Anda di halaman 1dari 21

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA

Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Irawan l

ABSTRACT

For many years, to spoor agricultural growth and development Indonesia has been being constrained by
its problems of land tenure. Land ownership and holding by farmers are very small, unconsolidated, and
deteriorated. The tenure has not been being improved because of inconsistent both policy and its implementation.
Assuming that Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 with regard to agrarian reform and natural resource management
reflected political will of the nation, we need some inputs for its follow up. To meet the need, better understanding
of land tenure and its relation to both agricultural and rural development is required.

Key words: land, tenure, resources, land distribution, agrarian institution.

ABSTRAK

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem pertanian yang
tangguh adalah struktur penguasaan tanah yang tidak terkonsolidasi, serta penguasaan rata-rata per petani yang
sangat kecil dan timpang. Sampai saat ini upaya memperbaiki struktur penguasaan tanah tidak tercapai. Hal itu
merupakan akibat dari rumusan kebijaksanaan yang tidak mampu mengakomodasikan faktor-faktor strategis
dalam masalah pertanahan dan implementasi kebijaksanaan yang kurang konsisten. Dengan anggapan bahwa
Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
mencerminkan aspirasi politik bangsa, maka arah perbaikan menjadi Iebih terbuka. Dalam konteks demikian itu,
pemahaman masalah pertanahan secara komprehensif sangat diperlukan agar tindak lanjut Tap tersebut
mencapai sasaran. Tulisan ini mencoba menginventarisasi, mengidentifikasi dan membahas konstelasi
permasalahan di bidang pertanahan yang secara empiris sangat kompleks. Sasarannya adalah meningkatkan
pemahaman dan kearifan dalam merumuskan kebijaksanaan di bidang pertanahan dan implementasinya.

Kata kunci: tanah, struktur penguasaan, sumberdaya, distribusi tanah, kelembagaan pertanahan

sumberdaya ini tidak hanya mencakup aspek


PENDAHULUAN
ekonomi, tetapi juga aspek politik, sosio-
budaya, bahkan pertahanan (Barlow, 1972;
Hardjosudarmo, 1970). Kedua, implikasi dari
Lahirnya Tap MPR RI Nomor IX/MPR/
kondisi empiris, bahwa masalah pertanahan
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Penge-
yang ada pada saat ini bukan hanya ber-
lolaan Sumberdaya Alam semestinya merupa-
sumber dari akumulasi persoalan terkini tetapi
kan momentum strategis untuk mengkondisi-
terkait pula dengan aspek historis dan dinami-
kan struktur penguasaan tanah yang kondusif
ka sosial politik yang terjadi selama ini, bahkan
untuk membangun sistem usaha pertanian
juga arah perubahan sosial yang secara
tangguh. Secara teoritis, lahirnya Tap tersebut
empiris dipengaruhi oleh arah perubahan
mencerminkan keputusan politik yang merupa-
lingkungan strategis. Ketiga, setiap pembaruan
kan landasan dasar perumusan kebijaksanaan
atau perubahan berarti mengubah status quo.
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber-
Gejolak sosial akibat relaktansi (bahkan mung-
daya alam di masa datang. Akan tetapi tindak
kin penolakan) maupun antusiasme (bahkan
lanjut Tap tersebut jauh Iebih berat daripada
tuntutan) dari berbagai kelompok masyarakat
proses perumusan Tap itu sendiri karena
yang berbeda akan muncul dalam periode
terkait dengan hal-hal berikut. Pertama, karena
tersebut dan karenanya perlu diantisipasi agar
tanah merupakan sumberdaya strategis dan
tidak berkembang menjadi konflik yang meluas
karenanya permasalahan dalam pengelolaan
dan sulit diatasi.

Masing-masing adalah Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Irawan

1
Sektor pertanian sangat berkepentingan pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga
untuk berkontribusi dalam perumusan kebijak- air, vegetasi, lansekap (landscape), dan
sanaan pembaruan agraria dan pengelolaan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosis-
sumberdaya alam. Sektor inilah yang secara tern. Implikasinya, konsep pengelolaan sum-
langsung maupun tidak langsung selalu ber- berdaya lahan harus mengakomodasikan
kutat dengan masalah struktur penguasaan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen
tanah berikut segala implikasinya, meskipun tersebut. Bahkan sering pula konsep tersebut
lingkaran permasalahan di sekitar penguasaan berkembang lebih luas, terkait dengan konteks
tanah bukan hanya berada dalam domein permasalahan sosial ekonomi yang dikaji.
pertanian. Sebagai ilustrasi, dalam konteks International
Convention to Combat Desertification, United
Secara empiris inti pokok dari masalah
Nation Organization (UNO) memasukkan pula
penataan kembali penguasaan tanah pertani-
populasi binatang dan pola hunian manusia
an sesungguhnya lebih banyak berhubungan
sebagai komponen yang harus diperhitungkan
dengan aspek distribusi pendapatan daripada
dalam mendefinisikan, pengertian land (Scherr
masalah peningkatan efisiensi ataupun pro-
and Yadav, 1996).
duktivitas sumberdaya lahan. Dalam konteks
ini, berkembang dua aliran. Pertama, pende- Dad sudut pandang pengelolaan sum-
katan struktural yang pada intinya menyatakan berdaya, permasalahan di bidang pertanahan
bahwa struktur penguasaan tanah harus terkait dengan konfigurasi daratan, persebaran
bersifat by design melalui suatu aturan hukum/ penduduk, dinamika sosial budaya masyara-
kebijaksanaan pemerintah. Salah satu bentuk kat, dinamika investasi dan arah perubahan
utama dari pendekatan ini adalah penataan struktur perekonomian, serta tentu saja kebi-
pemilikan/penguasaan melalui land reform, jaksanaan pemerintah. Sudah barang tentu
meskipun cakupannya bukan hanya itu. untuk memahami masalah pertanahan secara
Kedua, pendekatan yang dapat dikatakan komprehensif, tinjauan dari sudut pandang
sifatnya "teknokratis" yang intinya adalah sumberdaya saja tidak memadai karena pera-
bahwa struktur penguasaan tanah tidak harus nan sumberdaya lahan dalam perikehidupan
by design, karena struktur penguasaan tanah suatu komunitas sangat strategis, sehingga
bersifat dinamis dimana surplus ekonomi dinamika kaitan antara penguasaan tanah dan
tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam dinamika sosial ekonomi menjadi sangat
pola alokasi antar sektor maupun antar kompleks dan mencakup pula dimensi budaya
individu/kelompok dalam masyarakat. Dalam suatu komunitas.
kenyataannya hampir semua negara menggu-
Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa
nakan kombinasi dari kedua pendekatan ter-
Tap MPR No. IX/MPR/2001 telah sesuai de-
sebut meskipun kadar masing-masing pende-
ngan aspirasi bangsa Indonesia dan karena-
katan berbeda.
nya akan ditindak lanjuti. Fokus tulisan adalah
Sebagaimana dinyatakan dalam Fauzi membahas hasil inventarisasi dan identifikasi
(2002), cakupan pengertian mengenai land permasalahan. Diharapkan tulisan ini dapat
reform bukan hanya berupa redistribusi tanah. berkontribusi dalam mengisi kebutuhan data
Land reform dapat berbentuk koperasi atau dan informasi yang tentu saja sangat diperlu-
kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi kan untuk merancang tindak lanjut pemecahan
tertentu yang memungkinkan perimbangan masalah pertanahan di Indonesia.
antar faktor-faktor produksi (terutama modal vs
tenaga kerja) menjadi lebih baik. Penataan
kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil KERAGAAN UMUM MASALAH
yang dapat memberikan kepastian penguasa- PERTANAHAN DI INDONESIA : TINJAUAN
an garapan bagi penggarapnya juga termasuk DARI SUDUT PANDANG SUMBERDAYA
dalam cakupan pengertian land reform. Bah-
kan "restitusi hak atas tanah" kini juga telah
menjadi salah satu agenda dalam land reform. Dad tinjauan menurut sudut pandang
sumberdaya, dalam rentang waktu 30 tahun
Batasan pengertian mengenai tanah
terakhir pola penggunaan tanah di Indonesia
(land) tidak hanya mencakup tanah dalam
telah berubah dari pola ekstensif alamiah

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002: 1 - 19

2
(hutan, semak dan padang penggembalaan) berlangsungnya proses degradasi lahan
ke pola yang relatif intensif. Secara garis besar pertanian, serta Sistem administrasi perta-
kecepatan ekspansi areal pertanian kurang nahan lemah dan implementasi Undang-
Iebih seimbang dengan urbanisasi dan Undang Penataan Ruang (UUPR 24/92) tidak
industrialisasi namun tidak tinier dan dinamis. terlaksana secara konsisten.
Pada periode 1961 — 1975, perluasan areal
pertanian berlangsung Iebih cepat dari
urbanisasi dan industrialisasi, dan pasok tanah Konfigurasi Daratan dan Ketimpangan
pertanian terutama berasal dari alih fungsi Persebaran Penduduk
lahan padang pengembalaan dan belukar —
Indonesia terdiri dari ribuan pulau
alang-alang. Pada periode 1972 — 1982 tingkat
dengan tingkat kepadatan penduduk antar
urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, dan
pulau yang sangat beragam. Lebih dari 60
pasok tanah untuk areal pertanian baru
persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang
berasal dari konversi hutan. Sementara itu
Iuasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan
sejak 1982 — sekarang perluasan areal per-
Indonesia. Pada tahun 2000 kepadatan pen-
tanian kembali lebih cepat dari perluasan
duduk di Pulau Jawa mencapai 945 jiwa/km2,
urbanisasi dan industrialisasi (Nasoetion dan
sedangkan di luar Pulau Jawa hanya 46
Saefulhakim, 1994). Menyimak fenomena
jiwa/km2 (dengan rincian: Sumatera 88, Bali
tersebut Nasoetion (1994) menafsirkan bahwa
dan Nusa Tenggara 124, Kalimantan 20,
selama tiga dekade terakhir telah terjadi
Sulawesi 75, Maluku dan Irian Jaya 8
degradasi tanah yang akar penyebabnya ada-
jiwa/km2). Secara agregat, pada saat ini lebih
lah tekanan pertumbuhan penduduk dan
dari 30 persen daratan Indonesia telah
transformasi ekonomi dari struktur ekonomi
didayagunakan (pangsa terbesar adalah untuk
yang lebih agraris ke arah struktur ekonomi
sektor pertanian), sehingga luas hutan kurang
yang lebih industrialistis.
dari 70 persen. Pada beberapa pulau luas
Pola penggunaan tanah untuk usaha lahan yang telah didayagunakan masih cukup
pertanian dapat dipilah menjadi dua: (a) Usaha rendah akan tetapi di beberapa pulau lainnya
pertanian skala besar yang umumnya berupa luas kawasan hutannya kurang dari 20 persen.
perkebunan yang dikelola oleh badan usaha Terutama di pedesaan dengan agroekosistem
milik negara maupun perusahaan swasta, dan sawah, tingginya kepadatan penduduk menye-
(b) Usaha pertanian rakyat. Meskipun usaha babkan banyak petani tidak memiliki tanah
pertanian rakyat umumnya menerapkan pola garapan sendiri. Sebagai contoh, di daerah
campuran, tetapi menurut komoditas dominan pesawahan di DAS Brantas (Tabel 1), dimana
yang diusahakannya secara garis besar dapat sekitar 23 persen petani harus mengandalkan
dipilah lebih lanjut menjadi dua kategori, yaitu: garapannya dari pihak lain karena tidak
(i) Usaha pertanian tanaman pangan/hortikul- memiliki sawah sendiri (Sumaryanto et al.,
tura, dan (ii) Perkebunan rakyat. Secara emp- 2002).
iris usahatani tanaman pangan cenderung
Meskipun konfigurasi daratan sifatnya
terkonsentrasi di wilayah berpenduduk padat,
given, akan tetapi dalam batas-batas tertentu
sedangkan perkebunan rakyat berkembang di
memang merupakan kendala bagi terbentuk-
wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya
nya persebaran penduduk yang "berimbang"
rendah.
karena: (a) Budaya bahari telah lama terkikis
Secara umum masalah pertanahan di dan belum berhasil dibangkitkan kembali se-
Indonesia sangat terkait dengan implikasi dari hingga laut menjadi batas teritorial antar
faktor-faktor berikut (Latief, 1996; Nasoetion wilayah yang sifatnya significant, (b) Sinergi
dan Winoto, 1996; Suhendar, 1994; Sumar- yang tercipta dari keragaman sosial-budaya
yanto et al., 1996): (a) Konfigurasi daratan dan antar komunitas/etnis dari pulau/gugus kepu-
ketimpangan persebaran penduduk, (b) Pola lauan yang berbeda belum berhasil dikem-
investasi dan pengembangan wilayah, (c) bangkan sebagai inti pokok pembentukan
Rata-rata luas penguasaan tanah petani bangsa, dan (c) Pertumbuhan dan perkem-
sangat kecil dan semakin mengecil dengan bangan ekonomi yang secara relatif terpusat di
struktur yang timpang, (d) Konversi lahan wilayah-wilayah tertentu (terutama di Pulau
pertanian produktif kurang terkendali, (e) Terus Jawa).

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti. Saptana dan Bambang Irawan

3
Tabel 1. Rata-rata Penguasaan Tanah Sawah Ga- terjadi inkonsistensi dalam perimbangan per-
rapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah hatian antar sektor, dan sejak awal dasawarsa
di Daerah Pesawahan DAS Brantas, 90-an sektor pertanian terkesan terpinggirkan.
1999/20001
Selain itu, disparitas pembangunan antar
wilayah juga cukup besar.
Rata-rata sawah
Petani
Kelompok milik
pemilikan (Ha) ok Luas
n persil Penguasaan Tanah Sangat Kecil, Semakin
(Ha)
0 111 23,1 Mengecil, dan Strukturnya Timpang
0 < L =< 0,5 257 53,5 1,7 0,26
Berdasarkan Sensus Pertanian 1993,
0,5 < L =< 1,0 85 17,7 3,5 0,65 lebih dari 87 persen rumah tangga pertanian
L > 1,0 27 5,6 4,3 1,56 pengguna lahan adalah petani tanaman
Rata-rata 480 100,0 1,9 0,34 pangan, 32 persen mengusahakan tanaman
Sumber: Sumaryanto et al., 2002. perkebunan, 26 persen ternak, dan 24 persen
*) Populasi: petani (mengusahakan garapan) sawah di tanaman hortikultura (Tabel 2). Jumlah pro-
19 desa yang tersebar di empat Kabupaten
Tulungagung, Kediri, Nganjuk dan Sidoarjo. sentase lebih dari 100 karena adanya usaha-
tani campuran. Dominasi usahatani tanaman
pangan di wilayah yang sangat padat pendu-
Pola Investasi dan Pengembangan Wilayah duknya (P. Jawa) lebih tinggi daripada di Luar
Pulau Jawa (90 vs 84 persen). Sebaliknya,
Jika konsisten dengan kondisi empiris, peranan usahatani tanaman perkebunan lebih
selama ini seharusnya pola investasi dan tinggi di Luar P. Jawa (43 vs 22 persen).
pengembangan wilayah (ekonomi regional) Sementara itu, peranan usaha perikanan
harus berbasis pertanian dan sumberdaya budidaya, balk budidaya perikanan air tawar
domestik. Akan tetapi terdorong oleh eforia maupun tambak/air payau masih sangat kecil.
untuk secepatnya mampu mencapai tahap
tinggal landas dan membanjirnya investasi Struktur pemilikan tanah rumah tangga
asing (hutang) untuk pengembangan industri pertanian cukup timpang, dimana hampir dua
yang tidak berbasis sumberdaya domestik pertiga bagian tergolong dalam kelompok
(foot loose industry), telah menyebabkan penguasaan tanah kurang dari satu hektar.
rapuhnya sistem perekonomian yang dibangun Persisnya, sekitar 26 persen termasuk dalam
selama tiga dasa warsa terakhir. Pada kategori kurang dari seperempat hektar
awalnya, pembangunan pertanian memper- dengan rata-rata pemilikan tanah hanya 0,12
oleh perhatian utama, dengan harapan dapat hektar; 22 persen termasuk dalam kelompok
dijadikan tumpuan pengembangan sektor penguasaan 0,25-0,49 hektar dengan rata-rata
industri. Akan tetapi belum lagi sosok per- luas pemilikan 0,3 hektar; dan 22 persen
tanian yang diharapkan dapat diwujudkan, termasuk dalam kelompok 0,50-1,00 hektar

Tabel 2. Banyaknya Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Klasifikasinya, Tahun 1993
(persen)

Klasifikasi Jawa Luar Jawa Indonesia


Tanaman Padi/palawija 90,4 83,7 87,3
Tanaman Hortikultura 23,3 25,8 24,4
Tanaman Perkebunan 21,5 43,4 31,7
Peternakan 26,8 25,4 26,1
Budidaya Kayu-kayuan 6,5 1,5 4,2
Budidaya Ikan di Kolam air tawar 3,6 2,2 2,9
Budidaya ikan di Tambak .Air Payau 0,5 0,6 0,5
10572139 9141667 19713806
Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan
(100,0) (100,0) (100,0)
Sumber: BPS (SP-93).

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002 : 1 - 19

4
dengan luas pemilikan 0,59 hektar per rumah pada segmen 1,00-1,49 (12 persen) dan 1,50-
tangga (Tabel 3). 2,99 (13 persen) hektar dengan rata-rata luas
pemilikan masing-masing 1,05 dan 1,88
Tabel 3. Struktur Pemilikan Tanah oleh Ru- hektar. Jika diambil segmen antara 1 sampai
mah Tangga Pertanian, Tahun 1993 2 hektar, proporsinya adalah 17 persen
dengan rata-rata luas pemilikan 1,2 hektar per
Luas pemilikan rumah tangga. Tampak jelas bahwa untuk
Jumlah
Golongan (hektar) setiap golongan, rata-rata luas pemilikannya
(%) Rata-rata Kumulatif cenderung mendekati batas bawah golongan
< 0,25 25,70 0,124 3,87 tersebut. Kondisi ini berlaku untuk semua
golongan kecuali pada kelompok pemilikan 15
0,25-0,49 22,30 0,302 8,19
hektar ke atas. Pada kelompok ini, meskipun
0,50-0,99 22,23 0,588 15,91 proporsi rumah tangga yang tercakup di
1,00-1,49 11,82 1,053 15,14 dalamnya hanya 0,07 persen tetapi rata-rata
1,50-2,99 12,79 1,878 29,20 luas pemilikannya Iebih dari . 21,4 hektar.
Dengan kondisi seperti itu maka proporsi lahan
3,00-7,49 4,73 3,808 21,91
yang dimiliki oleh masing-masing segmen
7,50-14,99 0,35 9,092 3,89 tersebut dapat disimak pada kolom-3 dari
15 + 0,07 21,472 1,89 Tabel 2. Selanjutnya, jika dilakukan penyeder-
Ag reg at 100,00 0,822 100,00 hanaan penggolongan menjadi 6 kelompok,
Sumber: BPS (SP-93). distribusi rumah tangga menurut golongan
luas penguasaan tanah dan luas kumulatif
tanah yang dimiliki dapat divisualisasikan
Untuk kelompok-kelompok penguasaan seperti Gambar 1.
lebih dari satu hektar, proporsi terbesar berada

15.00 ke atas

7.50 - 14.99

4.00 — 7.49

2.00 — 3.99

1.00 — 1.99

0.50 — 0.99

Kurang dari 0.50

50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
1983 1993

Gambar 1. Distribusi Rumah Tangga Pertanian (%) Tahun 1983 dan 1993 Menurut Golongan Luas
Lahan yang Dikuasai (SP-83 dan SP-93)

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN 1MPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumatyanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Inman

5
Konversi Lahan Pertanian Produktif kelembagaan penunjang sistem pertanian pro-
duktif.
Sangat disayangkan bahwa dengan
rata-rata luas lahan pertanian yang sempit itu, Berbagai studi menunjukkan bahwa
dalam dua puluh tahun terakhir konversi lahan sampai saat ini berbagai kebijaksanaan yang
pertanian ke penggunaan non pertanian tidak ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan
berhasil dihindari atau diminimalkan. Konversi pertanian produktif belum efektif. Selain tiada-
itu terjadi akibat peningkatan kebutuhan lahan nya insentif ekonomi untuk mempertahankan
untuk pemukiman, perluasan jalan raya dan eksistensi lahan sawah, kebijakan pemerintah
pengembangan kawasan industri, terutama dalam bidang tata ruang wilayah sangat sering
terjadi di wilayah yang semula merupakan dilanggar. Disamping kurangnya law enforce-
areal pertanian dan tak dapat dipenuhi dari ment, hambatan pengendalian konversi lahan
lahan yang belum dibudidayakan. pertanian juga disebabkan karena tiadanya
data dukung yang memadai akibat sistem
Dalam batas-batas tertentu, konversi administrasi yang lemah. Konversi lahan per-
lahan pertanian sulit dihindarkan karena peru- tanian ke penggunaan lain tidak dipantau dan
bahan struktur perekonomian dan pertumbuh- didokumentasikan dengan baik. lni terbukti
an penduduk yang berimplikasi pada mening- antara lain dari beragamnya angka tentang
katnya kebutuhan tanah untuk tempat tinggal, konversi lahan pertanian yang dihasilkan oleh
pengembangan prasarana perhubungan, dan beberapa studi selama ini (Tabel 4) meskipun
lahan untuk pembangunan pabrik-pabrik dan metode estimasi yang dipergunakan tidak jauh
prasarana sosial lainnya dengan laju dan pola
berbeda.
yang tidak terkendali. Lahan-lahan pertanian
produktif dengan investasi yang mahal banyak
yang beralih fungsi. Sebagai ilustrasi, di Pulau Degradasi Kualitas Lahan Pertanian
Jawa saja dalam periode 1987 — 1992 rata-
rata sekitar 23 ribu hektar/tahun lahan sawah Degradasi lahan pertanian yang dihada-
beralih fungsi. Meskipun dampak positif yang pi Indonesia terutama berupa menurunnya
timbul akibat alih fungsi ini tak dapat dipungkiri kesuburan fisik dan kimia tanah akibat erosi
(penyerapan tenaga kerja, Produk Regional ataupun akibat penggunaan tanah yang over
Bruto, penghematan devisa), akan tetapi oleh intensive. Sejak krisis ekonomi, laju degradasi
karena pola sebarannya tak terkendali maka lahan pertanian cenderung meningkat karena
sejumlah dampak negatif tidak dapat dihindari perambahan hutan oleh masyarakat sekitar
seperti pemubaziran investasi di sektor perta- kawasan hutan. Sementara itu praktek per-
nian, hilangnya mata pencaharian petani/buruh tanian konservasi tidak berkembang dengan
tani, kapasitas pasokan pangan, degradasi baik karena tiadanya insentif ekonomi yang
fungsi sawah sekitarnya, maupun tercabutnya sepadan.

Tabel 4. Estimasi Konversi Lahan Sawah Menurut Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu

Lokasi Jenis lahan Estimasi


Tahun Referensi
(Cakupan) (ha/tahun)
1985 — 2000*) P. Jawa Barat Sawah 4 000 Delft Hydraulic (1989)
1981 — 1985 P. Jawa dan Bali Sawah irigasi 13 400 BCEOM (1988)
P. Jawa Sawah irigasi 20 000 JICA (1989)
1990 — 2000*) P. Jawa Sawah irigasi 22 500 Delft Hydraulic (1991)
P. Jawa Sawah 20 000 World Bank (1988)
Indonesia Sawah irigasi 25 900 Delft Hydraulic (1991)
1990 — 1995*) Indonesia Sawah 40 000 World Bank (1991)
1981 — 1985 P. Jawa dan Bali Sawah tadah hujan 5 700 BCEOM (1988)
1990 — 20001 P. Jawa Sawah tadah hujan 8 200 Delft Hydraulic (1989)
Sumber: Workshop on Autonomous Development in Rice held ini Cipanas, West Java, 6 — 17 September 1991
(unpubl.).
*) : proyeksi

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002 : 1 - 19


Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) nya rent seeking activity dalam transaksi tanah
kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun dengan memanfaatkan kelemahan sistem ad-
ke tahun. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang ministrasi tanah itu sendiri.
diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990,
meningkat menjadi 35 DAS dan pada tahun
TINJAUAN HISTORIS KEBIJAKSANAAN
1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS bahkan
AGRARIA DI INDONESIA
20 diantaranya terkategorikan sangat kritis.
Daerah-daerah aliran sungai tersebut terutama
Aspek sosial ekonomi pertanahan di
berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
Indonesia khususnya yang berkaitan dengan
(Sumaryanto dan Sudaryanto, 2001).
masalah pertanian tak dapat dilepaskan dari
Degradasi akibat penggunaan tanah warisan kolonial. Hal ini merupakan konse-
yang terlalu intensif tercermin dari kecende- kuensi logis dari sistem perundang-undangan
rungan terjadinya "lapar pupuk". Banyak infor- yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia
masi dari lapangan (petani) yang menyatakan Belanda selama 3 abad. Diantara berbagai
bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, perangkat hukum itu, yang paling mendasar
untuk sekedar mempertahankan produktivitas adalah Undang-Undang Agraria 1870 (Agra-
yang dicapai petani harus mengaplikasikan rische Wet). Dengan undang-undang itu, pihak
dosis pemupukan yang lebih tinggi. Hal ini swasta memperoleh kesempatan untuk mena-
diduga berkaitan dengan terkurasnya unsur- namkan modalnya (terutama dalam bidang
unsur tiara mikro dalam tanah maupun perkebunan) dan ada pengakuan terhadap
kesuburan fisik tanah akibat semakin habisnya hak-hak rakyat setempat (Hutagalung, 1985).
bahan organik yang terkandung dalam tanah Implementasi undang-undang tersebut mendo-
akibat intensitas tanam yang tinggi dan terlalu rong tumbuhnya perkebunan-perkebunan be-
mengandalkan pupuk an-organik makro sema- sar di Indonesia pada masa itu. Pada saat itu,
ta (N, P, K). Belanda yang didukung oleh kelompok liberal
mengharapkan bahwa pembebasan kegiatan
ekonomi itu akan dapat mendorong transfor-
Sistem Administrasi Pertanahan Lemah masi ke arah perekonomian modern (Wiradi,
dan Implementasi Undang-Undang 1990).
Penataan Ruang (UUPR 24/92) Tidak
Dengan ditetapkannya Undang-Undang
Konsisten
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pendataan dan sistem dokumentasi di Pokok-Pokok Agraria, Agarische Wet (Staat-
bidang pertanahan lemah dan ini merupakan blad 1870 No. 55) dicabut. Menurut ketentuan
salah satu sebab banyaknya kasus-kasus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
sengketa tanah yang tidak tuntas. Sementara Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
itu pelanggaran undang-undang tata ruang Bab II Pasal 162 disebutkan bahwa yang
dalam pemanfaatan tanah banyak terjadi. dimaksudkan dengan hak atas tanah men-
Dalam tataran empiris kelemahan sistem ad- cakup: (a) Hak milik, (b) Hak guna usaha, (c)
ministrasi tanah yang lemah itu merupakan Hak guna bangunan, (d) Hak pakai, (e) Hak
akibat simultan dari sejumlah faktor berikut: (a) sewa, (f) Hak membuka tanah, (g) Hak
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memungut hasil hutan, dan (h) Hak-hak lain
legalitas formal kepemilikan lahan masih yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
rendah, (b) Biaya administrasi tanah mahal, (c) atas yang akan ditetapkan dengan undang-
Lembaga yang berwenang menangani sistem undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
administrasi tanah kurang pro-aktif, dan (d) sebagai yang disebutkan dalam pasal 533
Kesulitan dalam memberantas berkembang- (Anonimous, 1993).

2 Pasal 16 Bab II ini mengacu pada Bab I Pasal 4 ayat (1) tentang Dasar-Dasar dan Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai hak
menguasai dari negara.
3 Pasal 53 termasuk dalam Bab IV yakni tentang Ketentuan-Ketentuan Peralihan. Pasal ini terdiri dari 2 ayat. Dalam ayat (1)
disebutkan bahwa hak-hak yang sifatnya sementara ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian.

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Inman

7
Konversi Lahan Pertanian Produktif kelembagaan penunjang sistem pertanian pro-
duktif.
Sangat disayangkan bahwa dengan
rata-rata luas lahan pertanian yang sempit itu, Berbagai studi menunjukkan bahwa
dalam dua puluh tahun terakhir konversi lahan sampai saat ini berbagai kebijaksanaan yang
pertanian ke penggunaan non pertanian tidak ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan
berhasil dihindari atau diminimalkan. Konversi pertanian produktif belum efektif. Selain tiada-
itu terjadi akibat peningkatan kebutuhan lahan nya insentif ekonomi untuk mempertahankan
untuk pemukiman, perluasan jalan raya dan eksistensi lahan sawah, kebijakan pemerintah
pengembangan kawasan industri, terutama dalam bidang tata ruang wilayah sangat sering
terjadi di wilayah yang semula merupakan dilanggar. Disamping kurangnya law enforce-
areal pertanian dan tak dapat dipenuhi dari ment, hambatan pengendalian konversi lahan
lahan yang belum dibudidayakan. pertanian juga disebabkan karena tiadanya
data dukung yang memadai akibat sistem
Dalam batas-batas tertentu, konversi
administrasi yang lemah. Konversi lahan per-
lahan pertanian sulit dihindarkan karena peru-
tanian ke penggunaan lain tidak dipantau dan
bahan struktur perekonomian dan pertumbuh-
didokumentasikan dengan baik. lni terbukti
an penduduk yang berimplikasi pada mening-
antara lain dari beragamnya angka tentang
katnya kebutuhan tanah untuk tempat tinggal,
konversi lahan pertanian yang dihasilkan oleh
pengembangan prasarana perhubungan, dan
beberapa studi selama ini (Tabel 4) meskipun
lahan untuk pembangunan pabrik-pabrik dan
metode estimasi yang dipergunakan tidak jauh
prasarana sosial lainnya dengan laju dan pola
berbed a .
yang tidak terkendali. Lahan-lahan pertanian
produktif dengan investasi yang mahal banyak
yang beralih fungsi. Sebagai ilustrasi, di Pulau
Degradasi Kualitas Lahan Pertanian
Jawa saja dalam periode 1987 — 1992 rata-
rata sekitar 23 ribu hektar/tahun lahan sawah Degradasi lahan pertanian yang dihacla-
beralih fungsi. Meskipun dampak positif yang pi Indonesia terutama berupa menurunnya
timbul akibat alih fungsi ini tak dapat dipungkiri kesuburan fisik dan kimia tanah akibat erosi
(penyerapan tenaga kerja, Produk Regional ataupun akibat penggunaan tanah yang over
Bruto, penghematan devisa), akan tetapi oleh intensive. Sejak krisis ekonomi, laju degradasi
karena pola sebarannya tak terkendali maka lahan pertanian cenderung meningkat karena
sejumlah dampak negatif tidak dapat dihindari perambahan hutan oleh masyarakat sekitar
seperti pemubaziran investasi di sektor perta- kawasan hutan. Sementara itu praktek per-
nian, hilangnya mata pencaharian petani/buruh tanian konservasi tidak berkembang dengan
tani, kapasitas pasokan pangan, degradasi baik karena tiadanya insentif ekonomi yang
fungsi sawah sekitarnya, maupun tercabutnya sepadan.

Tabel 4. Estimasi Konversi Lahan Sawah Menurut Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu

Lokasi Jenis lahan Estimasi


Tahun Referensi
(Cakupan) (ha/tahun)
1985 — 2000*) P. Jawa Barat Sawah 4 000 Delft Hydraulic (1989)
1981 — 1985 P. Jawa dan Bali Sawah irigasi 13 400 BCEOM (1988)
P. Jawa Sawah irigasi 20 000 JICA (1989)
1990— 2000*) P. Jawa Sawah irigasi 22 500 Delft Hydraulic (1991)
P. Jawa Sawah 20 000 World Bank (1988)
Indonesia Sawah irigasi 25 900 Delft Hydraulic (1991)
1990 — 1995*) Indonesia Sawah 40 000 World Bank (1991)
1981 — 1985 P. Jawa dan Bali Sawah tadah hujan 5 700 BCEOM (1988)
1990 — 20001 P. Jawa Sawah tadah hujan 8 200 Delft Hydraulic (1989)
Sumber: Workshop on Autonomous Development in Rice held ini Cipanas, West Java, 6 — 17 September 1991
(unpubl.).
*) : proyeksi

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002 1 - 19

6
Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) nya rent seeking activity dalam transaksi tanah
kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun dengan memanfaatkan kelemahan sistem ad-
ke tahun. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang ministrasi tanah itu sendiri.
diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990,
meningkat menjadi 35 DAS dan pada tahun
TINJAUAN HISTORIS KEBIJAKSANAAN
1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS bahkan
AGRARIA DI INDONESIA
20 diantaranya terkategorikan sangat kritis.
Daerah-daerah aliran sungai tersebut terutama
Aspek sosial ekonomi pertanahan di
berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
Indonesia khususnya yang berkaitan dengan
(Sumaryanto dan Sudaryanto, 2001).
masalah pertanian tak dapat dilepaskan dari
Degradasi akibat penggunaan tanah warisan kolonial. Hal ini merupakan konse-
yang terlalu intensif tercermin dari kecende- kuensi logis dari sistem perundang-undangan
rungan terjadinya "lapar pupuk". Banyak infor- yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia
masi dari lapangan (petani) yang menyatakan Belanda selama 3 abad. Diantara berbagai
bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, perangkat hukum itu, yang paling mendasar
untuk sekedar mempertahankan produktivitas adalah Undang-Undang Agraria 1870 (Agra-
yang dicapai petani harus mengaplikasikan rische Wet). Dengan undang-undang itu, pihak
dosis pemupukan yang lebih tinggi. Hal ini swasta memperoleh kesempatan untuk mena-
diduga berkaitan dengan terkurasnya unsur- namkan modalnya (terutama dalam bidang
unsur hara mikro dalam tanah maupun perkebunan) dan ada pengakuan terhadap
kesuburan fisik tanah akibat semakin habisnya hak-hak rakyat setempat (Hutagalung, 1985).
bahan organik yang terkandung dalam tanah Implementasi undang-undang tersebut mendo-
akibat intensitas tanam yang tinggi dan terlalu rong tumbuhnya perkebunan-perkebunan be-
mengandalkan pupuk an-organik makro sema- sar di Indonesia pada masa itu. Pada saat itu,
ta (N, P, K). Belanda yang didukung oleh kelompok liberal
mengharapkan bahwa pembebasan kegiatan
ekonomi itu akan dapat mendorong transfor-
Sistem Administrasi Pertanahan Lemah masi ke arah perekonomian modern (Wiradi,
dan Implementasi Undang-Undang 1990).
Penataan Ruang (UUPR 24/92) Tidak
Dengan ditetapkannya Undang-Undang
Konsisten
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pendataan dan sistem dokumentasi di Pokok-Pokok Agraria, Agarische Wet (Staat-
bidang pertanahan lemah dan ini merupakan blad 1870 No. 55) dicabut. Menurut ketentuan
salah satu sebab banyaknya kasus-kasus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
sengketa tanah yang tidak tuntas. Sementara Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
itu pelanggaran undang-undang tata ruang Bab II Pasal 162 disebutkan bahwa yang
dalam pemanfaatan tanah banyak terjadi. dimaksudkan dengan hak atas tanah men-
Dalam tataran empiris kelemahan sistem ad- cakup: (a) Hak milik, (b) Hak guna usaha, (c)
ministrasi tanah yang lemah itu merupakan Hak guna bangunan, (d) Hak pakai, (e) Hak
akibat simultan dari sejumlah faktor berikut: (a) sewa, (f) Hak membuka tanah, (g) Hak
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memungut hasil hutan, dan (h) Hak-hak lain
legalitas formal kepemilikan lahan masih yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
rendah, (b) Biaya administrasi tanah mahal, (c) atas yang akan ditetapkan dengan undang-
Lembaga yang berwenang menangani sistem undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
administrasi tanah kurang pro-aktif, dan (d) sebagai yang disebutkan dalam pasal 533
Kesulitan dalam memberantas berkembang- (Anonimous, 1993).

2
Pasal 16 Bab II ini mengacu pada Bab I Pasal 4 ayat (1) tentang Dasar-Dasar dan Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai hak
menguasai dari negara.
Pasal 53 termasuk dalam Bab IV yakni tentang Ketentuan-Ketentuan Peralihan. Pasal ini terdiri dari 2 ayat. Dalam ayat (1)
disebutkan bahwa hak-hak yang sifatnya sementara ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian.

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto. Syahyuti, Saptana dan Bambang lrawan

7
Masalah pertanahan tidak terjadi seketi- Bentuk penguasaan tanah beragam.
ka dan dinamikanya sangat dipengaruhi oleh Penguasan individual maupun kolektif ada
politik agraria (kebijaksanaan) yang diterap- pada satu daerah secara bersamaan (Van de
kan. Oleh sebab itu kajian historis sangat Kroef, 1984). Pola penguasaan tanah cende-
diperlukan untuk memahami masalah tersebut. rung berada di antara dua kutub yang ber-
Secara ringkas perubahan-perubahan politik lawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat
agraria di Indonesia dapat dibagi dalam tiga atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan
babak: (a) Masa feodalisme, (b) Masa kolo- dengan beberapa hak istimewa komunal.
nialisme, dan (c) Masa kemerdekaan sampai
Oleh karena hak penguasaan tanah ada
sekarang (Syahyuti, 2001).
pada kerajaan, maka perolehan bagi petani
sangat terbatas. Akibatnya, komersialisasi pe-
desaan tidak berjalan dan investasi pertanian
Masa Feodalisme
mandeg. Penguasaan tanah oleh kerajaan,
Sebagaimana dinyatakan oleh Schrieke menjadi alat politik pihak kerajaan untuk me-
(1955), salah satu fenomena menonjol dalam ngontrol seluruh warga, terutama pembantu-
era ini adalah insentif bagi petani untuk pembantunya di level desa. Kepatuhan dari
meningkatkan produksi lemah karena bagian pembantu di tingkat desa terbentuk melalui
terbesar surplus produksi hanyalah untuk pe- pemberian "tanah lungguh" kepada mereka
merintah (kerajaan). Legitimasinya didasarkan yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak
atas peranan pemerintah (raja) dalam memba- kerajaan.
ngun konstruksi irigasi dan jalan, menjamin
keamanan, serta penyediaan bangunan lum-
bung padi. Sampai dengan tahun 1800 belum Masa Pemerintahan Kolonial
terjadi perubahan mendasar pada struktur
Meskipun pemerintahan kolonial mene-
praktek agraria tersebut (Wertheim, 1956).
rapkan politik agraria yang berbeda dari masa
Pada abad 18 sampai awal abad 19, sebelumnya, tetapi pengaruhnya bagi masya-
secara umum di Jawa dikenal 3 kelas sosial rakat relatif sama, karena dalam praktek pe-
masyarakat berdasarkan ragam penguasaan merintah kolonial menggunakan tenaga golo-
tanah, yaitu: (1) Petani tuna-kisma (2) Petani ngan elit feodal sebelumnya, yaitu para bupati
(disebut "sikep" atau "kuli") yang memiliki hak dan pembantu-pembantunya dengan pola
atas tanah, namun berkewajiban membayar kerja yang sama. Pada era sistem tanam
pajak dan upeti kepada pihak kerajaan, dan (3) paksa (1830 — 1870), petani diwajibkan mena-
Pamong desa yang selain menguasai tanah nam komoditas ekspor yang harus dijual
pribadi, juga berhak menguasai sejumlah kepada pemerintah dengan harga yang telah
besar tanah desa sebagai upah mereka dalam ditetapkan. Tanam paksa ini pada dasarnya
mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah merupakan penyatuan antara sistem penye-
bengkok), ditambah hak mempekerjakan sikep rahan wajib dan sistem pajak tanah, dimana
atau kuli untuk mengarap tanah mereka terse- pajak dibayar dalam bentuk natura (hasil
but tanpa membayar upah. panen).
Menurut Wiradi (2000), kepemilikan me- Selama masa tanam paksa, memang
nurut konsep Barat (property atau eigendom) terjadi peningkatan ekspor komoditi perkebun-
tidak dikenal pada masa itu, bahkan juga bagi an, terutama kopi dan gula. Namun, program
penguasa. Tanah bukannya dimiliki pejabat tanam paksa telah menjadi faktor penting yang
atau penguasa, tetapi para penguasa itu da- bertanggungjawab terhadap keterbelakangan
lam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas dan kemiskinan di Indonesia. Dengan tanam
hamparan lahan dalam wilayahnya yang paksa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari
dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat Indonesia ke Belanda serta memperbanyak
mereka pertahankan, dan secara teroitis mem- kaum "proletariat desa" (Sritua Arief dan Adi
punyai hak untuk menguasai, menggunakan, Sasono dalam Suwarsono dan So, 1991).
ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai Oleh sebab itu apa yang terjadi selama masa
dengan adat yang berlaku. penjajahan adalah dominasi dan eksploitasi

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002: 1 - 19

8
sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepen- penggarap dengan kewajiban menyerahkan
tingan penjajah (Fauzi, 1999). sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.
Bersamaan dengan munculnya iklim po-
litik yang bercorak liberalisme di Belanda,
Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde
pihak swasta di sana menuntut diberi kesem-
Baru)
patan untuk membuka perkebunan di Indone-
sia. Untuk itu pemerintah Belanda mengeluar- Masa Orde Lama ditandai dengan kela-
kan Undang-Undang Agararia tahun 1870 hiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5
(Agrarische Wet) yang memungkinkan sistem tahun 1960. Dari produk hukum ini terlihat
penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk bahwa pemerintah memberi perhatian serius
perkebunan. Peraturan ini menjadi dasar terhadap pentingnya permasalahan agraria
peraturan agraria di Indonesia, namun bersifat sebagai landasan pokok dalam pembangunan
dualistis karena bagi orang asing berlaku pertanian dan pedesaan (Wiradi, 2000). Ke-
hukum barat, dan bagi rakyat Indonesia berla- giatan land reform yang ideal pernah berjalan
ku hukum adat. Disini dimungkinkan untuk setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian
memiliki tanah secara mutlak (hak eigendom) gagal karena ditunggangi oleh muatan politik,
termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak khususnya oleh Partai Komunis Indonesia
lain. (PKI).
Tujuan UU tersebut adalah untuk mem- Sesungguhnya UUPA tersebut menen-
berikan kesempatan Iuas bagi modal swasta tang kapitalisme yang melahirkan kolonialis-
asing yang memang berhasil secara gemilang. me, dan menentang sosialisme yang diang-
Tetapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan gap meniadakan hak-hak individu atas tanah
memperkuat hak alas tanah bagi bangsa (Fauzi, 1999). Politik agraria yang terkandung
Indonesia asli ternyata jauh dari harapan dalam UUPA 1960 adalah politik populisme,
(Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para mengakui hak individu atas tanah dengan
raja dan sultan balk di Jawa maupun di Luar tetap memperhatikan "fungsi sosial". Melalui
Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi prinsip hak menguasai oleh negara, pemerin-
kepada para penguasa swasta asing. tah mengatur agar tanah dapat dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Pemerintah kolonial juga melakukan
sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD
kebijakan sistem sewa tanah kepada petani,
1945.
meskipun kurang berhasil (Fauzi, 1999).'Kebi-
jakan ini dilandasi asumsi, bahwa tanah ada- Sepanjang pemerintahan Orde Baru,
lah milik Belanda. Sistem sewa ini diterapkan land reform sangat sedikit diperhatikan. Meski-
dengan harapan akan dapat memberikan ke- pun demikian, usaha privatisasi tanah tetap
bebasan dan kepastian hukum serta merang- diusahakan pemerintah melalui program sertifi-
sang untuk menanam tanaman dagang kepa- kasi tanah. Pada periode ini, modernisasi
da petani. Selain itu juga diharapkan kebijakan pertanian dengan program revolusi hijau men-
ini dapat menjaga kelestarian pendapatan jadi prioritas, sementara pemecahan masalah
pemerintah. Pada tahap selanjutnya, sistem pertanahan tidak tertangani secara sistematis
sewa ini diarahkan untuk tujuan ekspor de- dan konsisten.
ngan mengundang swasta-swasta besar dari
Pembangunan pertanian dengan meng-
Belanda.
introduksikan tekonologi maju dan efisien di
Kesimpulannya adalah bahwa pemerin- satu sisi mampu mengatasi masalah kekura-
tah kolonial telah memilih pola penguasaan ngan pangan, tetapi di sisi lain tidak sedikit
atas tanah, disewa atau dengan pajak, seba- dampak negatif yang timbul. Program revolusi
gai instrumen yang penting dalam memajukan hijau dipercaya telah menimbulkan polarisasi
pertanian dan pendapatan pemerintah kolo- sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya pene-
nial. Bagi petani, nasib yang dialami akibat gasan stratifikasi, dan terusirnya kelompok
penerapan politik agraria di masa Belanda petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro,
tidaklah banyak berbeda dengan politik agraria 1999).
di masa kerajaan. Petani tetaplah seorang

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti. Saptana dan Bambang Inman

9
Penelitian Amaluddin (1987) di Kendal jumlah penduduk terus meningkat; respon
Jawa Tengah menyimpulkan bahwa perubah- yang umum di Jawa menurut Geertz (1976)
an sistem penguasaan tanah menyebabkan adalah apa yang disebutnya dengan fenomena
perubahan sistem produksi pertanian. Sebe- "involusi pertanian". Masyarakat yang berben-
lum tahun 1960, ada tiga jenis hak pengua- tuk komunal (Temple, 1976) melakukan adap-
saan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak tasi organisasi produksi sedemikian rupa,
banda desa, hak narawita; serta satu yang dimana dengan tanah yang tersisa, lembaga
bersifat individual yaitu hak yasan. Penerapan desa menjamin seluruh orang yang meng-
UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi inginkan memperoleh pekerjaan, sehingga
tanah yang semula berdasarkan hukum adat setiap warga terjamin kebutuhan subsisten-
(komunal) menjadi hak milik. Hak narawita, sinya.
secara de facto sudah menjadi milik individual,
Konflik agraria yang terjadi di masa
sehingga penjualan tanah berkembang, pe-
kolonial bersifat struktural-vertikal, dan terjadi
luang tunakisma untuk menggarap mengecil,
pengkutuban antara rakyat sebagai buruh di
dan mobilitas penguasaan cenderung terpola-
satu pihak dengan pemilik modal swasta asing
risasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi
(Suhendar dan Winarni, 1998). Konflik struk-
yang semula dilandasi nilai-nilai tradisional
tural-vertikal ini berubah menjadi konflik hori-
digantikan oleh sistem produksi komersial.
zontal semenjak kemerdekaan (masa Orde
Dalam konteks yang lebih luas, Hayami dan
Lama), dimana terjadi pergeseran wilayah
Kikuchi (1987) juga menemukan kesamaan
konflik menjadi konflik antara buruh tani dan
dampak revolusi hijau di Indonesia dan
petani miskin dengan tuan-tuan tanah atau
Filipina. Tranformasi sistem sosial pedesaan
petani kaya yang menolak UUPA 1960.
seperti itu, juga didukung oleh temuan Temple
(1976) yang melihat adanya evolusi desa Jawa Pada masa Orde Baru, konflik kembali
dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan bersifat struktural-vertikal yang bercirikan kon-
desa tradisional (1870-1959), dan terakhir de- flik-konflik lokal dan sporadis. Respon petani
sa komersial bersamaan dengan era revolusi cenderung berubah menjadi perlawanan fisik.
hijau. Sementara pada waktu yang bersamaan,
kelompok buruh tani dan petani bertanah
Dad uraian ini dapat disimpulkan bahwa
sempit yang tidak mencapai skala ekonomi
perubahan sistem penguasaan tanah sangat
secara pasti "terusir" dari desanya karena tidak
terkait dengan perkembangan teknologi perta-
dapat menggantungkan nafkahnya dari beker-
nian, struktur perekonomian desa, dan pada
ja di desa. Migrasi ke kota dengan bekerja di
akhirnya terkait pula dengan struktur sosial sektor informal merupakan fenomena paling
masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu seperti
umum (Tjondronegoro, 1999).
dinyatakan dalam Todaro (1983), pembangun-
an pertanian hams terintegrasi dengan pemba- Sebagaimana dinyatakan dalam Pros-
ngunan pedesaan. terman (2002), selama periode 1960 — 2000
berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional
(BPN), total lahan yang diredistribusikan dalam
SIMPUL-SIMPUL STRATEGIS DALAM rangka program land reform adalah sekitar
TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA 850 ribu hektar yang berarti sekitar 3 persen
dari total lahan pertanian yang didayagunakan
(cropland in use). Jumlah rumah tangga
Respon dan Kondisi Petani Dalam penerima redistribusi tanah adalah 1.292.851
Kaitannya Dengan Kebijakan Agraria keluarga dengan rata-rata luas 0,66 hektar.
Dad angka-angka itu, sekitar 339 ribu hektar
Respon petani terhadap kebijakan pe- berlokasi di Pulau Jawa (6 persen dari lahan
merintah melalui mekanisme agraria beragam total lahan pertanian di wilayah ini), jumlah
dan dinamis. Pada masa feodal, petani peng- rumah tangga penerima 816 849 KK dengan
garap cenderung "berproduksi secukupnya" rata-rata luas 0,42 hektar. Dibandingkan de-
(Schrieke, 1955). Sikap ini diambil sebagai ngan jumlah rumah tangga potensial yang se-
bentuk perlawanan politik yang "tidak terang- harusnya menerima redistribusi tanah, angka-
terangan". Menghadapi tekanan tanam paksa angka tersebut termasuk sangat rendah;
dengan komoditas ekspor kolonial, sementara

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002: 1 - 19

10
apalagi jika diperbandingkan dengan pelaksa- semula, kelembagaan transaksi lahan yang
naan land reform yang pernah dilakukan oleh berlaku, serta kesempatan kerja luar pertanian
Jepang (1948), Taiwan (1953) ataupun yang berkembang; pada akhirnya kondisi
Vietnam Selatan (1970). tersebut mendorong terjadinya proses peru-
bahan struktur penguasaan tanah yang me-
Pengaruh respon petani terhadap kebi-
ngarah pada polarisasi ataupun diferensiasi.
jaksanaan di bidang agraria bersifat timbal
balik dengan perkembangan pertanian (tekno- Bersamaan dengan perubahan pola hu-
logi dan kelembagaan). Dalam konteks demi- bungan kerja pertanian tersebut sistem kelem-
kian, pelajaran yang dapat ditarik dari revolusi bagaan lokal yang semula sangat berperan
hijau berikut segala implikasinya menarik sebagai jaring pengaman sosial ternyata
untuk disimak. semakin kehilangan vitalitasnya. Sementara itu
perbedaan kesejahteraan antara penduduk
Di Indonesia, revolusi hijau terjadi
kaya dengan penduduk miskin semakin mele-
bertepatan dengan masa rezim Orde Baru.
bar.
Pada periode ini, kebijakan di bidang agraria
yang mengarah pada perbaikan struktur Selain dinamika yang terjadi dalam
penguasaan tanah pertanian dapat dikatakan sektor pertanian, pada saat yang sama terjadi
tidak pernah mengemuka. Bahkan secara pula perubahan struktur perekonomian. Proses
empiris, yang terjadi adalah sebagian petani urbanisasi (proses perubahan budaya pede-
justru terpaksa kehilangan tanah garapan dan saan menjadi budaya urban) meluas dan
terpaksa berpindah lokasi karena lokasinya merambat dengan cepat dari pusat-pusat
terkena pembangunan waduk. Sebagian dari pertumbuhan ekonomi. Di tengah sistem admi-
petani yang terpaksa pindah lokasi tersebut nistrasi pertanahan yang lemah dan memu-
ada yang tetap menjadi petani karena dapat darnya kelembagaan di pedesaan maka pasar
memperoleh lahan garapan pengganti (di tanah menjadi semakin ramai karena orang-
lahan transmigrasi atau di desa lain); ada pula orang kaya perkotaan juga semakin akses
yang kemudian beralih profesi ke usaha non terhadap pasar tanah di pedesaan. Pada
pertanian dengan berbekal uang dari hasil perkembangan selanjutnya, sosok tanah seba-
ganti rugi tanah. Proses pemindahan dan atau gai "komoditi" yang dapat diperjual belikan
ganti rugi tersebut sebagian berjalan lancar secara bebas semakin nyata. Hal ini, menurut
tetapi tak sedikit pula yang bermasalah karena Wiradi (1996) sebenarnya berbahaya karena
petani merasa dirugikan. akan melahirkan praktek-praktek monopoli dan
spekulasi tanah.
Seiring dengan meningkatnya produkti-
vitas pertanian akibat pemanfaatan bibit
unggul dan penggunaan pupuk serta pestisida
Hubungan antara Struktur Penguasaan
secara intensif, revolusi hijau juga mengubah
Tanah dengan Distribusi Pendapatan
kelembagaan hubungan kerja pertanian di
pedesaan. Sistem kerja sambat-sinambat se- Meskipun secara agregat pangsa sektor
makin hilang, sistem upah harian berganti pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB)
menjadi borongan, sistem tebasan berkem- Indonesia semakin menurun (pertengahan
bang, waktu tanam cenderung serentak, dan dasa warsa 90-an adalah sekitar 20 persen).
pengolahan tanah cenderung mengandalkan Sedangkan pangsa sektor industri dan jasa
tenaga mekanis. Bukan itu saja, dalam sistem semakin tinggi, akan tetapi jumlah penduduk
bawon, hasil panen yang menjadi bagian untuk yang menggantungkan nafkahnya dari sektor
buruh proporsinya juga menurun sehingga pertanian masih sangat besar (sekitar 48
kenaikan tingkat upah riil yang diterima buruh persen). Bagian terbesar dari penduduk negeri
tani tidak sebanding dengan kenaikan keun- ini masih menggantungkan nafkahnya dari
tungan bersih pemilik tanah. Terutama di sektor pertanian. Sensus Pertanian 1993
desa-desa pesawahan, kompensasi terhadap menunjukkan bahwa ternyata petani-petani
faktor produksi untuk tanah naik secara dengan luas penguasaan tanah yang sempit
menyolok dan mendorong pemilik uang untuk juga terpaksa menggantungkan nafkah utama-
mengakumulasikan penguasaan tanah. Ter- nya dari usahatani (Gambar 2).
gantung pada struktur penguasaan tanah

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Irawan
Penguasaan lahan < 0,25 Ha Penguasaan lahan 0,25 - 0,50 Ha

Gambar 2. Sebaran Rumah Tangga Petani Kecil Menurut Luas Lahan yang Dikuasai dan
Penghasilan Utama, 1993.

serangkaian hasil penelitian yang dilakukan


Struktur penguasaan tanah yang tim-
oleh para peneliti Studi Dinamika Pedesaan
pang tersebut merupakan salah satu sumber
(SDP) pada rentang waktu 1979 - 1982 (lihat:
utama ketimpangan pendapatan rumah tangga
Wiradi dan Makali, 1984; Mintoro, 1984;
di pedesaan. Sangat banyak hasil penelitian
Kasryno, 1984; Soentoro, 1984). Gambaran
yang memperoleh kesimpulan seperti itu.
*pada akhir dasa warsa 90-an dapat disimak
Nurmanaf (2001) dengan menggunakan desa
misalnya dari penelitian pada komunitas petani
sebagai unit analisis (78 desa tersebar di 6
di desa-desa sawah di 19 desa (tersebar di 4
Provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera
Kabupaten) di DAS Brantas (Tabel 5) sebagai-
Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Sula-
mana ditunjukkan pada penelitian Sumaryanto
wesi Selatan tahun 1988-1989), memperoleh
et al. (2002). Sedangkan untuk penelitian
kesimpulan bahwa pada pedesaan yang
dengan populasi rumah tangga pedesaan
berbasis pertanian maka ketimpangan penda-
dapat disimak dari penelitian PATANAS seba-
patan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan
gaimana dilaporkan dalam Adnyana, et a/.
struktur pemilikan tanah. Hal serupa sesung-
(2000) maupun Susilowati et a/. (2001).
guhnya telah menggejala sejak akhir dasa-
warsa 70-an. Bagaimana itu terbentuk, apa Dad serangkaian hasil-hasil penelitian
peranan kesempatan kerja luar pertanian itu dapat disimputkan bahwa selama tiga puluh
dalam mengurangi dampak dari struktur pe- tahun terakhir ini upaya memperkecil pengaruh
nguasaan tanah di pedesaan yang timpang itu, ketimpangan penguasaan tanah terhadap ke-
dan bagaimana kelembagaan penguasaan timpangan pendapatan di pedesaan ternyata
tanah pada saat itu dapat disimak dari belum membawa hasil. Mungkin salah satu

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani di Wilayah Pesawahan DAS Brantas, 1999/2000

Kelompok menurut Rumah Pangsa masing-masing sumber


Pendapatan per tahun (Rp. 000)
luas pemilikan tangga pendapatan (%)
sawah (Ha) (%) Per kapita Per Rumah tangga Usahatani Buruh tani Lainnya
0 23,1 969,5 4236,1 50,1 17,3 32,6
0< L =< 0,5 53,5 1174,5 4537,8 73,0 5,8 21,2
0,5 < L =< 1,0 17,7 1559,4 6417,7 73,0 1,8 25,2
> 1,0 5,6 3479,1 17187,0 76,4 - 23,6
Total 100,0 1324,9 5512,4 67,9 7,4 24,7
Sumber: Sumaryanto et al., 2002.

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002 : 1 - 19

12
penyebab utamanya adalah, seperti yang sanaan aturan hukum dapat dijalankan dengan
dinyatakan dalam Kasryno (1984), sangat ter- tegas serta konsisten, dan koordinasi lintas
tinggalnya kenaikan tingkat upah jika diperban- sektor yang solid dapat diwujudkan.
dingkan dengan kenaikan produktivitas usaha-
tani dan kurang berkembangnya investasi di Dengan asumsi bahwa Tap MPR RI
pedesaan yang mampu mendorong proses Nomor IX/MPR/2001 mencerminkan aspirasi
pull out tenaga kerja ke luar sektor pertanian politik bangsa, maka landasan politik untuk
(dengan produktivitas yang lebih tinggi) secara pembaruan agraria telah dicanangkan. Seba-
signifikan. Stagnasi upah tenaga kerja pertani- gaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Tap MPR
an tersebut tercermin pula dari analisis per- RI Nomor IX/MPR/2001, arah kebijakan pem-
baruan agraria adalah:
kembangan bagian hasil untuk tenaga kerja
dari data Biro Pusat Statistik sebagaimana (a) Melakukan pengkajian ulang terhadap ber-
dilaporkan dalam Sumaryanto dan Rusastra bagai peraturan perundang-undangan
(1999). Pada tahun 1972, pangsa untuk yang berkaitan dengan agraria dalam
tenaga kerja upahan masih mencapai 18,7 rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor
persen, namun tahun 1989 menurun menjadi demi terwujudnya peraturan perundang-
15,9 persen, dan pada tahun 1996 hampir tak undangan yang didasarkan pada prinsip-
berubah kalau tak dapat dikatakan menurun prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5
yakni menjadi 15,5 persen (Tabel 6). Ketetapan ini.
(b) Melaksanakan penataan kembali pengua-
Prakondisi untuk Pelaksanaan Pembaruan saan, pemilikan, penggunaan dan peman-
Agraria faatan tanah (land reform) yang berkeadil-
an dengan memperhatikan kepemilikan
Pembaruan agraria merupakan program tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian
besar yang pelaksanaannya membutuhkan maupun tanah perkotaan.
dukungan politik yang kuat, ketegasan dan
konsistensi dalam pelaksanaan, koordinasi (C) Menyelenggarakan pendataan pertanahan
lintas sektor yang solid, bahkan oleh karena melalui inventarisasi dan registrasi pe-
interdependensi antar bangsa dalam era glo- nguasaan, pemilikan, penggunaan dan
balisasi sangat kuat, maka pengaruh Iingku- pemanfaatan tanah secara komprehensif
ngan strategis juga perlu diperhitungkan. dan sistematis dalam rangka pelaksanaan
land reform.
Secara implisit hal itu menunjukkan bahwa
pelaksanaan pembaruan agraria membutuh- (d) Menyelesaikan konflik-konflik yang berke-
kan suatu pemerintahan yang kuat agar pelak- naan dengan sumberdaya agraria yang

Tabel 6. Perkembangan Bagian Hasil Menurut Faktor Produksi

Harga Pangsa nilai faktor (%)


Produktivitas
Tahun Output Sarana
(Kg/Ha) Tenaga Kerja Surplus *)
(Rp/Kg) produksi
1972 3.228 55 22,44 18,37 59,19
Pulau Jawa 1989 4.958 233 19,12 13,76 67,12
1996 5.176 433 19,04 14,88 66,08
1972 3.066. 19 11,98 11,34 76,68
Luar Jawa 1989 3.495 258 11,37 14,24 74,39
1996 3.740 447 11,27 12,67 76,06
1972 3.171 17 18,68 22,05 59,27
Indonesia 1989 4.254 243 15,87 13,96 70,17
1996 4.424 439 15,54 13,87 70,59
Sumber: Survey Pertanian (1972) dan Struktur Ongkos Usahatani Padi & Palawija (1989, 1996) - BPS (diolah).
Bagian hasil untuk keuntungan, kompensasi management dan untuk tanah.

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang frawan

13
timbul selama ini sekaligus dapat mengan- • Siapa yang Iayak menerima lahan dari land
tisipasi potensi konflik dimasa mendatang reform (petani kecil, buruh tani, rumah tang-
guna menjamin terlaksananya penegakan ga miskin, dan sebagainya).
hukum dengan didasarkan atas prinsip-
prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 • Haruskah pihak penerima tanah membayar
Ketetapan ini. harga tanah yang mereka terima (berapa
dan bagaimana sistem pembayarannya).
(e) Memperkuat kelembagaan dan kewena-
ngannya dalam rangka mengemban pelak- • Haruskah pihak penerima tanah dilarang
sanaan pembaruan agraria dan menyele- untuk mengalihkan hak atas tanahnya kepa-
saikan konflik-konflik yang berkenaan de- da pihak lain (untuk jangka waktu berapa
ngan sumberdaya agraria yang terjadi. tahun aturan diberlakukan, pengertian apa
saja yang tercakup dalam definisi pengalihan
(f) Mengupayakan pembiayaan dalam melak- hak atas tanah kepada pihak lain).
sanakan program pembaruan agraria dan
penyelesaian konflik-konflik sumberdaya • Siapa saja atau lembaga apa saja yang la-
agraria yang terjadi. yak berperan serta dalam lembaga pelak-
sana program land reform (di tingkat pusat,
Mengacu Pasal 6 Tap tersebut, setidak- provinsi, kabupaten/kodya, kecamatan, de-
nya ada 6 agenda permasalahan yang perlu sa, kampung) dan bagaimana prosedur
ditindak lanjuti, yaitu: (a) Identifikasi tanah- pembentukan kelembagaan tersebut, struk-
tanah yang bisa diperoleh untuk didistribusi- turnya, cakupan kewenangannya, dan seba-
kan, (b) Identifikasi kelompok masyarakat yang gainya.
akan menerima tanah, (c) Proses perolehan
dan redistribusi tanah, (d) Fokus terhadap Dari sejumlah permasalahan yang perlu
wilayah dimana program land reform akan dikaji dan ditindak lanjuti tersebut tampak
diterapkan, (e) Pembiayaan program land bahwa sejumlah permasalahan awal harus
reform, dan (f) Hambatan politik terhadap dibenahi terlebih dahulu, yakni: (a) Sistem
program land reform. Penjabaran lebih lanjut administrasi pertanahan, (b) Delineasi wilayah
agenda permasalahan ini akan menyangkut program land reform, (c) Penentuan tolok ukur
sejumlah pertanyaan berikut (Prosterman, untuk identifikasi salon penerima tanah land
2002): reform maupun yang tanahnya akan didistribu-
sikan, (d) Dasar perhitungan dalam penentuan
• Tanah apakah yang layak didistribusikan un- kompensasi maupun pembiayaan land reform
tuk program land reform (tanah HGU yang yang harus ditanggung oleh pemerintah. Se-
sudah habis masa berlakunya, tanah yang mentara itu harus dipecahkan pula permasa-
melebihi batas maksimal pemilikan, tanah lahan yang timbul di sejumlah wilayah akibat
absentee, tanah komunal, tanah perkebunan perbedaan sistem penguasaan tanah menurut
yang kurang terawat, dan sebagainya). negara dan menurut hukum adat. Pelaksanaan
land reform memang merupakan suatu proses
• Tanah dalam kategori pendayagunaan se-
yang kompleks dan membutuhkan waktu yang
perti apakah yang akan didistribusikan (sa-
panjang. Perumusan strategi jangka pendek,
wah, tegal/huma/ladang, pekarangan, ke-
menengah, dan panjang harus dilakukan seca-
bun, dan sebagainya).
ra seksama untuk mencegah gejolak sosial
• Apakah program land reform selektif wilayah yang bukan saja dapat menyebabkan net
ataukah di seluruh wilayah Indonesia. social benefit dari program land reform
menjadi negatif, tetapi bahkan dapat menye-
• Berapakah luas tanah yang seharusnya di- babkan kemunduran taraf perkembangan so-
berikan kepada penerima tanah dalam prog- sial ekonomi secara keseluruhan.
ram land reform.
• Kompensasi apa yang seharusnya diberikan Perluasan Areal Pertanian, Transmigrasi,
pemerintah untuk mengganti tanah obyek dan Penciptaan Kesempatan Kerja Luar
land reform (berapa, dalam bentuk apa, Pertanian di Pedesaan.
bagaimana cara pembayaran, dan sebagai-
nya). Dalam tataran empiris keputusan politik
untuk melaksanakan land reform sesungguh-

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002: 1 - 19

14
nya lebih banyak didorong oleh semangat un- kajian-kajian sosial ekonomi (bahkan budaya)
tuk memperbaiki distribusi pendapatan. Pe- secara komprehensif.
ngaruh land reform terhadap perbaikan kinerja
Perluasan areal pertanian yang layak
efisiensi produksi, pemasaran, dan pening-
adalah di luar Pulau Jawa. Implikasinya,
katan nilai tambah agregat masih menjadi
aktivitas ini perlu dibarengi dengan mobilitas
bahan perdebatan karena berbagai hasil pene-
penduduk ke kawasan bukaan baru tersebut
litian memperoleh kesimpulan beragam.
(transmigrasi). Untuk itu, reformulasi kebijak-
Menyimak perkembangan dalam sepu- sanaan transmigasi perlu dilakukan agar
luh tahun terakhir, kebutuhan terhadap per- ekses-ekses negatif yang timbul dari ketidak-
luasan areal pertanian sangat dirasakan ur- harmonisan pendatang dengan komunitas se-
gensinya. Secara empiris kebutuhan akan tempat dapat dihindari.
perluasan pertanian terlihat dari kecenderung-
Telah menjadi pengetahuan umum
an mengeksploitasi tanah secara berlebih.
bahwa (meskipun tidak secara langsung) pe-
Dalam konteks ini, intensitas tanam yang tinggi
ningkatan penyerapan tenaga kerja ke luar
sesungguhnya menampilkan dua wajah. Inten-
sektor pertanian di pedesaan dapat mengura-
sitas tanam yang tinggi, di satu sisi merupakan
ngi ketimpangan pendapatan yang diakibatkan
cerminan dari meningkatnya kemampuan
oleh ketimpangan penguasaan tanah. Akan
petani memaksimumkan potensi lahan yang
tetapi secara empiris, ternyata pengembangan
dikuasai, akan tetapi sebenarnya dalam kasus-
kesempatan kerja luar pertanian di pedesaan
kasus tertentu hanyalah merupakan tindakan
masih jauh dari sasaran yang diinginkan.
yang terpaksa harus dilakukan karena cara
Terdapat empat faktor utama yang menjadi
lain untuk meningkatkan pendapatan tidak
penyebabnya, yakni: (a) Pengembangan in-
dapat ditempuh.
dustri dan jasa berbasis sumberdaya domestik
Perluasan areal pertanian tidak semata- kurang berkembang karena ketidaktepatan
mata ditempuh melalui konversi hutan menjadi dalam mewujudkan aktivitas industri yang
lahan budidaya. Dalam jangka pendek, me- sinergis dengan aktivitas pertanian, (b) Kecen-
ningkatkan pendayagunaan lahan-lahan ter- derungan terkonsentrasinya pertumbuhan in-
lantar atau yang selama ini didefinisikan oleh dustri di wilayah urban, (c) Arus modal inves-
BPS sebagai "sementara tidak diusahakan" tasi antar sektor dan wilayah tidak sesuai
(pada tahun 2000 diperkirakan ada 9,7 juta dengan kondisi yang dibutuhkan untuk me-
hektar, BPS) tampaknya lebih realistis dan ngembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi
tidak harus mengorbankan hutan. Untuk itu yang kompatibel dengan kualifikasi angkatan
informasi lebih rinci sangat dibutuhkan tentang kerja yang harus diserap, dan (d) Pengem-
berapa, dimana, bagaimana konfigurasinya bangan kualitas angkatan kerja tidak mencapai
(terkonsolidasi ataukah terpencar-pencar), sasaran.
kondisi kesesuaian lahannya, status pengua-
Meningkatnya penyerapan tenaga kerja
saannya.
pedesaan ke sektor luar pertanian produktif
Walaupun masih memerlukan perleng- (pull out) diharapkan berdampak ganda. Di
kapan informasi yang lebih rinci, aspek teknis satu sisi untuk mengurangi tekanan penduduk
dari informasi pertanahan di Indonesia pada atas tanah dan apabila proses ini dibarengi
saat ini telah cukup tersedia. Dengan meman- dengan konsolidasi usahatani maka kondusif
faatkan teknoiogi kecerdasan buatan (artificial untuk meningkatkan efisiensi produksi dan
intelligence) telah disusun suatu sistem pakar pemasaran. Di sisi lain, mengurangi ketergan-
untuk mengevaluasi dengan cepat alternatif tungan pendapatan rumah tangga dari peng-
komoditi yang sesuai dan sistem produksi garapan lahan sehingga ketimpangan struktur
yang tepat untuk suatu lahan (Amien, 1986). penguasaan tanah tidak harus mengakibatkan
Terkecuali untuk Irian Jaya, peta-peta agro- ketimpangan pendapatan.
ekologi dan alternatif pengembangan perta-
Semestinya dampak simultan dari per-
nian untuk seluruh wilayah Indonesia telah
luasan areal pertanian, transmigrasi, dan
disusun (Amien et al., 1994a; Amien et al.,
penciptaan lapangan kerja luar pertanian si-
1994b, Amien, 1994). Sudah barang tentu ini
nergis dengan pelaksanaan program land
saja tidak cukup dan sangat membutuhkan
reform, karena secara tidak langsung kondusif

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti. Saptana dan Bambang Inman

15
untuk mencegah/mencairkan proses kristali- Dalam jangka pendek — menengah, se-
sasi atau terbentuknya lapisan sosial tertentu iring dengan penciptaan prakondisi maupun
yang antusiasmenya untuk memperoleh tanah perumusan program dan berbagai kebijaksa-
sangat eksesif ("lapar tanah") yang mudah naan yang ditujukan untuk pelaksanaan pem-
terprovokasi kepentingan politik yang menga- baruan agraria adalah penting untuk secara
rah pada pertentangan kelas. Sudah barang sistematis meningkatkan kesempatan kerja
tentu pembiayaan program-program ini harus- luar sektor pertanian produktif di pedesaan,
lah efisien guna menghindari pengalihan ang- perluasan areal pertanian dan mendorong
garan yang terlampau besar dari anggaran mobilitas penduduk ke wilayah yang kepa-
yang semestinya diperuntukkan bagi tindak datan agrarisnya rendah. Program ini penting
lanjut pembaruan agraria. karena selain dapat merupakan jawaban ter-
hadap sejumlah permasalahan yang dihadapi
sektor pertanian terkini, juga dapat meringan-
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI kan beban permasalahan yang dihadapi dalam
KEBIJAKSANAAN proses pelaksanaan pembaruan agraria.
Perlu digaris bawahi bahwa pelaksanaan
Sektor pertanian sangat berkepentingan
pembaruan agraria sebagaimana dinyatakan
dengan tindak lanjut pembaruan agraria. Se-
dalam Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 memer-
lain diharapkan dapat memperbaiki struktur
lukan iklim yang kondusif berupa pemerin-
penguasaan tanah sehingga kondusif untuk
tahan yang kuat, pelaksanaan hukum yang
meningkatkan kinerja usaha pertanian yang
tegas dan konsisten, serta koordinasi lintas
berkelanjutan, pembaruan agraria diharapkan
sektor yang solid. Kesemuanya itu dibutuhkan
mampu memperbaiki distribusi pendapatan ko-
agar sejumlah gejolak sosial yang mungkin
munitas petani maupun masyarakat pedesaan
muncul selama proses pembaruan agraria
pada umumnya.
berlangsung tidak sampai menimbulkan ekses
Dalam tataran teoritis, lahirnya Tap MPR negatif dengan biaya sosial yang teramat
RI Nomor IX/MPR/2001 mencerminkan komit- besar.
men politik untuk melakukan pembaruan agra-
Sebagai catatan penutup, menyadari
ria. Sesuai dengan hierarki hukum yang ber-
bahwa permasalahan di bidang pertanahan
laku, Tap tersebut merupakan landasan hu-
dimensinya sangat luas dan kompleks maka
kum untuk merumuskan kebijaksanaan pem-
tulisan ini tidak berpretensi untuk mengajukan
baruan agraria yang salah satu arahnya ada-
suatu alternatif pemecahan. Informasi, data
lah berupa program land reform atau dalam
dan pembahasan yang telah dikemukakan
konteks yang lebih luas berupa reforma
lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas
agraria.
pemahaman permasalahan sehingga pihak-
Mengingat peranan tanah dalam peri pihak yang berkepentingan dalam perumusan
kehidupan masyarakat sangat strategis, peru- kebijaksanaan dapat bertindak lebih arif.
musan dan pelaksanaan program land reform
membutuhkan pendekatan multi disiplin dan
lintas sektor, serta persiapan sangat matang DAFTAR PUSTAKA
dan seksama dengan mempertimbangkan ber-
bagai implikasinya yang sangat luas. Sejumlah
Adnyana, M.O., Sumaryanto, R. Kustiari, S. H.
agenda penting harus dibenahi terlebih dahulu
Susilowati, Supriyati. 2000. Assesing
antara lain: sistem administrasi pertanahan,
the Rural Development Impact of the
pengembangan konsep untuk delineasi wila-
Crisis in Indonesia. Center for Agro-
yah program land reform, perumusan konsep
Socioeconomic Research (CASER) in
dan penentuan tolok ukur untuk identifikasi
collaboration with The World Bank.
calon penerima tanah land reform maupun
yang tanahnya akan didistribusikan, serta Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polari-
dasar perhitungan dalam penentuan kompen- sasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulu-
sasi maupun pembiayaan land reform yang gede, Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: UI
harus ditanggung oleh pemerintah maupun Press.
calon penerima tanah.

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002 : 1 - 19

16
Amien, L. I. , H. Sosiawan dan E. Susanti. Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema
1994a. Agroekologi dan Alternatif Pe- Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Eko-
ngembangan pertanian di Kalimantan. nomi Terhadap Perubahan Kelembaga-
Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya an di Asia. Jakarta: Yayasan Obor
Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Indonesia.
Kalimantan (Palangkaraya 5 — 8 Okto-
Hutagalung, A. S. 1985. Program Redistribusi
ber 1993). Pusat Penelitian Tanah dan
Tanah di Indonesia: Sarana ke Arah
Agroklimat pp. 93 — 114.
Pemecahan Masalah Penguasaan Ta-
Amien, L. I. 1986. Expert System for Agri- nah dan Pemilikan Tanah. Rajawali,
cultural System and Crop suitability in Jakarta.
The Tropics. Agricultural Research &
Kasryno, F. 1984. Suatu Alternatif Pengem-
Development Journal 8 (3&4): 72 — 75.
bangan Ekonomi Pedesaan. Dalam
Amien, L. I. 1994. Agroekologi dan Alternatif Kasryno (Penyunting). 1984. Prospek
Pembangunan Pertanian di Sumatera. Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Ya-
Jurnal Penelitian dan Pengembangan yasan Obor Indonesia, Jakarta. p. 386 -
Pertanian 13 (1): 1 —8. 410.
Amien, L. I., H. Sosiawan dan E. Susanti. Latief, D. 1996. Kebijaksanaan Penataan
1994b. Agroekologi dan Alternatif Pe- Ruang Dalam Pembangunan Daerah.
rtgembangan Pertanian di Sulawesi, Dalam Hermanto et al. (Penyunting):
Nusa Tenggara dan Maluku. Prosiding Persaingan Dalam Pemanfaatan Sum-
Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan berdaya Lahan dan Air: Dampaknya
Untuk Pengembangan Kawasan Timur Terhadap Keberlanjutan Swasembada
Indonesia (Palu 17 — 20 Januari 1994). Pangan. Prosiding Lokakarya, Hasil
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Kerjasama Pusat Penelitian Sosial
pp. 239 — 264. Ekonomi Pertanian dengan Ford
Foundation.
Anonimous, 1993. Himpunan Peraturan Per-
undang-Undangan Bidang Tata Ruang Mintoro, A. 1984. Distribusi Pendapatan di
(Jilid I). Biro Hukum, Sekretariat Wila- Pedesaan. Dalam Kasryno (Penyun-
yah/Daerah Tingkat I Jawa Timur. ting). 1984. Prospek Pembangunan
Ekonomi Pedesaan. Yayasan Obor
Barlow, R. 1972. Land Resource Economics.
Indonesia, Jakarta. 263 - 291.
Prentice-Hall, Inc., New Jersey.
Nasoetion, L. I. 1994. Kebijaksanaan Peta-
Fauzi, N. 2002. Land Reform Sebagai Varia-
nahan Nasional Dalam Mendukung
bel Sosial: Perkiraan Tentang Rintangan
Pembangunan Ekonomi: Pengalaman
Politik dan Finansial Pelaksanaan Land
Masa Lalu, Tantangan dan Arah ke
Reform. Makalah disampaikan dalam
Masa Depan. Makalah Orasi Ilmiah
Seminar "Mengkaji Kembali Land
Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Fakultas
Reform di Indonesia", Badan Pertanah-
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
an Nasional (BPN), Land Law Initiative
(LLI) dan Rural Development Institut Nasoetion, L. I. dan J. Winoto. 1996. Masalah
(RDI), Jakarta 8 Mei — 2002. Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dam-
paknya Terhadap Keberlanjutan Swa-
Fauzi, N. 1999. Petani dan Penguasa: Dina- sembada Pangan. Dalam Hermanto et
mika Perjalanan Politik Agraria Indone-
al. (Penyunting): Persaingan Dalam
sia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Pustaka Pelajar.
Air: Dampaknya Terhadap Keberlanjut-
Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian: Proses an Swasembada Pangan. Prosiding
Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakar- Lokakarya, Hasil Kerjasama Pusat Pe-
ta: Bhratara K.A. nelitian Sosial ekonomi Pertanian de-
ngan Ford Foundation.
Hardjosudarmo, S. 1970. Masalah Tanah di
Indonesia. Bhratara. Jakarta.

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti. Saptana dan Bambang Inman

17
Nasoetion, L. I. dan S. Saefulhakim. 1994. an Dalam Era Otonomi Daerah" yang
Rural Land Use Management for Eco- diselenggarakan Pusat Penelitian Sosial
nomic Development. Paper Presented Ekonomi Pertanian di Bogor, 16 — 17
at the Seminar on Agricultural Land Use November 1999.
Management, Organized by Asian Pro-
Sumaryanto dan T. Sudaryanto. 2001.
ductivity Organization (APO) Tokyo 8th -
Perubahan Paradigma Pendayagunaan
18th November 1994. Sumberdaya Air dan Implikasinya Ter-
Nurmanaf, A. R. 2001. An Analysis of Econo- hadap Strategi Pengembangan Produk-
mic Inequalities Between Households in si Pangan. Forum Agro Ekonomi Vol. 19
Rural Indonesia: Some of its causes and (2): 66 — 79.
implications for policy development.
Sumaryanto, I. Amien dan M. H. Sawit. 1996.
(The Dissertation Findings in Brief).
Beberapa Permasalahan Sosial Ekono-
Faculty of Business and Computing,
mi Pertanahan di Indonesia. Dalam
Southern Cross University Australia.
Handoko, I. et al. (Penyunting): Sistem
Prosterman, R. 2002. Concept for Land Evaluasi Lahan Otomatis. Prosiding
Reform on Java. Paper prepared under Seminar 'Automated Land Evaluation
the Land Law Initiative funded by the System'. Pusat Penelitian Sosial Ekono-
United States Agency for International mi Pertanian bekerja sama dengan
Development; presented at the Seminar Jurusan Geofisika dan Meteorologi,
"Mengkaji Kembali Land Reform di FMIPA-IPB dan CIIFAD, Cornel Univer-
Indonesia", Badan Pertanahan Nasional sity.
(BPN), Land Law Initiative (LLI) & Rural
Sumaryanto, M. Siregar dan Wahida. 2002.
Development Institut (RDI), Jakarta 8
Penguasaan Tanah, Sistem Usahatani
Mei — 2002.
dan Pendapatan Rumah Tangga Petani
Scherr, S. J. and S. Yaday. 1996. Land di Daerah Pesawahan Beririgasi DAS
Degradation in the Developing World: Brantas. Laporan Penelitian Pusat
Implications for Food, Agriculture, and Penelitian dan Pengembangan Sosial
the Environtment to 20202. International Ekonomi Pertanian bekerja sama de-
Food Policy Research Institute (IFPRI), ngan IFPRI (draft).
Washington, D.C. Susilowati S.H, Supriyati, A. Zakaria, Supadi.
Schrieke, B. 1955. Indonesians Sociological 2001. Studi Dinamika Ekonomi Pedesa-
Studies. Vol. 2 Part One. Bandung: W. an (PATANAS): Usahatani, Ketenaga
van Hoeve - The Hague. kerjaan, Pendapatan dan Konsumsi.
Laporan Hasil Penelitian. Pusat Peneli-
Soentoro. 1984. Penyerapan Tenaga Kerja tian dan Pengembangan Sosial Ekono-
Luar Sektor Pertanian di Pedesaan. mi Pertanian.
Dalam Kasryno (Penyunting). 1984.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pede- Suwarsono dan A. Y. So. 1991. Perubahan
saan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sosial dan Pembangunan. Jakarta:
p. 202 — 218. LP3ES.
Suhendar, E. 1994. Pemetaan Pola-Pola Syahyuti. 2001. Pengaruh Politik Agraria
Sengketa Tanah di Jawa Barat. Yaya- Terhadap Perubahan Pola Penguasaan
san AKATIGA. Bandung. Tanah dan Struktur Pedesaan di
Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 19
Suhendar, E. dan Y. B. Winarni. 1998. Petani (1): 21 — 32.
dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan
AKATIGA. Temple, G.P. 1976. Mundurnya Involusi Perta-
nian: Migrasi, Kerja dan Pembagian
Sumaryanto dan I.W. Rusastra. 1999. Struktur Pendapatan di Pedesaan Jawa. Prisma
Penguasaan Tanah dan Hubungannya No. 3 April 1976.
Dengan Kesejahteraan Petani. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Tjondronegoro, S. M. P. 1999. Revolusi Hijau
"Pembangunan Pertanian dan Pedesa- dan Perubahan Sosial di Pedesaan

FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002: 1 - 19

18
Jawa. Dalam: keping-Keping Sosiologi Wiradi, G. 1990. Masalah Pertanahan di
dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Indonesai Dalam Perspektif sejarah.
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departe- Makalah disampaikan dalam Seminar
men Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sehari: Tanah, Rakyat dan Keadilan da-
lam Dinamika Pembangunan. Lappesa
Todaro, M. P., 1983. Pembangunan Ekonomi
— Surabaya.
di Dunia Ketiga (terjemahan). Ghalia
Indonesia, Jakarta. Wiradi, G. 1996. Jangan Perlakukan Tanah
sebagai Komoditi. Jurnal "Analisis So-
Van de Kroef. 1984. Penguasaan Tanah dan
sial. Edisi 3 Juli 1996.
Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (hal.
145-167). Dalam: SMP Tjondronegoro Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan
dan Gunawan Wiradi (ed). 1984. Dua yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist
Abad Penguasaan Tanah: Pola Pengua- Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
saan Tanah Pertanian di Jawa dari
Wiradi, G. dan Makali. 1984. Penguasaan Ta-
Masa Ke Masa. Jakarta: PT Gramedia.
nah dan Kelembagaan. Dalam Kasryno
Wertheim, W.F. 1956. Indonesian Society in (Penyunting). 1984. Prospek Pemba-
Transition: A Study of Social Change. ngunan Ekonomi Pedesaan. Yayasan
Second Edition. Penerbit "Sumur Ban- Obor Indonesia, Jakarta. p. 43 — 104.
dung", Bandung.
4

MASALAH PERTANAHAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINDAK LANJUT PEMBARUAN AGRARIA
Sumaryanto, Syahyuti. Saptana dan Bambang lrawan

19

Anda mungkin juga menyukai