Anda di halaman 1dari 4

Menurut Ennis (Kuswana, 2013: 21) critical thinking terbagi menjadi dua

disposisi, yaitu: (1) menjadi perhatian bagi setiap individu untuk dapat

melakukan sesuatu dengan benar berdasarkan dengan kejujuran, kejelasan,

relevan, dan masuk akal, (2) bergantung pada proses penilaian dengan

menerapkan kriteria untuk menilai jawaban yang dimiliki, dala, hal ini

penyampaian atau penyajian dapat dilakukan secara proses implisit maupun

eksplisit.

Critical thinking adalah sejenis keterampilan berpikir tingkat tinggi di

mana individu menunjukkan kemampuan mereka untuk secara ilmiah dan penuh

pertimbangan mengevaluasi suatu fenomena dari pandangan yang berbeda

dalam konteks yang berbeda untuk membuat keputusan akhir yang efektif.

Kemampuan ini membutuhkan orang untuk memiliki berbagai keterampilan


seperti pertanyaan, pertanyaan, evaluasi, dan pengambilan keputusan (Nhat,

2018: 431).

Menurut Jhon Dewey (1909) critical thinking adalah berpikir reflektif,

yaitu sebuah pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan mampu dengan teliti

mengenai sebuah kepercayaan atau bentuk pengetahuan yang dapat diterima

dengan memandang dari perspektif yang mendukung sebuah pemikiran lanjutan

yang menjadi keyakinannya (Fisher, 2007: 2).

Critical thinking merupakan penggunaan keterampilan atau strategi

kognitif individu yang mampu meningkatkan tujuan pembelajaran yang ingin

dicapai. Keterampilan tersebut untuk menghasilkan pemikiran yang bertujuan,

beralasan, dan diarahkan pada tujuan dalam memecahkan masalah, merumuskan

kesimpulan, dan membuat keputusan, sehingga seseorang menggunakan

keterampilan yang dimiliki secara bijaksana dan efektif untuk konteks tertentu
dan jenis tugas tertentu (Halpern, 2014: 25)

Critical thinking adalah proses yang rumit, dan jika dilakukan dengan

benar akan membantu dalam menilai ide-ide kompleks secara sistematis,

sehingga masalahnya lebih mudah dipecahkan. Kecakapan critical thinking

menggunakan pemikiran dasar menganalisis argumen dan membawa wawasan

peserta didik pada setiap interpretasi, untuk meningkatkan pola penalaran yang

kohesif dan koheren, merumuskan masalah, dengan melakukan deduksi dan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa berpikir kritis adalah suatu

kemampuan untuk bernalar dalam suatu cara yang terorganisasi. Berpikir kritis

memungkinkan untuk memanfaatkan potensi dalam melihat masalah, memecahkan

masalah, menciptakan, dan menyadari diri. Lalu, berpikir kritis sangat dibutuhkan di

setiap kalangan dengan apapun pekerjaan yang dijalaninya.

Karena menulis adalah aktivitas bernalar, maka salah satu aplikasi berpikir kritis
adalah dalam kegiatan menulis. Hal ini berarti bahwa hasil proses berpikir dapat

disalurkan melalui menulis. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis siswa juga

terlihat dari tulisan yang dihasilkannya, misalnya dari kecermatannya menyusun

gagasan menggunakan tata bahasa, ejaan, dan sebagainya. Hal ini senada dengan yang

dinyatakan oleh Teopilus dalam Andriani (2013:2), yakni bahwa kemampuan berpikir

kritis dapat diketahui melalui bentuk-bentuk aktivitas seperti berbicara dan menulis.

Sejalan dengan kemampuan menulis siswa masih rendah, maka kemampuan

berpikir kritis siswa saat ini juga masih rendah. Pernyataan ini didukung oleh Hartati

(2015) menyatakan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMPN di Kabupaten

Lampung Utara sebelum mendapat perlakuan PBL (Problem Based Learning) adalah

rata-rata 43,41. Nurhayati (2014) menyatakan kemampuan berpikir kritis siswa kelas

VIII SMP Negeri 3 Godean sebelum menggunakan pendekatan SAVI hanya mencapai

Anda mungkin juga menyukai