkan pengkonsumsinya medicine as food karena sudah menjadi
merasakan sensasi yang berbeda jika bagian dari kebutuhan sehari-hari.
dibandingkan dengan setelah Rujak sebagai data (22) sangat
mengkonsumsi daging sapi. familiar di telinga kita dan hampir dapat
MT yang dapat dimasukkan pada dipastikan kita pernah menyantap dan
katagori ini adalah (15) nagasari/utri (16) menikmati. Kekonsistenan (:keajekan)
mendut (17) tetel (18) madu mongso (19) jadah unsur dan kekhasan cita rasa yang dimiliki
(20) wajik (21) klepon. Keseluruhan membuat kita selalu rindu untuk
merupakan jenis kata benda kecuali pada menikmatinya berulang kali terlebih rujak
data (18) yang berupa frase, diyakini mJ dapat mengobati dan terbukti
manjur untuk menyembuhkan flu. Secara yang relatif mahal dan hanya terjangkau
lingual rujak berjenis kata benda yang oleh sebagian masyarakat tertentu. Dalam
diyakini berasal dari bahasa Arab raja’ konteks ini makanan tanpa disadari
“kembali/pengharapan” sebagaimana membangun identitas sosial tertentu
apem berasal dari kata afwun “maaf”. dengan pola dan menu serta cita rasa
Kemutakhiran teknologi makan tradisional misalnya.
kedokteran telah menyatakan bahwa (23) Perubahan budaya erat kaitannya
kenikir dan (24) kelor memiliki manfaat dengan perubahan gaya hidup masyarakat
yang luar biasa. Kenikir merupakan termasuk di dalamnya adalah perubahan
kulupan “sayuran” yang sudah terbiasa pola/gaya makanan. Kita ambil contoh
dan lumrah dikonsumsi oleh masyarakat bagaimana pola makan masyarakat desa
karena dipercaya dapat menghilangkan dengan kota. Masyarakat desa lebih
bau mulut dan bau badan, tanpa memilih makan makanan yang berasal
mengetahui bahwa kenikir mengandung dari hasil alam yang ada, makanan alamiah
unsur pembunuh sel kanker yang baik. begitu Nurti (2017) menyebutnya, berasal
Kelor biasa dikonsumsi sebagai jangan dari hasil pertanian seperti beras, gandum,
beneng “sayur” yang menyegarkan badan dan jagung tanpa ada sentuhan teknologi
tanpa mereka mengetahui bahwa kelor dalam pengolahannya yang oleh
kaya akan mineral. (Fadhilah, 2013: 24) dipandang sebagai
Data di atas semakin meyakinkan pola tindakan rasionalitas instrumental
kepada kita bahwa mJ sebetulnya sudah dan tindakan tradisional. Tindakan
memiliki sistem pengetahuan yang mereka rasional memiliki dasar bahwa tindakan
kemas dalam etnosains tentang teknologi individu-individu di masyarakat diarahkan
pengawetan bahan pangan seperti pada kepada suatu tujuan berdasarkan kriteria
data (2 dan 4) dan dendeng (25), pola tertentu dalam menentukan suatu pilihan
teknologi diversifikasi pada data (5) dan masyarakat memilih jagung sebagai
(6), pengetahuan tentang tanaman obat makanan pokok, sebagai bentuk adaptasi
terlebih kaitannya dengan nilai dan norma terhadap lingkungan geografis yang
dalam masyarakat sebagai buah dari sikap berbukit-bukit serta lahan kering, selain
arif dalam mensikapi kehidupan. itu untuk memenuhi sumber pangan
Katagori keenam, social foods jagung bisa dipanen muda, jagung juga
menggambarkan tipe makanan berfungsi mudah diolah.
sosial. Pada tipe ini makanan bermakna Tindakan tradisional, dalam
relasi. Dalam tayangan televisi kita dapati konteks ini masyarakat Molamahu
iklan minuman kemasan [...PDKT mengkonsumsi jagung dalam kehidupan
makan, sukuran makan, stres makan, sehari-hari dan terjadi terus berulang-
ketemuan dengan teman makan, tak bisa ulang dan berlangsung secara turun
tidur makan, reunian makan, ulang tahun temurun sehingga melahirkan semangat
makan, putus makan, nonton bareng solidaritas dan menjadi identitas
makan, karena di meja banyak cerita seru masyarakat Molamahu. Dalam kerangka
yang terjadi, apapun makanannya berfikir tindakan rasional masyarakat
minumannya tetap...] mengekspresikan Cireundeu lebih pada aspek perlawanan
bagimana makanan menjadi sarana budaya terhadap kolonial Belanda dengan
pengikat keeratan keakraban dalam sikap penolakan dan keengganan
kehangatan relasi hubungan antar menggadaikan harga diri demi beras
manusia. Aspek lain pada tipe ini, dengan tetap memilih mengkonsumsi rasi
makanan dapat menyimbolkan status sebagai makanan pokok. Pilihan sikap
sosial dalam masyarakat yaitu dengan pilihan politik tersebut menunjukkan
dengan makanan yang menawarkan fungsi food as social power (Susilo: 2015)
menu-menu langka, dengan citarasa yang yang pernah terjadi sekitar tahun 1918
nikmat dan eksotis tentunya dengan harga
dan berlanjut menjadi budaya makan MT. Leksikon MT mayoritas berjenis kata
masyarakat Cireundeu. benda dengan pemaknaan baku menurut
Fenomena menjamurnya warung sudut pandang mJ dan masing-masing
kopi di desa Tanjungrejo, merupakan orang mempunyai seperangkat
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pengetahuan tentang setiap leksikon
tempat yang berfungsi sebagai tempat tersebut.
untuk mengekspresikan peran sosial Katagorisasi MT memberikan
seseorang dalam masyarakat, tempat petunjuk bagaimana fungsi MT
pertukaran informasi, sampai tempat berdasarkan tema-tema budaya menurut
transaksi perniagaan dan bisnis perspektif mJ tentang dunianya.
“makelaran”. Di sela-sela menikmati Katagorisasi nerupakan cerminan
“srupatan” secangkir kopi di atas meja paradigma dan cara pandang mJ pada
tersaji (26) rondo royal dan (27) ote-ote. tataran mikro dan makro kosmik yang
Rondo royal merupakan frase kaitannya dengan MT.
penggabungan dari rondo “janda” dan royal Pada tataran mikro kosmik,
“tidak pelit”, pemaknaan rondo royal bukan leksikon MT merupakan ekspresi yang
merujuk pada makna leksikal, akan tetapi lahir sikap arif dalam pemanfaatan SDA
pemaknaan baru berupa jenis MT yang secara maksimal dalam bentuk teknologi
berbahan dasar tape yang dilumuri tepung diversifikasi bahan pangan menjadi
beras kemudian digoreng. Data (27) berbagai produk olahan dan gambaran
merupakah bentuk reduplikasi penuh etnosains dalam pengawetan bahan
yang secara leksikal bermakna makanan sebagai strategi adaptasi mJ
“bertelanjang dada” akan tetapi pada dalam menyikapi perubahan iklim dan
konteks penelitian ini bermakna MT yang cuaca demi ketersediaan bahan pangan.
berbahan dasar tepung beras yang Pada tataran makro kosmik, MT
dicampur dengan kubis, wortel, dan berfungsi sebagai ekspresi dan simbolisasi
kecambah dan digoreng dengan cetakan sistem tata nilai yang tidak tertulis dalam
irus “alat yang digunakan untuk manah kolektif mJ dalam menjaga
mengambil sayuran dari mangkuk”. keharmonisan hubungan manusia dengan
Fokus perhatian sejenak kita wilayah transenden. Pada tataran makro
pindahkan ke realitas cafe, terlintas di kosmik MT digunakan sebagai sarana dan
benak kita sekarang suasana yang berbeda wanaha komikasi yang diyakini dapat
dengan warung kopi. Menu yang menghantarkan pesan kepada sang
ditawarkan bukan lagi wedang kopi, wedang pencipta dan pemelihara alam. Pesan
jahe, dan serbat akan tetapi latte, macchiato, tersebut berupa pengharapan dan
milk shake, dan milk tea dengan menu permohonan terpenuhinya kebutuhan
pendamping berupa nachos dan chicken ataukah berupa permintaan perlindungan
fingers. Realitas tersebut cukup terhadap pengaruh negatif dalam bentuk
memberikan gambaran kepada kita bahwa bencana dan kesialan.
makanan merupakan ekspresi sosial
seseorang, baik status sosial, cara DAFTAR PUSTAKA
pandang, dan gaya hidup seseorang.
Dewi, T.K.S. (2011). Kearifan Lokal
SIMPULAN “Makanan Tradisional”:
Perpaduan analisis lingual dan Rekonstruksi Naskah Jawa dan
antropologi berhasil melihat sudut Fungsinya Dalam Masyarakat.
pandang yang berbeda tentang makanan Jurnal Manassa, 1(1), 161-182.
khususnya MT. Berdasarkan analisis Fadhilah, A. (2013). Kearifan Lokal
lingual didapatkan data berupa kata, frase, Dalam Membentuk Daya pangan
dan bentuk pengulangan (reduplikasi) Lokal Komunitas Molamahu
penuh kata dasar yang mengekspresikan