Anda di halaman 1dari 3

“PELANGI”

  “Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya
ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama
air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera
mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku
pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi. Oh iya.
Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia
balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas
cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama –
sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan. Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku.
Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di
benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling
manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan
kesukaan semua anggota keluarga hari ini. Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama
makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik
hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air
membasahi permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus
denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku
mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau
yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku
mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa
sebelum hujan reda. “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo
menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku
menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau
pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki –
lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar –
nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan.  “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk
pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.”
Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa
To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang
menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki
terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini. Sungguh romantis situasinya.
Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan
tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku
menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…”
aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai
kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau
ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!”
aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati. Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To.
Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke
friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab
seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku
ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia?? Di kampus, aku
memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti
awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di
penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika.  Istirahat, aku menemui Pelangi duduk
bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan
Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa.
Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar
menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap
mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga
main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui
bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana.
Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat
pelangi bersama-sama. Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends
mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari
dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali.
Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin
bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku
memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “
Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku
ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh.  Besoknya, aku berangkat
ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan
kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat
plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda
motorku. Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk
rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga  tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah
masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit. Aku melihat mama,
Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana
ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah
tidak muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan
raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan
kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar -  benar
dipenuhi haru hari ini, Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku
memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari
Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat
ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan
Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini.“Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku
akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk
perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan
kepalanya pertanda kata – kata “ IYA” Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku
lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi
cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke
Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap
Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan
janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku
mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana? Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling
berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang
bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa
lama. “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari
saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “
Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri
oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir
seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih. “ Ehm, paman. Cari sisanya
dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget
ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?”  tanyaku
sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan
gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain
Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan  heran. “Iya. Kamu tau
kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.” Setelah kubicarakan hal ini
dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang
menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu
ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat
bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga
berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini.                            
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan
kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di
tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha
menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe
mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya
beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik.
Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit
lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish.     Paman Heru berteriak
menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru
sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap
lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau
kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku
membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!” Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat.
Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris
di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi
normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku! Kaki kiriku tertindih body motorku.
Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku
berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi. Belum aku berdiri
dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan
kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku
yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar
Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya.
Ternyata  aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur.
Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang
terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit?  Aku bangun dari tidurku.
Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa
itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak
akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya?? “Kak, waktu kakak koma, kak
Pelangi datang kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak
Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa.
Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku
heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.  Siang itu hujan turun. Aku sangat
ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi
sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby
dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga
datang. Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja.
Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu
berisi :  “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling  gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga
bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok
yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?”      
Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat
terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo” Kini kusadari, pelangi hanya
terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam
– macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan
mengingkari janjinya untuk menyinari dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang
kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu
hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan
berpaling.

Anda mungkin juga menyukai