Anda di halaman 1dari 48

RESUME SKILLS LAB

“ CR 3 ’’

Nama : Jovin Rafid Ramadhan


NPM : 119170083
Kelompok : 11A
Semester/Blok : 3 / 3.2

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
SKENARIO CR 3

Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam


disertai kesemutan.
STEP 1
Keluhan utama demam disertai kesemutan

STEP 2
MIND MAP

DEMAM KESEMUTAN

Avian Flu Rabies


Arthritis Rheum atoid
Swine Flu Meningitis
Neuropati Diabetik
Ensafalitis
Antrax Spondylosis
DEMAM & KESEMUTAN

 RABIES
 DEFINISI
Rabies pada manusia merupakan penyakit radang susunan saraf pusat yang
fatal. Penyakit ini merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh
rhabdovirus, ditularkan pada manusia melalui gigitan hewan yang menderita
rabies.
 ETIOLOGI

Rabies merupakan penyakit virus menular yang disebabkan oleh virus


dari Family Rhabdoviridae dan Genus Lyssavirus. Virus rabies mempunyai
bentuk menyerupai peluru dan tersusun atas RNA, protein, lemak, dan
karbohidrat. Virus ini berukuran panjang antara 150-260 nm, lebar 100-130
nm, diameter 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-bentuk paku
(spikes) dengan ukuran panjang 9 nm. Virus rabies dapat menginfeksi hewan
berdarah panas serta manusia dan menyebabkan kerusakan pada sistem saraf
pusat. Hewan berdarah panas yang dapat tertular rabies antara lain yaitu
anjing, kucing, kelelawar penghisap darah, rakun, dan sapi. Hewan pembawa
rabies (HPR) yang paling banyak menularkan rabies ke manusia dan hewan
lainnya adalah anjing (Menezes, 2008). Hingga saat ini, penularan rabies oleh
kelelawar penghisap darah dan rakun belum pernah terjadi di Indonesia
(Dharmojono, 2001), sedangkan kejadian rabies pada manusia dan sapi
bersifat accidential.
Virus rabies memiliki inti yang dikelilingi oleh ribonukleoprotein
yang disebut kapsid, yang berkombinasi dengan inti membentuk nukleokapsid.
Nukleokapsid dibungkus oleh kapsomer, dan di luarnya terdapat envelope
dengan spikes pada permukaannya. Envelope mengandung lipida yang peka
terhadap zat pelarut lemak (detergen, ether, kloroform, dan aceton), ethanol
45-70%, dan iodium. Virus rabies dapat hidup dalam bangkai hewan yang
tertular oleh virus ini. Pada pemanasan 56C, virus dapat bertahan hingga 30
menit, dan 2-3 menit pada pemanasan kering 100C. Apabila disimpan dalam
gliserin 50%, virus dapat bertahan hidup hingga dua tahun. Dalam gliserin
yang tidak diencerkan, virus dapat bertahan hidup selama beberapa lama
dalam suhu kamar dan beberapa bulan dalam temperatur 4C. Dalam keadaan
kering beku dengan penyimpanan 4C, virus dapat tahan hingga beberapa
tahun. Pada penyimpanan -70C virus dapat bertahan hidup hingga waktu yang
tak terbatas. Dalam air liur dengan suhu udara panas, virus dapat bertahan
hidup selama 24 jam (Dharmawan, 2009).

 PATOGENESIS

Sebagian besar penularan virus rabies terjadi melalui gigitan


anjing yang telah terinfeksi rabies. Virus masuk ke dalam tubuh melalui luka
bekas gigitan hewan terinfeksi rabies dan luka terbuka yang terpapar saliva
dari hewan pembawa rabies yang telah terinfeksi. Penularan rabies juga dapat
terjadi melalui jilatan hewan, transplantasi kornea, dari donor terinfeksi rabies
(Mattos et al., 2001). Bahkan vaksin rabies inaktif yang menyebabkan infeksi
rabies juga pernah dilaporkan. Selain itu, rabies juga dapat masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernafasan yang terluka dan terkena air liur yang
mengandung penyakit rabies, melalui saluran pencernaan yang terluka saat
memakan bahan makanan yang tercemar virus rabies, serta terbawa angin dan
masuk ke dalam kornea mata (Dharmojono, 2001). Virus yang masuk ke
dalam tubuh akan bereplikasi di neuromuscular junction dan kemudian
menjalar melalui lapisan lemak sistem saraf menuju sistem saraf pusat (Childs
dan Real, 2002).
Di dalam sistem saraf pusat, virus rabies kemudian menyebar dan
memperbanyak diri dalam neuron. Virus berpredileksi di sel-sel sistem limbik,
hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron, virus
kemudian bergerak ke arah perifer dalam serabut saraf eferen maupun
saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir setiap organ tubuh
penderita dan berkembang biak pada jaringan seperti kelenjar ludah (Andriani,
2015).
 MANIFESTASI KLINIS
Terdapat lima fase gejala rabies pada manusia, yaitu fase prodormal,
fase sensoris, fase neurologik akut, fase furiuos, dan fase koma (Dharmawan,
2009). Masa inkubasi rabies pada manusia sangat bervariasi antara 2-8
minggu, tetapi ada juga dari 10 hari sampai 8 bulan atau lebih tetapi rata-rata
6 bulan. Namun ada beberapa ahli yang mengatakan bahwasanya masa
inkubasi rabies juga dapat mencapai waktu 5 tahun. Lama tidaknya masa
inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti dosis virus yang masuk
melalui gigitan, tempat gigitan, jarak gigitan dengan susunan saraf pusat
dan keparahan luka gigitan .
1. Fase Prodormal
Pada fase prodormal gejala yang muncul umumnya bersifat ringan
dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Penyakit diawali dengan
perasaan tidak tenang serta gelisah kemudian demam, sakit kepala, nafsu
makan menurun dan badan terasa lamah.

2. Fase Sensoris
Pada fase sensoris penderita merasa nyeri, panas, dan kesemutan di
daerah yang pernah digigit hewan pembawa rabies disertai dengan
kesemutan pada bekas luka dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap rangsangan sensoris. Selain itu nafsu makan menurun, muntah,
sakit perut, kondisi tubuh melemah, sakit kepala, merasa kedinginan,
terbakar dan gatal.
3. Fase Eksitasi
Fase eksitasi sering diikuti dengan hyperesthesia, kepekaan terhadap
sinar dan bunyi, dilatasi pupil dan peningkatan saliva. Perkembangan
penyakit diikuti dengan spasmus otot-otot pengunyah, dan penolakan saliva
karena kontraksi muskulus. Gangguan fungsi menelan sering terlihat pada
sebagian besar pasien sebagai akibat dari kontraksi spasmus muskulus
larygopharyngeal ketika melihat air dan berhenti menelan ludahnya.
Selanjutnya juga dapat mengakibatkanspasmus otot-otot respiratorius dan
terjadilah kejang umum. Fase eksitasi ini bertahan sampai pasien meninggal.
Penyakit biasanya berakhir dalam waktu 2-6 hari dan umumnya diakhiri
dengan kematian (Acha dan Szyres,1987).

4. Fase Paralisis
Biasanya pasien yang mengalami rabies akan meninggal pada tahap
eksitasi. Namun terkadang ditemukan pula kasus tanpa gejala
eksitasi, melainkan terjadi paresis otot – otot yang bersifat progresif. Hal ini
dikarenakan terjadi gangguan sumsung tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis yang dijumpai pada bagian terendah dari
medulla oblongata, dimana saraf tulang belakang berasal (Soeharsono,
2002).
 DIAGNOSIS
Rabies dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan terhadap perubahan
perilaku yang ditunjukkan oleh penderita. Selain itu, pemeriksaan laboratorium
juga perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Cara yang paling mudah
dan cepat untuk melakukan diagnosis terhadap rabies adalah dengan menemukan
adanya badan inklusi atau negri body pada sampel sel otak hewan terduga
rabies. Pemeriksaan ini memerlukan preparat sentuh dari jaringan otak hewan
yang telah menggigit atau menunjukkan gejala klinis rabies dengan metode
Seller. Dengan metode ini, badan inklusi menunjukkan warna magenta dengan
granul kecil berukuran 0,2-0,5 µm berwarna basofil pada bagian interiornya.
Metode ini memiliki keuntungan dari segi ekonomi karena mudah dan cepat,
yaitu 5-10 menit dengan spesifisitas hingga hampir 100%. Namun, metode ini
juga memiliki kelemahan berupa sensitivitas yang rendah, yaitu dapat mencapai
30%. Kurang sensitifnya metode Seller tersebut, maka diperlukan metode lain
dengan sensitivitas lebih tinggi, seperti metode Indirect Fluorescent Antibody
Technique (IFAT) atau inokulasi pada hewan percobaan (Soeharsono, 2002).
Metode IFAT memerlukan waktu yang lebih lama dari metode Seller, yaitu dua
jam, dan harus dilakukan di laboratorium yang memiliki mikroskop khusus
IFAT. Akan tetapi metode ini jauh lebih akurat dari metode Seller karena
memiliki sensitivitas hingga mendekati
100%.

Apabila setelah pemeriksaan dengan metode IFAT dan atau inokulasi pada
hewan percobaan didapatkan hasil yang negatif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan dengan uji biologik. Pemeriksaan ini memakan waktu
lebih lama dari metode IFAT, yaitu mencapai 4-21 hari. Kini diagnosis rabies
dilaporkan juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknik monoklonal
antibodi pada anjing penderita rabies (Astawa et al., 2010). Untuk mendukung
hasil diagnosis laboratorium, maka terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
di lapangan untuk mengawal kasus teduga kuat rabies, yaitu:
1. Apabila terdapat hewan yang menggigit manusia, maka hewan tersebut
harus ditangkap dan diobservasi untuk melihat perkembangan penyakit rabies.
Observasi dilakukan selama 10-15 hari pada hewan yang menggigit tersebut.
Riwayat penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Mahardika
et al., (2009) menyatakan bahwa jika tanpa adanya tindakan provokasi, anjing
dapat terduga kuat rabies rabies di lapangan, jika ada indikasi sebagai berikut:
a. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit satu orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 25%.
b. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit dua orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 50%.
c. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit tiga orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 75%.
d. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit empat orang tanpa
provokasi, maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 100%.
2. Dilakukan penelusuran terhadap jumlah korban gigitan yang digigit oleh
hewan yang sama.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang bermakna.
 DIAGNOSIS BANDING
Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat, Japanese encephalitis, Herpes simplex,
Ensefalitis post-vaksinasi.
 TATALAKSANA
1. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari
rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme otot ataupun untuk
mencegah penularan.
2. Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40- 70%, tinktura yodii atau larutan ephiran. Jika terkena
selaput lendir seperti mata, hidung atau mulut, maka cucilah kawasan tersebut
dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka dan vaksinasi.
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala
rabies. Penanganan hanya berupa tindakan suportif berupa penanganan gagal jantung
dan gagal nafas.
4. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila serumheterolog (berasal dari serum kuda)
Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya, sisanya
disuntikkan secara IM. Skin test perlu dilakukan terlebih dahulu. Bila serum
homolog (berasal dari serum manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang
sama.
5. Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) pada
hari pertama kunjungan.
6. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal
sebagai post-exposure prophylaxis atau “PEP”VAR secara IM pada otot deltoid atau
anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau
rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/
rekomendasi Depkes RI).
7. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila
digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3,
namun bila gigitan berat vaksin diberikan lengkap.
8. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan dan
genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah
setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan setengah dosis IM pada tempat yang
berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama
SAR.

 KOMPLIKASI
1. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus, disfungsi otonomik yang menyebabkan
hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia, aritmia dan henti jantung.
2. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering bersamaan dengan aritmia dan dyspneu.

 Konseling dan Edukasi

1. Keluarga ikut membantu dalam halpenderita rabies yang sudah menunjukan gejala rabies
untuk segera dibawa untuk penanganan segera ke fasilitas kesehatan. Pada pasien
yang digigit hewan tersangka rabies, keluarga harus menyarankan pasien untuk
vaksinasi.
2. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan setempat.
 Kriteria Rujukan

1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.


2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
neurolog.
 Prognosis

Prognosis pada umumnya buruk, karena kematian dapat mencapai 100% apabila
virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal karena sekali gejala rabies terlihat,
hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari sesudahnya, sebagai akibat gagal napas
atau henti jantung. Jika dilakukan perawatan awal setelah digigit anjing pengidap
rabies, seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR, maka angka survival mencapai
100%.

 MENINGITIS
 DEFINISI
Meningitis
adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
3
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri
adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus
serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan
droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
17
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama
pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain
melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan
yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak.

ETIOLOGI
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun
(prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus,
dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr
(Epstein Barr virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan
gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata.
Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus
Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar kejadian
epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya
sekitar 5−10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab
yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di
tempat penitipan anak (day care). Mikroorganisme seperti Klamidia dan
Mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di
negara Inggris dan Skandinavia pernah dilaporkan infeksi Arcobacterium
haemolyticum. Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi
infeksi virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi biasanya
bukan merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut. Beberapa bakteri
tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, Bacteroides fragilis, Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus,
spesies Fusobacterium, dan spesies Peptostreptococcus.
 PATOFISIOLOGI
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di
organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,
Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran
bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi

bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan


reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem
ventrikulus.Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-
sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan
histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear
24
dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses
radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-
neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri.
 MANIFESTASI KLINIS

Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas


mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang
jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya,
meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala
anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid
sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah,
sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap
lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan
nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus
influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus,
dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya
dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga
bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri
otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau
purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa
terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang
nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang
hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal
ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma.

 DIAGNOSIS

Dokter akan mulai diagnosis meningitis dengan menanyakan gejala yang dialami
oleh pasien. Kemudian, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik.Pada pemeriksaan
fisik, dokter akan menilai ada tidaknya demam, peningkatan detak jantung, kaku
leher, dan penurunan tingkat kesadaran. 

Trias klasik diagnosis awal meningitis adalah demam, nyeri kepala, dan kaku
kuduk. Pungsi lumbal masih menjadi pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis
meningitis.

 Anamnesis

Pasien dengan meningitis biasanya akan memperlihatkan trias klasik, yaitu


demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk. Keluhan ini akan terjadi beberapa jam sampai
2 hari setelah onset. Keluhan lain yang dapat timbul pada pasien dengan kecurigaan
meningitis adalah mual, muntah, fotofobia, penurunan kesadaran atau disorientasi.

Setelah itu, dokter dapat menganjurkan serangkaian pemeriksaan penunjang yang


meliputi:

 Tes darah

Tes ini bertujuan mendeteksi ada tidaknya bakteri dalam darah. 


 Pemindaian

CT scan atau MRI di kepala bisa dianjurkan untuk mendeteksi pembengkakan atau


inflamasi. Pemeriksaan pencitraan juga dapat dilakukan dengan CT scan dada atau
sinus untuk menunjukkan infeksi di daerah lain yang berhbungan dengan meningitis.

 Pengambilan sampel cairan serebrospinal

Untuk pemeriksaan yang lebih akurat, sampel cairan serebrospinal dalam tulang
belakang akan diambil dengan prosedur pungsi lumbal. Melalui sampel ini, dokter
akan mengukur kadar gula, sel darah putih, dan protein.Meningitis dapat dideteksi
dengan kadar gula yang rendah dan kadar sel darah putih serta protein yang tinggi.

 Tes DNA atau antibodi

Mendeteksi kehadiran virus di cairan serebrospinal dengan metode tes DNA


atau antibodi juga bisa dilakukan guna mengetahui jenis virus yang menyebabkan
meningitis.

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan
jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur
(-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa
menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju
Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja.
Disamping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila
mungkin dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid,
sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada.
 TATALAKSANA

Terapi antibiotika empirik pada meningitis bakteri : pemberian


ceftriaxone 2 gram tiap12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8
jam iv (level evidence III B). Sedangkan terapi alternatif : meropenem 2 gram
tiap 8 jam iv (level evidence III C) atau chloramphenicol 1 gram tiap 6 jam iv.
Pada pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau sefalosporin maka
diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah vancomycin 60 miligram
(mg)/kilogram (kg)/24 jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance)
setelah dosis loading 15 mg/kg (level evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai
adalah listeria maka diberikan ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam iv (level
evidence IVA) (Chaudhuri et al., 2008).
Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis
pneumokokus termasuk spesies streptokokusyang sensitif terhadap penicillin
diberikan benzyl penicillin 250.000 Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4
gram tiap 4 jam) (level evidence IVA) atau ampicillin/amoxicillin 2
gram tiap 4 jam atau ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2 gram tiap
6–8 jam. Sedangkan terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level
evidence IVA) atau vancomycin 60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan
creatinine clearance) setelah dosis loading 15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg
tiap 12 jam (level evidence IVC) atau moxifloxacin 400 mg tiap hari (level
evidence IVC). ii).Pada pneumokokus yang kurang sensitif terhadap pengobatan
penicillin atau sefalosporin diberikan ceftriaxone atau cefotaxime ditambah
vancomycin ± rifampicin (level evidence IV). Terapi alternatif : moxifloxacin,
meropenem atau linezolid 600 mg dikombinasi dengan rifampicin (level evidence
IV). iii). Pada meningitis meningokokus diberikan benzyl penicillin atau
ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV). Terapi alternatif: meropenem atau
chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv). Pada kuman
H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IVC).
Terapi alternatif : chloramphenicol–ampicillin/amoxicillin (level evidence IVC).
v). Pada meningitis listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4 jam
± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence
IVC). Terapi alternatif : trimethoprim– sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12
jam atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada spesies stafilokokus diberikan
flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau vancomycin jika alergi
terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga diberikan
sebagai tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant
staphylococcal meningitis (level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram
negatif diberikan ceftriaxone atau cefotaxime atau meropenem. viii). Pada
meningitis pseudomonas diberikan meropenem ± gentamicin (Chaudhuri et al.,
2008).
Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis
bakteri tidak di ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New
Zealand pada kasus meningitis meningokokel dewasa menunjukkan pemberian
benzyl penicillin iv berhasil sebagai terapi meningitis. Belum adanya uji klinis
pada orang dewasa, maka rekomendasi lama pemberian terapi antibiotika
didasarkan pada standar praktek.Lama pemberian antibiotika yang
direkombinasikan adalah : a. Meningitis bakteri yang tidak spesifik selama 10
sampai 14 hari (level evidence IVC). b. Meningitis pneumokokus selama 10
sampai 14 hari (level evidence IVA). c. Meningitis meningokokal selama 5
sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama 7 sampai 14 hari
(level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level evidence
IVB). f. Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai 28
hari (level evidence IVB) (Chaudhuri et al., 2008).
Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan
meningitis bakteri menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian
antibiotika menyebabkan peradangan pada ruang subaraknoid. Keparahan respon
inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat dikurangi dengan pemberian
steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah dilakukan
untuk mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak
dan orang dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap
penggunaan deksametason pada meningitis bakteri telah banyak dilakukan.
Deksametason merupakan glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai
anti inflamasi dan mempunyai sifat imunosupresif serta memiliki penetrasi yang
sangat baik dalam CSS. Pada suatu penelitian meta analisa tahun 1988,
deksametason telah terbukti mengurangi gangguan pendengaran pada anak akibat
meningitis yang disebabkan oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al.,
1997). Sedangkan pada meta analisa oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan
bahwa pemberian deksametason tidak mengurangi angka kematian pada meningitis
bakteri anak tetapi menurunkan kejadian gangguan pendengaran dari 20% pada
kelompok kontrol dimana 15% mendapatdeksametason (Relative Risk (RR)
0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89) (Brouwer et al.,2010). Sedangkan
pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol di Eropa didapatkan bahwa
pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian pertama kali
antibiotika berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang tidak
menguntungkan (RR 0.59, 95%; CI 0.37- 0.94) dan menurunkan angka kematian
(RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van de Beek, 2002). Dari lima uji klinis
didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan
penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala sisa
neurologi (RR 0,6; CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan
di dapatkan pada pasien meningitis pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de
Beek dan de Gans, 2004). Pada penelitian lain didapatkan penurunan kasus
kematian pada pasien dengan meningitis pneumokokus sebesar 21% (RR 0,5; CI
0,3-0,8) (van de Beek et al., 2004).Pada meningitis meningokokus, di mana jumlah
insiden sedikit, ada titik perkiraan menguntungkan untuk mencegah kematian (RR
0,9; CI 0,3-2,1) dan neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7), tetapi efek ini tidak
mencapai statistik makna. Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua kasus
meningitis pneumokokus dewasa baik yang imunokompeten atau
imunokompromise adalah 10 mg tiap 6 jam selama 4 hari (level evidence IA).
Prognosis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik


yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis
meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia
neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek,

34
yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian. Pengobatan antibiotika
yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta, tetapi 50%
dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10%
penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian
meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita
mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8

3
minggu. Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala
klinis yanglebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral
memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 –

35
2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.

 COVID-19

Definisi
Berdasarkan Panduan Surveilans Global WHO untuk novel Corona-virus 2019
(COVID-19) per 20 Maret 2020, definisi infeksi COVID-19 ini diklasifikasikan
sebagai berikut:14 1. Kasus Terduga (suspect case) a. Pasien dengan gangguan napas
akut (demam dan setidaknya satu tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk,
sesak napas), DAN riwayat perjalanan atau tinggal di daerah yang melaporkan
penularan di komunitas dari penyakit COVID-19 selama 14 hari sebelum onset
gejala; atau b. Pasien dengan gangguan napas akut DAN mempunyai kontak dengan
kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19 dalam 14 hari terakhir sebelum onset;
atau c. Pasien dengan gejala pernapasan berat (demam dan setidaknya satu
tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas DAN memerlukan rawat
inap) DAN tidak adanya alternatif diagnosis lain yang secara lengkap dapat
menjelaskan presentasi klinis tersebut. 2. Kasus probable (probable case) a. Kasus
terduga yang hasil tes dari COVID-19 inkonklusif; atau b. Kasus terduga yang hasil
tesnya tidak dapat dikerjakan karena alasan apapun. 3. Kasus terkonfirmasi yaitu
pasien dengan hasil pemeriksaan laboratorium infeksi COVID-19 positif, terlepas
dari ada atau tidaknya gejala dan tanda klinis.

Epidemiologi
Hingga 28 Maret 2020, jumlah kasus infeksi COVID-19 terkonfirmasi
mencapai 571.678 kasus. Awalnya kasus terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini
kasus terbanyak terdapat di Italia dengan 86.498 kasus, diikut oleh Amerika dengan
85.228 kasus dan Cina 82.230 kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 199 negara.
Kematian akibat virus ini telah mencapai 26.494 kasus. Tingkat kematian akibat
penyakit ini mencapai 4-5% dengan kematian terbanyak terjadi pada kelompok usia
di atas 65 tahun. Indonesia melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, yang
diduga tertular dari orang asing yang berkunjung ke Indonesia. Kasus di Indonesia
pun terus bertambah, hingga tanggal 29 Maret 2020 telah terdapat 1.115 kasus
dengan kematian mencapai 102 jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%, termasuk
angka kematian tertinggi.8 Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi
COVID-19 mulai dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di
Kota Wuhan, didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56 tahun (42-68
tahun) tetapi pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun (57-78 tahun)
dibandingkan rawat non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3% laki-laki. Laporan 13 pasien
terkonfirmasi COVID-19 di luar Kota Wuhan menunjukkan umur lebih muda dengan
median 34 tahun (34-48 tahun) dan 77% laki laki.8,9

Etiologi
Patogenesis infeksi COVID-19 belum diketahui seutuhnya. Pada awalnya
diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS CoV,
tetapi dari hasil evaluasi genomik isolasi dari 10 pasien, didapatkan kesamaan
mencapai 99% yang menunjukkan suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan
(identik 88%) dengan batderived severe acute respiratory syndrome (SARS)- like
coronaviruses, bat-SL-CoVZC45 dan bat-SLCoVZXC21, yang diambil pada tahun
2018 di Zhoushan, Cina bagian Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79%
dan lebih jauh lagi dengan MERS-CoV (50%). Gambar 2 menunjukkan evaluasi
filogenetik COVID-19 dengan berbagai virus corona. Analisis filogenetik
menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus
Betacoronavirus.9 Penelitian lain menunjukkan protein (S) memfasilitasi masuknya
virus corona ke dalam sel target. Proses ini bergantung pada pengikatan protein S ke
reseptor selular dan priming protein S ke protease selular. Penelitian hingga saat ini
menunjukkan kemungkinan proses masuknya COVID-19 ke dalam sel mirip dengan
SARS.4 Hai ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-
19. Sehingga diperkirakan virus ini menarget Angiotensin Converting Enzyme 2
(ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk
priming S protein, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut4,10
Proses imunologik dari host selanjutnya belum banyak diketahui. Dari data kasus
yang ada, pemeriksaan sitokin yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil
terjadinya badai sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari
penelitian sejauh ini, ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu:
interleukin-1 beta (IL-1β), interferon-gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10
(IP10) dan monocyte chemoattractant protein 1 (MCP1) serta kemungkinan
mengaktifkan T-helper-1 (Th1).1,4 Selain sitokin tersebut, COVID-19 juga
meningkatkan sitokin T-helper-2 (Th2) (misalnya, IL4 and IL10) yang mensupresi
inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain juga menunjukkan, pada pasien
COVID-19 di ICU ditemukan kadar granulocyte-colony stimulating factor (GCSF),
IP10, MCP1, macrophage inflammatory proteins 1A (MIP1A) dan TNFα yang lebih
tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan ICU. Hal ini
mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi COVID-19 berkaitan dengan derajat
keparahan penyakit.

Diagnosis
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat dengan
kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi COVID-
19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi
COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid. 15,17 Gejala klinis bervariasi
tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama adalah demam, batuk, mialgia,
sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri abdomen. Gejala yang paling sering ditemui
hingga saat ini adalah demam (98%), batuk dan mialgia.
Pemeriksaan penunjang
Gambaran foto thoraks pada pasien covid-19
Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada
pneumonia dilakukan foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed tomography
scan (CT scan) toraks dengan kontras. Gambaran foto toraks pneumonia yang
disebabkan oleh infeksi COVID-19 mulai dari normal hingga ground glass opacity,
konsolidasi. CT scan toraks dapat dilakukan untuk melihat lebih detail kelainan,
seperti gambaran ground glass opacity, konsolidasi, efusi pleura dan gambaran
pneumonia lainnya.
Tatalaksana
Prinsip tatalaksana secara keseluruhan menurut rekomendasi WHO yaitu:
Triase : identifikasi pasien segera dan pisahkan pasien dengan severe acute
respiratory infection (SARI) dan dilakukan dengan memperhatikan prinsip
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) yang sesuai, terapi suportif dan monitor
pasien, pengambilan contoh uji untuk diagnosis laboratorium, tata laksana secepatnya
pasien dengan hipoksemia atau gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome
(ARDS), syok sepsis dan kondisi kritis lainnya.20 Hingga saat ini tidak ada terapi
spesifik anti virus nCoV 2019 dan anti virus corona lainnya. Beberapa peneliti
membuat hipotesis penggunaan baricitinib, suatu inhibitor janus kinase dan regulator
endositosis sehingga masuknya virus ke dalam sel terutama sel epitel alveolar.
Pengembangan lain adalah penggunaan rendesivir yang diketahui memiliki efek
antivirus RNA dan kombinasi klorokuin, tetapi keduanya belum mendapatkan hasil.
Vaksinasi juga belum ada sehingga tata laksana utama pada pasien adalah terapi
suportif disesuaikan kondisi pasien, terapi cairan adekuat sesuai kebutuhan, terapi
oksigen yang sesuai derajat penyakit mulai dari penggunaan kanul oksigen, masker
oksigen. Bila dicurigai terjadi infeksi ganda diberikan antibiotika spektrum luas. Bila
terdapat perburukkan klinis atau penurunan kesadaran pasien akan dirawat di ruang
isolasi intensif (ICU) di rumah sakit rujukan dengan alur seperti algoritma di bawah
ini.15,20,23-25 Berdasarkan derajat penyakit maka COVID-19 dapat diliihat pada
Tabel 1. Salah satu yang harus diperhatikan pada tata laksana adalah pengendalian
komorbid. Dari gambaran klinis pasien COVID-19 diketahui komorbid berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas. Komorbid yang diketahui berhubungan dengan
luaran pasien adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular dan
penyakit serebrovaskular

DEMAM

 AVIAN FLU

Definisi
Influenza burung, atau avian influenza, merupakan penyakit infeksi akibat
virus influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Virus influenza sendiri termasuk
dalam famili orthomyxoviruses yang terdiri dari 3 tipe yaitu A, B,dan C. Virus
influenza tipe B dan C dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan gejala
yang ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Virus influenza A
dibedakan menjadi banyak subtipe berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada
permukaan sel virus. Ada 2 protein petanda virus influenza A yaitu protein
hemaglutinin dilambangkan dengan H dan protein neuraminidase dilambangkan
dengan N. Ada 15 macam protein H, HI hingga HI5, sedangkan N terdiri dari
sembilan macam, N1 hingga N9. Kombinasi dari kedua protein ini bisa menghasilkan
banyak sekali varian subtype dari virus influenza tipe A.
Semua subtipe dari virus influenza A ini dapat menginfeksi burung unggas
yang merupakan pejamu alaminya, sehingga virus influenza tipe A disebut juga
sebagai influenza burung atau avian influenza. Di lain pihak,tidak semua subtipe
virus influenza tipe A menyerang manusia. Subtipe yang lazim dijumpai pada
manusia adalah dari kelompok HI , H2, H3, serta N1 dan N2 dan disebut sebagai
human influenza. Penyebab kehebohan avian influenza atau flu burung ini adalah
virus influenza A subtipe H5N1 yang secara ringkas disebut virus H5N1. Untuk
selanjutnya yang dimaksud virus avian influenza adalah virus A (H5N1) ini. Virus
avian influenza ini digolongkan dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).
Patogenesis
Penyebaran virus Avian Influenza (Al) terjadi melalui udara {droplet
infection) di mana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran
napas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang
tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam
sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang dapat berikatan dengan virus
influenza berkaitan dengan spesies darimana virus berasal. Virus avian influenza
manusia {Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha 2,6
sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel dimana didapatkan residu asam
sialat yang dapat berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus
Al dapat berikatan dengan membran sel mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu
ikatan 2,3 linkage. Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat pada membran
mukosa diduga sebagai penyebab mengapa virus Al tidak dapat mengadakan replikasi
secara efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan
mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran napas dapat
dicegah. Tetapi virus yang mengandung protein neuraminidase pada permukaannya
dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel
permukaan saluran napas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi
virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke
sel-sel didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari
infeksi yaitu pada sel-sel kolumnaryang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan
membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan
dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan
inklusi.
Manifestasi klinis
Masa inkubasi avian influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang 2-4
hari. Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di sistem
respiratorik mulai dari yang ringan sampai berat. Manisfestasi klinis avian influenza
secara umum sama dengan gejala ILI {Influenza Like Illness), yaitu batuk, pilek, dan
demam. Demam biasanya cukup tinggi yaitu >38°C. Gejala lain berupa sefalgia,
nyeri tenggorokan, mialgia, dan malaise.
Adapun keluhan gastro-intestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, flu
ringan hingga berat, pneumonia, dan banyak yang berakhir dengan ARDS {acute
respiratory distress syndrome). Perjalanan klinis avian influenza umumnya
berlangsung sangat progresif dan fatal, sehingga sebelum sempat terfikir tentang
avian influenza, pasien sudah meninggal. Mortalitas penyakit ini hingga laporan
terakhir sekitar 50%. Kelainan laboratorium hematologi yang hampir selalu dijumpai
adalah lekopenia, limfopenia dan trombositopenia. Cukup banyak kasus yang
mengalami gangguan ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin. Kelainan
gambaran radiologis toraks berlangsung sangat progresif dan sesuai dengan
manifestasi klinisnya namun tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto toraks bisa
berupa infiltrat bilateral luas infiltrat difus, multilokal, atau tersebar {patchy); atau
dapat berupa kolaps lobar.
Pemeriksaan penunjang
Diagnostik Uji Konfirmasi : kultur dan identifikasi virus H5N1.uji Real Time Nested
PCR {Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
uji Serologi : imunofluorescence (IFA) test: ditemukan antigen positif dengan
menggunakan antibodi monoklonal Influenza A H5N1.
uji netralisasi: didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1
sebanyak 4 kali dalam paired serum dengan uji netralisasi.uji Penapisan : a). Rapid
Test untuk mendeteksi Influenza A.b)./-// Test dengan darah kuda untuk mendeteksi
H5N1 . c). Enzyme Immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
Pemeriksaan Lain
 Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jeni s leukosit, total limfosit.
Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni atau limfositosis relatif dan
trombositopeni.
 Kimia : Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin,kreatin kinase, analisa gas
darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT,
peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan kreatin kinase, analisa gas darah dapat
normal atau abnormal . Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan
komplikasi yang ditemukan. Pemeriksaan radiologi : Pemeriksaan foto toraks PA dan
lateral (bila diperlukan). Dapat ditemukan gambaran infiltrat di paru yang
menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.

Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat,peningkatan daya
tahan tubuh, pengobatan antiviral,pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti
inflamasi, imunomodulators. Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan
pada awal infeksi yakni pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat:
1. penghambat M2: a). Amantadin (symadine), b). Rimantidin (flu-madine). Dengan
dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari
2. penghambatan neuramidase (WHO): a). Zanamivir (relenza), b). Oseltamivir (tami-
flu). Dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu Departemen Kesehatan RI dalam
pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut: pada kasus suspek flu burung
diberikan Oseltamivir 2 x 75mg 5 hari, simptomatik dan antibiotik jika ada indikasi.

 ANTRAKS

Definisi
Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus
anthracis.suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke manusia melalui
kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari binatang yang terkontaminasi.
Nama Antraks berasal dari kata Yunani buat batubara yaitu anthracis, oleh karena lesi
nekrotik (eschar) berwarna hitam seperti batubara.

Epidemiologi
B.anthracis adalah organisme ditanah yang tersebar diseluruh dunia. Kasus pada
manusia dapat dibagi secara umum menjadi kasus industri dan agrikultur Pada kasus
agrikutur transmisi terjadi langsung dengan kontak dengan kotoran/ sekret binatang
yang terinfeksi seperti tinja, atau tidak langsung melalui gigitan lalat yang telah
makan bangkai binatang tersebut. Atau bisa pula disebabkan makan daging mentah
atau kurang dimasak dari binatang terinfeksi.Kasus industri disebabkan kontak
dengan spora yang terdapat pada bahan dari binatang terinfeksi seperti rambut, wol,
kulit, tulang pada saat proses industri. Oleh karena spora bisa bertahan lama sekali
maka transmisi bisa melalui barang yang terbuat dari binatang seperti selimut wol,
ikat pinggang dari kulit,drum terbuat dari kulit. Beberapa kasus lainnya terjadi di
laboratorium yang menggunakan binatang. Transmisi dari manusia ke manusia tidak
terjadi, kecuali kontak langsung dengan sekret lesi kulit penderita yang menyebabkan
lesi kulit sekunder.
Penyakit ini didapatkan endemik dinegara berkembang seperti Asia, Afrika dan
Amerika selatan, di mana kontrol peternakan belum baik dan kondisi lingkungan
menunjang terjadinya siklus binatang-tanah-binatang. Sedangkan di Eropa Barat,
Amerika utara dan Australia telah hilang,setelah eradikasi penyakit ini di peternakan
yang disebabkan program yang ektensif termasuk vaksinasi.
Insidensi yang pasti belum jelas, tetapi diperkirakan 2.000 sampai 20.000 kasus pada
manusia per tahun.Wabah pernah terjadi di Zimbabwe (1978-1980) berupa Antraks
kulit dan gastrointestinal, dan juga terjadi di Siberia (1079). Keganasan Antraks dapat
dilihat dari kejadian di Sverdlosk, Rusia (1979) dimana terjadi kecelakaan di fasilitas
bioweapons yang menyebabkan tersebarnya spora Antraks ke udara sehingga terjadi
77 kasus Antraks dengan kematian 66 kasus. Juga pada tahun 2001 di USA terjadi
pengiriman spora lewat pos yang menyebabkan 11 kasus inhalation anthrax dengan 5
diantaranya mati. Antraks terjadi primer pada binatang herbivora terutama sapi,
kambing, domba, dan juga binatang lainnya seperti babi, kerbau dan juga gajah. Sapi
sangat rentan terhadap Antraks sistemik di mana kematian akan terjadi dalam 1-2
hari.Binatang karnivora (anjing, harimau) atau omnivora akan terkena penyakit ini
bila makan daging binatang yang tertular kuman ini. Kuman akan ditemukan banyak
sekali dalam tubuh sapi tersebut, dan akan menyebabkan kontaminasi pada
lingkungan.
Etiologi
B.anthracis adalah basil Gram positif, non-motil, dan bisa membentuk
spora(sporulasi). Spora ini tidak terbentuk di jaringan hidup, tetapi di lingkungan
yang aerobik akan muncul dan bertahan bertahun tahun di tanah yang tahan
temperatur tinggi, kekeringan; juga tahan pada bahan dari binatang atau pada industri
bahan dari binatang. Kuman ini tumbuh subur pada media biasa pada suhu 35 -37°C.
Koloni bersifat lengket dan dapat membentuk stalagmite-like form bila disentuh dan
diangkat. Di bawah mikroskop kuman tampak membentuk rantai panjang, paralel
menyerupai gerbong barangiboxcar appearance).Spora {aerobic endospore)
berbentuk oval dan terletak sentral atau parasentral tetapi tidak menjadikan basil
membengkak. Dari lesi yang baru,rantai basil akan tampak pendek atau tunggal dan
terdiri 2 atau 3 basil yang berkapsul dengan ujungnya membulat.B.anthracis bisa
dibedakan dari spesies Bacillus yang saprofit dengan melihat morfologi koloni dan
pewarnaan antibodi fluoresen dan virulensinya pada kelinci, marmot dan tikus
dimana inokulasi pada binatang tersebut akan menyebabkan kematian dalam 1-3 hari.
Patogenesis
Spora akan masuk melalui kulit,saluran napas atau saluran cerna , didalam
makrofag akan bertahan hidup. Yang menentukan virulensi B.anthracis adalah 3
eksotoksin (plasmid pXOI) yaitu protective antigen (PA),edema factor (EF) dan lethal
factor (LF); dan yang disebut antiphagocytic polydiglutamic acid capsule (plasmid
pX02). Strain yang hanya mempunyai salah satu saja dari kedua plasmid pXOI dan
pX02 bersifat tidak virulen. Tidak satupun dari 3 eksotoksin di atas bisa
menyebabkan efek biologis pada binatang percobaan bila diberikan sendirisendiri. PA
mempunyai efek mengikat reseptor permukaan sel, sehingga bisa digunakan oleh EF
dan LF untuk masuk ke sitoplasma. Kombinasi PA dan EF akan menyebabkan edema
lokal dan menghambat fungsi PMN, sedangkan kombinasi PA dan LF akan
menyebabkan syok dan kematian cepat,bisa dalam waktu 60 menit.Antibiotik akan
melenyapkan kuman antraks, tetapi toksin yang telah diproduksi kuman akan tetap
berfungsi melanjutkan proses penyakit sampai toksin tersebut dimetabolisir.
Pada cutaneous anthrax, spora kuman tersebut akan masuk melalui kulit yang luka
atau melalui luka yang disebabkan serat dari binatang terinfeksi. Di jaringan subkutan
spora tersebut akan berubah menjadi bentuk vegetatif, bermultiplikasi dan
mengeluarkan eksotoksin dan material kapsul antifagositik (plasmid pX02).Akan
terjadi edema dan nekrosis jaringan. Selanjutnya kuman akan difagosit oleh makrofag
dan menyebar ke kelenjar getah bening setempat, di mana disini toksin akan
menyebabkan perdarahan, edema dan nekrosis (limpadenitis).Terakhir basil terasebut
akan masuk peredaran darah dan menyebabkan pneumonia,meningitis dan sepsis.
Pada inhalation onf/7rax (lebih jarang terjadi dibanding tipe lainnya) terjadi inhalasi
spora (aerosol dengan ukuran partikel kurang dari 5 um) dimana spora akan sampai di
alveoli, difagosit oleh makrofag dan selanjutnya dibawa ke kelenjar getah bening
mediastinum. Spora yang ditanah akan menggumpal dan akan susah menjadi aerosol,
sehingga tidak menyebabkan inhalation anthrax.Di sini terjadi germination,
berkembang biak dan pembentukan toksin, sehingga terjadi limfadenitis dan
mediatinitis yang hemoragis. Kapiler paru bisa terkena yang menyebabkan trombosis
dan gagal napas. Juga bisa terjadi efusi pleura. Pneumonia terjadi oleh karena infeksi
sekunder bukan primer oleh basil antraks. Dari paru basil bisa masuk ke aliran darah
menyebabkan bakteremia,yang bisa masif Meningitis hemorrhagis bisa terjadi pada
keadaan ini.
Penyebab kematian dari inhalation anthrax ini adalah gagal napas, syok dan
edema paru. Bila spora masuk melalui mulut setelah makan daging terkontaminasi
yang mentah atau kurang masak maka akan terjadi yang disebut oropharyngeal atau
intestinal anthrax. Pada oropharyngeal Anthrax ini terjadi pembengkakan farynx, dan
bisa juga menyebabkan obstruksi trakea atau limfadenopati servikal dengan edema
.Pada intestinal anthrax terjadi edema, nekrosis dan perdarahan mukosa usus besar
dan kecil, limfadenopati mesenterika, asites hemoragis dan sepsis.
Manifestasi klinis
Ada beberapa jenis manifestasi Antraks dengan insidensi berbeda disetiap
negara,juga antara negara maju dan berkembang. Ada 3 jenis yaitu cutaneous
anthrax,inhalation anthrax dan gastrointestinal anthrax, di mana semuanya bisa
menyebabkan bakteremi, sepsis dan meningitis. Meningitis terjadi pada 5% semua
kasus antraks.

 Cutaneous Anthrax

Jenis ini mencangkup 90 % kasus Antraks pada manusia. Setelah masa inkubasi
1-7 hari akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit gatal pada tempat spora
masuk (biasanya di lengan, tangan, kemudian leher dan muka), yang dalam beberapa
hari berubah jadi bentuk vesikel yang tidak sakit berisi cairan serosanguineous, tidak
purulen dan kemudian menjadi ulkus nekrotik yang sering dikelilingi vesikel -vesikel
kecil.Ukuran lesi sekitar 1 -3 cm.Khas dalam 2-6 hari akan timbul eschar berwarna
hitam seperti batubara {black carbuncle) yang berkembang dalam beberapa minggu
menjadi ukuran beberapa sentimeter yang kemudian menjadi parut setelah 1-2
minggu. Selain itu dasar kulit dari lesi terlihat undurasi, panas,warna merah,non-
pitting edema yang bisa meluas sampai demikian luasnya (malignant edema)
(Tierno,2002). sehingga terjadi hipotensi oleh karena perpindahan cairan
intravaskular ke subkutan. Walaupun demikian hebatnya lesi tetapi tidak sakit.
Gambaran sistemik berupa demam,mialgia,sakit kepala lemah badan dan
limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan antibiotik maka 20% fatal, dimana terjadi
penyulit bakteriemi yang berlanjut ke meningitis, pneumonia atau sepsis. Pemberian
antibiotik tidak mengubah perjalanan alamiah klinis dikulit, tetapi mencegah penyulit
di atas dan menurunkan angka kematian di bawah 1% .

 Inhalation Anthrax

Inkubasi 1 sampai 5 hari, tetapi dapat sampai 60hari, tergantung jumlah spora
yang masuk.Jenis ini terjadi pada kurang dari 5% kasus. Setelah inkubasi 10 hari
timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 2 fase (bifasik), yaitu fase initial yang
ringan di mana didapatkan demam, lemah, mialgia, batuk kering dan rasa tertekan di
dada dan perut (flu like) yang pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronki,
kemudian tiba-tiba disusul fase kedua yang berat dan sering fatal setelah terlihat
seperti ada perbaikan fase pertama. Fase kedua ini cepat sekali memburuk berupa
panas tinggi,sesak napas, hipoksia, sianosis, stridor dan akhirnya syok dengan
kematian dalam beberapa hari. Pemeriksaan fisik memberikan gambaran infeksi paru,
dengan kemungkinan sepsis dan meningitis. Inhalation Anthrax tidak memberikan
gambaran klasik pneumonia, sehingga tidak didapatkan sputum yang purulen,
sehingga lebih cocok disebut inhalation antraks bukan antraks pneumonia. Edema
leher dan dada bisa ditemukan, dan pada paru juga ditemukan rhonchi basah dan
kemungkinan tanda efusi.
Pada foto toraks selain infiltrat di paru akan didapat gambaran khas berupa efusi
pleura dan pelebaran mediastinal oleh karena limfadeopati dan mediastinitis. Cairan
pleura bersifat hemoragik. Kematian dapat terjadi setelah 24 jam setelah onset akut
tersebut,dengan angka kematian bisa mencapai 90%, tergantung fasilitas. Inhalation
Anthrax tidak dapat ditularkan antar manusia (Tierno,2002).

 Gastrointestinal Anthrax

Setelah kira-kira 2-5 hari memakan daging yang mengandung spora, maka
timbul demam, nyeri perut difus,muntah, diare.Bisa timbul muntah darah dan berak
darah, berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi perforasi usus. Selain itu
terjadi limadenitis mesenterial dan asites. Selain bentuk intestinal Antraks di atas ada
bentuk lain dari gastrointestinal antraks yaitu bentuk orofaringeal antraks, yang
berupa limfadenopati lokal dan edema pada leher,susah menelan dan obstruksi
saluran napas atas.Terdapat lesi serupa pada kulit pada mukosa mulut seperti eschar.
Perkembangan selanjutnya dari keduanya adalah sepsis, meningitis dan dan kematian.
Angka kematian berkisar 25 sampai 60%.

diagnosis
Riwayat pekerjaan atau kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan
berasal dari binatang tersebut penting dalam anamnesa. Gambaran klinik dari tipe
Antraks yang khas juga akan berguna dalam penegakan diagnosis. Cutaneous anthrax
dibedakan dari karbunkel oleh stafilokokus dari adanya rasa nyeri dan gambaran khas
Antraks kulit di atas. Antraks inhalasi sering tidak terdiagnosa awal, sehingga riwayat
paparan dan gambaran radiologi paru di atas sangat penting. Laboratorium
memberikan hasil lekosit yang normal atau sedikit meningkat dengan PMN yang
dominan. Cairan pleura atau likuor serebrospinal memperlihatkan gambaran
hemoragis, dengan relatif sedikit sel darah putih.
Pemeriksaan gram dan kultur (dengan media standar) dari lesi kulit, apus
tenggorok, cairan pleura, asites, likuor serebrospinal dan darah akan memperlihatkan
kuman gram positif dengan gambaran khas anthrax. Kultur dari lubang hidung tidak
bernilai diagnostik, hanya untuk epidemiologik. Pemeriksaan serologik indirect
hemagglutin, ELISA,FA (fluorescent antibody). Kenaikan titer 4 kali akan lebih
bernilai. Pemeriksaan lainnya adalah PCR, biopsi jaringan dengan pewarnaan
imunohistokemikal. Pemeriksaan radiologi sangat penting pada inhalation anthrax,
dimana akan didapatkan gambaran mediastinum yang melebar.

Terapi
Antraks akan mudah disembuhkan bila cepat dibuat diagnosa pada awal penyakit
dan segera diberikan antibiotik. Pada cutaneous anthrax penisilin G (4x4juta unit)
atau alternatif lainnya seperti tetrasiklin, klorampenikol dan eritromisin bisa dipakai,
tetapi ada strain yang resisten terhadap obat tersebut. Untuk hal ini maka sampai ada
hasil test sensitivitas, dianjurkan dipakai kombinasi antibiotik. Beberapa alternatif
kombinasi yang dianjurkan antara lain adalah :
Siprofloksasin (2x400 mg) atau doksisiklin (2x100 mg) ditambah dengan
klindamisin (3x900 mg) dan/ atau rifampisin (2x300 mg), yang mula mula diberikan
IV dan selanjutnya ke peroral bila stabil {switch therapy). Lamanya terapi antibiotik
masih belum jelas. Salah satu standar yang dianjurkan adalah 7-10 hari untuk
cutaneous anthrax, dan sekurang-kurangnya 2 minggu untuk bentuk diseminasi,
inhalasi dan gastrointestinal. Untuk toksin antraksnya, sedang diteliti pembuatan
neutralizing monoclonal antibodies. Inhalation antraks tidak usah diisolasi oleh
karena tidak menular. Eksisi dari lesi kulit adalah kontraindikasi ,oleh karena tidak
ada pus dan dikhawatirkan terjadi penyebaran.Terapi topikal untuk lesi kulit tidak
bermanfaat tracheotomi mungkin diperlukan bila terjadi edema leher yang
mengganggu jalan pernapasan.

Pencegahan
Pencegahan dari paparan terhadap spora Antraks bisa dilakukan baik dengan
mencegah kontak dengan binatang atau bahan dari binatang yang terinfeksi atau
makan dagingnya. Vaksin pertamakali dicoba oleh Louis Pasteur pada tahun 1881
pada binatang. Pada saat ini yang dianjurkan untuk manusia adalah AVA {anthrax
vaccine adsorbed) yang terdiri dari nonencapsulated, attenuated strain (Stern
strain).Vaksin lain yang masih dilakukan trial saat ini (2005) adalah vaksin
rekombinan antigen {cell-free antigen) yang antara lain mengandung LE dan EF.
Vaksin diberikan ulang pada minggu ke-2, 4 dan kemudian pada bulan ke-6, 12 dan,
18 Vaksin bisa diberikan pada pekerja industri atau peternakan atau siapapun yang
punya risiko kontak dengan spora. Vaksin AVA saja tidak bisa digunakan buat
postexposure prophylaxis, sehingga untuk maksud ini digunakan antibiotik 60 hari,
atau dikombinasi dengan vaksin. Oleh karena dikuatirkan terjadi resistensi terhadap
penisilin, maka dianjurkan pemakaian empirik dengan salah satu dari siprofloksasin
(2x500mg peroral), gatifloksasin (1x400 mg), levofloksasin (IxSOOmg) atau
doksisiklin (2x100 mg peroral).

 SWINE FLU

a. Definisi
 Swine flu , dikenal juga dengan nama flu babi atau  H1N1 influenza
merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus
influenza A tipe H1N1. Penyebaran virus terjadi secara aerosol, kontak
langsung, maupun tidak langsung, dan pada hewan babi yang bersifat karier.
 Flu babi didapati paling banyak pada Amerika Serikat, Meksiko, Kanada,
Amerika Selatan, Eropa, dan sedikit didapatkan pada China, Taiwan, Jepang,
Asia Timur, dan India.  Di Amerika Serikat, CDC mengumumkan flu babi
sebagai pandemi pada tahun 2009 oleh karena tingginya angka kematian pada
satu wilayah. Kondisi ini diakibatkan flu babi yang dapat menginfeksi hewan
babi itu sendiri maupun manusia.
 Gejala umum pada manusia dan babi terjadi serupa, yang ditandai dengan
adanya pilek, batuk, demam, dan penurunan nafsu makan. Pada babi, gejala
infeksi virus H1N1 dapat disertai dengan perubahan perilaku. Babi yang
terinfeksi virus influenza ini biasanya hanya bertahan selama 1-2 minggu. 

b. Epidemiologi

Berdasarkan data epidemiologi, swine flu  (flu babi) bersifat pandemi di


Amerika serikat dengan puncaknya pada tahun 2009. Pada tahun 2009 WHO
melaporkan adanya 18.631 kematian terkonfirmasi laboratorium secara
global. Di Indonesia belum dilaporkan angka kematian akibat flu babi.

c. Prognosis

Prognosis dari swine flu (flu babi) atau H1N1 influenza tergantung


ketepatan diagnosis dan kecepatan pengobatan pasien dengan flu babi.
Keterlambatan pengobatan berujung ada perburukan klinis yang menyebabkan
kematian. Komplikasi dari flu babi yang sering terjadi adalah pneumonia,
namun pada tingkat yang lebih parah dapat menyebabkan gagal napas.

d. Patofisiologis
Patofisiologi swine flu atau yang dikenal dengan flu babi dimulai dari
infeksi virus H1N1 kedalam sel epithelial pernafasan babi dan manusia. Invasi
virus kedalam manusia dan babi bergantung pada 2 antigen utama, yaitu
hemaglutinin tipe 1 (H1) dan neuraminidase tipe 1 (N1). Transmisi virus ini
berasal dari droplet dan kontaminasi dari benda dan lingkungan sekitar. Masa
infeksi sampai timbulnya gejala membutuhkan waktu 2 – 7 hari.

Molekul Virus pada Patogenesis Flu Babi

Virus H1N1 memiliki 2 antigen utama yang terletak di permukaan


virus, yaitu hemaglutinin tipe 1 (H1) dan neuraminidase tipe 1 (N1).
Perbedaan yang dimiliki virus H1N1 dibanding virus influenza lainnya adalah
protein yang dimiliki dan berperan langsung terhadap patogenisitas dari virus,
yaitu protein 7 PBIF2.

e. Diagnosis

 Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh Pegal-pegal. sakit kepala, hidung tersumbat


atau beringus, mata yang merah dan berair dan sakit tenggorokan.

 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik orang yang terkena flu babi, umumnya ditandai


dengan adanya tanda, sebagai berikut : Peningkatan suhu tubuh diatas 38
derajat Celsius. Gejala pernafasan : rinorea, takipneu,dispneu.
Konjungtivitis.

 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti dari flu babi dibutuhkan koleksi spesimen saluran napas
melalui apusan / swab hidung atau tenggorokan dari pasien yang terinfeksi
dengan onset 72 jam atau 4-5 hari pertama.

f. Tatalaksana

Penatalaksanaan dari flu babi secara umum adalah penatalaksanaan


suportif dan pada kasus tertentu membutuhkan antiviral. CDC juga
menyarankan bagi pasien yang sudah positif flu babi, sebaiknya dirawat
dalam ruang isolasi, dan tenaga kesehatan yang merawat juga disarankan
untuk menggunakan masker tipe N-95, serta alat pelindung diri selama
berkontak dengan pasien.

Perawatan Ruang Isolasi

Perawatan di ruang isolasi dibutuhkan pada pasien yang terinfeksi


dengan virus influenza H1N1 yang membutuhkan rawat inap dan rawat jalan,
terutama pada saat pandemi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi penyebaran
virus H1N1 yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Selain itu,
dikarenakan flu babi juga bersifat pandemi, maka perawatan ruang isolasi juga
dapat menurunkan angka penularan flu babi di masyarakat. Kriteria rawat inap
pada pasien yang terinfeksi flu babi, yaitu apabila didapati adanya gagal
napas, gangguan hemodinamik tidak stabil, penggunaan antiviral oral tanpa
adanya perbaikan, dan apabila ada tanda sianosis.

g. Komplikasi

Komplikasi dari flu babi lebih sering didapatkan pada anak usia
dibawah 5 tahun dan diatas 65 tahun, pasien yang sedang mendapat terapi
aspirin jangka panjang dan obat-obatan imunosupresan jangka panjang,
riwayat sindrom Reye, riwayat penyakit paru kronis, riwayat penyakit
jantung, hati, kelainan darah, sindrom metabolik, kelainan neurologis, dan
wanita hamil. Komplikasi akan terjadi lebih cepat dan parah apabila
penanganan terhadap flu babi ditangani secara terlambat.

h. Edukasi

Pencegahan penularan dari babi ke manusia dan antar manusia penting


untuk dilakukan. Pencegahan antar manusia dapat dilakukan dengan
modifikasi perilaku dan pemberian vaksinasi. Pencegahan pada babi juga
dapat dilakukan dengan memberikan vaksin rutin pada babi. Penularan virus
influenza H1N1 terjadi antar manusia terjadi secara cepat melalui udara,
seringkali melalui percikan batuk ataupun droplet saluran pernafasan.
Penularan melalui produk makanan yang mengandung babi dinyatakan tidak
ada.

KESEMUTAN

 NEUROPATI DIABETIK

Definisi
Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di San Antonio,
disebutkan bahwa ND adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan,
baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab
neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatik
dan atau otonom dari sistem saraf perifer.

Patogenesis Manifestasi klinis


Proses kejadian ND berawa l dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end
products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC).
Aktivasi berbagai jalur tersebut ber ujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga
aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel
terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan
sangat kuat dengan lama dan beratnya DM. Faktor Metabolik Proses terjadinya ND
berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten
menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-
reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol,yang kemudian dimetabolisasi
oleh sorbitol dehidroge nase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu
kemungkinan-nya iaIah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan
keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edem saraf Peningkatan
sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf
Penurunan mioinosi tol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres
osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C
{PKQ. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na
intra selular menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Reaksi jalur
poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan
kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor
penting untuk glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor
tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan
penurunan produksi nitric oxide (NO). Disamping meningkatkan aktivitas jalur
poliol, hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuk-nya advance
glycosilation end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua
protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka
sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran
darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf,
terjadilah ND. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan
kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut
menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi.
Peran nerve growth factor {NGF)NGF diperlukan untuk mempercepat dan
mempertahan kan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum
cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan
dalam regulasi gen substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide {CGRP).
Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif,
yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada ND. KLASIFIKASI Neuropati
diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan berbagai ragam
klasifikasi. Secara umum ND yang dikemukakan bergantung pada 2 hal, pertama,
menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan kedua, menurut jenis
serabut saraf yang terkena lesi.
Klasifikasi
1. Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi:Neuropati
fungsional/subklinis, yaitu gejala yang muncul sebagai akibat perubahan
biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih
reversibel. Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat
kerusakan struktural serabut saraf Pada fase ini masih ada komponen yang
reversible. Kematian neuron/tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan
kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah
irreversible. Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal
menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke
distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti
polineuropati simetris distal.
2. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi: Neuropati difus Polineuropati
sensori-motor simetris distal Neuropati otonom:neuropati sudomotor, neuropati
otonom kardiovaskular, neuropati gastrointestinal, neuropati genitourinaria
Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi) Neuropati vokal
Neuropati kranial Radikulopati/pleksopati Entrapment neuropathy Klasifikasi ND
di atas berdasarkan anatomi serabut saraf perifer yang secara umum dibagi atas 3
sistem yaitu sistem motorik, sensorik dan sistem otonom. Manifestasi klinis ND
bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jeni s serabut
saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal
atau difus, motorik atau sensorik atau otonom, maka manifestasi klinis ND menjadi
bervariasi, mulai kesemutan; kebas; tebal; mati rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk;
disobek, ditikam dll.

Diagnosis
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical
sensorymotorpolyneuropathy {DPN) merupakan enis kelainan ND yang paling
sering terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif
dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang
berkembang ke arah proksimal.Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek
sehari hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak
cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya neuropati.
Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap:1. Refleks motorik 2.
Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar
(biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-
Weinstein) 3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu. 4. Untuk
mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat dikerjakan
elektromiografi. Bentuk lain ND yang juga sering ditemukan iaIah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN).Uji
komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan: Tes respons denyut jantung terhadap
maneuver valsava Variasi denyut jantung (interval RR) selama napas dalam (denyut
jantung maksimum-minimum Uji komponen simapatis DAN dilakukan dengan:
Respons tekana n darah terhadap berdiri (penurunan sistolik) Respons tekanan darah
terhadap genggaman (peningkatan diastolik)

Pengelolaan
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi ke
dalam 3 bagian. Strategi pertama adalah diagnosis ND sedini mungkin, diikuti
strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan
strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati
diabetik setelah strategi kedua dikerjakan. Mengingat ND merupakan komplikasi
kronik dengan berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan ND perlu
melibatkan banyak aspek, seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan
parameter metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara terus menerus.'"
Perawatan Umum/Kaki Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu
yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati kompresi. Pengendalian Glukosa
Darah Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan
iaIah pengedalian glukosa darah dan monitor HbAl c secara berkala. Di samping itu
pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai
komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.

Terapi
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu terapi
dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun demikian, untuk
mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati,
saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya
komplikasi kronik diabetes, yaitu: "Golongan aldose reductase inhibitor, yang
berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa Penghambat ACE
Neurotropin Nerve growth factor Brain-derived neurotrophic factor Alpha Lipoic
Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida
dan peroksil serta membentuk kembali glutation. Penghambat Protein Kinase C
Gangliosides, merupakan komponen utama membran sel Gamma linoleic acid
(GLA), suatu prekursor membran fosfolipid Aminoguanidin, berfungsi menghambat
pembentukan AGEs Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan
neurologik maupun non neurologik akibat penyakit autoimun.
Arthritis Rheumatoid
a. Definisi
AR adalah penyakit autoimun dan ditandai oleh synovitis erosive yang
simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstrasrtikular
b. Etiologi
Untuk etiologi AR belum diketahui.
c. Patogenesis
Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan
dan hiperplasia sinovial, produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan
antibodi protein anti-citrullinated [ACPA]), serta kerusakan tulang dan/atau
tulang rawan serta tampilan sistemik yang dapat menimbulkan gangguan
kardiovaskular, paru, psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan ini
masih belum diketahui namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik, faktor lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi.
Pada patofisiologi rheumatoid arthritis, terjadi migrasi sel inflamasi
yang dipicu oleh aktivasi endotel pada pembuluh darah mikro sinovial yang
meningkatkan ekspresi molekul adhesi (termasuk integrin, selektif, dan
anggota superfamili imunoglobulin) dan kemokin serta menimbulkan
proliferasi leukosit pada kompartemen sinovial. Keadaan ini sebagian besar
melibatkan sistem imun adaptif dan dimediasi oleh sel T-helper tipe 1 (Th-1).
Terjadi aktivasi makrofag oleh sitokin Th-1, seperti interferon-g (IFN-g),
interleukin 12 (IL-12), dan IL-18, yang menyebabkan aktivasi sel T oleh
antigen presenting cells. Makrofag juga dapat diaktivasi melalui kontak
langsung dengan sel T, kompleks imun, atau produk bakterial di cairan
sinovial. Aktivasi makrofag ini melepaskan beberapa sitokin dan mediator
inflamasi seperti interleukin, faktor nekrosis tumor (TNF), transforming
growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), dan interferon (IFN-α dan IFN-β).
d. Manifestasi Klinis
 nyeri: sendi, otot atau punggung
 Sendi: kaku, lemas, nyeri atau pembengkakan
 Seluruh tubuh: kelelahan, anemia atau malaise
 Kulit: benjolan atau kemerahan
 Tangan: benjolan di jari atau pembengkakan
 Juga umum: kelainan bentuk fisik atau sensasi kesemutan
e. Diagnosis
 Anamnesis
- Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah
yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
- Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat
mengenai seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal interphalangeal),
sendi MCP (metacarpo-phalangeal) atau MTP (metatarsophalangeal),
pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal
interphalangeal) umumnya tidak terkena.
- Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk
dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi
hari > 1 jam.
- Gejala ekstraartikular: mata (mata merah pada episkleritis), kardiovaskular
(nyeri dada pada perikarditis), hematologi (pasien tampak pucat pada
anemia),

Faktor Risiko : Wanita, faktor genetik, hormon seks, infeksi,merokok.

 Pemeriksaan fisik
- Manifestasi artikular:
Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformitas
(swan neck, boutonniere, deviasi ulnar)
- Manifestasi ekstraartikular:
1) Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yang banyak menerima
penekanan, vaskulitis.
2) Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan
manifestasi sindrom Sjogren, episkleritis / skleritis. Konjungtiva
tampak anemia akibat penyakit kronik.
3) Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi
krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru
luas. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan pericarditis konstriktif,
disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis,
kardiomiopati.
 Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan laju endap darah
Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder /rujukan:
1. Faktor reumatoid (RF) serum.
2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-
articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat
penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai
daerah subkondral.
3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide antibody) / anti-CCP
4. CRP
5. Analisis cairan sendi
6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid
f. Diagnosis Banding
Spondiloartropati seronegative( misalnya artritis psoriatic), artritis
gout poliartikular, lupus eritematosus sistemik, artritis reaktif.
g. Komplikasi
Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar), Sindrom
terowongan karpal (CTS), Sindrom Felty (gabungan gejala RA, splenomegali,
leukopenia, dan ulkus pada tungkai; juga sering disertai limfadenopati dan
trombositopenia)
h. Penatalaksanaan
- Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan di faskes primer:
1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada
stadium akut dengan menggunakan decker.
2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diclofenac 50-100
mg 2x/hari, meloxicam 7,5-15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari.
3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metilprednisolon
dosis rendah (sebagai bridging therapy).
4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis
- Penatalaksanaan Artritis Reumatoid adalah:
1. Disease Modifying anti Rheumatic Drugs (DMARD) :
hydroxychloroquine atau chloroquine phospate, sulfasalazine,
leflunomide, azathioprine, cyclosporine.
2. Agen biologik: infliximab, etanercept, tocilizumab, golimumab,
adalimumab
3. Glukokortikoid
4. OAINS: Non selektif atau selektif COX 2
5. Terapi bedah
DAFTAR PUSTAKA
1) dr. Widoyono, MPH, PENYAKIT TROPIS Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan & Pemberantasannya, Edisi Kedua, Semarang; 2011
2) Isselbacher. Harrison Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3. Edisi
13. Jakarta: EGC; 2015
3) Katzung, Bertram . Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC;
2017
4) Mubin. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-3. Jakarta: EGC;
2019
5) Setiati S. Alwi I. Buku ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta:
Interna publishing. 2016
6) Setiati S. Alwi I. Buku ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 2. Jakarta:
Interna publishing. 2016

Anda mungkin juga menyukai