Anda di halaman 1dari 13

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk

Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) TERHADAP


MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI BAKTERI Salmonella Thypimurium

Antidiarrheal Effects Beluntas Leaf Extract (Pluchea indica L.) against Male Mice
Induced by Bacteria Salmonella typhimurium

Hanny Nurhalimah1*, Novita Wijayanti1, Tri Dewanti Widyaningsih1

1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang


Jl. Veteran, Malang 65145
*Penulis Korespondensi, Email: hannyorange@gmail.com

ABSTRAK

Diare merupakan penyakit infeksi usus yang menjadi masalah kesehatan di negara
berkembang termasuk Indonesia. Pengobatan menggunakan obat kimia dapat menimbulkan
efek samping. Perlu dilakukan pengobatan alternatif herbal. Daun beluntas adalah salah satu
tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat diare, senyawa aktif yang teridentifikasi dalam daun
beluntas yaitu fenol, tanin, alkaloid, steroid dan minyak atsiri, serta memiliki sifat antibakteri
penyebab diare. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun beluntas
sebagai antidiare. Diawali dengan pembuatan ekstrak menggunakan rancangan tersarang.
Dilanjutkan dengan pengamatan in vivo menggunakan RAL dengan 6 kelompok perlakuan.
Induksi diare dengan bakteri Salmonella typhimurium, kontrol obat dengan loperamid semua
perlakuan diberikan secara oral. Data hasil pengamatan menunjukkan kadar tanin, total fenol
dan rendemen masing-masing sebesar 80329.58 ppm, 5104.08 ppm, dan 12.89%. Berdasarkan
hasil pengamatan ekstrak daun beluntas memberikan efek antidiare pada dosis 150 dan 300
mg/kg bb, pada dosis 600 mg/kg bb memberikan efek sebanding dengan loperamid.

Kata kunci: Antidiare, Ekstrak daun beluntas, Salmonella typhimurium

ABSTRACT

Diarrhea is infectious intestinal disease a public health problem in developing countries.


Treatment using chemical drugs can cause side effects. Herbal alternative medicine needs to
be done. Beluntas leaf is plant that is used as a medicine for diarrhea, the active compounds
were identified, namely phenols, tannins, alkaloids, steroids and essential oils, as well as having
antibacterial cause diarrhea. The purpose of research to determine the effectiveness of beluntas
leaf extract as an antidiarrheal. Starting with the manufacture of the extract using a nested
design. Followed by in vivo observations using CRD with 6 treatment groups. Diarrhea induced
by Salmonella typhimurium, with loperamide drug control treatment administered orally.
Observation data showed levels of tannins, total phenols and yield of 80329.58 ppm, 5104.08
ppm, and 12.89%. The results showed Extract beluntas antidiarrheal effects doses of 150 and
300 mg/kg, dose of 600 mg/kg bw provide comparable effects with loperamide.

Keywords: Antidiarrheal, Leaf extracts beluntas, Salmonella typhimurium

PENDAHULUAN

Diare merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi di Indonesia, dengan kejadian
penyakit 400 per 1000 penduduk. Diare adalah buang air besar dengan feses yang tidak

1083
Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015

berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam [1]. Diare dapat disebabkan
oleh bakteri yang mengkontaminasi makanan dan minuman atau oleh racun yang dihasilkan
oleh bakteri-bakteri tersebut yang berhubungan erat dengan sanitasi dan higienis individu
maupun masyarakat, juga dapat disebabkan oleh kelainan psikosomatik, alergi terhadap
makanan atau obat-obatan tertentu, kelainan pada sistem endokrin dan metabolisme,
kekurangan vitamin. Diare yang hebat dapat menyebabkan dehidrasi karena tubuh kekurangan
cairan, kekurangan kalium, dan elektrolit dalam jumlah yang banyak. Dehidrasi berat akan
menimbulkan kelemahan, shock bahkan kematian terutama pada anak-anak dan bayi [2].
Pengobatan dalam menanggulangi diare perlu diperhatikan terjadinya dehidrasi pada
penderita, sehingga diperlukan pengganti cairan [3]. Pengobatan diare dapat menggunakan
obat-obat kimia seperti loperamid, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri
abdominal, mual, muntah, mulut kering, mengantuk, dan pusing. Adanya efek samping tersebut
menyebabkan masyarakat lebih memilih tanaman obat berkhasiat sebagai alternatif
pengobatan. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai obat tradisional adalah daun
beluntas (Pluchea indica L). Golongan senyawa aktif yang teridentifikasi dalam daun beluntas
antara lain fenol hidrokuinon, tanin, alkaloid, steroid dan minyak atsiri [4]. Senyawa tanin
bersifat sebagai astringent, mekanisme tanin sebagai astringen adalah dengan menciutkan
permukaan usus atau zat yang bersifat proteksi terhadap mukosa usus dan dapat
menggumpalkan protein. Oleh Karena itu senyawa tanin dapat membantu menghentikan diare
[5]. Daun beluntas juga mempunyai aktivitas farmakologi daya antiseptik terhadap bakteri
penyebab diare yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium [6].
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa daun beluntas diduga dapat berperan sebagai
antidiare.
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi daun beluntas dengan menggunakan metode
ekstraksi yang berbeda yaitu maserasi dengan pelarut etanol dan infusa dengan pelarut air. Hal
ini, bertujuan untuk mengetahui pelarut yang sesuai untuk mengekstrak senyawa fitokimia
khususnya tanin yang terdapat pada daun beluntas agar didapatkan hasil yang optimal.
Pengujian efek antidiare dilakukan secara in vivo pada mencit jantan yang diinduksi bakteri
Salmonella typhimurium. Pembuatan ekstrak daun beluntas sebagai antidiare diharapkan
mampu memberikan alternatif pengobatan diare secara alami dan tanpa efek samping bagi
semua usia serta dapat mengangkat potensi daun beluntas sebagai obat herbal yang ekonomis

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah daun beluntas yang didapat
dari daerah Dieng Malang, akuades dan etanol 96% teknis. Bahan yang digunakan dalam
analisis ekstrak adalah akuades, kertas saring, folin ciocalteu, sodium carbonate, asam galat,
FeCl3, K3Fe(CN6). Bahan yang digunakan dalam uji antidiare secara in vivo yaitu mencit jantan
dengan berat badan 25-30 gram, CMC 1%, obat diare (tablet lopamid®), bakteri Salmonella
typhimurium, dan pakan susu pap.
Alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak yaitu timbangan analitik, blender,
spatula, rotary evaporator, gelas ukur, beaker glass, corong, kertas saring, alumunium foil,
panci, kompor listrik dan termometer. Alat yang digunakan dalam analisis yaitu timbangan
analitik, gelas arloji, pipet ukur, gelas ukur, labu ukur, bola hisap, kertas saring halus,
spektrofotometer, vortex, colour reader, oven vacuum, desikator, tabung reaksi, sentrifuge,
kompor listrik. Alat yang digunakan dalam uji antidiare secara in vivo yaitu kertas saring, jarum
sonde mencit, jarum suntik skala 1 ml (One med).

1084
Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015

yang berbeda-beda, serta memiliki sistem imun yang berbeda. Kelompok kontrol negatif
berbeda nyata dengan kelompok lainnya yang diinduksi Salmonella typhimurium. Sedangkan
kontrol positif, kontrol obat dan perlakuan dosis menunjukkan tidak berbeda nyata karena
semua perlakuan tersebut dilakukan induksi Salmonella typhimurium. Induksi bakteri
Salmonella typhimurium mengakibatkan mencit menjadi diare, karena Salmonella typhimurium
merupakan bakteri patogen penyebab gastroentritis yaitu infeksi pada setelah masuknya
organisme. Penyakit ini ditandai dengan mual, muntah, diare, demam, dan nyeri abdomen.
Tinja biasanya tidak berdarah dengan volume moderat, kadang-kadang disertai dengan nyeri
perut kuadran kanan seperti usus buntu [18].

Tabel 6. Saat Mulai Terjadi Diare


Perlakuan Saat Mulai Terjadi Diare (menit)
Kontrol negatif (mencit tidak mengalami diare) 0a
Kontrol positif (diare tanpa perlakuan) 81.25 ± 13.15 b
Kontrol obat (diare dengan perlakuan loperamid) 82 ± 12.35 b
P1 (diare dengan perlakuan dosis 150 mg/kg bb) 82.5 ± 10.41 b
P2 (diare dengan perlakuan dosis 300 mg/kg bb) 87.5 ± 14.43 b
P3 (diare dengan perlakuan dosis 600 mg/kg bb) 81.5 ± 8.74 b
Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05)

Tahapan terjadinya diare karena infeksi bakteri yaitu dengan mekanisme sebagai
berikut. Bakteri masuk dalam traktus digestif, kemudian berkembang biak dan mengelouarkan
toxic (enterotoxic) yang akan merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktivitas
enzim adenil siklase. Akibat peningkatan aktivitas enzim, maka akan terjadi peningkatan CAMP.
Akumulasi CAMP akan menyebabkan sekresi klorida, natrium dan air dari lumen usus kedalam
sel. Kemudian akan terjadi hiperperistaltik, usus untuk mengeluarkan cairan yang berlebih dari
lumen usus halus ke usus besar. Bila kemampuan penyerapan kolon berkurang atau sekresi
cairan melebihi penyerapan kolon maka terjadi diare [19].

Penentuan Konsistensi Feses


Dalam penentuan konsistensi feses dilakukan dengan melihat bentuk feses yang terjadi,
dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu konsistensi feses berlendir atau berair,
konsistensi feses lembek, dan konsistensi feses normal.

1. Konsistensi Feses Berlendir atau Berair


Parameter yang dilihat dari kategori ini yaitu lama terjadinya diare, diameter serapan air,
dan berat feses. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Konsistensi Feses Berlendir atau Berair


Lama Terjadinya Diameter
Perlakuan Berat Feses (g)
Diare (menit) Serapan Air (cm)
K- (tidak mengalami diare) 0a 0a 0.058 ± 0.008 a
K+ (diare tanpa perlakuan) 230 ± 8.16 d 1.6 ± 0.258 b 0.174 ± 0.008 b
KO (dengan obat loperamid) 190 ± 15.81 b 1.5 ± 0.182 b 0.166 ± 0.009 b
P1 (dengan dosis 150 mg/kg bb) 232.5 ± 2.89 d 1.7 ± 0.141 b 0.169 ± 0.153 b
P2 (dengan dosis 300 mg/kg bb) 212.5 ± 6.45 c 1.55 ± 0.129 b 0.171 ± 0.120 b
P3 (dengan dosis 600 mg/kg bb) 193.75 ± 4.79 b 1.47 ± 0.170 b 0.165 ± 0.115 b
Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05)

1089
Jurnal Kedokteran Hewan Lucia Tri Suwanti dan Mufasirin
ISSN : 1978-225X

PENINGKATAN TNF-α DAN INDEKS APOPTOSIS PADA TULANG


MENCIT YANG DIINFEKSI Toxoplasma gondii
The Increase of TNF-α and Apoptotic Index in Bone of Toxoplasma gondii-Infected Mice
Lucia Tri Suwanti1,2 dan Mufasirin1,2
1
Departemen Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya
2
Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga, Surabaya
E-mail: tswant@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan indeks apoptosis pada tulang mencit yang
diinfeksi Toxoplasma gondii (T. gondii). Tiga puluh dua ekor mencit dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok 1 (K1), merupakan kelompok
kontrol, tidak diinfeksi sedangkan Kelompok 2 (K2) diinfeksi dengan 10 takizoit T. gondii secara intraperitoneal. Enam hari setelah infeksi
mencit dikorbankan, diambil tulang femur dan dilakukan pembuatan preparat histologis dengan pengecatan immunohistochemistry (IHC) dan
Tunel assay. Hasil penelitian menunjukkan jumlah sel tulang yang mengekspresikan TNF-α pada K2 (27,04±6,92) berbeda sangat nyata
dibandingkan dengan K1 (11,42±3,92). Indeks apoptosis pada K1 dan K2 masing-masing adalah 9,17±3,04 dan 16,28±3,37. Dari hasil penelitian
disimpulkan bahwa infeksi T. gondii meningkatkan TNF-α dan indeks apoptosis sel tulang femur.
____________________________________________________________________________________________________________________
Kata kunci: indeks apoptosis, bone, T. gondii, TNF-α

ABSTRACT
This study aims to determine the increase of tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) and apoptotic index in bone of Toxoplasma gondii-infected
mice. Thirty-two mice were divided into two groups. First group was the uninfected control group. The second group was the treatment group.
Mice in the treatment group were infected with 10 T. gondii tachizoites, intraperitoneally. Six days after infection mice were sacrificed, femur
bone removed to make histopathology slides. Slides were stained with immunohistochemistry (IHC) and Tunel assay. Datas were analyzed by t
test. The results show that the bone cells that express TNF-α in infection group (27.04±6.92) were higher than those in the control group
(11.42±3.92). As well as for the apoptic index. The treatment group was higher (16.28±3.37) than those in the control group (9.17±3.04). In
conclusion, T. gondii infection increased TNF-α and apoptotic index femur bone cells.
____________________________________________________________________________________________________________________
Key words: apoptotic index, bone, T. gondii, TNF-α

PENDAHULUAN terhadap sel lain yang tidak terinfeksi, antara lain apoptosis
termasuk pada tulang.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang bersifat Infeksi T. gondii membangkitkan respons imun individu
zoonosis, disebabkan oleh Toxoplasma gondii (T. gondii) terinfeksi baik respons imun humoral maupun seluler.
menyerang manusia dan mamalia berdarah panas Kemampuan T. gondii membangkitkan respons imun
termasuk unggas. Maharana et al. (2010) melaporkan seluler ditandai dengan respon Th1 dengan dilepaskannya
bahwa sepertiga populasi manusia sudah terinfeksi T. interferon- (IFN- ) (Denkers dan Gazzinelli, 1998; Lee et
gondii. Kerugian sosio-ekonomi akibat toksoplasmosis al., 1999). Pada awal infeksi, IFN- diproduksi oleh sel
meliputi biaya yang besar untuk perawatan penderita, natural killer (NK). Pada fase ini melibatkan sistem imun
gangguan mental, dan kebutaan pada anak. Pada alami, sel NK dan makrofag. Sel NK merupakan sel utama
manusia, toksoplasmosis dapat menyebabkan kerugian penghasil IFN- dan akan mengaktifkan makrofag untuk
antara gejala penurunan berat badan (Paspalaki et al., menghasilkan TNF- sebagai mikrobisid. Pada fase kronis,
2001) dan berat lahir rendah (BLR) (Rorman et al., limfosit T memproduksi IFN- dalam jumlah banyak (Sher
2006; Mufasirin, 2011). Pengaruh infeksi T. gondii et al., 1995).
terhadap perubahan molekuler tulang pada sampai Prinsip apoptosis pada jaringan tulang secara umum
sekarang belum banyak diteliti. sama dengan apoptosis yang terjadi di sel lain. Beberapa
Infeksi T. gondii pada induk semang menimbulkan peneliti melaporkan bahwa peran glukokortikoid
manifestasi termasuk kecacatan pada anak yang dilahirkan. menginduksi hilangnya tulang (apoptosis) pada manusia
Salah satu kecacatan yang yang timbul pada anak dengan dan tikus berhubungan dengan peningkatan osteosit yang
kongenital toksoplasmosis adalah tidak mempunyai batok mengalami apoptosis (Weinstein et al., 2000). Apoptosis
kepala atau kepala kecil. Manifestasi yang terjadi pada pada sel tulang secara khusus akibat infeksi belum
induk semang yang terinfeksi melibatkan respons imun baik pernah dilaporkan.
respons seluler maupun humoral. Toxoplasma gondii Mekanisme pengaruh toksoplasmosis pada individu
adalah parasit intraseluler sehingga respons imun seluler dan ibu hamil atau hewan bunting khususnya peran
merupakan respons yang dominan. Sitokin tumor necrosis TNF-α pada apoptosis tulang perlu dibuktikan.
factor-alpha (TNF-α) dilepaskan makrofag ketika tubuh Penelitian ini mencoba mencari pengaruh TNF- yang
terinfeksi T. gondii yang berfungsi untuk mengelimir diekspresikan makrofag pada jaringan tulang akibat
parasit. Di lain pihak sitokin tersebut juga berpengaruh infeksi T. gondii. Hasil penelitian tersebut diharapkan

101
Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 9 No. 2, September 2015

dapat menjelaskan mekanisme apoptosis pada individu (dH2O). Preparat dikeringkan, diberikan perekat dan ditutup
dengan toksoplasmosis dan anak yang lahir dengan dengan gelas penutup dan dilihat di bawah mikroskop
kecacatan tulang dari induk dengan toksoplasmosis. dengan pembesaran 400-1000x.

MATERI DAN METODE Analisis Data


Pengaruh infeksi terhadap jumlah persentase sel padal
Perbanyakan Isolat T. gondii jaringan tulang yang mengekspresikan TNF- dan sel
Isolat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang yang mengalami apoptotik dianalisis dengan uji t.
strain RH yang didapatkan dari Bagian Parasitologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbanyakan isolat dilakukan pada mencit. Isolat
diinjeksikan secara intraperitoneal sebanyak 1x106 Pengertian sel pada tulang ini adalah semua sel pada
takizoit, kemudian mencit dipelihara selama 3-4 hari. jaringan tulang baik yang di sumsum tulang (sel-sel
Mencit yang sudah menunjukkan gejala sakit kemudian mesenkim) maupun yang di lakuna (osteosit, osteoblas
dikorbankan dengan cara dilakukan dislokasi kapitis. dan osteoklas). Hasil perhitungan persentase jumlah sel
Cairan intraperitoneal diambil dengan cara memasukkan tulang yang mengkespresikan TNF-α menunjukkan
3 ml NaCl fisiologis ke dalam rongga peritoneum dan bahwa infeksi T. gondii meningkatkan jumlah sel yang
cairan diambil kembali. Keberadaan stadium takizoit mengekspresikan TNF-α. Hal ini tercermin dari hasil
dilihat di bawah mikroskop dan jumlah takizoit dihitung perhitungan jumlah sel tulang femur mencit yang
dengan hemositometer improve Neubauer. diinfeksi T. gondii lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok mencit yang tidak diinfeksi yaitu 27,04%
Hewan Coba berbanding dengan 11,42%. Setelah dianalisis statistik
Sebanyak 32 ekor mencit Balb/c, jantan, umur 8 mengunakan uji t, kedua kelompok berbeda sangat nyata
minggu digunakan untuk penelitian ini. Mencit kemudian (Tabel 1 dan Gambar 1).
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol (K1)
yaitu mencit yang tidak diinfeksi T. gondii dan kelompok Tabel 1. Rerata dan simpangan baku persentase jumlah sel
perlakuan (K2) yaitu kelompok yang diinfeksi dengan T. tulang femur yang mengekspresikan TNF-α
gondii. Kelompok kontrol hanya diinjeksi 100 μl NaCl Jumlah sel tulang femur yang
Perlakuan
fisiologis. Dosis infeksi adalah 10 takizoit setiap mencit mengekspresikan TNF-α (dalam %)
secara intraperitoneal yang dilarutkan dalam 100 μl NaCl Tidak diinfeksi 11,42 ± 3,92 a
Diinfeksi 27,04 ± 6,92 b
fisiologis. Mencit dipelihara sampai hari ke-6 setelah a, b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada
infeksi. Mencit kemudian dikorbankan, jaringan tulang perbedaan yang nyata
(femur) diambil dan digunakan untuk pemeriksaan.
Jaringan tulang disimpan dalam bufer formalin 10% dan
selanjutnya dilakukan proses untuk uji apoptosis (uji Tunel)
dan uji imunohistokimia untuk melihat ekspresi TNFα.

Pengecatan Imunohistokimia
Pengecatan imunohistokimia menggunakan metode
streptavidin dan biotin yang diadopsi dari Burnett dan Hunt
(2000). Jaringan dalam embedding paraffin dipotong
dengan ketebalan 4-5 mikron Slide dideparafinisasi dalam
xylol dua kali masing-masing selama lima menit dan
selanjutnya dimasukkan dalam etanol absolut dua kali
selama tiga menit, etanol 95% dua kali selama tiga menit
dan ethanol 70% selama tiga menit dan terakhir dicuci
dengan aquabidest. Slide ditetesi dengan proteinase K
selama lima menit dan dicuci dengan phosphate buffered
solution (PBS) dua kali, kemudian ditambahkan peroksida
(H2O2) 3% selama lima menit dan dicuci dengan PBS dua
kali dan setiap sayatan diinkubasi dengan antibodi
monoklonal terhadap TNF- (Santa Cruz Biotechnology,
Inc, TNF- (52B83: sc-52746) selama 30 menit, kemudian
diinkubasi dengan antibodi sekunder yang dilabel biotin
selama 30 menit dan dicuci dua kali dengan PBS. Preparat
ditetesi dengan streptavidin peroksidase selama 15-30 menit
dan dicuci dua kali dengan PBS dan kemudian dimasukkan
Gambar 1. Gambaran sel l tulang femur dengan pengecatan
ke dalam larutan substrat selama 5-10 menit. Pewarnaan
IHC. Pembesaran 400x. A= Kelompok kontrol. B= Kelompok
counterstain, slide dimasukkan dalam hematoksilin 30 detik yang dinfeksi T. gondii. Anak Panah Hijau= Sel yang ekspresikan
pada suhu kamar dan dicuci tiga kali dengan akuades TNF-α, Anak Panah Merah= Sel yang negatif

102
Jurnal Kedokteran Hewan Lucia Tri Suwanti dan Mufasirin

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian


sebelumnya yaitu infeksi T. gondii meningkatkan
jumlah makrofag desidua (jaringan plasenta)
(Suwanti, 2005) dan sel otot (Mufasirin, 2011), sel-sel
hati dan limfa (Mordue et al., 2001) yang
mengekspresikan TNF-α. Peningkatan TNF-α pada
infeksi T. gondii merupakan kaskade respons imun
tubuh penderita yang dimaksudkan untuk
mengeliminasi parasit. Segera setelah induk semang
terinfeksi T. gondii, terjadi pembelahan takizoit dan
menyebar ke seluruh tubuh termasuk jaringan tulang.
Adanya parasit di dalam jaringan tulang akan
menginduksi antigen-presenting cell (APC) untuk
mengeliminir parasit dengan cara memproduksi TNF-
α yang dapat menginduksi sel imun lain seperti sel
natural killer (NK). Pada sumsum tulang terdapat sel-
sel mesenkimal yang merupakan prekusor dari
hematopoetik yang memerankan sistem imun. Pada
penelitian sel yang mengekspresi TNF-α yaitu sel-sel Gambar 3. Osteoklas dengan pengecatan HE (1000x). Panah
mesenkimal yang terdapat di sumsum tulang, merah= Peningkatan jumlah osteoklas pada tulang femur yang
merupakan prekusor sel yang tidak dideteksi. terinfeksi
Menurut Kitaura et al. (2002), peningkatan TNF-α
pada jaringan tulang dapat menginduksi aktivitas Apoptosis pada Tulang Akibat Infeksi T. gondii
osteoklas. Peningkatan TNF-α pada penelitian ini Dari hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa
kemungkinan juga menginduksi peningkatan osteoklas, infeksi T. gondii meningkatkan jumlah sel yang
hal ini terlihat pada hasil penegecatan imunohistokimia mengalami apoptosis. Pada tulang femur mencit yang
tulang ditemukan osteoklas yang berdekatan dengan sel diinfeksi indeks apoptosis adalah 16,28 sedangkan pada
yang mengekspresikan TNF-α (Gambar 2) dan pada kontrol 9,17. (Tabel 2 dan Gambar .4). Hasil penelitian
hasil pengecatan HE terdapat peningkatan osteoklas ini melengkapi penelitian sebelumnya, infeksi T. gondii
pada tulang femur yang diinfeksi T. gondii (Gambar 3), meningkatkan indeks apoptosis tropoblas (Suwanti,
sementara pada kelompok kontrol osteoklas jarang 2005), sel otot (Mufasirin, 2011), sel hati (Mordue et
diketemukan. Untuk memastikan apakah infeksi T. al., 2001). Sel yang mengalami apoptosis sebagian
gondii meningkatkan osteoklas perlu dilakukan besar sel mesenkimal, hanya sedikit osteosit yang
penelitian lebih lanjut. Menurut Hirayama et al. (2002), mengalami apoptosis akibat infeksi T. gondii.
peningkatan aktivitas osteoklas dapat mengakibatkan Setelah analisis diteruskan dengan uji regresi linear
hilangnya tulang sehingga berisiko terjadinya ternyata peningkatan apoptosis sel tulang pada
osteoporosis. Hirayama et al. (2002) menyatakan penelitian ini karena pengaruh peningkatan TNF-α.
apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka Pada uji regresi terdapat korelasi positif (R= 0,651)
kemungkinan T. gondii dapat mendatangkan risiko antara peningkatan TNFα dengan indeks apoptosis,
osteoporosis. Untuk membuktikan ini maka perlu dengan persamaan garis Y= 0,323X + 6,513. Penelitian
penelitian lebih lanjut. ini perbeda dengan penelitian Mordue et al. (2001) dan
Suwanti (2005) yang menyatakan meskipun pada
infeksi T. gondii terjadi peningkatan TNF-α tetapi tidak
memengaruhi terjadinya apoptosis secara langsung.
Mordue et al. (2001) menyatakan peningkatan
apoptosis merupakan reaksi keradangan dan
menyebabkan terjadinya nekrosis sel hati, sedangkan
Suwanti (2005) menyatakan peningkatan TNF-α
bersamaan dengan peningkatan IFN-γ di plasenta
menginduksi tropoblas mengekspresikan Fas dan
menstimuli Fas lebih sensitif terhadap apoptosis.

Tabel 2. Rerata dan simpangan baku indeks apoptosis tulang


femur mencit
Perlakuan Indeks apoptosis

Tidak diinfeksi 9,17 ± 3,04 a


Gambar 2. Osteoklas (panah kuning) teraktivasi oleh TNF- Diinfeksi 16,28 ± 3,37 b
a, b
α yang dikeluarkan oleh sel mesenkim (panah merah). Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada
(1000x) perbedaan yang nyata (P<0,05)

103
Penulis : Rudy Agung Nugroho

Editor & Cover Design: Andi Hafitz Khanz

ISBN : 978-602-6834-XX-X
© 2018. Mulawarman University Press

Edisi : Agustus 2018

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak atau


memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin
tertulis dari penerbit

Isi diluar tanggung jawab percetakan.

Nugroho, Rudy Agung. 2018. Mengenal Mencit Sebagai Hewan Laboratorium.

Mulawarman University Press. Samarinda


Gambar 6. Fase-fase siklus estrus
Sumber: Zenclussen et al 2014.

1. Fase Diestrus
Fase diestrus terjadi selama 2-2,5 hari. Pada tahap
diestrus akan terbentuk folikel-folikel primer yang belum
tumbuh dan beberapa yang mengalami pertumbuhan awal.
Hormon estrogen masih sedikit yang diproduksi ovarium.
Diestrus disebut pula fase istirahat karena mencit betina sama
sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada mencit jantan.
Apusan vagina terlihat dominansi sel epitel berinti dan sel
leukosit. Uterus mencit terdapat banyak mukus, kelenjar
menciut dan tidak aktif, ukuran uterus kecil, dan terdapat
banyak lendir.

25
2. Fase Proestrus
Proestrus merupakan fase persiapan yang ditandai
dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh Folicle Stimulating
Hormone (FSH) yang menyebabkan folikel tumbuh dengan
cepat menjadi folikel de Graaf. Pada fase ini hormon estrogen
kadarnya meningkat dan Luteinizing hormone (LH) siap
terbentuk. Peningkatan jumlah estrogen menyebabkan
pemasokan darah ke sistem reproduksi untuk meningkatkan
pembengkakan sistem dalam. Kelenjar cervix dan vagina
dirangsang untuk meningkatkan aktifitas sekretori
membangun muatan vagina yang tebal. Karakteristik sel pada
saat proestrus yaitu bentuk sel epitel bulat dan berinti, leukosit
tidak ada atau sedikit.
Proestrus berlangsung selama 2-3 hari. Kandungan air di
uterus meningkat dan mengandung banyak pembuluh darah
serta kelenjar-kelenjar endometrial mengalami hipertrofi.
Apusan vaginanya akan nampak sel-sel epitel yang sudah tidak
berinti (sel kornifikasi) dan tidak ada lagi leukosit. Sel
kornifikasi ini terbentuk akibat adanya pembelahan sel epitel
berinti secara mitosis dengan sangat cepat sehingga inti pada
sel yang baru belum terbentuk sempuna bahkan belum
terbentuk inti dan sel-sel baru ini berada di atas sel epitel yang
membelah, sel-sel baru itulah disebut sel kornifikasi (sel yang
menanduk).
Perilaku mencit betina pada fase ini sudah mulai gelisah
namun keinginan untuk kopulasi belum terlalu besar. Fase ini

26
akan terjadi selama 12 jam. Fase Proestrus akan berlanjut
dengan fase estrus.
3. Fase Estrus
Fase estrus berarti “kegilaan” atau “gairah”. Pada fase ini
hipotalamus terstimulasi untuk melepaskan Gonadotropin-
releasing hormone (GRH). Hormon estrogen menyebabkan pola
perilaku kawin pada mencit, gonadotropin akan menstimulasi
pertumbuhan folikel yang dipengaruhi FSH sehingga
menyebabkan ovulasi. Kadar FSH ini lebih rendah
dibandingkan dengan kadar LH. Jika terjadi coitus, mencit akan
mengalami kehamilan.
Saat dalam fase estrus biasanya mencit terlihat tidak
tenang dan lebih aktif, dengan kata lain mencit berada dalam
keadaan mencari perhatian kepada mencit jantan dan reseptif
terhadap pejantan. Mencit jantan mampu melakukan semacam
panggilan ultrasonik dengan jarak gelombang suara 30 kHz -
110kHz yang dilakukan sesering mungkin selama masa
pendekatan dengan mencit betina.
Di sisi lain, mencit betina menghasilkan semacam
feromon yang dihasilkan oleh kelenjar preputial yang
diekskresikan melalui urin. Fungsi feromon untuk menarik
perhatian mencit jantan. Mencit dapat mendeteksi feromon ini
karena terdapat organ vomeronasal yang terdapat pada bagian
dasar hidungnya.
Pada fase estrus, vagina mencit membengkak dan
berwarna kemerahan. Tahap estrus mencit terjadi dua tahap

27
yaitu tahap estrus awal dengan ciri folikel sudah matang, sel-sel
epitel sudah tidak berinti, dan ukuran uterus pada tahap ini
adalah ukuran uterus maksimal, tahap ini terjadi selama 12
jam. Tahap kedua adalah tahap estrus akhir dengan ciri: terjadi
ovulasi yang hanya berlangsung selama 18 jam.
4. Fase Metestrus
Pada fase metestrus, birahi mencit mulai menurun dan
berhenti, aktivitasnya mulai tenang. Mencit betina sudah tidak
reseptif pada jantan. Ukuran uterus pada tahap ini adalah
ukuran yang paling kecil karena uterus menciut. Pada ovarium,
korpus luteum dibentuk secara aktif. Fase ini terjadi selama 6
jam. Pada tahap ini hormon yang dominan adalah hormon
progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Sebagai
rangkuman siklus estrus dapat dilihat pada tabel 7 di bawah
ini:
Tabel 7. Siklus estrus pada mencit
Fase Kondisi Kondisi Apusan vagina
ovarium uterus
Diestrus Folikel muda Tipis Epitel berinti
48-60 jam sedikit, leukosit
banyak, dijumpai
lendir atau mukus
Proestrus Folikel Menebal Epitel bentuk bulat
12 jam tumbuh dan berinti, Epitel
kornifikasi ada,
leukosit tidak ada
atau sedikit
Estrus
Awal 12 jam Ovulasi Glandular Epitel kornifikasi
Akhir 18 jam Ovulasi Glandular banyak, sel epitel
dengan inti
berdegenerasi
Metestrus Korpus luteum Luruh Epitel menanduk

28

Anda mungkin juga menyukai