Anda di halaman 1dari 16

BAB I.

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini
cukup besar karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam
penggunaannya dibatasi, termasuk dalam bidang dermatologi koretikosteroid merupakan
pengobatan yang sering diberikan kepada pasien.
Kortikosteroid adaah derivate dari hormon kortikosteroid yang dIhasilkan oleh
kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula
darah, oto dan resistensi tubuh.
Berdasarkan cara pengunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topical. Sebagian besar efek yang diharapkan dari pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Terapi dalam obat
ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi pengendalian atau paliatif saja, kecuali
pada insufisiensi korteks adrenal.
Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat
menolong penderita. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat
dipersingkat, misalnya dermatitis, penyakit berat yang dulu dapat menyebabkan kematian,
misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan
kortikosteroid, demikian pula sindrom stevens jhonson dan nekrolisisepidermal toksik.
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid sudah
menjadi kegiatan sehari-hari dalam poliklinik kulit. Sejak salap hidrokortison asetat pertama
kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada tahun1952, perkembangan pengobatan
kortikosteroid berjalan dengan pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak pula
ditemukan jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dan efek samping yang semakin sedikit.
Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan mengenai mekanisme kerja serta pemahaman
pathogenesis berbagai penyakit, khususnya peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan ini
kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.

1
BAB II. KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian


korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik  (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis
pada tubuh, misalnya tanggapan terhadapstres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan
pengaturan inflamasi, metabolismekarbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah,
serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,sedangkan
bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata danglomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
penyimpanan glikogen hepar dankhasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya
pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini
adalah kortisoldan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga
glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.
 Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K , sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangatkecil. Oleh karena itu
mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini adalah
desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang
berarti, kecuali 9α-fluorokortisol , meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan
sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu
besar.

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi

2
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid.

Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum dan melalui membran sel
untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan sel-sel lain yang terdapat epidermis dan dermis.
Pada waktu memasuki jaringan, kortikosteroid berdifusi menembus sel membran dan terikat
pada kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis
steroid.
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang berhubungan dengan
mekanisme kerja yang berbeda, antara lain adalah efek anti-inflamsi, imunosupresif,
antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh
ikatan kortikosteroid pada reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks obat-
reseptor ke daerah nukleus DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive element,
dimana lalu bisa menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang berdampingan, dengan
demikian meregulasi proses inflamasi.
 Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.
Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menghibisi
pelepasan phospholipase A2, suatu enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain. Kortikosteroid juga
menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen pro-inflamasi.
Gen-gen ini diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran dalam resolusi inflamasi.
Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1α (IL-1α), sitokin proinflamasi
penting, dari keratinosit. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi
kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom
dalam memfagositosis sel.
 Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Kortikosteroid menekan
produksi dan efek faktor-faktor humoral yang terlibat dalam proses inflamasi,
menginhibisi migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotel,

3
granulosit, sel mast dan fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.
 Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi sintesis dan mitosis
DNA, yang sebagian menjelaskan terapi obat-obat ini pada dermatosis dengan scale.
Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.
 Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi masih belum jelas, namun
dianggap berhubungan dengan inhibisi vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan
prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis
berkonstraksi, sehingga mengurangi edema.

Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi.


Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada
kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi.
Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh
mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.
Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul
hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila
yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia
yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya).

Klasifikasi
Kortikosteroid topikal berdasarkan potensi anti-inflamasi dan anti-proliferasi dibagi
menjadi beberapa golongan, mulai dari golongan dengan potensi lemah, sedang, kuat
dan sangat kuat. United State Pharmacopeial Drug Information for the Health Care
Professional membagi kortikosteroid menjadi 4 golongan :

I. Potensi Lemah − Deksametason 0,04-0,1%


− Metilprednisolon 0,25-1%
− Hidrokortison asetat 0,1-1%
 

4
II. Potensi Sedang − Clobetason butyrat ,05%
− Desoksimetason 0,05%
− Diflucorto lon valerat 0,1%
− Hidrokortison butyrat 0,1%
− Mometason furoat 0,1%
− Triamsinolon asetonid 0,1%
 

  − Betametason dipropionat 0,05%


III. Potensi Kuat − Desoksimetason 0,25%
− Triamsinolon asetonid 0,5%
− Halcinonid 0,025%
 

IV. Potensi Sangat − Diflucortolon valerat 0,03%


Kuat − Clpbetasol propionat 0,05%
 

Berdasarkan potensi anti-inflamsi dan anti-mitotiknya, kortikosteroid topikal dibagi menjadi


7 golongan (Cornell dan Stoughton, cit. Hamzah, 2005), yaitu :

KLASIFIKASI NAMA GENERIK NAMA DAGANG


Golongan I (Super Poten) 0.05% betamethasone Diprolene ointment
dipropionate Diprolene AF cream
  Psorcon ointment
0.05% diflorasone diasetat Temovate ointment
0.05% clobetasol Temovate cream
propionate Ultravate ointment
  Ultravate cream
0.05% halobetasol
propionate

Golongan II (potent) 0.1% amcinonide Cyclocort ointment


0.05%betamethasone Diprosone ointment

5
dipropionate Elocon ointment
0.01% ,o,etason fuorate Florone ointment
0.05% diflorasone diacetate
Halog ointment, cream,
0.01% halcinonide
0.05% fluocinonide solution
0.05% diflorasone diacetate Lidex ointmen, cream, gel,
0.05% betamethasone
solution
diproprinate
0.25% desoximetasone Maxiflor ointment
0.05% desoximetasone Maxivate ointment, cream
Topicort ointment, cream,
gel
Golongan III (Potensi 0.1% triamcinolone Aristocort A ointment
Tinggi) acetonide Cutivate ointment
0.005% fluticasone Cyclocort cream
propionate Cyclocort losion
0.1% amcinonide Diprosone cream
  Flurone cream
0.05% betamethasone Lidex E cream
dipropianate Maxiflor cream
0.05% diflorosone Maxivate losion
diacetate Topicort LP cream
0.05% fluocinonide Valisone ointment
0.05% diflorosone
diacetate
0.05% betamethasone
dipropianate
0.05% desoximethasone
0.01% betamethasone
valerate

Golongan IV (Potensi 0.1% triamcinolone Aristocort ointment


Medium) acetonide Cordran ointment
0.5% flurandrenolide Elocon cream
0.1% momethasone Elocon losion
furoate Kenalog ointment

6
  Kenalog cream
0.1% triamcinolone Synalar ointment
acetonide Westcort ointment
 
0.025% fluocinolone
acetonide
0.2% hydrocortisone
valerate

Golongan V (Potensi 0.5% flurandrenolide Cordran cream


Medium) 0.05% fluticasone Cutivate cream
propionate Dermatop cream
0.1% prednicarbate Diprosone losion
0.05% betamethasone Kenalog losion
dipropianate Locoid ointment
0.1% triamcinolone Locoid cream
acetonide Synalar cream
0.1% hydrocortisone Tridesilon ointment
butyrate Valisone cream
  Westcort cream
0.025% fluocinolone
acetonide
0.05% desonide
0.1% betamethasone
valerate
0.2% hydrocortisone
valerate

Golongan VI (Potensi 0.05% aciomethasone Aclovate ointment


Medium)   Aclovate cream
0.1% triamcinolone Aristocort cream
acetonide DesOwen cream
0.05% desonide Kenalog cream
0.025% triamcinolone Kenalog losion

7
acetonide Locoid solution
  Synalar cream
0.1% hydrocortisone Synalar solution
butyrate Tridesilon cream
0.01% fluocinolone Valisone losion
acetonide  
 
0.05% desonide
0.1% betamethasone
valerate

Golongan VII (Potensi Obat topikal dengan hidrokortison, deksamethasone,


Lemah) glumethalon, prednisolone dan metilprednisolone

Dosis
Sebagai aturan kerja, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 45
g/minggu untuk kortikosteroid topikal poten atau 100 g/minggu untuk potensi sedang dan
lemah jika absorpsi sistemik dihindari.
Penyakit-penyakit yang sangat responsif biasanya akan memberikan respon pada
preparat steroid lemah, sedangkan penyakit yang kurang responsif memerlukan steroid
topical potensi menengah atau tinggi. Kortikosteroid topikal potensi lemah digunakan pada
daerah wajah dan intertriginosa. Kortikosteroid sangat poten seringkali diperlukan pada
hiperkeratosis atau dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak tangan dan kaki.
Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit dengan ulserasi atau atrofi.
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2 atau 3 minggu) atau secara
intermiten. Saat control terhadap penyakit sudah dicapai sebagian, penggunaan gabungan
potensi lemah harus dimulai. Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya pemakaian hanya
pada pagi hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan) dilakukan ketika control terhadap penyakit
sudah tercapai sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba harus dihindari setelah
penggunaan jangka panjang untuk mencegah rebound phenomena.

Kortikosteroid topikal bisa diberikan dalam segala bentuk vehikulum. Salep


(campuran minyak/lemak dan petrolatum yang tidak dapat larut dalam air) merupakan

8
preparasi terbaik dalam menangani kondisi pada area yang berkulit tebal seperti telapak
tangan atau kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan
penetrasi dan potensi kortikosteroid. Satu-satunya keluhan adalah rasa berminyak pada area
yang dioleskan.
Krim (W/O) lebih mudah dioleskan, cocok secara kosmetik dibandingkan salep.
Namun vehikulum ini mengandung zat emulsif dan preservatif yang mungkin memicu reaksi
alergi.
Lotion (O/W) bermanfaat seperti krim karena melarutkan kortikosteroid dan
menyebar lebih mudah pada kulit. Cairan terdiri dari air, alkohol dan propilene glikol. Gel
adalah komponen padat pada suhu ruangan ,tetapi larut begitu dioleskan pada kulit. Lotion,
cairan dan gel kurang dapat menembus kulit, tetapi dapat dipakai pada area yang berambut
seperti kulit kepala, walaupun penderita akan mengeluhkan minyak pada kepala. Semprotan
yang mengandung steroid adalah cara mudah, tetapi kurang efisien sehingga jarang
digunakan.
Busa/foam adalah vehikulum terbaru yang sangat efisien, terpilih untuk digunakan
dalam kosmetik dan dapat ditoleransi dengan baik. Bila dioleskan pada kulit, suhu tubuh akan
memecahkan struktur busa dan membawa bahan aktif ke dalam kulit dengan residu yang
sedikit.

Menurut Sukanto (2004) secara garis besar kemampuan penetrasi dari kortikosteroid ke
dalam epidermis dipengaruhi oleh 4 faktor, antara lain :
1. Tempat pengolesan dengan penetrasi yang kuat antara lain, kulit skrotum, vulva, dahi,
aksila dan kulit kepala lebih permeabel dibanding kulit lengan, telapak kaki dan
tangan. Penetrasi yang kuat juga dapat terjadi pada lapisan epidermis yang tipis,
seperti pada orang tua, anak kecil dan bayi. Dan pada kulit yang meradang dengan
peningkatan vaskularisasi, penetrasi obat kortikosteroid jadi lebih kuat.

2. Penambahan bahan keratolitik yang dapat melunakkan lapisan tanduk dari epidermis,
seperti asam salsilat 2-3%, Propilen glikol, polietilen glikol dan gliserol sebagai
optimizing vehicle, membantu pelepasan steroid dari vehikulum dan sebagai
humektan yang menghidrasi lapisan tanduk sehingga dapat meningkatkan penetrasi.

3. Vehikulum misalnya sediaan ointment, penetrasinya lebih baik dibandingkan krim


dan losio. Fungsi utama vehikulum ini antara lain:

9
a) mengeringkan atau melembabkan lesi kulit.

b) melarutkan, membawa, menahan serta melepaskan bahan aktif.

c) meningkatkan permeabilitas dan penetrasi ke dalam kulit.

4. Bebat oklusi poli-etilen menyebabkan kenaikan suhu dan hidrasi epidermis, sehingga
meningkatkan penetrasi obat ke jaringan kulit.

Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat
pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid bersifat
paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas anti-inflamasinya pada
penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan untuk efek antimitotik dan
kapasitasnya utnuk mengurangi sistesis molekul-molekul connective tissue. Variebel
tertentu harus dipertimbangkan saat mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid
topikal. Contohnya respon penyakit terhadap kortikosteroid topical yang bervariasi.
Dalam hal ini, bisa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif
sedang, dan kurang responsif.

Tabel 1. Responsivitas Penyakit Kulit terhadap Kortikosteroid Topikal


Highly Responsive Moderately Responsive Least Responsive
Psoriasis (intertriginous) Psoriasis Palmo-plantar psoriasis
Atopic dermatitis (children) Atopic dermatitis (adult) Psoriasis of nails
Seborrheic dermatitis Nummular eczema Dyshidrotic eczema
Intertrigo Primary irritant dermatitis Lupus erythematous
Popular urticaria Pemphigus
Parapsoriasis Lichen planus
Lichen simplex chronicus Granuloma annulare
Necrobiosis lipoidica
diabeticum
Sarcoidosis
Allergic contact dermatitis,
acute phase
Insect bites

10
Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam penyerapan
kortikosteroid untuk beberapa alasan. Karena anak-anak dan bayi memiliki rasio lebih
tinggi dalam luas permukaan kulit terhadap berat badan, aplikasi pada daerah yang
diberikan mengakibatkan dosis steroid sistemik yang secara potensial lebih besar.
Bayi juga kurang mampu memetabolisme kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi
premature terutama memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat
topical yang diberikan akan sangat meningkat. Penyerapan kortikosteroid topikal yang
berlebihan bisa menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian terapi
steroid topikal setelah terapi jangka panjang dapat, walaupun jarang, menyebabkan
addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang kronik juga dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol, maka anak harus secara
perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk mencegah komplikasi ini.

Pasien usia tua juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan
peningkatan penetrasi kortikosteroid topical. Pasien usia tua juga lebih mungkin
memiliki pre-existing atrofi kulit sekunder karena penuaan.

Efek Samping
Efek samping dapat terjadi apabila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
sangat oklusif.

Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid menjadi beberapa tigkat,


yaitu:
• Efek Epidermal
Efek ini antara lain:
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi
dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan.

11
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini
muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid interakutan.

 Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang
terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya
akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

 Efek Vaskular
Efek ini termasuk:
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah
yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi
lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.

Secara klinis, efek samping pemakaian kortikosteroid topikal menurut Sukanto (2004) dapat
berupa:

a. Atrofi

Kerusakan kulit akibat kortikosteroid topikal disebabkan oleh khasiat antimitosis yang
kuat dan akibat penyempitan pembuluh darah setempat, sehingga menyebabkan
penurunan sintesa kolagen, perubahan jaringan ikat dan jaringan penyangga pembuluh
darah, kemudian menyebabkan atrofi epidermis, teleangiaktasis, purpura, striae,
hambatan penyembuhan luka. Dan pada kulit yang atrofi, penetrasi obat
kortikosteroid makin kuat, kemudian menambah kerusakan kulit.

Atrofi kulit ini menyebabkan, epidermis tipis seperti kertas (tissue paper appearance)
purpura, ekimosis, teleangiektasis dan striae, akibat hilangnya jaringan ikat dan atrofi
jaringan lemak di bawah kulit.

12
b. Dermatitis perioral

Dermatitis perioral merupakan papillae eczematous dengan skuama sekitar bibir yang
gatal dan panas, terutama akibat pemakaian kortikosteroid potensi kuat,
patogenesisnya belum diketahui secara pasti, infeksi sekunder Candida albicans akan
memperberat penyakitnya.

c. Rosasea

Berupa lesi eritematus di muka yang menetap disertai atrofi, teleangiektasis, papel
dan pustule akibat pemakaian kortikosteroid kuat topikal dalam waktu yang lama.
Penetrasi dari pemakaian kortikosteroid topikal pada daerah muka atau kepala akan
meningkat akibat adanya folikel kelenjar sebasea, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek samping ini.

d. Dermatitis kontak alergika

Dermatitis kontak alergika akibat pemberian kortikosteroid topikal dapat disebabkan


oleh kortikosteroid sendiri atau oleh bahan pembawanya. Tidak jarang terjadi reaksi
silang di antara preparat kortikosteroid tersebut karena persamaan dasar dari
strukturnya, misalnya betametason valerat dengan hidrokortison, triamsinolon dengan
halsinonid dan flusinonid. Uji tempel dengan bahan yang dicurigai dapat membantu
menentukan penyebab, umumnya digunakan tixocortol pivalate 1% di dalam vaselin
dan budesonide 1% dalam ethanol, dapat mendeteksi alergi terhadap kortikosteroid
topikal sampai 90%.

e. Infeksi

Pemakaian kortikosteroid topikal memudahkan timbulnya infeksi bakteri, jamur dan


virus disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh setempat menurun, pemberian
kortikosteroid topikal pada infeksi jamur kulit menyebabkan gambaran klinis tidak
jelas, sehingga menyukarkan diagnosis disebut Tinea Incognito. Pemakaian sediaan
kombinasi kortikosteroid dan antibiotik sebaiknya hanya digunakan dalam jumlah
sedikit dan waktu singkat.

f. Gangguan penyembuhan luka

13
Pemakaian kortikosteroid topikal dapat menghambat penyembuhan luka yang sudah
ada, karena khasiat anti-inflamasinya melalui efek vasokonstriksi pembuluh darah
kecil, menghambat ekstravasasi leukosit dan eksudasi plasma. Penurunan jumlah
leukosit ini, menyebabkan berkurangnya reaktivitas jaringan ikat dan terjadi hambatan
pada pembentukan fibroblas dan granulasi. 

g. Hipertrikosis

Pemakaian kortikosteroid topikal jangka panjang terutama yang berpotensi kuat,


merangsang pertumbuhan rambut setempat sehingga terbentuk hipertrikosis
lokalisata. Hal ini karena efek androgenik dari kortikosteroid, sehingga hipertrikosis
dapat terjadi juga pada pemakaian topikal hormon androgen.

h. Takifilaksis

Pemakaian kortikosteroid topikal jangka panjang terutama golongan potensi kuat,


dapat terjadi efek takifilaksis, yaitu khasiat obat akan menurun sesudah dipakai terus-
menerus selama 5-9 hari. Khasiat akan meningkat kembali setelah pemakaian
kortikosteroid berkhasiat kuat tersebut dihentikan sementara. Sehingga untuk
menghindari terjadinya takifilaksis dan mendapatkan hasil pengobatan optimal, maka
pada pemakaian kortikosteroid potensi kuat jangka panjang, sesudah hari pemakaian
harus diselingi dengan golongan kortikosteroid yang lebih lemah beberapa hari.

KONTRA INDIKASI

Penderita hipersensitif terhadap kortikosteroid dapat menimbulkan dermatitis kontak alergi,


rosasea, acne drugs eruption dan dermatitis perioral. Tidak diindikasikan untuk pengobatan
lesi kulit karena infeksi jamur, virus, skabies, ulkus, pruritus genital dan perianal

14
BAB III. KESIMPULAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian


korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik  (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar.

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul


hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid.

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.

Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas anti-inflamasinya pada


penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan untuk efek antimitotik dan kapasitasnya
utnuk mengurangi sistesis molekul-molekul connective tissue. Variebel tertentu harus
dipertimbangkan saat mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid topikal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A.C. dan Hall, J.E., 1995, Efek Anti-inflamasi Kortisol, Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, 9th ed, EGC, Jakarta: 1212 – 1213.

Hamzah, M., 2005, Dermato-Terapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds),
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta: 344 - 347.

Sukanto, H., 2004, Penggunaan Klinis Kortikosteroid Topikal Secara Umum, SMF
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNAIR,

http://www.dexamedica.com/test/htdocs/dexame dica/article_files/penggunaklin.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai