Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Banyak mahasiswa kedokteran, pendaftar / penduduk, dokter perawatan


primer dan spesialis ginekologi bahkan berjuang ketika dihadapkan dengan
pasien perdarahan uterus abnormal (PUA) di tahun-tahun reproduksi. Ini tidak
mengherankan karena keduanya penyelidikan dan pengelolaan PUA pada wanita
tersebut telah terhambat oleh nomenklatur membingungkan dan tidak konsisten
diterapkan dan kurangnya metode standar untuk penyelidikan dan kategorisasi
penyebab potensial dari berbagai masalah. Ketentuan seperti “menorrhagia” dan
perdarahan uterus disfungsional” sering memiliki arti yang berbeda dalam
lingkungan yang berbeda, sering mengakibatkan salah tafsir pasien, kolega, dan
buku atau literatur medis. Selain itu, penyebab banyak potensi PUA tidak seperti
cacat endometrium atau koagulopati, entitas rahim banyak yang discemable,
seperti adenomyosis, leiomioma, dan polip endometrium sering tanpa gejala.
Keadaan ini menimbulkan kesulitan bagi semua orang yang terlibat dalam
bidang PUA pada tingkat penyelidikan ilmiah sulit bagi para ilmuwan untuk
menciptakan dasar model laboratorium bermakna, dan peneliti klinis ditantang
untuk menemukan populasi homogen dari pasien yang mengalami PUA. Selain
itu, sulit untuk membandingkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang
berbeda atau kelompok penelitian karena populasi penelitian biasanya belum
didefenisikan menggunakan kriteria yang sama. akibatnya, kinerja analisis rusak
dan dalam beberapa kasus, membuat kontraproduktif karena kesimpulan yang
tidak akurat dapat mengakibatkan ajaran mahasiswa kedokteran dan panitera atau
penduduk juga dipengaruhi oleh inkonsistensi dalan terminologi dan oleh variasi
dalam pendekatan klinis untuk penyelidikan. Akhirnya pada tingkat pasien yang
menderita PUA tidak bingung dengan opini yang sering bertentangan.
Sebagai hasil diatas, sebuah sistem yang diterima secara universal oleh
nomenklatur dan klasifikasi tampaknya langkah penting dalam evolusi penelitian
kolaboratif, pendekatan aplikasi berbasis bukti untuk praktek klinis dan untuk
pendidikan yang konsisten dan tepat komprehensif penyedia kesehatan layanan

1
dan pasien. pengembangan sistem tersebut dibuat agak lebih kompleks karena
berbagai penyebab potensial dapat hidup berdampingan individu tertentu.
Untungnya pada bulan november tahun 2010, FIGO (Federation international de
gynekologie et d’obstetrique) sistem klasifikasi penyebab PUA di tahun-tahun
reproduksi secara resmi telah diadopsi.
Sistem ini disajikan dalam konteks sistem nomenklatur baru untuk gejala yang
telah menjadi subyek dari publikasi tahun sebelumnya dan membuang dan istilah-
istilah yang sering membingungkan seperti menorrhagia, metrorrhagia dan.
perdarahan uterus disfungsional Hal ini didasarkan pada “PALM COEIN” yang
merupakan singkatan dari polip, adenomiosis, leiomyoma, keganasan-
koagulopati, gangguan ovulasi, endometrium cacat, iatrogenik, dan tidak
diklasifikasikan. Pendekatan terstruktur, namun tetap rinci untuk penilaian
masing-masing komponen merupakan bagian integral dari proses klasifikasi untuk
setiap individu yang mengalami gangguan tersebut. Bagi mereka yang merancang
dan menafsirkan studi klinis perempuan mengalami PUA, evaluasi kompulsif dari
masing-masing komponen harus membantu dalam identifikasi pasien yang sama
dan harus menghasilkan hasil yang lebih dapat diandalkan dan dapat
dibandingkan. Sama pentingnya dokter memberi kerangka untuk penyelidikan
yang dirancang untuk memudahkan identifikasi pilihan terapi yang paling tepat
untuk menangani masalah PUA.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang Manajemen perdarahan pada PUA ec
Mioma Uteri
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa dan penatalaksanaan mioma uteri.
2. Mengetahui dan memahami tentang Manajemen perdarahan pada PUA
ec Mioma Uteri

2
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai manajemen perdarahan
pada PUA ec Mioma Uteri
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang
manajemen perdarahan pada PUA ec Mioma Uteri
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior
di Bagian Obstetri dan Gynekologi Dalam RSUD Solok 2016.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Perdarahan Uterus Abnormal


Perdarahan uterus abnormal pada wanita tidak hamil di usia reproduktif
memiliki patologi yang sangat luas. Ada banyak sekali terminologi yang
digunakan baik untuk mendeskripsikan gejala maupun mengenai gangguannya
sendiri sehingga dirasa cukup membingungkan dalam manajemen klinis dan
dalam menerjemahkan sebuah riset dan uji klinis.
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam
jumlah, maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak,
sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia
saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding
sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan oleh faktor koagulopati,
gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan
kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).
Perdarahan uteri abnormal terbagi menjadi:
1. Perdarahan uterus abnormal akut didefenisikan sebagai perdarahan haid
yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk
mencegah kehilangan darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi
pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.
2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk
perdarahan uterus abnormal yang terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini
biasanya tidak memerlukan penanganan yang cepat dibandingkan dengan
PUA akut.
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid
yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi
kapan saja atau dapat juga terjadi diwaktu yang sama setiap siklus. Istilah
ini ditujukan untuk mengganti terminologi metroragia.

4
2.2. Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal adalah salah satu alasan yang paling
umum bagi perempuan mencari perawatan sekitar setengah dari wanita dengan
perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Hal ini adalah
masalah baik medis maupun sosial. Selain itu perdarahan uterus abnormal
adalah penyebab anemia defesiensi besi paling umum di negara maju dan
penyebab paling umum bagipenyebab penyakit kronis di negara berkembang.
Prevalensi perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia reproduksi
berkisar antara 9% sampai 30%. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik
digunakan dalam evaluasi pertama tes laboratorium, pencitraan, dan
pemeriksaan histologi dapat juga diindikasikan.

2.3. Etiopatogenesa
Berdasarkan Internationl Federation Of Gynecology And Obstetrics
(FIGO), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim “ PALM
COEIN” yakni: polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan hiperplasia,
coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet
classified.

Gambar 1. Sistem klasifikasi perdarahan uteri abnormal berdasarkan FIGO


Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok
“COIEN” merupakan kelainan non struktural yang tidak dapat dinilai dengan
teknik pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien dapat memiliki satu atau lebih faktor
penyebab PUA.

5
2.3.1. Kelainan Struktural (PALM)
1. Polip ( PUA-P)
Defenisi :
Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai
maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar
endometrium dan dilapisi oleh epitel endometrium.
Gejala :
a. Polip biasanya asimtomatik, tetapi dapat juga menyebabkan PUA.
b. Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil dapat atipik atau ganas.
Diagnostik:
a. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.
b. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma
endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi epitel
endometrium.
2. Adenomiosis (PUA-A)
Defenisi:
Dijumpai jaringan stroma dan kelenjar yang merupakan sisa ektopik
endometrium pada lapisan miometrium ditandai pembesaran rahim. Bila sisa
ini tersebar diseluruh miometrium disebut adenomiosis difusa sedangkan yang
berbentuk nodul fokal berbatas tegas disebut adenomiosis focal.
Gejala:
a. Nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang dan sesudah haid,
nyeri buang air besar, atau nyeri pelvik kronis.
b. Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan uterus
abnormal.
Diagnostik:
a. Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan di
endometrium pada hasil histopatologi.
b. Adenomiosis dimasukkan kedalam sistem klasifikasi berdasarkan
pemeriksaan MRI, pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosa
adenomiosis.

6
c. Mengingat fasilitas MRI terbatas, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis. Hasil USG menunjukan jaringan
endometrium heterotropik pada miometrium dan sebagian
berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium.
d. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma
endometrium ektopik pada jaringan miometrium.
3. Leiomioma (PUA-L)
Defenisi:
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi
padat kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa
soliter atau multipel. Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma
uteri, leiomioma uteri, atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu
keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan.

Epidemiologi

Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan


setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.
Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di
Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita
ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita
umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun
dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih
sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan
dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik
menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah
hamil atau hanya hamil 1 kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan
riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara.

Etiologi dan Faktor Resiko

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan
sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah

7
sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom
lengan 12q13-15. Ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :
1. Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering
memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
2. Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma
uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah
kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
3. Faktor ras dan genetic
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada
wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
4. Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan
mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang setelah
kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.

Patogenesa

Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan


tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan
mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter. Pada
ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen yang
diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli
mengatakan bahwa fibroid uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma
biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil setelah menopause,
sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi
seperti estrogen dan progesteron. Selain itu, sangat jarang ditemukan

8
sebelum menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan
kadang mengecil setelah menopause.
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast.
Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan
ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun
pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah
dengan pemberian preparat progesteron atau testosteron. Puukka dan
kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih
banyak didapati dari pada miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma
adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur.

Gambar 1. Patofisiologi Mioma Uteri

9
Gambar 2. Tumorigenesis of Fibroids

Kedua jaringan miometrium normal dan jaringan fibroid berisi sel dengan

10
kapasitas untuk pembaruan diri, populasi ini disebut sebagai sel induk. Sebuah
populasi sel induk bertanggung jawab untuk proliferasi sel normal otot polos
miometrium. Proses ini menyebabkan sebagian untuk pembesaran fisiologis rahim
selama kehamilan. Sel myometrial matur mempunyai reseptor estrogen α (ERα)
dan reseptor progesteron yang banyak daripada stem cells. Dengan demikian
estrogen dan progesteron menyebabkan proliferasi sel yang dimediasi oleh
reseptor estrogen α (ERα) dan reseptor progesteron.
Faktor parakrin yang dilepaskan oleh sel-sel matur dapat bertindak pada
sel induk untuk mendorong mereka pembaruan diri dan proliferasi. Sebuah
perubahan genetik, seperti mutasi MED12 atau penataan ulang kromosom yang
mempengaruhi HMGA2, mungkin mengubah sel induk miometrium menjadi sel
induk fibroid. Sel fibroid ini dapat memperbaharui diri dan mulai membagi tanpa
terkendali sampai berdiferensiasi menjadi sel otot polos matang fibroid. Selama
proses ini, sel-sel fibroid otot polos memperoleh banyak kelainan epigenetik dan
fenotipik.

Klasifikasi
Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang
terkena.
1. Lokasi
•Cerivical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi.
•Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius.
•Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa
gejala.

2. Lapisan Uterus
Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasi dibagi menjadi :
a. Mioma submukosum
Mioma yang berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam
rongga uterus. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi
polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks dan dipanggil

11
myomgeburt
b. Mioma intramural
Mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium
c. Mioma subserosum
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat pula
tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau
omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut
wandering/parasitic fibroid
d. Mioma pedunkulata
Mioma yang melekat ke dinding uterus dengan tangkai yang bisa masuk
ke peritoneal atau cavum uteri

Gambar 3. Klasifikasi mioma uteri

Gejala klinis

12
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang
timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada serviks,
intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan
komplikasi yang terjadi. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai
berikut :

1) Perdarahan abnormal
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia
dan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
perdarahan ini, antara lain adalah :
- Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai
adeno karsinoma endometrium.
- Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
- Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
- Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang
mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit
pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.

2) Rasa nyeri
Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan
sirkulasi darah pada sarang mioma. Pada pengeluaran mioma submukosum yang
akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis
dapat menyebabkan juga dismenore. Selain hal diatas, penyebab timbulnya nyeri
pada kasus mioma uteri adalah karena proses degenerasi. Selain itu penekanan
pada visera oleh ukuran mioma uteri yang membesar juga bisa menimbulkan
keluhan nyeri. Dengan bertambahnya ukuran dan proses inflamasi juga
menimbulkan rasa yang tidak nyaman pada regio pelvis.

13
3) Gejala dan tanda penekanan
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan
pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan
retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada
rectum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan
pembuluh limfe dipanggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

4) Infertilitas dan abortus


Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
intertisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya
abortus oleh karena distorsi rongga uterus.

Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
faktor resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat
diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak
teratur, gerakan bebas, tidak sakit.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat
perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama
untuk mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan keluhan
pasien.

14
b. Imaging
1) Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan homogen pada
uterus. Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai massa pada abdomen
bawah dan pelvis dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi.
2) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang
tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.
3) MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah mioma uteri,
namun biaya pemeriksaan lebih mahal.

Diagnosa Banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah tumor abdomen dibagian
bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan. Mioma
submukosum harus dibedakan dengan inversion uteri. Mioma intramural harus
dibedakan dengan adenomiosis, koriokarsinoma, karsinoma korporis uteri, atau
suatu sarcoma uteri.

Gambar 4. sistem subklasifikasi leiomyoma

15
4. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
Defenisi :
Pertumbuhan hiperlasia atau pertumbuhan ganas dari lapisan
endometrium.
Gejala :
Perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik :
a. Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan
merupakan penyebab penting PUA.
b. Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi
FIGO dan WHO.
c. Diagnostik pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi.

2.3.2. Kelainan Non Struktur (COEIN)


1. Coagulopathy (PUA-C)
Defenisi :
Gangguan hemostatik sistemik yang berdampak pada perdarahan uterus.
Gejala :
Perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik :
a. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatik
sistemik yang terkait dengan PUA.
b. Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid yang banyak
memiliki kelainan hemostatik sistemik, dan yang paling sering
ditemukan adalah penyakit von willebrand.
2. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
Defenisi:
Kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus.
Fisiologi Menstruasi:
Haid adalah suatu perdarahan siklik yang periodik dari rahim. Menstruasi
ataupun ovulasi yang teratur merupakan kerjasama yang sangat komplek antara

16
hipotalamus-hipofisis-ovarium dan uterus.
Lamanya haid biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari dan ada yang 7-8
hari. Volume darah yang keluar melalui haid berkisar 10-80 cc, dengan rata-rata 33,2
= 16 cc. Panjang siklus haid berkisar antara 25-32 hari. Unsur-unsur yang keluar pada
saat haid terdiri dari darah (yang merupakan bagian terbesar), getah, serpih
endometrium, makrofag, epitel, kolesterol, dan beberapa jenis lipid.
Ternyata ada 2 syarat homonal yang mendasari proses haid yang kerjanya :
a. Mengatur pematangan dan pengeluaran ovum
b. Mengatur uterus untuk menerima embrio jika terjadi fertilisasi.
Dalam proses terjadinya haid diperlukan interaksi antara Hipotalamus-hipofise-
ovarium-endometrium. Peran terbesar dimainkan oleh hipotalamus-hipofise
melalui mekanisme umpan balik positif dan negatif.
Haid dan siklusnya yang teratur secara tidak langsung menunjukkan
fungsi normal poros tadi. Abnormalitas poros tersebut mengakibatkan
kegagalan ovulasi dan pola perdarahan yang abnormal. Hipotalamus
mengeluarkan GnRH yang masuk perdarahan portal dan sampai di hipofise
anterior yang merangsang hipofisis untuk menghasilkan FSH dan LH secara
pulsasi. Kemudian FSH dan LH merangsang folikel untuk tumbuh dan berakhir
dengan ovulasi. Terdapat hubungan timbal balik antara hormone gonadotropin
ini dengan sex steroid ovarium. Akibat rangsangan FSH dan LH folikel akan
mengeluarkan estrogen dengan sedikit progesteron dan sedikit sekali androgen.
Progesteron pada fase folikuler kadarnya rendah, baru setelah ovulasi kadar ini
meningkat secara mantap sebagai hasil produksi korpus luteum. Hormon ini
berfungsi mempersiapkan endometrium, oleh karena itu abnormalitas pada
sekresi hormone ini akan mempengaruhi siklus endometrium.
Tidak terbentuknya korpus luteum aktif karena anovulasi
mengakibatkan rendahnya kadar progesterone dengan estrogen yang normal.
Pengaruh estrogen tak berimbang, perubahan perbandingan estrogen
progesterone mengakibatkan penglupasan endometrium yang tidak teratur.
Perubahan yang terjadi pada endometrium selama siklus haid sebagai akibat
perubahan hormone gonadotropin maupun stroid ovarium terdiri dari fase
proliferasi, ovulasi, sekresi dan fase haid.

17
Patofisiologi
a. PUD pada siklus ovulasi
PUD pada siklus ovulasi, sekresi progesteron yang berlebihan akan
menyebabkan iregular shedding dari endometrium. Produksi esterogen
yang rendah akan berhubungan dengan timbulnya perdarahan. Degenerasi
dari sebagian endometrium akan menimbulkan perdarahan bercak
(spotting). Progesteron juga menyebabkan terjadinya perubahan dari
estradiol jadi estron yang merupakan esterogen yang kurang poten.
Perdarahan yang terjadi pada siklus ovulatorik berbeda dari pedarahan
pada suatu haid yang normal. Di bedakan dalam tiga jenis, yaitu:
1. perdarahan pada pertengahan siklus
perdarahan yang terjadi biasanya sedikit,singkat, dan dijumpai pada
pertengahan siklus. Penyebabnyaadalah rendahnya kadar estradiol (E2)
2. Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium
Perdarahan yang terjadi biasanya banyk dan memnjang. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya korpus luteum persisten dan kadar esterogen
rendah,sedangkan progesteron terus terbentuk.
3. Perdarahan bercak (spotting) pra haid dan pasca haid
Pada masa prahaid perdarahan ini disebabkan oleh karena insufisiensi
korpus luteum sedangkan masa pasca haid disebabkan oleh defisiensi
esterogen, sehingga regenrasi endometrium terganggu.

b. PUD pada siklus anovulatrik


Ovulasi tidak terjadi, kurpus luteum tidak terbentuk, kadar
progesteron berkurang, estrogen meningkat. Pada masa premenopouse
anovulasi sering disebabkan kegagalan ovarium dalam menerima
rangsangan hormone FSH dan LH. Perdarahan yang terjadi berupa
perdarahan yang sedikit atau banyak bergumpal dalam siklus yang teratur
maupun yang tidak.

c. Perdarahan pada Folikel Persisten


Perdarahan dimaksud dengan folikel persiten adalah stagnasinya fase
perkembangan folikel disatu fase ovulasi yang menyebabkan rangsangan

18
yang terus menerus dan menetap dari estrogen terhadap endometrium
sehingga terjadi hiperplasi endometrium. Hal ini sering terjadi pada masa
perimenopouse. Perdarahan terjadi pada tingkat hiperplasi endometrium
lanjut, atau apabila folikel tidak mampu lagi menghasilkan estrogen maka
akan terjadi perdarahan.
Gejala :
Perdarahan uterus abnormal
Diagnostik :
a. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan
manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah
bervariasi.
b. Dahulu masuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional (PUD)
c. Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan yang ringan dan
jarang, hingga perdarahan haid banyak.
d. Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik,
hiperprolaktenemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan,
anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan
e. Perdarahan uterus abnormal
3. Endomeriosis (PUA – E)
Defenisi:
Gangguan hemostasis lokal endometrium yang memiliki kaitan dengan
erat dengan terjadinya perdarahan uterus.
Gejala:
Perdarahan uterus abnormal.
Diagnostik :
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid teratur.
a. Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatik
lokal endometrium
b. Adanya penurunan produksi faktor yang terkait faktor vasokontriksi
seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2a serta peningkatan aktifitas
fibrinolitik.

19
c. Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan
yang berlanjut akibat gangguan hemostatik lokal endometrium.
d. Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain
pada siklus haid yang berovulasi.
4. Iatrogenik (PUA-I)
Defenisi
Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan interevensi medis
seperti penggunaan esterogen, progestin dan AKDR.
a. Perdarahan haid diluar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen
dan progestin yang dimasukkan ke istilah perdarahan sela atau
breaktrhrough bleeding.
b. Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi esterogen dalam
sirkulasi yang disebabkan oleh berikut:
1) Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi.
2) Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin.
3) Perdarahan haid yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi (PUA-C).
5. Not yet classified (PUA-N)
a. Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau
sulit dimasukkan ke klasifikasi.
b. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis
kronis atau malformasi arteri-vena

Kelaianan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

20
2.4. Tatalaksana Mioma Uteri
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua
mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun,
terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan.
Walaupun demikian mioma uteri memerlukan observasi setiap 3-6 bulan.
Diperlukan monitoring Hb dan pemberian zat besi.

a. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar
dari kehamilan 10-12 munggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada
tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
Cara penanganan konservatif dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan
2. Monitor keadaan Hb
3. Pemberian zat besi
4. Penggunaan agonis GnRH
Bahwa 3% sampai 7% dari fibroid yang tidak diobati pada wanita
premenopause mengalami penyusutan pada fibroid selama 6 bulan sampai 3
tahun. Kebanyakan perempuan mengalami penyusutan fibroid dan gejala
menghilang pada menopause. Oleh karena itu, tergantung pada keparahan gejala
mereka, wanita yang sedang mendekati menopause dapat memilih menunggu
untuk terjadinya menopause sebelum memutuskan pada pengobatan. Terapi
penggantian hormon menopause tidak kontraindikasi terhadap fibroid dan tidak
tidak mengarah pada pengembangan baru fibroid, meskipun itu mungkin
berhubungan dengan beberapa pertumbuhan mioma, yang mungkin dapat
menyebabkan gejala klinis.

b. Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan
mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa
masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.

21
Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog
GnRHa (Gonadotropin Realising Hormon Agonis), progesteron, danazol,
gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain seperti
gossypol dan amantadine.
Sebagian besar leiomyomas/mioma rahim asimtomatik dan tidak akan
membutuhkan terapi. Namun, 20% untuk 50% yang secara klinis bergejala,
menyebabkan AUB, anemia defisiensi besi, bulk effect, masalah reproduksi, dan
mungkin memerlukan pengobatan. Perlakuan terhadap perempuan dengan
leiomyomas rahim harus individual, berdasarkan simptomatologi, ukuran dan
lokasi fibroid, usia, kebutuhan dan keinginan pasien untuk pelestarian kesuburan
atau rahim, ketersediaan terapi, dan pengalaman terapis.

Gambar 5. Algorithm for the management of uterine myomas

22
Manajemen Leiomioma uteri (PUA-L)
1.Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan
2. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila pasien
menginginkan kehamilan (Rekomendasi B).
a. Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm,
b. Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
(Rekomendasi B),
c. Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2 (Rekomendasi
C).
3.Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan
penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan bila
respon pengobatan tidak cocok;
4. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan. Embolisasi
arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan (Rekomendasi A).

Gambar 6. Penanganan Leiomioma Uteri

23
2.5. Tatalaksana Perdarahan Mioma Uteri
Penanganan pertama ditentukan pada kondisi hemodinamik. Bila keadaan
hemodinamik tidak stabil segera masuk rumah sakit untuk perawatan perbaikan
keadaan umum. Bila keadaan hemodinamik stabil, segera dilakukan penanganan
untuk menghentikan perdarahan.
1. Perdarahan uterus abnormal akut
A. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik
dan atau Hb < 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap.
B. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan (kemudian ke langkah D).
C. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan
transfusi darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik.
D. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konyugasi (EEK) 2.5 mg (rek B)
per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg peroral atau injeksi
IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3 x 1 gram
(rek A) atau anti inflamasi non-steroid 3 x 500 mg diberikan bersama
EEK. Untuk pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no. 10 ke
dalam uterus dan diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24
jam.
E. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral
kombinasi (KOK)(rek B) 4 kali 1 tablet perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet
perhari (3 hari), 2 kali 1 tablet perhari (2 hari) dan 1 kali 1 tablet sehari (3
minggu), kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu
dengan jeda 1 minggu sebanyak 3 siklus atau LNG-IUS (rek A).
F. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat
(MPA) 10 mg perhari (7 hari) (rek A), siklik, selama 3 bulan.
G. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) agonis (rek A) dapat diberikan bersamaan
dengan pemberian KOK untuk stop perdarahan (langkah D). GnRH
diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.

24
H. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari
penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal
(TV)/transrektal (TR) (rek B), periksa darah perifer lengkap (DPL) (rek
C), hitung trombosit (rek C), prothrombin time (PT)(rek C), activated
partial thromboplastin time (aPTT) (rek C) dan thyroid stimulating
hormone (TSH). Saline-infused sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan
jika endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip
endometrium atau mioma submukosum. Jika perlu dapat dilakukan
pemeriksaan histeroskopi “office” (rek A).
I. Jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka
dapat dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium (rek A),
miomektomi, polipektomi, histerektomi (rek A).

a. Penanganan Medikamentosa Hormon


Terdapat beberapa macam obat hormon yang dapat dipakai untuk terapi
perdarahan uterus abnormal. Pilihan obat tertera seperti di bawah ini.
1) Kombinasi estrogen progestin
Perdarahan akut dan banyak biasanya akan membaik bila diobati dengan
kombinasi estrogen dan progesteron dalam bentuk pil kontrasepsi. Dosis dimulai
dengan 2 x 1 tablet selama 5 - 7 hari dan setelah terjadi perdarahan lucut
dilanjutkan 1 x 1 tablet selama 3 - 5 siklus. Dapat pula diberikan dengan dosis
tapering 4 x 1 tablet selama 4 hari, diturunkan dosis menjadi 3 x 1 tablet selama 3
hari, 2 x I lablet selama 2 hari, 1 x 1 tablet selama 3 minggu kemudian berhenti
tanpa obat selama 1 minggu, dilanjutkan pil kombinasi 1 x 1 tablet selama 3
siklus. Pemakaian pil kontrasepsi kombinasi akan mengurangi jumlah darah haid
sampai 60% dan patofisiologi terjadinya kondisi anowlasi akan terkoreksi
sehingga perdarahan akut dan banyak akan disembuhkan.

2) Estrogen
Terapi estrogen dapat diberikan dalam 2 bentuk, intra vena atau oral, tetapi
sediaan intra vena sulit didapatkan di Indonesia. Pemberian estrogen oral dosis
tinggi cukup efektif untuk mengatasi perdarahan uterus abnormal, yaitu estrogen

25
konjugasi dengan dosis 1,25 mg ata,t l7β estradiol 2 mg setiap 6 jam selama 24
jam. Setelah perdarahan berhenti dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi. Rasa mual bisa terjadi pada pemberian terapi estrogen.

3) Progestin
Progestin diberikan selama 14 hari kemudian berhenti tanpa obat selama
14 hari, diulang selama 3 bulan. Biasanya progestin diberikan bila ada
kontraindikasi terhadap estrogen. Saat ini tersedia beberapa sediaan progesrin oral
yang bisa digunakan yaitu Medroksi progesteron aserat (MPA) dengan dosis 2 x
10 mg, Noretisteron asetat dosis 2 x 5 mg, Didrogesteron dosis 2 x 10 mg dan
Normegestrol asetat dosis 2 x 5 mg. Dalam pemilihan jenis progestin harus
diperhatikan dosis yang kuat untuk menghentikan perdarahan uterus abnormal.
Progestin merupakan anti estrogen yang akan menstimulasi aktivitas enzim 17β
hidroksisteroid dehidrogenase dan sulfotranferase sehingga mengonversi estradiol
menjadi estron. Progestin akan mencegah terjadinya endometrium hiperplasia.

4) Danazol
Danazol, turunan Isoksazola sintetis kimia yang berhubungan dengan 17-
etinil testosteron, yang menghasilkan androgen tinggi dan lingkungan estrogen
yang rendah, mengakibatkan pemborosan endometrium dan penyusutan mioma.
Meskipun manfaatnya dilaporkan, berbagai efek samping yang tidak diinginkan
terkait dengan penggunaannya; misalnya, jerawat, hirsutisme, berat badan, cepat
marah, nyeri muskuloskeletal, muka merah, dan atrofi payudara.
Danazol telah dilaporkan menjadi terapi yang efektif untuk mengecilkan
mioma dan mengontrol gejala. mereka Efek anti-estrogenik dari agen ini adalah
mekanismenya berperan dalam pengelolaan mioma. Kepatuhan pasien dan dosis
peringatan dapat membantu mengatasi efek samping. Namun, tidak ada bukti
yang dapat diandalkan dari randomized controlled trials (RCT) mengenai manfaat
dan atau bahaya penggunaan obat ini untuk mengobati mioma uteri.

26
5) Levonorgestrel intrauterine device
Penggunaan levonorgestrel intrauterine device (LNG-IUD) telah terbukti
berhubungan dengan penurunan kehilangan darah menstruasi pada wanita dengan
mioma uteri. Namun, laporan tentang efeknya pada ukuran mioma uteri dan
uterus secara keseluruhan bertentangan. Murat Naki et al melaporkan penurunan
kehilangan darah menstruasi 60% dan 35% pada 6 bulan dan 2 tahun terakhir,
masing-masing, tetapi tidak menemukan perubahan dalam mioma uteri dan
ukuran setelah pengobatan dengan LNG-IUD. Wanita dengan mioma yang besar
mungkin dapat menyebabkan terlepasnya LNG-IUD. Oleh karena itu, LNG-IUD
lebih cocok untuk uterus yang tidak terdistorsi dan ukuran uterus kurang dari 12
minggu.

6) Analog Gonadotropin-Releasing Hormone


Gonadotropin-releasing hormone analog (GnRHa) juga telah berhasil
digunakan untuk mencapai hipoestrogenisme, baik sebagai terapi konservatif
utama untuk miomauteri dan sebagai terapi tambahan untuk miomektomi.
Efeknya bersifat sementara, dan mioma biasanya kembali ke ukuran sebelum
terapi dalam beberapa bulan penghentian. Penurunan ukuran mioma dengan terapi
GnRHa pra operasi dapat memfasilitasi reseksi histeroskopi dari mioma
submukosa yaitu dapat mengurangi kehilangan darah, meskipun jaringan
cenderung menjadi lebih fibrotik setelah terapi ini. Amenorea yang disebabkan
oleh terapi GnRHa pra operasi dapat membantu dalam meningkatkan kadar
hemoglobin, sehingga memungkinkan donor darah presurgical untuk
Autotransfusi berikutnya.
Gejala menopause, osteoporosis, dan nyeri panggul adalah beberapa efek
samping dari terapi ini, jika diberikan, dapat meniadakan efek menguntungkan
pada ukuran mioma. Penambahan Danazol telah dicoba setelah 6 bulan terapi
GnRHa dalam upaya untuk memperpanjang efek terapi GnRHa. Kandungan
mineral tulang yang substansial berkurang selama pengobatan GnRHa dilaporkan
secara signifikan jika dikombinasikan dengan danazol, meskipun ada
kemungkinan timbulnya rebound volume uterus karena efek antiprogesterone.
Pada wanita perimenopause, bagaimanapun, terapi GnRHa jangka pendek

27
dapat mengeliminasi kebutuhan akan operasi. Histerektomi dapat menjadi teknik
yang lebih mudah dan lebih cepat setelah pengobatan awal dengan GnRHa.
Dengan berkurangnya ukuran uterus, lebih banyak perempuan untuk tindakan
histerektomi dapat melalui vagina daripada prosedur perut. Hal ini juga
mengurangi kehilangan darah dan tingkat insisi abdominal vertikal pada
pembedahan. Lynesterol tidak memberi keuntungan apapun atas terapi GnRHa
sebelum operasi untuk mioma uteri.
Beberapa rezim add-back telah dicoba pada wanita yang menggunakan
GnRHa dalam upaya untuk mengurangi efek dari defisiensi estrogen. Ini termasuk
tibolone, raloxifene, progestogen saja, estrogen saja, dan kombinasi estrogen dan
progestogen. Namun, hormonal add-back memiliki risiko peningkatan ukuran dan
jumlah mioma. Tibolone memiliki efek netral pada volume mioma, dan dosis
raloxifene tidak mempengaruhi pertumbuhannya. Oleh karena itu, jika wanita
postmenopause dengan mioma membutuhkan terapi untuk mengontrol gejala,
tibolone dan raloxifene lebih cocok. Selain itu, tibolone juga membalikkan efek
yang merusak kognisi yang disebabkan oleh leuprolide acetate depot. Selain itu
dapat meningkatkan suasana hati dan kualitas hidup pada wanita yang menerima
GnRHa untuk gejala mioma uteri.
Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa dengan analog GnRH
adalah
1. Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri
2. Mengurangi anemia akibat pendarahan
3. Mengurangi pendarahan pada saat operasi
4. Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan mioma
5. Mempermudah tindakan histerektomi vaginal
6. Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan histeroskopi

7) Inhibitor Aromatase
Baru-baru ini, letrozole, inhibitor aromatase nonsteroid yang umum
digunakan dalam infertilitas anovulasi pada fase folikuler telah disarankan
memiliki peran terapi yang potensial dalam pengobatan leiomyomas. Aromatase,
anggota dari superfamili sitokrom p450, adalah enyzyme mikrosomal yang

28
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Dalam leiomyoma, baik
aromatase dan enzim 17β-hidroksisteroid jenis dehidrogenase 1 adalah
overexpressed dibandingkan dengan miometrium normal. Penghambatan enzim
aromatase oleh letrozole akan memblokir konversi ini dan menghasilkan kadar
sirkulasi estrogen, milieu hypoestrogenic akan menghambat pertumbuhan mioma
Literatur tentang peran inhibitor aromatase pada Leiomioma uterus
terbatas dan terdiri dari beberapa laporan kasus. Varelas et al melaporkan
penurunan 55,7% dalam volume leiomyoma dan penurunan 22,9% dalam volume
uterus total pada studi yang menggunakan anastrazole 1 mg setiap hari selama tiga
siklus. Mohammed et al menggunakan letrozole 2,5 mg per hari selama 12
minggu dan menemukan jumlah pengurangan volume yang mioma dari 45,6%,
dengan tidak ada perubahan signifikan dalam lingkungan hormonal. Onset cepat
dari aksi dan pencegahan awal gonadotropin flare dengan inhibitor aromatase
dapat bermanfaat untuk pengelolaan perempuan yang ingin menghindari
intervensi bedah atau pada mereka yang operasi merupakan kontraindikasi.
Inhibitor aromatase telah ditemukan seefektif GnRHa, dengan efek samping yang
lebih sedikit. Namun, kurangnya pengetahuan tentang efek dari indeks massa
tubuh terhadap efikasi agen ini, kurangnya data terhadap hasil reproduksi
berikutnya, dan tidak adanya data tindak lanjut jangka panjang saat ini membatasi
penggunaan agen ini untuk wanita tanpa infertilitas.

8) Mifepristone
Paparan estrogen dan progesteron mempengaruhi pertumbuhan mioma
uteri, pengobatan dengan antiprogestin, mifepristone, telah di evaluasi hasilnya.
Efeknya mempengaruhi pada perkembangan folikel, ovulasi, perkembangan
endometerial. Namun tergantung pada dosis yang diberikan serta waktu
paparannya. Obat ini disetujui untuk pengobatan aborsi. Pemberian dosis rendah
2-5 mg per hari jangka pendek pada wanita biasadapat menyebabkan anovulasi
dan penghambatan menstruasi lebih dari 90% dari siklus menstruasi. Pemberian
mifepristone dalam jangka panjang (100 mg / hari) dapat menyebabkan acyclicity
ovarium dan menghilangkan nyeri panggul pada wanita dengan endometriosis.
Mifepristone menunjukkan efek penghambatan pada pertumbuhan mioma

29
uteri. Engman et al mengamati 30 wanita yang dirawat dengan diagnosis mioma
uteri dan telah dilakukan pengobatan dengan pemberian misopristone dosis 50 mg
selama 3 bulan sebelum dilakukannya operasi dan hasilnya disimpulkan bahwa
terjadi penurunan volume mioma uteri sebesar 28% dibandingkan dengan
kelompok plasebo 6%.
Mifepristone dapat menggantikan GnRHa untuk pra operasi. Penggunaan
misopristone dalam jangka panjang dengan dosis rendah ama digunakan pada
wanita perimenopause, sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan mioma uteri
sampai menopause, karena kemungkinan akan mengalami regresi. Kelebihan
misopristone yaitu akan menghemat biaya dan mengurangi angka kesakitan,
(mengingat besarnya jumlah operasi histerektomi yang dilakukan untuk mioma
uteri pada wanita perimenopause). Selain itu, misopriston juga dapat digunakan
untuk pengobatan pada wanita usia muda dengan mioma uteri ukuran besar yang
tetap ingin mempertahankan kesuburan mereka

b. Penanganan dengan Medikamentosa Nonhormon


Tujuan medikamentosa tersebut adalah mengurangi jumlah darahyang
keluar, menurunkan risiko anemia, dan meningkatkan kualitas hidup.
Medikamentosa nonhormon yang dapat digunakan untuk perdarahan uterus
abnormal adalah sebagai berikut:
1) Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID)
Terdapat 5 kelompok NSAID berdasarkan susunan kimianya, yaitu (1)
Salisilat (aspirin), (2) Analog asam indoleasetik (indometasin), (3) Derivat asam
aril proponik (ibuprofen), (4) Fenamat (asam mefenamat), (5) Coxibs (celecoxib).
Empat kelompok pertama bekerja dengan menghambat siklooksigenase-1 (COX
-1) dan kelompok terakhir bekerja menghambat siklooksigenase-2 (COX-2).
Asam mefenamat diberikan dengan dosis 250 - 500 mg 2 - 4 kali sehari.
Ibuprofen diberikan dengan dosis 600 - 1.200 mg per hari. NSAID dapat
memperbaiki hemostasis endometrium dan mampu menurunkan jumlah darah
haid 20 - 5O%. Efek samping secara umum adalah dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal dan merupakan kontraindikasi pada perempuan dengan ulkus
peptikum.

30
2) Antifibrinolisis
Endometrium memiliki sistem fibrinolitik. Pada perempuan dengan
keluhan menoragia ditemukan kadar aktivator plasminogen pada endometrium
yang lebih tinggi dari normal. Penghambat aktivator plasminogen atau obat
antifibrinolisis dapat digunakan untuk pengobaran menoragia. Asam traneksamat
bekerja menghambat plasminogen secara reversibel dan bila diberikan saat haid
mampu menurunkan jumlah perdarahan 40 - 5O%. Efek samping asam
traneksamat adalah keluhan gastrointestinal dan tromboemboli yang ternyata
kejadiannya tidak berbeda bermakna dibandingkan kejadian pada populasi
normal.Ini digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk terapi non-hormonal
untuk perdarahan berat yang berhubungan dengan mioma uteri dan perdarahan
uterus abnormal. Hal ini telah disetujui untuk digunakan pada perdarahan
menstruasi berat.

3) Penanganan dengan Terapi Bedah


Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan embolisasi
arteri uterus. Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College
of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) adalah
1) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
2) Sangkaan adanya keganasan
3) Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4) Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi
tuba
5) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
6) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7) Anemia akibat perdarahan

1) Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan

31
uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosa pada
mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Miomektomi ini dilakukan
pada wanita yang ingin mempertahankan funsi reproduksinya dan tidak ingin
dilakukan histerektomi.
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi
maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding
abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara
laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi
faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penye3mbuhan paska operasi lebih
lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi
namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit
dan perdarahan.
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara
laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga
dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari.
Resiko yang terjadi pada pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma
terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium,rektum serta perdarahan. Sampai saat
ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita
dengan mioma uteri yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.

2) Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan

32
terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan
timbulnya karsinoma servisis uteri.
Kriteria menurut American College of ObstetriciansGynecologists
(ACOG) untuk histerektomi adalah sebagai berikut:
1. Terdapatnya 1 sampai 3 mioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari
luar dan dikeluhkan oleh pasien.
2. Perdarahan uterus berlebihan, meliputi perdarahan yang banyak dan
bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari dan
anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
3. Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma uteri meliputi nyeri hebat dan
akut, rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis
dan penekanan pada vesika urinaria mengakibatkan frekuensi miksi yang
sering.
Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus.
Histerektomi dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia,
keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan
12-14 minggu. Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal
(laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total
abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH).
Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH
dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan
yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun
dengan melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana kemungkinan
timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang
timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan
perdaraahn paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang
menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginanm, dimana tindakan operasi
tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir
seluruhnya merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang
dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat

33
diminimalisasi. Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi
sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik.
Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih
minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibandng histerektomi abdominal.
Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik. Tetapi yang dijelaskan
hanya 2 iaitu; histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically
assisted vaginal histerectomy / LAVH) dan classic intrafascial serrated edged
macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy. Pada LAVH dilakukan
dengan cara memisahkan adneksa dari dinding pelvik dengan memotong
mesosalfing kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan pembuluh
darah uterina dilakukan dari vagina.
CISH pula merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan dalam dari
serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur ini
diharapkan dapat mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan
aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan CISH
adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan
yang lebih minimal,waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih
minimal dan masa penyembuhan yang cepat. Jadi terapi mioma uteri yang terbaik
adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi
laparoskopi memiliki kelebihan kerana masa penyembuhan yang singkat dan
angka morbiditas yang rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal
3) Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE)
Embolisasi arteri uterina adalah suatu tindakan yang menghambat aliran
darah ke uterus dengan cara memasukkan agen emboli ke arteri uterine.
Indikasi untuk tindakan ini adalah:
1) Ada kontra indikasi terhadap pengobatan dan pembedahan yang mempunyai
keluhan belum dapat diatasi (menoragia,nyeri pelvis,penekanan mioma terhadap
organ disekitarnya).
2) Pasien yang ingin mempertahankan uterus.
3) Pasien yang tidak menghendaki tindakan pembedahan.
Kontra Indikasi
1) Karsinoma uteri

34
2) Penyakit radang panggul
3) Hamil
4) Gangguan fungsi ginjal

4) Myolysis
Teknik yang menginduksi nekrosis dan penyusutan mioma uteri. Berbagai
bentuk myolysis - bipolar, cryo, radio-frekuensi, laparoskopi, dan MRI yang
dipandu laser, telah dicoba sebagai alternatif konservatif untuk miomektomi pada
wanita yang ingin rahim tetap dipertahankan. Karbon dioksida laser telah
digunakan untuk memberi uap secara langsung pada mioma kecil saat laparotomi,
sedangkan pada mioma yang sedang dan besar dipotong. Beberapa mioma
submukosa telah berhasil diobati dengan Nd: YAG (neodymium-doped yttrium
aluminium garnet) laser, yang menurunkan vaskularisasi mioma; berisiko
mengenai miometrium normal dan meningkatkan nyeri post operasi. Teknik ini
masih dalam penelitian.

5) Ligasi arteri uterina


Prosedur ini mencoba untuk membatasi suplai darah ke rahim oleh ligasi
vagina atau laparoskopi arteri rahim. Prosedur ini prinsipnya sama dengan Uterine
Embolisasi Arteri tapi relatif lebih mudah untuk dilakukan. Prosedur ini dapat
mengurangi perdarahan postpartum pada wanita hamil dengan mioma uteri, yang
menjalani operasi caesar. Metode ini tidak mempengaruhi kesuburan berikutnya

35
Gambar 7. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Akut Dan Banyak

2. Perdarahan Uterus Abnormal Kronik


 Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami
satu atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan
dalam 3 bulan terakhir.
 Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah
perifer lengkap wajib dilakukan.

36
 Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.
 Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat
memicu PUA dan lakukan pula pemeriksaan penyakit koagulopati bawaan
jika terdapat indikasi.
 Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
 Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan
penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk
memiliki keturunan dapat menentukan penanganan selanjutnya.
Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin, dan
androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.

Gambar 8. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Kronik

37
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Alamat : Gaung
MRS : 11/12/2016

No. RM : 029270

II. ANAMNESIS
Pasien wanita umur 45 tahun datang ke IGD RSUD Solok pukul 17.25 WIB.

Keluhan Utama

Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 1 bulan SMRS, bewarna
merah dan berbongkah-bongkah membasahi 6-7 pembalut sehari.
 Pasien tidak mengeluhkan ada benjolan di perut. Nyeri pada perut ada,
nyeri dirasakan hilang timbul.
 Riwayat keputihan (-)
 Riwayat post coital bleeding (-).
 Riwayat Nyeri saat dan setelah berhubungan (-)
 Mual (+), Muntah (+)
 Demam (-), badan lemah dan letih (+) sejak 1 bulan ini.
 BAB (+), BAK (+)

38
Riwayat Penyakit Dahulu

 Keluhan seperti ini sudah pernah dirasakan dan pernah dirawat pada tahun
2014 di RS Permata Bunda dan mendapat tranfusi PRC 4 kantong
 Riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, Diabetes Melitus, Hipertensi
dan alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.


 Anggota keluarga yang menderita penyakit menular dan kejiwaan
disangkal.
 Riwayat gangguan pembekuan darah disangkal.

Riwayat Pernikahan

Pasien menikah 1x tahun 1998

Riwayat Kehamilan, Persalinan.

2001 / perempuan / 3000 gr / cukup bulan / persalinan normal / bidan

2002 / laki-laki / 4500 gr / cukup bulan / persalinan normal / bidan

2006 / laki-laki / 3500 gr / cukup bulan / persalinan normal / bidan

2012 / laki-laki / 3500 gr / cukup bulan / persalinan normal / bidan

Riwayat Menstruasi

Haid pertama umur 13 tahun

Sirkulasi haid :

i. Siklus : Teratur, 28 hari


ii. Lamanya : Tujuh hari/bulan

39
iii. Banyaknya : 2-3 ganti kain/ 150 cc
iv. Sakit saat haid : (+)

Riwayat Obstetri

Hamil / melahirkan / abortus : 4 / 4 / 0

Riwayat Keluarga Berencana


Pasien tidak ada riwayat penggunaan Keluarga Berencana.

Riwayat Kebiasaan Psikososial

Pasien tidak merokok dan minum alkohol

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis cooperatif

Tinggi Badan : 160 cm

Berat Badan : 63 Kg

BMI : 24,6 Kg/m2

Tanda-tanda Vital

 Tekanan darah : 100/70 mmHg


 Frekuensi nadi : 89 x/menit
 Suhu : 36,6 º C
 Frekuensi napas : 24 x/menit
Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik

Leher :

Inspeksi : JVP 5-2 cmH2O

40
Kelenjar Tiroid tidak tampak memebesar

Palpasi : Kelenjar tiroid tidak teraba membesar

KGB tidak teraba membesar.

Thoraks

Pulmo

Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris Kanan = Kiri

Palpasi : Fremitus Normal Kanan = Kiri

Perkusi : Sonor

Auskultas : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Cor

Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba 1 Jari medial LMCS ICR V

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Irama teratur, bising (-)

Abdomen : Status Ginekologi

Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai -/-, RF +/+, RP -/- .

Genitalia : Status Ginekologi

2. Status Ginekologi
Abdomen

 Inspeksi : Perut tampak tidak membuncit


 Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-), tumor (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

41
Genital

 Inspeksi : - V/U tenang


- PPV (+)
 VT Bimanual :
- Vagina : tumor (-)
- Portio : multipara, OUE 1 cm, kaku, posterior, nyeri
goyang portio (-)
- CUT : Ante flexi , uterus teraba membesar.
- Adneksa parametrium : ka-ki lemas, nyeri (-), massa (-)
- Cavum douglasi : tidak menonjol
 Inspekulo :
- Vagina : Laserasi (-), Tumor (-), tampak darah
menggenang
- Portio : Multipara sebesar jempol kaki orang dewasa, licin,
Tumor (-) Laserasi (-)
- Fluksus : (+) Darah

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah (11/12/2016):


 Hb : 5,1 g/dL
 Ht : 17,8 %
 Leukosit : 10.890 /mm3
 Trombosit : 339000 /mm3
 Ureum : 23,5 mg/dl
 Creatinin : 0,86 mg/dl
 GDS : 94 mg%

42
V. Diagnosa Sementara

PUA ec Mioma Uteri + Anemia Berat (Hb = 5,1 gr/dl)

VI. Penatalaksanaan

Sikap :

o Kontrol keadaan umum, vital sign, perdarahan pervaginam


o Antibiotik
o Anti perdarahan
o Check Lab DR / GDS
o Cross matched 2 unit PRC
o Informed consent

Terapi

o IVFD RL gtt XX
o Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)  Skintest
o Inj. Asam Tranexamat 1 gr (IV)
o Inj. Vit. K 10 mg (IV)
o Inj. Vit. C 1000 mg (IV)

Rencana

o Sulfas ferrous 300 mg (PO)


o Transfusi PRC 2 unit
o Rawat nifas

43
VII. FOLLOW UP

Tanggal 12 Desember 2016, pukul 08.00 WIB

S/ Keluar darah dari kemaluan, lemas, pusing, nyeri perut bagian bawah (+)
BAB (+), BAK (+), demam (-)

O/ Status Generalisata

Kesadaran umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 90/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,5 oC

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Thoraks : Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), cappilary refill < 2’

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak tidak membuncit
Palpasi : nyeri tekan (+), NL (-), DM (-)

44
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : PPV (+)

A/ PUA ec Mioma Uteri + Anemia Berat ( Hb = 5,1 gr/dl)

P/ - Kontrol KU, VS, TTV, PPV

- Transfusi PRC 1 unit/hari

- IVFD RL gtt XX

- Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg (IV)

- Inj. Vit. K 3 x 10 mg (IV)

- Inj. Vit. C 3 x 1000 mg (IV)

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)

- Sulfas Ferous 2 x 300 mg (PO)

- Check darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)

- USG tanggal 13 Desember 2016

Tanggal 13 Desember 2016, pukul 08.00 WIB

S/ Keluar dari kemaluan, lemas, pusing (+) nyeri perut bagian bawah (-)

BAK (+) , BAB (+), demam (-)

O/ Status Generalisata

Kesadaran umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

45
Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,5 oC

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Thoraks : Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), cappilary refill < 2’

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak tidak membuncit
Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : PPV (+)

Pemeriksaan Laboratorium (12/12/2016)


Pemeriksaan Laboratorium (12/12/2016)
- Hb : 8,4 gr/dL
- Ht : 25,2%
- Leukosit : 7.730/mm3
- Trombosit : 370.000/mm3
A/ PUA ec Mioma Uteri + Anemia berat (Hb = 5,1 gr/dl) dalam perbaikan

P/ - Kontrol KU, VS, TTV, PPV

- Check darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)

- IVFD RL gtt XX

46
- Transfusi PRC 1 unit/hari

- Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg (IV)

- Inj. Vit. K 3 x 10 mg (IV)

- Inj. Vit. C 3 x 1000 mg (IV)

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)

- Sulfas Ferous 2 x 300 mg (PO)

Tanggal 14 Desember 2016, pukul 08.00 WIB

S/ Keluar darah dari kemaluan (-), BAB (+), BAK (+) demam (-)

O/ Status Generalis

Kesadaran umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 67 x/menit

RR : 18 x/menit

Suhu : 36,5 oC

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Thoraks : Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

47
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), cappilary refill < 2’

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak tidak membuncit
Palpasi : NT (-), NL (-), DM (-).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising (+) normal
Genitalia : PPV (-)

Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium (13/12/2016)
Pemeriksaan Laboratorium (13/12/2016)
- Hb : 9,6 gr/dL
- Ht : 28,0%
- Leukosit : 6.730/mm3
- Trombosit : 380.000/mm3

Hasil USG (13/12/2016)

48
Ekspertise hasil USG : mioma uteri
Uterus ukuran 11,3 x 7,5 x 8,8 cm

A/ PUA ec Mioma Uteri + Anemia Berat ( Hb = 5,1 gr/dl)

P/

- Boleh Pulang

- Kontrol Poli, Rencana Histerektomi

- stabilkan Keadaan Umum

Terapi :

- IVFD RL gtt XX (aff)

- Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg (IV) (aff)

- Inj. Vit. K 3 x 10 mg (IV) (aff)

- Inj. Vit. C 3 x 1000 mg (IV) (aff)

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV) (aff)

49
- Transamin 3 x 500 mg (PO)

- Sulfas Ferous 2 x 300 mg (PO)

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Mioma uteri adalah salah satu tumor neoplastik jinak dari otot polos
miomentrium.Mioma uteri berbatas tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot
polos jaringan fibrous, sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika
jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang
dominan. Mioma uteri biasa juga disebut leiomioma uteri, fibroma uteri,
fibroleiomioma, mioma fibroid atau mioma simpel.
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan yaitu
satu dari empat wanita selama masa reproduksi yang aktif. Kejadian mioma uteri
sukar ditetapkan karena tidak semua mioma uteri memberikan keluhan dan
memerlukan tindakan operatif.
Walaupun kebanyakan mioma muncul tanpa gejala tetapi sekitar 60%
ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan USG, pemeriksaan pelvis, atau

50
pada laparatomi daerah pelvis.
Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma
uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada
usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga
penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen

DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists. 2008. ACOG Practice


Bulletin. Alternatives to hysterectomy in the management of leiomyomas. Obstet
Gynecol.

Baziad, Ali dkk. 2011. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal.


Himpunan endokrinologi reproduksi dan fertilitas Indonesia Perkumpulan obstetri
dan ginekologi Indonesia.

Baziad A.2003. Endokrinologi genikologi edisi kedua. Jakarta : Media


Aesculapius FKUI.

Bulun, Serdar E. 2013. Uterine Fibroid. The New England Journal of medicine

Cunningham, Mc Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 2003.

51
William’s Obstetrics. Prentice-Hall International.Inc.

Duhan, Nirmala. 2011. Current and emerging treatments for uterine myoma – an
update. International Journal of Women’s Health.

Parker WH.2007. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine myomas.


Fertility and Sterility.

Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakara: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Vilos,George. A dkk. 2015. The Management of Uterine Leiomyomas. Canada:


SOGC.

52

Anda mungkin juga menyukai