Anda di halaman 1dari 11

Nama : Desi Fitriyani

NIM : 41801009

1. Jual beli muqayadah


Jual beli barang dengan barang, seperti jual beli hewan tenak dengan pakaian,
atau jual beli mobil dengan mobil, atau dengan tanah. Jual beli semacam ini biasa
disebut juga barter.
Jual-beli muqayadhah (‫ع المقايضة‬1‫ )بي‬adalah kebalikan dari jual-beli sharaf di
atas, yaitu :
ِْ ‫ني بِ ْال َع‬
‫ني‬ ِْ ‫ُمبَا َدلَةُ ْال َع‬
Tukar menukar barang dengan barang.
Dalam bahasa yang lebih populer jual-beli seperti ini disebut dengan barter.
Pada hakikatnya, yang dijadikan objek yang diperjual-belikan berbentuk barang, dan
alat tukar atau alat pembayarnya juga berbentuk barang.
Sehingga jual-beli ini adalah jual-beli yang tidak melibatkan uang sebagai alat
pembayar. Dan bahasa warisan kolonial Belanda, akad ini disebut dengan ruislag.

2. Jual beli mutlaqah


Jual beli barang dengan uang, seperti jual beli mobil dengan harga 200 juta
atau jual beli satu karung beras dengan harga 500 ribu.
Jual-beli mutlak (‫ )بيع المطلق‬adalah :
ِْ ‫ُمبَا َدلَةُ ْال َع‬
‫ني بِال َّد ْي ِن‬
Menukar barang dengan hutang
Jual-beli model ini adalah jual-beli yang paling populer, karena memang
umumnya dalam jual-beli terjadi pertukaran antara barang dengan hutang, uang atau
apapun yang bisa menjadi alat pembayaran.
Dalam hal ini yang menjadi objek yang diperjualbelikan adalah barangnya.

3. Jual beli sharf


Jual beli mata uang dengan mata uang sejenis, seperti jual beli emas dengan emas atau
rupiah dengan rupiah juga; atau dengan mata uang yang tidak sejenis, seperti jual beli
rupiah dengan dollar.

Hadits Nabi Muhammad saw :


“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecualid seimbang, dan jangan kamu
memberikan sebagiannya dengan atas yang lain. Janganlah kamu menjual perak
kecualid seimbang, dan janganlah kamu memberikan sebagiannya atas yang lain.
Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang
tunai (ada).”

“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus)
sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika
dilakukan secara tunai.”.
Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya (rupiah
dengan rupiah atau dollar dengan dollar) kecuali sama jumlahnya dan tidak boleh ada
penambahan pada salah satu jenisnya, harus dilakukan secara tunai (obyek yang
dipertukarkan atau yang
diperjualbelikan ada di tempat jual beli itu dilakukan).

4. Jual beli tunai (naqd)


Jual beli tunai (bai‟an-naqd), yaitu jual beli di mana harga dan barang diserahkan
secara tunai
Bai’ Naqdan: Akad jual beli secara tunai. Baik uang maupun barang diserahkan pada waktu
bersamaan pada awal akad. Jual beli tunai yaitu jual beli yang pembayaran dan serah terima
barang dilakukan di tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli atau majlis ‘aqd.
Jual beli model ini dianggap sebagai jual beli yang paling baik bila ditilik dari waktu.
Penyerahan barang dan alat tukar yang dilakukan dalam satu waktu transaksi dianggap
mampu meminimalisir tindakan penipuan, kecurangan, ketidakjelasan dan hal-hal lain yang
dapat membatalkan transaksi syariah. Pembeli dalam model akad ini memiliki hak antara
membayar barang tersebut ataupun membatalkan transaksi bila dia mendapati barang yang
akan dibelinya tidak sesuai keinginannya. Dalam jual beli mutlak atau tunai ini, hal terkait
waktu yang harus diperhatikan yaitu pembayaran dan penyerahan barang terjadi dalam satu
waktu transaksi tanpa adanya penundaan.

5. Jual beli tangguh ( bai nasiah dan muajjal)


Ba’i Al Muajjal adalah jual beli yang pembayarannya ditangguhkan atau
dicicil. Maksudnya penjual menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli
dengan harga yang disepakati bersama, tetapi pembayaran harganya tidak secara
tunai, melainkan ditangguhkan sampai pada jangka waktu yang ditentukan.
Terkadang penjual menerima sebagian hartanya secara tunai, sedangkan sisanya
dibayar secara angsuran. Terkadang penjual tidak menerima sedikitpun uang muka,
melainkan seluruh harganya dibayar secara kredit .
Ba’i Al Muajjal (jual beli kredit) merupakan salah satu bentuk jual beli yang
telah lama dikenal masyarakat. Pada umumnya orang yang membeli suatu barang
secara kredit, baik secara keseluruhan atau sebagian dari harga, menunjukkan bahwa
orang tersebut sangat membutuhkan barang tersebut sementara ia tidak memiliki uang
untuk membayar harganya secara tunai. Oleh karena itu, pemberian kesempatan
baginya untuk mendapatkan barang yang dibeli secara kredit dari penjual dapat
membantu meringankan kesulitan yang dihadapinya . Sehingga dengan adanya jual
beli secara kredit (Ba’i Al Muajjal) ini akan terjalin sikap tolong menolong,
Dari Suhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan:
jual beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”.(HR. Ibnu Majah) .
Ba’i Al Muajjal (jual beli kredit) disunnahkan, bila bertujuan meringankan
pembeli sehingga tidak menambah harga disebabkan kredit tersebut, sedangkan
penjual mendapatkan pahala atas kebaikannya. Kredit diperbolehkan, bila bertujuan
mendapatkan laba penjualan, sehingga harga dinaikkan sebab pembayaran kredit.
Pembayaran angsuran dibayar sesuai tempo yang disepakati bersama .
Ba’i Al Muajjal (jual beli kredit) mewujudkan kemaslahatan yang akan
kembali kepada penjual dan pembeli. Kemaslahatan penjual terimplementasikan
dalam wujud mempermudah jalan dan membuka peluang menjadikan barang
dagangan lebih banyak terjual. Sementara kemaslahatan bagi pembeli adalah
mendapatkan barang yang sangat dibutuhkannya pada saat ia tidak memiliki uang
yang cukup untuk pembayaran secara tunai, jadi ia bisa menunda pembayarannya
beberapa kali sesuai kondisi keuangannya
Perkataan Bay’ adalah perkataan bahasa Arab yang bermaksud jual beli.
Perkataan alNasi’ah pula bermaksud tangguh. Perkataan al-Nasi’ah berasal daripada
akar kata nasa’a yansa’u dan jamaknya ansa’ dan niswa’. Dari segi bahasa ia
mempunyai dua makna iaitu al-ta’khir dan al-zajar. Lawannya adalah perkataan al-
Naqd yang bermaksud tunai. Manakala dari segi istilah, hasil daripada penelitian
terhadap kitab-kitab klasik pelbagai mazhab, penulis tidak menemui pengertian bagi
Bay’ al-Nasi’ah kecuali pengertianpengertian yang diberikan oleh sarjana masa kini
dan sebahagian imam mazhab Syiah. Ia mungkin disebabkan oleh para fuqaha‟
menerima pakai pengertian umum al-Bay’. Justeru, Bay’ al-Nasi’ah secara umum
bermaksud jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli di mana pembayaran
harga barangan dilakukan secara bertangguh.
Secara istilah, Bay’ al-Nasi’ah ditakrifkan sebagai jualan tunai barangan
dengan harga bayaran dalam tanggungan kepada tempoh atau beberapa tempoh
tertentu (bay’ ‘ayn hadirah bi thaman muqaddar fi al-dhimmah ila ajal aw ajal
ma’lumah). Ringkasnya, Bay’ al-Nasi’ah ialah jual beli suatu barangan secara tunai
dengan bayaran ditangguhkan bagi satu tempoh atau beberapa tempoh tertentu.
6. Jual beli angsur
Arti dari bai‟ adalah menjual sedangkan pengertian taqsith, secara bahasa
adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.
Adapun secara istilah, jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan
pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu
pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak
dari harga kontan atau dengan kata lain bai‟ bittaqsith ialah menjual sesuatu dengan
pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih
mahal dari pada pembayaran kontan atau tunai. Secara umum bai bittaqsith lebih
dikenal dengan sebutan pembelian secara kredit. Ada beberapa pedoman yang dapat
dijadikan pegangan dalam memahami maksud bai‟ bit taqsith secara syar‟i.
Bai bittaqsith atau jual beli secara taqsith juga memiliki aturan tertentu, para
ulama telah merinci beberapa ketentuan mengenainya, yaitu :
1) Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan
pembeli.
2) Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo
pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai‟ gharar atau bisnis penipuan.
3) Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan
lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada
praktik riba.
4) Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli
dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar
tidak termasuk kategori bai‟ muththarr atau jual beli dengan terpaksa yang dikecam
Nabi SAW.
Tidak diragukan lagi bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab atau
sunnah, dianjurkan bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai
dengan apa yang mencocoki keadaannya. Adanya persyaratan dari penjual agar hak
kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir, yaitu
pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti
kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan
terakhir. Hal ini diperbolehkan jika dimaksudkan agar pembeli komitmen dan serius
dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak
diikutkan dalam perhitungan barang yang bangkrut sehingga merugikan penjual

7. Jual beli musawamah (tawar menwar)


Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, dimana penjual tidak
memberitahukan haga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
Adapun definisi jual beli yang jami’ dan mani’ adalah definisi yang
dikemukakan oleh Zuhayli yaitu sebagai berikut:
(Akad saling tukar menukar harta walaupun dalam tanggungan, adanya saling
tawar menawar dalam harga dengan cara-cara tertentu yang bertujuan memindahkan
kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi).
Penjelasan makna definisi di atas adalah sebagai berikut:
1)‫َض ٍة‬َ ‫ َع ْق ُد ُمعا َو‬maknanya mencakup jenis akad seperti jual beli, sewa menyewa,
salam, syirkah dan lain-lainnya yang termasuk ke dalam akad mu’awadhah.
2).‫َِ ٍة‬1َ‫ َماِل‬maknanya sesuatu yang dipandang harta oleh syara’, hal ini
mengecualikan bangkai, khamr dan lain-lainnya.
3).‫لْو ِف ال ِّذ َّم ِة‬ 1ََْ ‫ َو‬maknanya adalah walaupun salah satu pengganti harta itu disifati
dalam tanggungan (barangnya belum ada), tetapi yang lainnya ada (sifat, jenis dan
bentuknya), maka hal tersebut memasukkan akad salam ke dalam akad jual beli.
4).‫ ٍة‬11‫ ُذوْ ُمكيَ َس‬maknanya yaitu saling tawar menawar dalam harga sehingga
menimbulkan keridhaan kedua belah pihak, hal ini mengecualikan akad hibah,
sedekah dan wakaf karena semua akad tersebut tidak ada tawar menawar di dalamnya.
ْ ‫ْد ِم‬1ُُْ ِ‫وج ٍه يفُي‬
5).‫ َع ٍة‬1َ‫ْو َمن َْْف‬1ََْ ‫لكَ َعي ٍْن ا‬ َْ ‫ َع‬maknanya ialah ungkapan yang menunjukkan saling
suka sama suka, baik melalui ucapan, perbuatan maupun isyarat yang bertujuan untuk
memiliki benda atau manfaatnya.
6).‫ ِْد‬11ِ‫ َع التَّأ ْبي‬artinya adalah mengecualikan akad sewa menyewa atau upah
mengupah dan pinjam meminjam, karena kedua akad tersebut tujuannya bukan
memiliki barang melainkan manfaatnya untuk sementara waktu

8. Jual beli banderol (price tag)


Mu’āṭāh berasal dari kata ( ‫ ) َعطَيُي ْعط ُي‬bermakna dia saling memberi dalam
bentuk mufā’alah (saling bekerja) dari kata ‫ َعطَي‬yaitu saling menyerahkan tanpa ada
akad (ijab kabul). Jaul beli dengan sistem mu’āṭāh adalah jual beli yang hanya dengan
penyerahan dan penerimaan tanpa ada ucapan atau ada ucapan tetapi dari satu pihak
saja
Defini yang senada dikemukakan oleh Wahbah Al-Zuhaili dalam karyanya,
Fiqih Imām Syafi’i, bahwa ba’i mu’āṭāh yaitu kedua belah pihak menyepakati harga
dan barang yang diperjual belikan, dan saling menyerahkan tanpa ijab dan kabul, atau
terkadang hanya sepihak saja yang mengucapkan ijab kabulnya
Jual beli seperti ini banyak terjadi di pusat-pusat perbelanjaan, seperti si
pembeli mengambil berbagai jenis barang yang sudah dituliskan harga di atasnya, lalu
ia mengambil barang-barang tersebut dan membayarnya tanpa menanyakan harganya.
Para ulama dari kalangan Malikiyyah dan Hanabilah menyebutkan tentang sahnya
jual beli mu’ahtah ini, selama hal itu menjadi kebiasaan masyarakat setempat,
sehingga menunjukkan adanya keridhaan dari kedua belah pihak (penjual dan
pembeli). Adapun ulama dari kalangan Syafi’iyyah mensyaratkan sahnya akad ini
dengan menyebutkan lafazh-lafazh (ijab qabul) yang jelas atau dengan tulisan. Dan
mereka berkata, “Jual beli ini tidak sah (tanpa adanya lafazh yang sharih (jelas) atau
tulisan yang menunjukkan ijab qabul-penj).
Cara kerjanya sendiri (jual beli mu’āṭāh) sebagaimana dijelaskan dalam
ensiklopedia Islam, bahwa jual beli tersebut terdapat dua macam, yaitu; pertama serah
terima dengan cara pembeli mengambil sendiri, kemudian pembeli menyerahkan uang
sebagai penggantinya, atau dengan cara penjual memberikan kepada pembeli,
kemudian pembeli menyerahkan uang ganti dari pembelian tersebut, singkat kata
tanpa ada ucapan maupun isyarat dari kedua belah pihak (pembeli dan penjual); dan
kedua yaitu salah satu pihak, baik pembeli maupun penjual ada ucapan, maksudnya
ucapan membeli atau menjual yang keluar dari pembeli atau penjual. Jadi, dapat
diketahui dengan jelas sistem jual beli mu’āṭāh ini tetap ada penjualnya, hanya tidak
ditemukan ucapan atau ada ucapan, tetapi hanya dari salah satu pihak saja (penjual
atau pembeli).

9. Jual beli muzayadah ( lelang)


Muzayadah (‫ )مزايدة‬artinya adalah saling melebihkan atau salilng menambahi.
Penetapan harga berdasarkan muzayadah dalam kehidupan sehar-hari tidak lain
adalah lelang.
Dalam jual-beli sistem lelang, penjual menawarkan suatu barang dengan harga
awal tertentu, dimana para calon pembeli datang berkumpul untuk bersaing secara
sehat dalam memperebutkan barang yang dijual berdasarkan nilai harga tertinggi.
Muzayadah hukumnya dibenarkan dalam Islam. Yang dilarang adalah
menyerobot barang yang telah disepakati untuk dijual kepada pembeli dengan harga
yang lebih tinggi.
Seperti A telah sepakat menjual mobilnya kepada B dengan harta 100 juta.
Tiba-tiba datang C menyerobot dengan menyodorkan uang 110 juta, sehingga A
membatalkan kesepakatannya dengan B.
Hukum jual beli dengan cara lelang menurut pendapat para ulama, yaitu
menurut al-Kasni dan Ibn Human, ulama dari Mazhab Hanâfi mengatakan jual beli
lelang (al-muzâyadah) tidak dilarang karena Rasulullah Saw. secara pribadi
mempraktikkan hal tersebut. Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang,
tapi ada juga yang memakruhkannya karena terdapat sumber hukumnya yang
berbeda. Jumhur (mayoritas ulama) membolehkan lelang, dasarnya adalah apa yang
dilakukan langsung oleh Rasulullah Saw. di masa beliau hidup. Hadis yang
membolehkannya antara lain:
Dari Anas bin Malik ra. bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang
menemui Nabi Saw. dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi Saw. bertanya
kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab, “Ada.
Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir
untuk meminum air.” Nabi Saw. berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu
kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi Saw. bertanya, “Siapa yang mau
membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau
membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi Saw. bertanya lagi,” Ada yang mau
membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi Saw. menawarkannya hingga dua
atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata, “Aku mau
membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi Saw. memberikan dua barang
itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya
kepada lelaki Anshar tersebut… (H.r. Ahmad, Abû Dawud, al-Nasa`i, dan al-
Tirmidzi).

10. Jual beli munaqash (tender)


Munaqashah, yaitu persaingan diantara beberapa penjual untuk menjual
barangnya kepada satu pembeli, dimana pihak yang menawarkan harga yang paling
murah yang akan dipilih.
Bai’Munaqosah (Tender) adalah suatu proses penyeleksian yang melibatkan
beberapa perusahan yang mana pemenang akan melaukan kerjasama dengan
perusahan tersebut. Contoh ; pemerintah pusat sedang menjalankan proyek
pembangunan gedung DPR baru , pemerintah pusat memerlukan bahan-bahan untuk
pembuatan gedung tersebut . kemudian pemerintah melakukan tender dengan
perusahan-perusahan yang dapat menyediakan barang-barang kebutuhan tersebut .
dalam penyeleksiannya terdapat lima perusahan yang mengikuti tender .kemudain
kelima perusahan tersebut menyerah kan proposal mereka dan
menpresentasiakannya . setelah itu pemerintah akan memilih perusahan yang mana
yang akan memenangkan proses terder tersebut, setelah mempetertimbangkan dengan
seksama sesuai kebutuhan nya.[8]
Bai’Munaqosah (tender) juga memiliki makna penawaran yaitu suatu
penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan
(acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi suatu
hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi.
Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh
pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa
berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat bersaing
menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup
(sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka
secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga
maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi.
Bai’Munaqosah (tender) juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek
di mana pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek
mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa
yang sesuai.
Sistem pengadaan barang dan jasa pada umumnya menggunakan mekanisme
penawaran yang terbuka, sesuai dengan prinsip persaingan sehat. Penawaran tender
yang mengesampingkan prinsip tersebut akan mengakibatkan inefisiensi, tidak efektif,
non akuntabilitas serta tidak tepat sasaran yang dituju. Oleh karena itu, dalam proses
tender harus mengedepankan prinsip keterbukaan, sehingga pelaku usaha memperoleh
akses tanpa diskriminasi atas pelaku usaha tertentu dalam menjalankan sistem
perekonomian. Salah satu aktivitas yang dilarang dalam penawaran tender adalah
persekongkolan penawaran tender.
Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:
1. memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan;
2. mengadakan barang dan jasa;
3. membeli suatu barang dan jasa
4. menjual suatu barang dan jasa

 Hukum Bai’Munaqosah
Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan
hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk
mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana
diminati. Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran
hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan
panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya:
1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an
taradhin)
2. objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat,
3. kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual,
4. kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya
manipulasi seperti window dressing atau lainnya
5. kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan
perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan
tender dan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam
praktik lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam
praktik Najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw.
(HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam
kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas
ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak
memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya.

5. Jual beli inah


Kata ‘al-‘inah” berasal dari bahasa Arab yang berarti “tunai” atau “segera”.
Tetapi, yang dimaksud dengan bay-‘inah adalah menjual harta dengan bayaran
angsuran, kemudian segera membelinya kembali dengan bayaran tunai. Menurut al-
Bahuty, bay’ al-‘inah adalah penjualan barang kepada seseorang dengan harga kredit
dan barang diserahkan kepada pembeli, kemudian dibeli kembali oleh penjual
sebelum mengambil bayarannya dengan uang tunai lebih kecil dari harga asalnya.
Menurut al-Jauhari kata “inah” bermakna pinjaman dan utang. Dia
mengatakan bahwa ‘inah’ adalah jika ada seorang pedagang menjual barang secara
kredit, kemudian dia membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah. Jual beli
secara ‘inah berarti seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran
diangsur, lalu barang itu diserahkan kepada pembeli, kemudian penjual itu, membeli
kembali barangnya sebelum uangnya lunas dengan harga lebih rendah dari harga
pertama.
Pendapat ulama berbeda tentang bay’ al-‘inah, Abû Hanîfah mengatakan
hukum nya fâsid, sedangkan Imam Mâlik dan Hambali mengatakan akadnya batal.
Abû Yûsuf berpendapat bahwa bay’ al-‘inah hukum nya makruh, sedangkan
pandangan para sahabat seperti Aisyah dan Ibn Abbas dan dari tabi’in Ibn Sirin, al-
Sha’bi dan pandangan jumhur ulama hukum bay’ al‘inah haram. Mayoritas ulama
fikih selain Imam Syâfi’i menyatakan bahwa jual beli ini adalah rusak (fâsid) dan
tidak sah. Karena, jual beli ini menjadi sarana munculnya riba dan menyebabkan
terjadinya sesuatu yang dilarang oleh Allah sehingga jual beli ini tidak sah. Namun
mazhab Imam Syâfi’i membolehkan penggunaan kontrak bay’ al‘inah karena akad
jual beli yang dilakukan telah memenuhi rukun yaitu ijâb dan qobûl, tanpa
memandang kepada niat pelaku.
Masalah jual beli ‘inah adalah masalah klasik yang –secara tidak sengaja−
terus berkembang hingga saat ini. Di mana jual beli ‘inah ini merupakan hillah
(rekayasa) perdagangan yang bertujuan untuk meraup keuntungan semata. Rasulullah
Saw melarang jual beli ‘inah karena terdapat unsur riba yang merugikan pihak lain.
sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridha
dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekorekor sapi dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan
yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”.
(HR. Abu Daud).

Hadist di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw melarang jual beli ‘inah,
diungkapkan oleh beliau bahwa akibat bagi pelaku jual beli ‘inah ini adalah kehinaan
yang tidak pernah dilepaskan oleh Allah Swt.Diantara cara jual beli ‘inah yang
populer di dalam tulisan para ahli fikih adalah seseorang menjual suatu barang yang
pembayarannya (ditangguhkan), lalu penjual tersebut segera membelinya (barang
tadi) secara tunai dengan harga yang lebih rendah (dari yang ditawarkan). Lebih
jelasnya bisa diilustrasikan berikut:Misalnya; bapak A menjual sebuah mobil kepada
ibu B seharga 100 juta rupiah secara tangguh (kredit), yang berarti mobil langsung
diserahkan kepada ibu B (pada waktu terjadi akad) sedangkan uang akan diserahkan
pada enam bulan mendatang, kemudian di waktu yang sama bapak A membeli
kembali mobil tersebut dari ibu B seharga 80 juta rupiah dibayar secara tunai, yang
berarti mobil tadi kembali kepemilikannya kepada bapak A. Sedangkan ibu B
memperoleh uang tunai saat ini sejumlah 80 juta rupiah, tetapi masih mempunyai
kewajiban membayar hutang pada bapak A sejumlah 100 juta pada enam bulan
mendatang. Bentuk akad seperti ini dikenal oleh kalangan ahli fikih sebagai jual beli
‘inah.
6. Jual beli tawaruq
Tawarruq (bahasa Arab) berasal dari kata wariq, artinya karakter atau simbol
dari perak. Dalam kamus Muhiith kata tawarruq berasal dari kata kertas dan koin
dirham yang terbuat dari perak atau uang yang terbuat dari dirham. Jamak dari
tawarruq adalah awraaq yaitu kertas yang berfungsi menggantikan uang atau uang
kertas. Kata tawarruq ini digunakan untuk mengartikan mencari perak, sama dengan
kata ta’allum, yang artinya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kemudian
diartikan lebih luas lagi menjadi mencari uang tunai dengan berbagai cara, yaitu bisa
dengan mencari perak, emas atau semacamnya (Al-Fairuzi).
Bai’ tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan beberapa pihak,
ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan cara
pembayaran tunda (kredit), kemudian pembeli pertama menjual kembali barang
tersebut kepada pembeli lain dengan tunai.
Pada asalnya, bai’ tawarruq terjadi ketika seseorang dalam keadaan dhoruroh
memerlukan uang tunai (likuiditas), kemudian membeli barang dari pihak I dengan
cara cicilan (credit) dan tempo waktu kredit telah ditentukan. Kemudian ia menjual
kembali barang tersebut kepada pihak III dengan harga lebih rendah secara tunai
(cash).

Pembagian Mekanisme Tawarruq


Tawarruq dibagi menjadi tiga mekanisme yaitu:
1. Seseorang yang membutuhkan uang tunai (likuiditas), membeli barang dari pihak I
dengan cara cicilan (credit) dan tempo waktu kredit telah ditentukan. Kemudian ia
menjual kembali barang tersebut kepada pihak III tanpa sepengetahuan pihak I
dengan harga lebih rendah secara tunai (cash).
2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, kemudian berusaha
meminjam, tapi orang yang dituju tidak ingin meminjamkan uang tunai melainkan
orang tersebut menawarkan barang dagangannya untuk dibeli oleh mutawarriq secara
kredit. Kemudian mutawarriq dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang
lain dengan harga lebih rendah atau lebih tinggi secara tunai.
3. Seseorang yang membutuhkan uang tunai, kemudian berusaha meminjam tapi orang
yang dituju tidak ingin meminjamkan uang tunai, dia menawarkan barang
dagangannya dengan harga tinggi oleh orang yang membutuhkan likuiditas (secara
kredit). Kemudian barang tersebut dapat dia jual kembali dengan harga rendah
ataupun lebih tinggi secara tunai. (khiyar yang diberikan penjual adalah khiyar paksa
kepada mutawarriq yang sangat membutuhkan dana tunai).

Pendapat Yang Memperbolehkan


Ulama yang membolehkan dan menganggap sah transaksi tawarruq berlandaskan kepada
ayat-ayat al-Qur’an dan qaidah fiqhiyah, yaitu: “Semua transaksi jual beli halal, kecuali
transaksi jual beli yang telah ada dalil pengharamannya oleh al-Qur’an dan Sunnah.”
Selain itu terdapat hadist Bukhari-Muslim yang dijadikan sandaran para ulama untuk
membolehkan tawarruq, yaitu: ketika seorang petani dari Khaibar datang kepada
Rasulullah SAW dengan membawa kurma kualitas terbaik. Rasulullah SAW bertanya
kepadanya: “Apa semua kurma Khaibar sangat bagus kualitasnya?” petani menjawab:
“Tidak, saya telah menukar dua kilo gram kurma berkualitas rendah dengan satu kilogram
kurma berkualitas unggulan.” Mendengar jawaban petani tersebut, Rasulullah SAW
melarangnya dan menyarankan untuk menjual semua kurma berkualitas rendahnya secara
tunai untuk mendapatkan uang, kemudian membeli kurma dengan kualitas unggulan.
Pendapat Yang Melarang
Ulama yang menolak transaksi tawarruq berargumentasi bahwa adanya niatan untuk
mendapatkan uang dengan cara yang sama seperti menjual uang demi mendapatkan uang
lebih, sementara barang tersebut digunakan untuk media transaksi bukan berdasarkan niat
kepemilikan barang tersebut. Maka terlihat jelas bahwa dalam transaksi ini ada unsur
manipulasi untuk mendapatkan uang tunai dengan rekayasa dua macam pembayaran yang
berbeda untuk menghindari riba.
Apabila hasil akhir dari sebuah transaksi adalah untuk mendapatkan uang, maka praktik
transaksi ini sama halnya untuk mendapatkan riba. Ini berdasarkan kesepakatan para
ulama bahwa hasil akhir dari transaksi sangatlah penting dan menentukan sah atau
tidaknya sebuah transaksi tersebut, dengan demikian tawarruq sama halnya dengan ‘innah
yang telah dilarang transaksinya oleh Rasulullah SAW karena memiliki tujuan yang sama
yaitu mendapatkan uang tunai dan bukan kepemilikan barang yang telah dibelinya.
Ibnu ‘Abbas ra. Berkata: “Hal demikian merupakan transaksi uang terhadap uang dengan
meletakkan kain sutra di tengah-tengah transaksi.”
Daftar Pustaka
Hidayat, R. (2019). Analisis Kedudukan Waktu dalam Keabsahan Praktek Jual Beli Syariah. Al-
Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 4(1), 125-142.

Sarwat, A. (2018). Fiqih Jual-beli (Vol. 6). Lentera Islam.

Wati, I. (2013). BA’I AL MUAJJAL DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada


Pedagang Masyarakat Desa Naga Beralih Kecamatan Kampar Utara Kabupaten
Kampar) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Dewi, T. R., Rohmah, M., & Kurniawan, R. (2020). KANTIN KEJUJURAN SEBAGAI SARANA
PENANAMAN SIFAT JUJUR PADA PESERTA DIDIK DI SEKOLAH TINGKAT DASAR. MIDA:
Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 3(1), 44-52.

Dita, T. S. (2019). Praktik jual beli kantin kekujuran di kampus III UIN Walisongo Semarang
kaitannya dengan konsep ba’i mu’āṭāh menurut Wahbah Az-Zuhaili (Doctoral dissertation, UIN
Walisongo).

Mulyawisdawati, R. A., & Afif, M. (2018). Jual Beli Model ‘Inah di Lembaga Keuangan Syariah:
Tinjauan Konsep, Hukum dan Implementasi. Falah: Jurnal Ekonomi Syariah, 3(1), 67-77.

Nik, M. Z. A. R., & Suliaman, I. (2011). Analisis pendekatan ulama Hadith terhadap Hadith Bay’Al-
Nasi’ah Dalam Sharh Sahih Al-Bukhari.

LARASATI, N., & Diana, Z. (2020). ANALISIS JUAL BELI FOLLOWERS DI INSTAGRAM DA.
LAM PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI NO. 110/DSN-MUI/IX/2017 TENTANG AKAD JUAL
BELI (Doctoral dissertation, IAIN SURAKARTA).

Artaty, A. (2017). TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRAKTEK TENGKULAK DALAM JUAL


BELI KARET MENTAH (Studi di Desa Gedung Riang Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten
Way Kanan) (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Mubarokah, S. (2008). ANALISIS FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL MAJELIS ULAMA


INDONESIA No. 28/DSN-MUI/III/2002 TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).

Saputra, A. (2016). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Muslim dalam Taqsith


Konsumtif (Studi: Ibu Rumah Tangga Perumahan Kemiling Permai Kota Bengkulu) (Doctoral
dissertation, IAIN Bengkulu).

Ab Rahman, A., Mohamad, S., & Salleh, I. M. (2019). Bay ‘al-tawarruq dan Aplikasinya dalam
Pembiayaan Peribadi di Bank Islam Malaysia Berhad. Jurnal Syariah, 18(2), 333-360.

ISLAM, J. S. D. E. JUAL BELI (AL-BAI’): JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT.

Al Amruzi, M. F. (2016). MEMBUMIKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Al-Banjari: Jurnal Ilmiah


Ilmu-Ilmu Keislaman, 14(2).

Rachmawati, E. N. (2015). Akad jual beli dalam perspektif fikih dan praktiknya di pasar modal
Indonesia. Al-'Adalah, 12(2), 785-806.

Anda mungkin juga menyukai