Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

Gangren Pedis Sinistra

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Priode 12 Agustus – 19 Oktober 2019

Disusun Oleh :

Retno Wulandari

112018003

Pembimbing :

dr. Susie Setyowati, Sp.PD-KEMD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Dengan Judul

Gangren Pedis Sinistra

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO – DITKESAD, JAKARTA

Disusun Oleh :

Retno Wulandari

112018003

Telah Disetujui Oleh

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal Pengesahan

dr. Susie Setyowati, Sp.PD-KEMD

RSPAD GATOT SOEBROTO 1


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini telah menjadi tantangan sekaligus
kepuasan tersendiri bagi penulis untuk mengimplimentasikan ilmu yang telah diperolehnya
pada rotasi stase ini. Sangat disadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan doa dari
begitu banyak pihak hingga tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga
terselesaikan tugas akhir ini. Melalui kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Susie Setyowati, Sp.PD-KEMD selaku
pembimbing dan mentor yang telah memberikan informasi, kritikan, dan saran yang
membangun untuk untuk dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan
karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu dengan kerendahan
hati saya mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca
guna perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 30 September 2019

Penulis

RSPAD GATOT SOEBROTO 2


DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………… 1


Kata Pengantar ………………………………………………… 2
Daftar Isi ………………………………………………… 3
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 5
Latar Belakang ………………………………………………… 5
BAB II. LAPORAN KASUS ………………………………………………… 6
2.1 Identitas Pasien ………………………………………………… 6
2.2 Anamnesis ………………………………………………… 6
2.3 Pemeriksaan Fisik ………………………………………………… 7
2.4 Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………… 14
2.5 Resume ………………………………………………… 15
2.6 Daftar Masalah ………………………………………………… 15
2.7 Pengkajian Masalah 15
2.6.1 Gangren Regio Dorsum Pedis Sinistra…….. 15
……………………………
2.6.2 Anemia Normositik 16
Nomokrom…………………………………………
2.6.5 Hiponatremi pada DM tipe 2………. 17
……………………………………
2.6.6 Diabetes Mellitus tipe 2………..…….…………………………………. 17
2.8 Follow Up ………………………………………………… 18
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 22
3.1 Diabetes Melitus ………………………………………………… 22
3.1.1 Manidestasi Klinis ………………………………………………… 22
3.1.2 Kriteria Diagnosis ………………………………………………… 22
3.1.3 Tata Laksana ………………………………………………… 23
3.1.4 Komplikasi ………………………………………………… 26
3.2 Ulkus Diabetik ………………………………………………… 26
3.2.1 Epidemiologi ………………………………………………… 26
3.2.2 Etiologi ………………………………………………… 27
3.2.3 Patofisiologi ………………………………………………… 27

RSPAD GATOT SOEBROTO 3


3.2.4 Klasifikasi Kaki Diabetik …………………………………………….. 28
3.2.5 Faktor Risiko ………………………………………………… 30
3.2.6 Tata Laksana ………………………………………………… 32
3.3 Anemia Pada Diabetes …………………………………………………. 34
3.4 Gangguan Keseimbangan Natrium ………………………………………… 35
BAB IV. PEMBAHASAN KASUS ………………………………………………… 37
BAB V. KESIMPULAN ………………………………………………… 39
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 40

RSPAD GATOT SOEBROTO 4


BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah sindroma kronik gangguan metabolisme atau resistensi


insulin pada jaringan yang dituju. Terdapat dalam dua bentuk utama yaitu diabetes melitus
tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 yang berbeda etiologi, patologi, genetik, juga onset, dan
terapinya.1 Diabetes tipe 2 adalah yang paling sering diantara semua jenis diabetes dan
semakin meningkat seiring perubahan sosial dan budaya. 2 Pada diabetes tipe 2 tubuh mampu
memproduksi insulin namun menjadi resisten sehingga insulin tidak efektif. Seiring waktu,
tingkat insulin kemudian menjadi tidak mencukupi. Baik resistensi insulin maupun defisiensi
menyebabkan kadar glukosa darah tinggi.3

Sekitar 425 juta orang orang dewasa berusia 20-79 tahun diseluruh dunia diperkirakan
menderita diabetes. Pada 2017 sekitar 9,5% orang dewasa berusia 20-79 tahun di daerah
Pasifik Barat diperkirakan hidup dengan diabetes, ini setara dengan 158,8 juta jiwa. Pasifik
Barat adalah rumah bagi 37,4% dari total jumlah penderita diabetes di dunia dengan 1,3 juta
kematian di antara orang dewasa. Dari urutan tersebut Indonesia menempati urutan ke 7
dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia.4

Jika dalam perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang dibiarkan dan tidak
dikelola dengan baik, diabetes rnelitus akan menyebabkan terjadinya berbagai penyulit akut
maupun komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.

Komplikasi neuropati perifer adalah yang paling penting dimana hilangnya sensasi
distal. Adanya keluhan dan kernudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik
rnengharuskan kita untuk berusaha rnengsndalikan konsentrasi glukosa darah sebaik
rnungkin. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Kaki
diabetes dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki
diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer (peripheral arterial
disease), ataupun kombinasi keduanya. Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di
bawah pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas
hidup pasien.5,6

RSPAD GATOT SOEBROTO 5


BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : Ny. Suminar Asih


Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 20/11/1978 (40 tahun)
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl Kp Cikoneng Baru RT 04/02 Jati Uwung
No. RM : 375466
Masuk RS : Sabtu, 21 September 2019, pukul 13.25
Dilakukan pemeriksaan : Rabu, 25 September 2019

II.2 ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 25 September 2019, pukul 10.30 WIB
alloanamnesis pada tanggal 25 September 2019, pukul 11.00 WIB

Keluhan Utama
Luka pada kaki kiri sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Satu minggu SMRS pasien mengeluhkan muncul luka pada kaki kiri, luka muncul
karena tergores sendal, mula-mula luka berupa goresan lama-kelamaan menjadi besar,
kemerahan, bernanah, dan tercium bau tidak sedap, nyeri tidak ada. Pasien juga
mengatakan kaki kiri dan kanan terasa baal saat menginjak ubin.

RSPAD GATOT SOEBROTO 6


Dua minggu SMRS pasien mengeluhkan lemas, lemas dirasakan sepanjang hari,
pasien mengatakan untuk berjalan +- 5 menit pasien sudah merasa kelelahan, lemas
juga tidak berkurang saat pasien beristirahat. Keluhan gusi mudah berdarah (-), mimisan
(-), memar yang sulit hilang (-), bintik-bintik perdarahan (-), keringat malam (-),
penurunan bb (-), sulit menelan (-), mual (-), muntah (-). Napsu makan baik, pasien
makan 3x sehari. BAK tidak ada nyeri tidak ada darah. BAB tidak ada keluhan.
Demam (+) sejak +- 1 minggu SMRS, demam menggigil, demam turun setelah
pemberian paracetamol, saat ini pasien sudah tidak demam
Pasien memiliki riwayat sakit DM sejak 2003 dan rutin minum metformin
3x500mg, serta glimepiride 2x3mg.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat diabetes melitus ± 16 tahun
 Riwayat hipertensi, penyakit jantung dan penyakit ginjal disangkal

Riwayat Pengobatan
 Metformin 3 x 500mg
 Glimepirid 2 x 3mg

Riwayat Penyakit Keluarga


 Ibu pasien menderita diabetes melitus

Riwayat Sosial
 Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol

Riwayat Makanan
Frekuensi : 3-4 kali per hari
Jumlah : 8-10 sendok
Variasi : Bervariasi
Nafsu makan : Nafsu makan baik

II.3 PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan di lantai 5 Ruang 6 Perawatan Umum Paviliun Darmawan pada tanggal 25

RSPAD GATOT SOEBROTO 7


September 2019

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 65 Kg
Keadaan gizi : Pre-obese (IMT 23.8 Kg/m2)
Tekanan darah : 122 /76 mmHg
Nadi : 92 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 kali/menit, reguler, abdominotorakal
Suhu : 36,7 oC
Kesadaran : Compos Mentis  GCS E4M6V5
Cara berjalan : Normal
Mobilisasi : Aktif

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses piker : Wajar

Kulit
Warna : Kuning langsat (skin pthototype 4)
Effloresensi : Tidak ditemukan kelainan
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Merata, tidak ditemukan kelainan
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum (+)
Kelembapan : Lembab
Turgor : Baik
Lapisan lemak : Tipis, merata
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada

Kelenjar Getash Bening (KGB)


Submandibula : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesare

Kepala
Wajah : Tampak pucat
Simetri muka : Simetris
Rambut : hitam dan putih, tebal dan tersebar merata
Pembuluh darah : tidak ada kelainan

RSPAD GATOT SOEBROTO 8


temporal

Mata
Exophthalmus : tidak ada
Enopthalmus : tidak ada
Kelopak : ptosis (-), edema (-), hiperemis (-)
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik -/-
Lensa : Jernih
Visus : tidak diperiksa
Gerak bola mata : Normal
Lapang pandang : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Deviatio conjugae : tidak ada
Nistagmus : tidak ada

Telinga
Tuli : Normotia Selaput : Utuh
Liang : lapang
pendengaran
Serumen : +/+ Penyumbatan : tidak ada
Cairan : -/- Perdarahan : tidak ada

Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1, tenang
Langit – langit : tidak ada celah Bau pernafasan : tidak berbau khas
Faring : tidak hiperemis Trismus : tidak ada
Lidah : merah muda Selaput lendir : Normal

Leher
Tekanan vena jugularis : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar

Dada
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Buah dada : simetris, tidak ditemukan kelainan

Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis
dan dinamis dan dinamis,
Kanan Gerak dada simetris saat statis Gerak dada simetris saat statis

RSPAD GATOT SOEBROTO 9


dan dinamis, dan dinamis
Palpasi Kiri Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Kanan Sela iga normal, nyeri tekan Sela iga normal, nyeri tekan (-),
(-), fremitus taktil normal fremitus taktil normal
Perkusi Kiri Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultas Kiri Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
i dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada
Kanan Suara nafas vesikuler, ronkhi Suara nafas vesikuler, ronkhi dan
dan wheezing tidak ada wheezing tidak ada

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga 5, linea midklavikularis
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : -Batas kanan sela iga 3 linea parasternalis dextra
-Batas kiri sela iga sela iga 5, linea aksillaris anterior sinistra
-Batas atas sela iga 2 linea parasternalis kiri
-Batas bawah sela iga 6 linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh darah
Arteri temporalis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri karotis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri brakhialis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri radialis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri femoralis : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri poplitea : teraba pulsasi, kuat, regular
Arteri tibialis posterior : - dextra, tidak teraba pulsasi
- sinistra, tidak teraba pulsasi
Arteri dorsalis pedis : - dextra, tidak teraba pulsasi
- sinistra, tidak teraba pulsasi

Abdomen
Inspeksi : Perut datar, simetris, bekas operasi (-), massa (-), caput
medusae (-), spider nevi (-), jaringan parut (-)
Palpasi
Dinding perut : Supel (+), nyeri tekan (-), massa (-)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar

RSPAD GATOT SOEBROTO 10


Ginjal : Ballotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani, pekak diatas massa hepar, shifting dullnes (-),
undulasi (-),
Auskultasi : Bising usus 12 kali/menit, normoperistaltic

Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal, tidak ada nyeri Normal, tidak ada nyeri
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Lain – lain - -

Alat Kelamin (atas indikasi)


Tidak dilakukan, tidak ada indikasi

Tungkai dan kaki


Kanan Kiri
Luka Tidak ada Ulkus pada dorsum pedis
sinistra ukuran 6x5 cm
dengan dasar kemerahan,
dan terdapat jaringan
nekrotik dengan pus di
metatarsal digiti II
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normotrofi Normotrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5

RSPAD GATOT SOEBROTO 11


Edema Tidak ada Tidak ada

Lain – lain Regio pedis dextra baal, Regio pedis sinistra baal,
nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Gambar 1. Regio dorsum pedis sinistra


Klasifikasi PEDIS : tampak ulkus pada dorsum pedis sinistra tanpa gangguan perfusi dengan
ukuran 6x5x1cm, serta terdapat tanda-tanda infeksi berupa kemerahan, demam, leukositosis
dan terdapat gangguan sensibilitas pada plantar dan dorsum pedis sinistra.
Refleks

Kanan Kiri
Bicep + +
Tricep + +
Patella + +

RSPAD GATOT SOEBROTO 12


Achilles + +
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kulit + +
Patologis _ -

II.4 Pemeriksaan Penunjang

JENIS HASIL NILAI


PEMERIKSAAN RUJUKAN
21/09 22/09 25/09
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 7.6* 7.3* 10.6* 13 – 18 g/dL
Hematokrit 24.7* 22* 32* 40 – 52 %
Eritrosit 2.6* 3.7* 4.3 – 60 juta/µL
Leukosit 16000* 18450* 17490* 4,800 - 10,800/µL
Trombosit 327000 332000 456000* 150,000–400,000/µL
Hitung Jenis :
 Basofil 0 0 0–1%
 Eosinofil 1 0* 1–3%
 Neutrofil 79* 79* 50 – 70 %
 Limfosit 12* 13* 20 – 40 %
 Monosit 8 8 2–8%
MCV 85 85 80 – 96 fL
MCH 28 29 27 – 32 pg
MCHC 33 33 32 – 36 g/dL
RDW 13.40 13.00 11.5 – 14.5 %
LED < 20 mm
KIMIA KLINIK
Ureum 35
Kreatinin 1.0
Glukosa Darah 80 – 140 mg/dL
303* 428* 138
(Sewaktu)
Natrium (Na) 132* 135 – 147 mmol/dL
Kalium (K) 3.7 3.5 – 5.0 mmol/dL
Klorida (Cl) 98 95 – 105 mmol/dL
SGOT (AST) 17 < 35 U/L
SGPT (ALT) 19 < 40 U/L

RSPAD GATOT SOEBROTO 13


II.5 RESUME

Seorang perempuan usia 40 tahun dengan keluhan luka pada kaki kiri sejak 1 minggu
SMRS, luka berbau tidak sedap, luka tidak nyeri, tampak kemerahan dan pus. Kedua kaki
pasien juga terasa baal. Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 2 minggu SMRS. Lemas
dirasakan sepanjang hari dan tidak berkurang saat istirahat. Demam (+) sejak +- 1 minggu
SMRS. Keluhan lain (-)
Pemeriksaan Fisik tanda-tanda vital dalam batas normal, status generalis pada mata
konjutiva anemis +/+, pada ekstremitas bawah sinistra tampak ulkus pedis dengan ukuran
6x5cm dengan dasar kemerahan, dan tampak jaringan nekrotik dengan pus dimetatarsal digiti
II.
Pemeriksaan Penunjang hematologi rutin didapatkan, HB 7.6, HT 24.7, Leukosit
16.000, Trombosit 327.000, MCV/MCH/MCHC 85/28/33, GDS 303, Na/K/cl 132/3.7/98

II.6 DAFTAR MASALAH

1. Gangren pada regio dorsum pedis sinistra


2. Diabetes Mellitus tipe 2 belum terkendali
3. Hiponatremi pada DM Tipe 2
4. Anemia normositik normokrom dd ec infeksi dd ec penyakit kronis

II.7 PENGKAJIAN MASALAH

1. Kaki diabetes regio dorsum pedis sinistra


Dasar diagnosis
Anamnesis : - Pasien mengeluhkan luka di kaki kiri sejak 1
minggu SMRS
- Luka tidak nyeri, berbau tidak sedap, dan bernanah
- Riwayat diabetes melitus ±16 tahun
Pemeriksaan fisik : Klasifikasi PEDIS : tampak ulkus pada dorsum pedis
sinistra tanpa gangguan perfusi dengan ukuran
6x5x1cm, serta terdapat tanda-tanda infeksi berupa
kemerahan, demam, leukositosis dan terdapat
gangguan sensibilitas pada plantar dan dorsum pedis

RSPAD GATOT SOEBROTO 14


sinistra.
Pemeriksaan penunjang : - Leukosit 211410 /µL  leukositosis
- GDS : 303
Rencana diagnosis : - Kultur pus
Rencana monitoring : - Kurva KGDH
- Pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior
Rencana terapi : - Debridemen luka, perawatan luka dengan NaCl dan
madu
- Ampicillin 2x500mg PO
Edukasi dan rehabilitasi : - Edukasi cara membersihkan luka
- Edukasi penggunaan alas kaki pada pasien diabetes
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

2. Diabetes Mellitus tipe 2 belum terkendali

Dasar diagnosis
Anamnesis : -
Pemeriksaan Fisik : Klasifikasi PEDIS : tampak ulkus pada dorsum pedis
sinistra tanpa gangguan perfusi dengan ukuran
6x5x1cm, serta terdapat tanda-tanda infeksi berupa
kemerahan, demam, leukositosis dan terdapat
gangguan sensibilitas pada plantar dan dorsum pedis
sinistra.
Pemeriksaan penunjang : GDS 303mg/dl
Rencana diagnosis : HbA1c, GDP, GD2PP
Rencana monitoring : KGDH Senin-Kamis
Rencana terapi : Metformin 3x500mg, Glimepirid 2x2mg, Inj Insulin
Glargin 1x14 unit
Edukasi dan rehabilitasi : Rutin minum obat dan kontrol
Jaga kalori makanan
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

3. Hiponatremi pada DM tipe 2

Dasar diagnosis

RSPAD GATOT SOEBROTO 15


Anamnesis : -
Pemeriksaan penunjang : Elektrolit
 Natrium (Na) 132 mmol/dL  hiponatremi
 Kalium (K) 3.7 mmol/dL
 Klorida (Cl) 98 mmol/dL
Rencana diagnosis :-
Rencana monitoring :Cek elektrolit ulang setelah pemberian IVFD 24jam
Rencana terapi :IVFD RL 500cc/12jam
Edukasi dan rehabilitasi :Edukasi kondisi dan kemungkinan penyebab
Prognosis :
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

4. Anemia normositik normokrom dd ec infeksi dd ec penyakit kronis

Dasar diagnosis
Anamnesis : Pasien merasa lemas sejak 2minggu SMRS, lemas
tidak berkurang walau sudah beristirahat.
Pemeriksaan fisik : - Konjungtiva anemis +/+
Pemeriksaan penunjang : - Hematologi
 Hemoglobin 7.3 g/dL  anemia
 Hematokrit 22 %
 Eritrosit 2.6 juta/µL
 Leukosit 18.450 /µL  leukositosis
 Trombosit 332000 /µL
 MCV 85 fL  normositik
 MCH 28 pg  normokromik
 MCHC 33 g/dl
 GDS: 303mg/dl
Rencana diagnosis : - Retikulosit
- Sediaan darah tepi
Rencana monitoring : Pemeriksaan hematologi rutin dalam 2 – 4 minggu
Rencana terapi : Mencari etiologi penyebab terlebih dahulu
Edukasi dan rehabilitasi - Edukasi kondisi, pemeriksaan, dan tujuan
:
tatalaksana pada saat ini
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

RSPAD GATOT SOEBROTO 16


5. FOLLOW UP

Tanggal S–O A–P


(Intsruksi Dokter)
24/09/19 S : Badan lemas A:
O:
 Kesadaran compos mentis  Ulkus pedis sinistra, pus (+)
 Keadaan umum tampak sakit ringan  DMT2 belum terkendali
 Tanda – tanda vital  Hiponatremia
- Tekanan darah 110/80 mmHg
 Anemia
- Nadi 88 kali/menit
- Nafas 20 kali/menit
- Suhu 36,7 oC P:
 Mata: CA +/+, SI -/-  Diet DM 1500kal
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Lantus 1x14 unit
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Glimepirid 3mg 1-0-1
gallop (-)  Metformin 3x500mg
 Abd : perut supel, BU (+), nyeri tekan  Ampicillin sulbactam 4x 1.5g
(-)  PCT 3x500mg
 Pemeriksaan penunjang  GV/ hari
- GDS 382 mg/dl  KGDH Senin-Kamis
- Hb: 7.3  Tranfusi PRC 600cc
- Natrium: 132 meq/L
25/09/19 S : pasien mengatakan badan masih A:
lemas
O:  Ulkus pedis sinistra
 Kesadaran compos mentis  DM Tipe 2 belum terkendali
 Keadaan umum tampak sakit ringan  Anemia post transfusi
 Tanda – tanda vital
 Hiponatremi
- Tekanan darah 118/72 mmHg
- Nadi 80 kali/menit
- Nafas 20 kali/menit P:
- Suhu 36,8 oC  Diet DM 1500kal
 Mata: CA +/+, SI -/-  Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Lantus 1x 14unit
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Metformin 3x500mg
gallop (-)  Glimepirid 3mg 1-0-1
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  GV 1x/hari
(-)
 Pemeriksaan Penunjang : Hb 10.6
 GDS pagi : 200
 GDS siang : 315
 GDS malam : 198
26/09/201 S : keluhan tidak ada A
9  O: Tanda – tanda vital  Ulkus pedis sinistra
- Tekanan darah 120/78 mmHg

RSPAD GATOT SOEBROTO 17


- Nadi 84 kali/menit  Dm 2 belum terkendali
- Nafas 20 kali/menit  Anemia post transfuse
- Suhu 36,8 oC  Hiponatremi
 Mata: CA +/+, SI -/-
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/- P
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Diet DM 1500kal
gallop (-)  Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  Lantus 1x 14unit
(-)  Metformin 3x500mg
 Pemeriksaan Penunjang : Hb 10.6  Glimepirid 3mg 1-0-1
 GDS pagi : 138  GV 1x/hari
 GDS siang : 88
 GDS malam : 230
27/09/201 S : : Badan sudah tidak lemas A:
9 O:  Ulkus pedis sinistra
 Kesadaran compos mentis  DM Tipe 2 belum terkendali
 Keadaan umum tampak sakit ringan
 Anemia post transfusi
 Tanda – tanda vital
- Tekanan darah 111/73 mmHg  Hiponatremi
- Nadi 73 kali/menit
- Nafas 20 kali/menit P:
- Suhu 36,8 oC  IVFD RL 500cc/12 jam
 Mata: CA +/+, SI -/-  Diet DM 1500kal
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Lantus 1x 14unit
gallop (-)  Metformin 3x500mg
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  Glimepirid 3mg 1-0-1
(-)  GV 2x/hari
 Kultur pus swab
 Konsul bedah vaskular
28/09/10 S : : Badan sudah tidak lemas A:
O:  Ulkus pedis sinistra
 Kesadaran compos mentis  DM Tipe 2 belum terkendali
 Keadaan umum tampak sakit ringan
 Anemia post transfusi
 Tanda – tanda vital
- Tekanan darah 125/79 mmHg
- Nadi 90 kali/menit P:
- Nafas 20 kali/menit  IVFD RL 500cc/12 jam
- Suhu 36,4 oC  Diet DM 1500kal
 Mata: CA +/+, SI -/-  Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Lantus 1x 14unit
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Metformin 3x500mg
gallop (-)  Glimepirid 3mg 1-0-1
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  GV 2x/hari
(-)
 PP : Na/k/cl : 135/4.9/98
29/09/10 S : : Badan sudah tidak lemas A:
O:  Ulkus pedis sinistra

RSPAD GATOT SOEBROTO 18


 Kesadaran compos mentis  DM Tipe 2 belum terkendali
 Keadaan umum tampak sakit ringan  Anemia post transfusi
 Tanda – tanda vital  Hiponatremi
- Tekanan darah 115/82 mmHg
- Nadi 88 kali/menit
P:
- Nafas 20 kali/menit
 IVFD RL 500cc/12jam
- Suhu 36 oC
 Diet DM 1500kal
 Mata: CA +/+, SI -/-
 Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-
 Lantus 1x 14unit
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),
gallop (-)  Metformin 3x500mg
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  Glimepirid 3mg 1-0-1
(-)  GV 2x/hari
 Kultur pus swab
30/09/10 S : : Badan sudah tidak lemas A:
O:  Ulkus pedis sinistra
 Kesadaran compos mentis  DM Tipe 2 belum terkendali
 Keadaan umum tampak sakit ringan
 Anemia post transfusi
 Tanda – tanda vital
- Tekanan darah 110/80 mmHg  Hiponatremi
- Nadi 80 kali/menit
- Nafas 20 kali/menit P:
- Suhu 36,3 oC  IVFD RL 500cc/12 jam
 Mata: CA +/+, SI -/-  Diet DM 1500kal
 Pulmo: vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-  Ampicillin sulbactam 4x1.5g
 Cor: BJ I/II murni reguler, murmur (-),  Lantus 1x 14unit
gallop (-)  Metformin 3x500mg
 Abd: perut supel, BU (+), nyeri tekan  Glimepirid 3mg 1-0-1
(-)  GV 2x/hari
 PP : GDS 78  Cek Kultur pus swab

RSPAD GATOT SOEBROTO 19


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus polidipsisa, poliuria, polydipsia,
penurunan berat badan, dan kesemutan. Hiperglikemia kronik pada diabetes akan
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 5,6,7

3.1.1 Manifestasi Klinis Diabetes

Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang menurun
tanpa sebab yang jelas. Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila sudah tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.5
Kadang ketika penyakit telah terjadi beberapa saat, pasien dengan diabetes tipe 2 akan
menunjukkan bukti komplikasi neuropati atau kardiovaskular saat gejala muncul. Infeksi
kulit kronik sering terjadi. Pruritus umum dan gejala vaginitis sering merupakan keluhan
awal wanita dengan diabetes tipe 2. 8,9

3.1.2 Kriteria Diagnosis

Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel :


1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan)+
glukosa plasma sewaktu >200 mg/ dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

RSPAD GATOT SOEBROTO 20


2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/ dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

3.1.3 Tata Laksana

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa


pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatas jasmani dan penurunan
berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah - langkah
pendekatan non farmakologik tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM
belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.5
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe 2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tata- laksana DM tipe 2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar, yaitu:

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.10


1. Edukasi
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini atau saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan
pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan

mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.10,11


2. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing- masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,

RSPAD GATOT SOEBROTO 21


Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/ hari.10
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani teratur 3-4 kali seminggu, masing - masing selama kurang lebih 30
menit. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat aerobik seperti jalan santai, jogging,
bersepeda dan berenang. Latihan jasmani untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.10
4. Intervensi Farmakologi
- Antidiabetik oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).6
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. 6
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30 - 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. 6

RSPAD GATOT SOEBROTO 22


 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone. 6
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
 Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose. 6
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin. 6
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. 6

- Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan

RSPAD GATOT SOEBROTO 23


jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien
yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin
dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,
penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolism protein dan lemak.
Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian
besar jaringan menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi
pembentukan protein dan lemak dari glukosa.11
o Indikasi pemberian insulin yaitu : HbA1c >9% dengan kondisi dekompensasi
metabolic, penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang
disertai ketosis, krisis hiperglikemia, gagal dengan kombinasi OHO dosis
optimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi bsar, infark miokard akut,
stroke), kehamilan dengan DM/Diabetes Mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, kontraindinkasi dan atau alergi terhadap OHO, kondisi perioperative
sesuai dengan indikasi.11
3.1.4 Komplikasi

Komplikasi DM untuk peningkatan morbiditas, disabilitas, dan mortalitas dan


merupakan ancaman bagi ekonomi semua negara, terutama pada negara berkembang.10
Diabetes tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun, karena hiperglikemia
berkembang cukup bertahap dan biasanya pada awalnya bersifat asimtomatik. Meskipun
begitu pasien ini berisiko tinggi mengalami komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. 8
Jika hiperglikemia dibiarkan berkembang tanpa pemeriksaan, masalah yang mengancam jiwa
dapat muncul.12
Pada diabetes, komplikasi yang dihasilkan dikelompokkan sebagai penyakit
mikrovaskular karena kerusakan pembuluh darah kecil dan penyakit makrovaskular karena
kerusakan pada arteri. Komplikasi mikrovaskular termasuk penyakit retinopati, nefropati, dan
neuropati. Komplikasi makrovaskular utama termasuk penyakit kardiovaskular yang
dipercepat yang mengakibatkan infark miokard dan penyakit serebrovaskular yang
bermanifestasi sebagai stroke. Meskipun etiologi yang mendasari masih kontroversial, ada
juga disfungsi miokard yang terkait dengan diabetes yang muncul setidaknya sebagian untuk

RSPAD GATOT SOEBROTO 24


menjadi independen dari aterosklerosis. Komplikasi kronis lain diabetes termasuk depresi,
demensia, dan disfungsi seksual.8

3.2 Ulkus Diabetik

Menurut WHO lesi-lesi yang sering menyebabkan ulserasi kronis dan amputasi disebut
dengan istilah kaki diabetik. Lesi ini digambarkan sebagai infeksi, ulserasi dan rusaknya
jaringan yang lebih dalam yang berkaitan dengan gangguan neurologis dan vaskular pada
tungkai. Ulkus kaki diabetik adalah sebuah kerusakan komponen akibat perjalanan penyakit
diabetes dan disebabkan karena penurunan kontrol DM, neuropati perifer, dan penyakit
vaskular perifer. Ulkus kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang
disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati.
Ulkus diabetik mudah sekali menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan
adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman.1

3.3.1 Epidemiologi

Pasien DM memiliki kecendrungan tinggi untuk mengalami ulkus kaki diabetik yang
sulit sembuh dan risiko amputasi pada tungkai bawah, keadaan ini memberi beban
sosioekonomi baik bagi pasien dan masyarakat. Peningkatan populasi penderita DM
berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM,
dimana sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di dalam hidup
mereka. Sedangkan di Indonesia, prevalensi ulkus diabetik juga hampir sama, yaitu mencapai
angka 15% dari seluruh penderita DM.12

3.3.2 Etiologi

Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi.
Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau menurunkan sensasi
nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi
otot tungkai sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan
mengganggu aliran darah ke kaki penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan
dalam jarak tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati.12

3.3.3 Patofisiologi

RSPAD GATOT SOEBROTO 25


Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi,
neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan menyebabkan komplikasi
kronik neuropati perifer berupa neoropati sensorik, motorik dan autonom. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap
trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu
sensasi posisi kaki juga hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.10 Neuropati autonom ditandai
dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga
kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol
dan fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia,
serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita DM juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini disebabkan
proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea;
menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.

Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis.


Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak
di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot – otot kaki
karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama
dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes.
Proses angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia
membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi
ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum.12 Peningkatan HbA1C
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu,
sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian
jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya
reaktivitas trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan

RSPAD GATOT SOEBROTO 26


memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh darah yang
akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.

3.3.4 Klasifikasi Kaki Diabetes

Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah
para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di dunia. Dengan
klasifikasi PEDlS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi
atau neuropatik, sehingga arah pengelolaanpun dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya
suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan
untuk mengevaluasi dan memperbaikikeadaanvaskulamya dahulu. Sebaliknya kalau faktor
infeksi menonjol, tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau fakort
mekanik yang dominan, tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.5

Impaired 1 = None
Perfusion
2 = PAD + but not critical

3 = critical limb ischemia

Size/Eitent in 1 = Superficial full thickness, not deeper than dermis


mm2
TissueLoss/Depth 2 = deep ulcer below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle or tendon

3 = all subsequent layers of the foot involved


including bone and or joint

Infection 1 = no symptoms or signs of infection

2 = infection of skin and subcutaneoustissue only

3 = erythema >2cm or infection involving


subcutaneous structure(s). No systemic sign(s) of
inflammatory response

4 = infection with systemic manifestation: Fever,


leucocytosis, shift to the left, metabolic
instability, hypotension, azotemia

lmpaired 1 = Absent
Sensation
2 = Present

RSPAD GATOT SOEBROTO 27


Tabel. Klasifikasi PEDIS lnternational Consensus on the Diabetic Foot 20035

Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas


untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.13

Derajat Lesi Tabel


2.2.
0 Tidak terdapat lesi terbuka, mungkin hanya deformitas dan
Selulitis
1 Ulkus diabetic superfisialis (partial atau full thickness)
2 Ulkus meluas mengenai ligament, tendon, kapsul sendi atau
otot dalam tanpa abses atau osteomileitis
3 Ulkus dalam dengan abses, osteomielitis atau infeksi sendi
4 Ganggren setempat pada bagian depan kaki atau tumit
5 Ganggren luas meliputi seluruh kaki

Klasifikasi derajat kaki diabetik berdasarkan Wagner- Meggit16

Klasifikasi Wagner-Meggit dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic


Foot (IWGDF) dan diterima semua pihak agar memudahkan perbandingan hasil penelitian.
Dengan klasifikasi ini dapat diaplikasikan dalam menentukan derajat keparahan ulkus
diabetik. Berikut adalah gambar ulkus kaki diabetik berdasarkan kalsifikasi Wagner Meggit13

Gambar. Klasifikasi kaki diabetik berdasarkan Wagner- Meggit11

3.3.5 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya ulkus kaki diabetik lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Umur ≥ 60 tahun.

RSPAD GATOT SOEBROTO 28


Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus kaki diabetik karena pada usia
tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi penurunan
sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.14
2. Lama DM ≥ 10 tahun
Ulkus kaki diabetik terutama terjadi pada penderita DM yang telah menderita 10
tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati-
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan atau luka pada kaki penderita
diabetik yang sering tidak dirasakan.
3. Neuropati
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikrosirkulasi,
berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang
mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi
neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik,
sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga kelenjar keringat
menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek.15
4. Obesitas
Pada obesitas dengan IMT ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT ≥25 kg/m2 (pria) akan lebih
sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 µU/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang
berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah pada daerah
tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus hingga gangren.14
5. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita DM karena adanya viskositas darah
yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi
vaskuler, selain itu hipertensi dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.
Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses
adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat
terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus. 16
Penelitian studi kasus kontrol oleh Robert di Iowa menghasilkan bahwa riwayat
hipertensi akan lebih besar 4 kali terjadi ulkus diabetik dengan tanpa hipertensi pada
DM.14

RSPAD GATOT SOEBROTO 29


6. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) dan kadar glukosa darah tidak terkendali
Glikosilasi Hemoglobin (HbA1C) adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam
sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah
merah. Apabila HbA1c ≥6,5% akan menurunkan kemampuan pengikatan oksigen
oleh sel darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi
proliferasi pada dinding sel otot polos subendotel. Kadar glukosa darah tidak
terkontrol (GDP >126 mg/dl) akan mengakibatkan komplikasi kronik jangka panjang,
baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu ulkus diabetik.14
7. Kebiasaan merokok.
Penelitian case control di California oleh Casanno dikutip oleh WHO pada penderita
Diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang perhari mempunyai risiko 3 kali untuk
menjadi ulkus diabetika dibandingkan dengan penderita DM yang tidak merokok.14

3.3.6 Talaksanaan

Tujuan utama pengelolahan ulkus kaki diabetik yaitu untuk mengakses proses kearah
penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus kaki dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya amputasi dan ke-matian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan
ulkus kaki diabetik meliputi penanganan iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan
tekanan plantar pedis (off-loading), penanganan bedah, penanganan komorbiditas dan
menurunkan risiko kekambuha serta pengelolaan infeksi.15

a. Penanganan iskemia

Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus dini- lai
awal pada pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD seringkali
memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler maupun
angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi arteri poplitea, tibialis
posterior dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus UKD kecil yang tidak disertai
edema ataupun selulitis yang luas. Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh bahkan
dapat menyerang tempat lain dikemudian hari bila penyempitan pembuluh darah kaki
tidak diatasi.17 Bila pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya
penyumbatan, bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis dan
selayaknya diperlukan sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial.
Beberapa tindakan bedah vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti

RSPAD GATOT SOEBROTO 30


transluminal perkutaneus (ATP), tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (bypass).
Penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk
memperlambat progresifitas sumbatan pembuluh darah.15

b. Debridement

Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan nekrotik, karena


luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable, debris dan fistula.
Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka. Debridemen
dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang yang nonviable. Tujuan debridemen
yaitu untuk mengevakuasi jaringan yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan
nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal.25 Debridemen yang teratur dan dilakukan secara terjadwal
akan memelihara ulkus tetap bersih dan merangsang terbentuknya jaringan granulasi
sehat sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan ulkus.15,16

c. Perawatan luka

Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing atau
menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab.27 Bila ulkus memroduksi sekret
banyak maka untuk pembalut (dress- ing) digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya
bila ulkus kering maka digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus
cukup lembab, maka dipilih pembalut ulkus yang dapat mempertahankan kelembaban.15
Disamping bertujuan untuk menjaga kelembaban, penggunaan pembalut juga
selayaknya mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan lokasi ulkus. Untuk pembalut
ulkus dapat digunakan pembalut konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan dengan
NaCl 0,9% maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa jenis pembalut
modern yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel,
calcium alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan pembalut yang akan digunakan
hendaknya senantiasa mempertimbangkan cost effective dan kemampuan ekonomi
pasien.15

d. Penanganan bedah

Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya UKD. Tindakan elektif
ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas seperti pada kelainan spur tulang,
hammer toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah
terjadinya ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati dengan

RSPAD GATOT SOEBROTO 31


melakukan koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Bedah kuratif diindikasikan bila
ulkus tidak sembuh dengan perawatan konservatif, misalnya angioplasti atau bedah
vaskular. Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Bedah emergensi adalah
tindakan yang paling sering dilakukan, dan diindikasikan untuk menghambat atau
menghentikan proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi yang luas atau adanya
gangren gas. Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau debridemen jaringan
nekrotik. 15

e. Mencegah kambuhnya ulkus

Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi kaki. Pasien
diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki setiap hari,
menggunakan alas kaki yang tepat, meng- obati segera jika terdapat luka, pemeriksaan
rutin ke podiatri, termasuk debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke
dalam. Sepatu dengan sol yang mengurangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi kaki
berisiko tinggi merupakan elemen penting dari program pencegahan.15

3.4 Anemia pada Diabetes

Secara umum, anemia dibagi kedalam dua bagian yaitu pasien dengan anemia
defisiensi besi dan anemia penyakit kronik. Anemia defisiensi besi diklasifikasi dengan
gambaran anemia mikrositik hipokromik, tetapi anemia penyakit kronik dapat menjadi sulit
untuk didiagnosis. Hal ini karena inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar ferritin
sebagai respon fase akut. Seringnya, penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan
hingga sedang yang disebut dengan anemia inflamasi atau anemia infeksi atau anemia
penyakit kronik. Seperti pada penyakit kronis lainnya, anemia juga ditemukan pada diabetes
tapi sering tidak terindentifikasi. Penelitian menunjukkan bawa anemia terjadi dua kali lebih
banyak pada pasien dengan diabetes dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Perkembangan
anemia menjadi beban tambahan untuk komplikasi mikrovaskular pada diabetes. 17,18
Penelitian Wright dkk menunjukkan kejadian anemia yang tinggi pada pasien ulkus
kaki diabetes yang berat. Hasil penelitian mereka menunjukkan para pasien dengan ulkus
kaki diabetes memiliki anemia yang sesuai dengan literatur dimana pada pasien diabetes
dengan penyakit arteri perifer, kadar hemoglobin menurun seiring dengan gejala klinis dan
perkembangan penyakit. Dalam penelitian Barbieri dkk ditemukan adanya penurunnan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah pada pasien anemia yang dihubungkan dengan
anemanormositik normokrom yang menjadi karakteristik anemia penyakit kronik. Anemia
RSPAD GATOT SOEBROTO 32
penyakit kronik adalah anemia ringan hingga sedang yang memperpendek kelangsungan
hidup sel darah merah (sekitar 80 hari, bukan 120 hari normal). Fenomena ini dihubungkan
dengan keadaan hiperaktif system fagosit mononuclear yang dipicu oleh proses infeksi,
inflamasi, atau neoplastik yang menyebabkan ke penghancuran dini sel darah merah yang
beredar di dalam tubuh. Respon sumsum tulang yang tidak adekuat pada dasarnya disebabkan
oleh rendahnya sekresi eritropoietin, penurunan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin,
dan menurunnya suplai besi ke sumsum tulang.17,18
Penjelasan tentang respon sumsum tulang ini berkaitan dengan aktivasi makrofag dan
pelepasan sitokin inlamasi khususnya IL-1, IL-6, tumor nekrosis faktor (TNF-α), dan
interferon gamma (INF-g) yang berkerja dengan menghambat proliferasi prekursor eritroid
dan karena itu menghambat eritropoiesis. IL-6 mengaktivasi sel – sel retikuloendotelial di
hati untuk menghasilkan hepsidin. Hepsidin akan berinteraksi dengan feropontin, yakni
protein membrane yang akan menghambat absorbsi besi di usus halus, disamping itu hepsidin
juga akan menurunkan pelepasan besi dalam oleh makrofag. Akibat kedua efek hepsidin
tersebut, maka kadar besi dalam plasma akan menurun (hipo-feremia) yang menjadi
karakteristik anemia penyakit kronik. Selain itu, aksi supresi oleh sitokin tersebut pafa
stimulasi eritropoiesis mengalagkan aksi sekresi eritropoietin dan menyebabkan penurunan
respon sumsum tulang terhadap eritropoietin dan eritropoiesis. Meskipun sumsum tulang
normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus
eritropoietin oleh hipoksia karena anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang terjadi
kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau respon terhadap
eritropoietin. Hal ini disebabkan oleh IL-1 dan TNF-α yang dikeluarkan oleh sel yang
cedera.18 Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguaun metabolism zat besi pada penyakit kronis. Hal ini memberikan konsep bahwa
anemia disebabkan penurunan kemampuan FE dalam sintesis HB.5

3.5 Gangguan Keseimbangan Natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan
natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme pengatur yaitu kadar natrium
yang sudah tetap pada batas tertentu (Set-Point) dan keseimibangan natrium yang masuk dan
keluar (Steady-State). Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan air melebihi kemampuan
ekskresi, ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hari atau pada SIADH. Penatalaksanaan
hiponatremia dengan cara anmanesis yang teliti riwayat muntah, penggunaan diuresis, dan

RSPAD GATOT SOEBROTO 33


penggunaan manitol. Pemeriksaan fisik yang teliti apakah ada tanda hipovolemi atau bukan.
Dilakukan juga pemeriksaan gula darah, osmolalitas darah, osmolalitas urin, pemeriksaan
natrium, kalium, dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran.5
Hiponatremia akut, koreksi dengan Na dilakukan secara cepat dengan pemberian
larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar
natrium awal dalam waktu 1 jam Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1
meq/L setiap 1 jam sampai kadar natrium mencapai 130 meq/L. Rumus yang diapai untuk
mengetahui jumlah natrium dalam lauran natrium hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x
berat badan (kg) x delta Na. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium awal yang
diinginkan dengan kadar natrium awal. Pada hyponatremia kronik, koreksi Na dilakukan
secara perlahan yaitu sebesar 0,5 meq/L setiap 1 jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila
delta Na sebesar 8 meq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam.5

BAB IV

RSPAD GATOT SOEBROTO 34


PEMBAHASAN KASUS

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus polidipsisa, poliuria, polydipsia,
penurunan berat badan, dan kesemutan. Hiperglikemia kronik pada diabetes akan
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
5,7
tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Pada pasien ini diabetes
melitus tipe 2 dari anamnesis pasien yang menderita diabetes melitus selama 16 tahun dan
mengonsumsi glikenklamid serta metformin secara rutin sebagai obat diabetes oral.

Luka pada telapak kaki kiri pasien diperkirakan merupakan komplikasi lebih lanjut dari
diabetes melitus telah dialami pasien selama 16 tahun yang dimana dicurigai telah terjadinya
neuropati perifer yang menyebabkan pasien tidak sadar atau merasakan nyeri saat kaki
muncul luka. Pada pemeriksaan fisik sendiri ditemukan ulkus pada dorsum pedis sinistra
ukuran 6x5 cm dengan dasar kemerahan, dan terdapat jaringan nekrotik dengan pus di
metatarsal digiti II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis 18.450/µL.
Tatalaksana pada ulkus diabetes sendiri meliputi penanganan iskemia pembuluh arteri perifer
dengan penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk
memperlambat progresifitas sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi pembuluh darah.15 Pada
pasien ini tidak diberikan antiplatelet dengan pertimbangan adanya anemia dan risiko
perdarahan. Selain penanganan iskemia tatalaksana ulkus diabetes juga dilakukan
debridemen. Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan nekrotik,
karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable, debris dan fistula.
Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka. 15,16 Selain
debridemen pada pasien ini diberikan ampicillin sulbactam 4x1.5g untuk infeksi yang
ditandai dengan demam dan adanya pus pada luka dan mulai munculnya gejala inflamasi
sistemik pada pasien berupa leukositosis. Diperlukan edukasi pada pasien tentang cara
menjaga dan merawat kaki untuk mencegah perburukan ulkus atau munculnya ulkus baru.

Pada pasien ditemukan anemia dengan gejala lemas. Pasien memiliki riwayat diabetes
melitus sejak 16 tahun yang lalu dan riwayat ulkus sejak 1 Minggu SMRS. Pada pemeriksaan
konjungtiva anemis +/+. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan anemi normositik
normokrom Berdasarkan dengan HB 7.3, HT 22, Eritrosit 2.6, Leukosit 18.450, Trombosit

RSPAD GATOT SOEBROTO 35


332.000, MCV/MCH/MCHC 85/28/33, GDS 303, Na/K/cl 132/3.7/98. Pemeriksaan
penunjang yang menunjukkan anemia normositik normokrom pada pasien dicurigai karena
infeksi atau penyakit kronis dimana pada penyakit kronik seperti DM disertai anemia ringan
hingga sedang yang disebut dengan anemia inflamasi atau anemia infeksi atau anemia
penyakit kronik.18 Penelitian Wright dkk menunjukkan kejadian anemia yang tinggi pada
pasien ulkus kaki diabetes yang berat. Hasil penelitian mereka menunjukkan para pasien
dengan ulkus kaki diabetes memiliki anemia yang sesuai dengan literatur dimana pada pasien
diabetes dengan penyakit arteri perifer, kadar hemoglobin menurun seiring dengan gejala
klinis dan perkembangan penyakit.17
Anemia normositik normokrom yang menjadi karakteristik anemia penyakit kronik.
Anemia penyakit kronik adalah anemia ringan hingga sedang yang memperpendek
kelangsungan hidup sel darah merah (sekitar 80 hari, bukan 120 hari normal). 18 Pada penyakit
kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau respon terhadap eritropoietin.18 Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup
menunjukkan adanya gangguaun metabolism zat besi pada penyakit kronis. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia disebabkan penurunan kemampuan besi dalam sintesis
hemoglobin.5 Oleh karena itu anemia diperkirakan karena penyakit kronik dengan gambaran
normositik normokrom karena tidak ada kekurangan jumlah besi dalam plasma tetapi
penurunan kemampuan sintesisnya oleh hemoglobin. Dengan kecurigaan anemia terjadi
karena penyakit kronis dan didapatkan Haemoglobin pasien dibawah 8 maka tatalaksana
yang diberikan adalah Transfusi PRC.

Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi,


ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran
cerna atau gagal jantung.5 Pada pemeriksaan penunjang ditemukan kadar elektrolit dengan
kadar natrium (Na) 132 mmol/dL, kadar kalium (K) 3.7 mmol/dL, dan klorida (Cl) 98
mmol/dL. Pada pasien tidak dilakukan tatalaksana khusus selain pemberian IVFD RL. Pada
hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,5 meq/L setiap 1
jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam.5

BAB V

KESIMPULAN
RSPAD GATOT SOEBROTO 36
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes melitus polidipsisa, poliuria, polydipsia,
penurunan berat badan, dan kesemutan, Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non
farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik,
kegiatas jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila
dengan langkah - langkah pendekatan non farmakologik tersebut belum mampu mencapai
sasaran pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan terapi
medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan
dan aktivitas fisik yang sesuai.

Komplikasi DM untuk peningkatan morbiditas, disabilitas, dan mortalitas dan


merupakan ancaman bagi ekonomi semua negara, terutama pada negara berkembang.10
Diabetes tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun, karena hiperglikemia
berkembang cukup bertahap dan biasanya pada awalnya bersifat asimtomatik. Meskipun
begitu pasien ini berisiko tinggi mengalami komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. 8
Jika hiperglikemia dibiarkan berkembang tanpa pemeriksaan, masalah yang mengancam jiwa
dapat muncul.12

Ulkus kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan
adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati. Ulkus diabetik
mudah sekali menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah
yang tinggi menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman. Tujuan utama pengelolahan
ulkus kaki diabetik yaitu untuk mengakses proses kearah penyembuhan luka secepat mungkin
karena perbaikan dari ulkus kaki dapat menurunkan kemungkinan terjadinya amputasi dan
ke-matian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan ulkus kaki diabetik meliputi
penanganan iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan tekanan plantar pedis (off-
loading), penanganan bedah, penanganan komorbiditas dan menurunkan risiko kekambuha
serta pengelolaan infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WAN. Kamus kedokteran dorland. Edisi ke – 31. Mahode AA, Arfan A,
Intansari DM, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2010. h594.

RSPAD GATOT SOEBROTO 37


2. Aathira R, Jain V. Advances in management of type 1 diabetes mellitus. World J
Diabetes. 2014. 5(5):689-96.
3. Largay J. Case study: New-onset diabetes: how to tell the difference between type 1 and
type 2 diabetes. Clin Diabetes. 2012; 30:25–6.
4. Cho NH, Kirigia D, Mbanya JC, et al. International diabetes federation diabetes atlas. 8th
Ed. Karuranga S, Fernandes JR, et al, editor. International Diabetes Federation. 2017.
p42-87.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing.h2315-2435.
6. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. 2015.h93
7. Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J Majority. Februari 2015;4(5):93.
8. Garner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. 8th ed. United
States of America: McGraw-Hill;2007. p672-712.
9. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment. 54th ed.
New York: McGraw Hills, 2015. h1186-43.
10. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2011: h.4-13, 15-29.
11. Alvin C. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 16. New York: McGraw-Hill;
2010. h.2152.
12. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Braunwalds heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. vol. 1. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2008.p1093-1135
13. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes
development focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central
Cardiovascular Diabetology; 2011. h.1-15.
14. Chadwick P, Edmond M. Best Practice Guideline: Wound Management in Diabetic Foot
Ulcer. 2013. Wound International. Sumber: www.woundsinternational.com. Diunduh
pada 12 Februari 2019
15. Tellechea A, Leal E, Veves A, Carvalho E. Inflammatory and angiogenic abnormalities in
diabetic wound healing: role of neuropeptides and therapeutic perspectives. The Open
Circulation and Vascular Journal 2010. h.43-55.

RSPAD GATOT SOEBROTO 38


16. Desalu OO, Salawu FK, Jimoh AK, Adekoya AO, Busari OA, Olokoba AB, et al.
Diabetic foot care self reported knowledge and practice among patients attending three
tertiarty hospital in Nigeria. Ghana Med J; 2011; 45(2). h.60-5.
17. Wright JA, Oddy MJ, Richards T. Clinical study: Presence and characterization of
anaemia in diabetic foot ulceration. Hindawi publishing corportation. 2013. h8.
18. Barbieri J, Fontela PC, Winkelmann ER, et al. Research article: anemia in patients with
type 2 diabetes mellitus. Hindawi publishing corporation. 2015.h7.

RSPAD GATOT SOEBROTO 39

Anda mungkin juga menyukai