Dedi 0 5694 https://ngaji.id/klik/2a
Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan
kepada kita. Lalu bagaimana kita bersyukur kepada Allah? Banyak orang berkata, “kita
bersyukur” Lalu bagaimana tata cara merealisasikan syukur itu sendiri?
Tentunya merealisasikan syukur adalah sesuatu yang mudah, InsyaAllah. Akan tetapi
kita butuh kepada sesuatu yang bisa memberikan pemahaman tentang hakikat
daripada syukur itu sendiri.
“Masuk diwaktu pagi ini di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang
kafir kepadaKu. Adapun orang yang mengatakan, ‘kami dihujani dengan karunia Allah
dan rahmatNya, dia adalah orang yang beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang-
bintang. Adapun orang yang berkata, ‘kami dihujani dengan bintang ini dan itu’ Maka ia
adalah orang yang kafir kepadaKu dan ia beriman kepada bintang-bintang.”
Saudaraku, lihat, hamba ini menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah. Berarti orang
yang menisbatkan nikmat kepada Allah dan mengakui dengan hatinya bahwasannya
nikmat itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka berarti ia telah bersyukur kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini adalah merupakan syarat yang pertama dikatakan seorang hamba bersyukur
kepada Allah. Yaitu pengakuan dengan hati bahwasannya nikmat itu semuanya berasal
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah hamba yang bersyukur.
Kemudian yang kedua, saudaraku, hamba yang bersyukur adalah yaitu yang
mengucapkan dengan lisannya. Dia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memuji
Allah dan berucap Alhamdulillah. Maka ia telah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Karena saudaraku, Allah sangat suka dan sangat cinta untuk dipuji. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Allah cinta kepada hamba-hambaNya yang suka memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, saudaraku, orang yang senantiasa memuji adalah hamba-hamba yang
dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwasanya seorang hamba apabila telah makan lalu ia
mengucapkan:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan kepadaku makanan ini dan
memberikan rizki kepada ku makanan ini dengan tanpa ada daya dan upaya kecuali
melainkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Subhanallah, saudaraku, berarti hamba ini adalah hamba yang bersyukur kepada Allah.
Hamba ini, ia mengetahui bahwasanya nikmat itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semua kenikmatan yang kita rasakan itu dari Allah, maka Pujilah Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Bahkan musibah yang menimpa kita hendaknya kita memuji Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
ْ
»«ال َح ْم ُد هَّلِل ِ َعلَى ُك ِّل َحا ٍل
Subhanallah,
Adapun yang (ketiga), saudaraku, maka sesungguhnya orang yang bersyukur kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang menggunakan kenikmatan ini dalam rangka
beribadah kepada Allah, menggunakan kenikmatan itu untuk beramal shalih,
menggunakan kenikmatan yang Allah berikan kepada dia berupa nikmat sehat dan
nikmat berbagai macam nikmat berupa harta, kemudian ia gunakan untuk dijalan Allah,
ia infakkan hartanya dijalan Allah, ia jadikan kesehatannya untuk beribadah kepada
Allah. Berapa banyak orang yang tertipu oleh kesehatan dan waktu luang? Berapa
banyak orang yang tidak menggunakan kesehatan dan waktu luangnya? Pada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan
dan waktu luang.” (HR. Ibnu Majah)
Pertama, mengakui dengan hati, bahwa ini adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan ia nisbatkan nikmat itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun
kemudian ia menisbatkan nikmat kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
itulah kufur kepada Allah. Disebutkan dalam ayat Allah Ta’ala berfirman ketika
menyebutkan tentang si Qorun yang ia berkata:
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-
Qashash[28]: 78)
Qarun menisbatkan nikmat kepada dirinya. Ia mengatakan bahwa aku diberikan harta
yang banyak seperti ini akibat daripada kecerdasanku, daripada kepintaranku.
Subhanallah, si Qarun telah kufur nikmat. Ia menisbatkan nikmat itu kepada dirinya.
Andaikan dia menisbatkan nikmat itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu dia
akan menjadi orang-orang yang bersyukur.
Akan tetapi saudaraku, seorang hamba tentunya mengakui bahwasanya nikmat itu dari
Allah. Oleh karena itu saudaraku, termasuk kufur nikmat ketika ia menisbatkan nikmat
itu kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pujilah Allah yang telah memberikan
nikmat kepada kita. Berapa banyak nikmat apabila kita hitung kita tidak akan bisa
menghitungnya.
“Kalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah kamu tidak akan bisa menghitungnya.”
(QS. An-Nahl[16]: 18)
Manfaat Bersyukur
Saudaraku, seorang hamba ketika bersyukur kepada Allah, Allah akan tambahkan lagi.
Allah berfirman:
﴾٧﴿ َوإِ ْذ تَأ َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَئِن َشكَرْ تُ ْم أَل َ ِزي َدنَّ ُك ْم ۖ َولَئِن َكفَرْ تُ ْم إِ َّن َع َذابِي لَ َش ِدي ٌد
KIetika kita bersyukur kepada Allah, mensyukuri nikmat yang begitu banyak yang
memberikan kepada kita, Allah akan tambahkan tambahkan dan tambahkan lagi,
Subhanallah. Diberikan keberkahan dalam kalimat kita.
ِ إِ َذا َرأَيْتَ هللاَ تَ َعالَى يُ ْع ِطي ْال َع ْب َد ِمنَ ال ُّد ْنيَا َما يُ ِحبُّ َوهُ َو ُمقِي ٌم َعلَى َم َعا
ص ْي ِه فَإِنَّ َما َذلِكَ ِمنهُ ا ْستِ ْد َرا ٌج
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya,
padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal
itu adalah istidraj (diulur oleh Allah) dari Allah.”(HR. Ahmad)
َاب ُك ِّل َش ْي ٍء َحتَّى إِ َذا فَ ِرحُوا بِ َما أُوتُوا أَخ َْذنَاهُ ْم بَ ْغتَةً فَإ ِ َذا هُ ْم ُم ْبلِسُون
َ فَلَ َّما نَسُوا َما ُذ ِّكرُوا بِ ِه فَتَحْ نَا َعلَ ْي ِه ْم أَ ْب َو
“Ketika mereka telah melupakan apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami
bukakan pintu-pintu segala sesuatu; sehingga apabila ia telah gembira merasa senang
dengan apa yang Allah berikan kepada dia, sekonyong-konyong adzab kami menimpa
dia, ternyata dia pun termasuk orang-orang yang bersedih hati.” (QS. Al-An’am[6]: 44)
Subhanallah, saudaraku, lihatlah! Orang ini diberikan kenikmatan oleh Allah akibat
maksiatnya. Ternyata itu tanda bahwa ia di istidraj (diulur oleh Allah supaya bertambah
kesesatannya). Ini sesuatu yang sangat menakutkan sebagai seorang Mukmin.
Ternyata nikmat itu berubah menjadi malapetaka. Nikmat itu akibat daripada ia tidak
mensyukurinya. Ia gunakan nikmat itu untuk berbuat maksiat kepada Allah.
Maka, saudaraku, ketika seorang hamba diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
kenikmatan, kemudian ia mengintropeksi dirinya, ia memeriksa dirinya, apakah
kenikmatan ini akibat ketaatan dia? Ketika kenikmatan menghampiri kita dan kita ingat
Alhamdulillah selama ini kita berbuat ketaatan, maka pujilah Allah. Itu adalah sebagai
sebuah keberkahan yang Allah berikan kepada hamba.
Tapi ketika nikmat itu menghampiri kita setelah kita berbuat maksiat, Subhanallah.. Ini
yang menakutkan diri kita, ini yang membuat kita khawatir, jangan-jangan ini istidraj.
Subhanallah, saudaraku, Imam Ahmad bin Hambal pernah disampaikan kepada beliau,
“Apa itu wahai Imam Ahmad, orang-orang memuji engkau Imam Ahmad” Tapi apakah
kata Imam Ahmad bin Hambal?
Beliau berkata, “Aku khawatir ini istidraj dari Allah agar aku tambah sesat.”
Subhanallah, rupanya Imam Ahmad bin Hambal merasa khawatir apabila nikmat itu
berupa pujian manusia, berupa apapun yang Allah berikan kepada kita ternyata itu
menjadi sebuah istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Makanya, saudaraku, kita diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wajib kita
syukuri. Dan kita pun juga hendaknya ketika diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala, intropeksi diri. Jangan sampai ternyata nikmat itu akibat maksiat-maksiat yang
Allah berikan kepada kita.
﴾١٥﴿ فَأ َ َّما اإْل ِ ن َسانُ إِ َذا َما ا ْبتَاَل هُ َربُّهُ فَأ َ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَ ْك َر َم ِن
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.” (QS. Al-Fajr[89]:
15)
Parameter seorang Mukmin tiada lain adalah keimanan dan ketakwaan. Maka dari itu
ya akhi, nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita berupa nikmat kesehatan, nikmat
waktu luang, nikmat harta benda, nikmat diberikan kemudahan kita untuk memakan
makanan-makanan yang lezat, gunakanlah itu semuanya untuk mentaati Allah.
Sehingga kenikmatan itu tidak berubah menjadi malapetaka untuk hidup kita.
Maka kemudian kita berusaha untuk istiqamah diatas jalan yang haq. Kemudian kita
senantiasa berdo’a kepada Allah:
Maka itulah, saudaraku, Hamba yang bersyukur, hamba yang berbahagia. Setelah
diberikan kenikmatan oleh Allah di dunia, Allah pun memberikan kenikmatan di akhirat.
Itu sesuatu yang tentunya kita harapkan.
Ini saja yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan yang saya sampaikan bermanfaat.