Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016

PENDIDIKAN IDEAL PERSPEKTIF TAGORE DAN KI HAJAR


DEWANTARA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA
DIDIK

Marzuki dan Siti Khanifah


Prodi PPKn Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
marzuki@uny.ac.id

Abstract
The research aims to study the thought of Rabindranath Tagore and Ki Hajar
Dewantara with the ideal education related in formation of students character. This
research is a literature review using content analysis approach. Sources of data in the
form of primary data and secondary data on thought of two leaders in education. Data
were analyzed qualitatively with the inductive approach. The results showed that 1)
Rabindranath Tagore saw education based on freedom and love. Learning approach
undertaken by Rabindranath Tagore in the education system is experiential learning;
2) Ki Hajar Dewantara developed a Among system in education which is an effort to
advance the development of morality (inner strength), mind (intellect), and physical
students; and 3) there is a link between thought of Rabindranath Tagore and thought
of Ki Hajar Dewantara on looking at the education and development of ideal education
system.

Keywords: Education, Rabindranath Tagore, Ki Hajar Dewantara, character


formation, and students.

PENDAHULUAN yang ideal menjadi penting untuk dilakukan.


Perkembangan dunia yang kompetitif saat Pemikiran Rabindranath Tagore dan Ki Hajar
ini memaksa peserta didik untuk belajar lebih Dewantara menjadi layak untuk dikaji dewasa
keras. Sekolah sebagai produsen pendidikan ini. Rabindranath Tagore merupakan tokoh
bersaing untuk menghasilkan peserta didik pendidikan dari India, sedangkan Ki Hajar
dengan kualitas yang mampu bertahan di Dewantara merupakan “Bapak Pendidikan
kancah global. Anis Matta (Kurniawan & Indonesia”. Keduanya memiliki perhatian
Hindarsih, 2013, p. 5) memandang “jam-jam khusus terkait pendidikan, terutama
pembelajaran di sekolah seperti ‘pengisian’ pendidikan ideal dengan “transfer of value”,
ilmu pada peserta didik yang merupakan atau dalam konteks sekarang disebut
‘robot cerdas’”. pendidikan karakter.
Guru dan mentor menciptakan kepanikan Literasi terkait pemikiran Ki Hajar
di pikiran peserta didik dari awal Dewantara tentang pendidikan karakter telah
pembelajaran, bahwa ilmu pengetahuan banyak disajikan. Akan tetapi, belum banyak
merupakan kebutuhan dasar yang harus yang menyandingkannya dengan pemikiran
dimiliki oleh setiap orang agar bisa bertahan Rabindranath Tagore. Pada penelitian ini
hidup. Kondisi tersebut, bagi Guha (2013, p. penulis mengkaji secara kritis terkait
36) membuat pendidikan jauh dari cinta- pemikiran dua tokoh besar tersebut dalam
kasih. Pendidikan di sekolah yang harusnya kaitannya dengan pendidikan karakter. Fokus
transfer of value, pada akhirnya hanya sebatas kajian dalam penelitian ini adalah pandangan
transfer of knowledge (Putri, 2012, p. 3). Pada atau pemikiran Rabindranath Tagore dan
tahap ini, pengkajian terhadap pendidikan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang

172
Pendidikan Ideal Perspektif …. (Marzuki dan Siti Khanifa)

pendidikan yang ideal terkait pembentukan pada kegiatan (Desai, 2010, p. 629).
karakter peserta didik, serta keterkaitan antara Pendidikan menurut Tagore tidak hanya
pemikiran Rabindranath Tagore dan tentang tujuan akhir untuk mencari pekerjaan,
pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam akan tetapi melakukan pembangunan (Guha,
memandang pendidikan yang ideal dalam 2013, p. 37). Ia menegaskan, pendidikan
pembentukan karakter peserta didik. haruslah mencerahkan, bukan sekadar
menghasilkan pekerja untuk pabrik-pabrik
METODE kantor (Samuel, 2010, p. 650).
Penelitian ini merupakan kajian studi Rabindranath Tagore menganggap
pustaka dengan menggunakan pendekatan “kebebasan” peserta didik merupakan hal
content analysis (analisis isi). Sumber data yang penting dalam kegiatan pembelajaran
dalam penelitian ini berupa sumber primer (Guha, 2013, p. 39). Kebebasan pikiran
dan sumber sekunder. Sumber primer peserta didik akan menimbulkan kreativitas
meliputi kumpulan karya Ki Hajar (Desai, 2010, p. 630). Tagore tidak menyukai
Dewantara, khususnya dalam buku, “Ki pendidikan formal karena menurutnya
Hajar Dewantara Bagian Pertama; sekolah-sekolah menyerupai pabrik atau
Pendidikan” dan tulisan Rabindranath penjara yang tidak bernyawa, tidak berwarna,
Tagore, khususnya “Gita Anjali”. Sumber muram, dan merupakan lembaga yang
sekunder berupa tulisan atau karya orang lain menakutkan. Sekolah membentuk peserta
tentang Ki Hajar Dewantara atau didik seperti burung beo dalam sangkar emas,
Rabindranath Tagore. terisolasi dari perubahan alami dalam
Pengumpulan data dilakukan dengan masyarakat (Pridmore, 2009; Samuel, 2010).
teknik library research (penelitian pustaka). Pada kesempatan yang lain, Tagore
Data yang telah terkumpul kemudian menjelaskan bahwa pengetahuan spiritual
dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan sama pentingnya dengan ilmiah. Keduanya
induktif dengan mengacu pada permasalahan penting untuk mengembangkan kepercayaan
yang ada. Unit analisis meliputi data dari dalam belajar dan hidup. Hal ini karena
kedua pemikiran tokoh yang diteliti terkait mengembangkan kepercayaan diri penting
dengan pendidikan ideal dalam pembentukan untuk kepribadian seorang individu yang
karakter peserta didik. memungkinkannya untuk menerima kekuatan
serta kelemahan. Kepercayaan diri peserta
HASIL DAN PEMBAHASAN didik merupakan keunggulan bagi
Pendidikan Ideal dalam Pembentukan penerimaan kelemahan dan kesalahan
Karakter Perspektif Tagore seseorang. Hal tersebut memainkan peran
Bagi Tagore, peserta didik bukanlah penting dalam konsepsi diri untuk
penerima pasif pengetahuan tetapi penemu memperdalam penghargaan bagi diri sendiri
fakta dan prinsip-prinsip (Desai, 2010, p. (Guha, 2013). Karakter peserta didik itulah
631). Oleh karena itu, pendidikan harus yang menjadi tujuan dari pendidikan.
dikelola pada kondisi yang bebas dan Fokus pengembangan pendidikan
menyenangkan. Hal tersebut menunjukkan Rabindranath Tagore yaitu pendidikan yang
orisinalitas pandangan Tagore terkait menyenangkan bagi peserta didik, agar
pendidikan yaitu bukan pada tujuan, tetapi karakter peserta didik dapat terbentuk. Tagore

173
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016

telah menemukan bahwa sistem pendidikan pemberdayaan peserta didik dalam


yang menghadirkan tekanan, sebagaimana mengapresiasi pentingnya kepedulian dan
beliau sendiri mengalami berdampak pada berbagi dalam suatu masyarakat. Kepedulian
ketakutan ketika belajar. Oleh karena itu, merupakan aspek penting dalam membentuk
Tagore mendirikan lembaga pendidikan Visva karakter atau moral peserta didik. Oleh karena
Bharati di Shantiniketan dengan suasana itu, perlu dibentuk suasana penuh dengan
pembelajaran yang menghadirkan kebebasan. kebahagiaan dan sukacita (Guha, 2013, p. 40).
Tagore membudayakan disiplin internal Pada kesempatan ini, guru memiliki peran
dalam suasana suka cita dan motivasi tanpa layaknya tukang kebun yang membantu
adanya rasa takut (Guha, 2013, p. 37). peserta didik tumbuh sendiri (Desai, 2010;
Budaya tersebut menjadikan peserta didik Ghosh, 2015; Guha, 2013; Jha, 1999;
lebih menikmati proses belajar tanpa rasa Quayum, 2016; Samuel, 2010). Guru adalah
takut dalam lembaga pendidikan. Disiplin panduan dan direktur yang mengarahkan
diperlukan dalam proses pembelajaran, akan perahu, tetapi energi yang mendorong itu
tetapi disiplin yang berlebihan akan harus datang dari orang-orang yang sedang
menimbulkan peserta didik takut dan tidak belajar. Semakin guru menyadari pengalaman
adanya keinginan untuk aktif dalam masa lalu peserta didik, harapan, keinginan,
pembelajaran, bahkan dapat berdampak pada dan kepentingannya, maka guru lebih baik
peserta didik tidak ingin belajar (Guha, 2013, memahami kekuatan di tempat kerja yang
p. 37). Oleh karena itu, Tagore lebih tertarik perlu diarahkan dan dimanfaatkan untuk
membangun budaya dibandingkan pembentukan kebiasaan reflektif peserta
mengajarkan trik-trik agar peserta didik lulus didik. Guru perlu menghubungkan tugasnya
ujian (Ghosh, 2015, p. 406). dengan aspirasi peserta didik untuk mencapai
Pendekatan pembelajaran yang dilakukan pikiran dan mengembangkan alat yang akan
oleh Rabindranath Tagore dalam sistem membantu guru menyadari dari latar belakang
pendidikan yaitu experiential learning (Guha, peserta didik, perkembangan emosinya, dan
2013, p. 37). Tagore menganggap bahwa sebagainya (Guha, 2013, p. 41).
pendidikan adalah proses sosial yang terus Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
menerus dan harus dikaitkan dengan Tagore menginginkan pendidikan yang
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, “ideal” bagi pembentukan karakter peserta
sehingga sekolah disebut sebagai miniatur didik. Quayum (Quayum, 2016, p. 4)
masyarakat (Samuel, 2011, p. 1166). Pola menyimpulkan tiga prinsip dasar dari visi
tersebut terlihat dari model pendidikan pendidikan Tagore, yaitu kebebasan untuk
Shantiniketan, yang di dalamnya Tagore peserta didik, penciptaan lingkungan yang
memberikan pengalaman belajar di luar memungkinkan peserta didik untuk
ruangan yang sangat menarik dan nyaman mengembangkan kekerabatan yang sehat
(Guha, 2013: 39). dengan alam, dan budidaya kreativitas
Peningkatan kelangsungan hidup secara peserta didik atau imajinasi. Sedangkan
signifikan hanya mungkin jika kita bisa menurut Singh & Rawat (2013, p. 202) inti
memahami esensi dari belajar dan berbagi dari konsep pendidikan Tagore yaitu lebih
penuh kasih dengan hidup. Perlu kiranya menekankan pada pengembangan harmonis
pendidikan yang dilakukan dapat mendorong lengkap pada kepribadian individu peserta

174
Pendidikan Ideal Perspektif …. (Marzuki dan Siti Khanifa)

didik. Tagore percaya bahwa pendidikan mandiri, disiplin, tanggung jawab bagi
harus membantu seorang individu untuk peserta didik dapat terbentuk.
mencapai kedewasaan, sehingga semua
kekuatannya dapat dikembangkan untuk diri Pendidikan Ideal Perspektif Ki Hajar
sendiri serta kesempurnaan masyarakat Dewantara dalam Pembentukan Karakter
manusia tempat ia dilahirkan. Tagore percaya Peserta Didik
bahwa pendidikan bukan hanya sarana untuk Dewantara (Dewantara, 2011, p. 20)
pertumbuhan dan kepenuhan individu, tetapi menjelaskan pemahaman terkait pendidikan
juga berkaitan dengan lingkungan fisik dan yakni “menuntun segala kekuatan kodrat
sosial secara keseluruhan. yang ada pada anak-anak, agar mereka
Pada pandangan Tagore, tujuan sebagai manusia dan sebagai anggota
pendidikan yang lebih tinggi adalah sama masyarakat dapat mencapai keselamatan serta
dengan kehidupan seseorang, yaitu untuk kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
mencapai pemenuhan dan kelengkapan. Singkatnya, pendidikan bagi Ki Hajar
Tujuan yang lebih rendah yaitu menyediakan Dewantara (Kumalasari, 2015) berarti upaya
individu dengan sarana memuaskan mata untuk memajukan perkembangan budi pekerti
pencaharian. Tagore juga membayangkan (kekuatan batin), pikiran (intelektual), dan
bahwa pengembangan terbatas manusia jasmani peserta didik. Peserta didik hanya
adalah hanya mungkin dalam lingkungan dapat berkembang ketika pendidikan
yang bebas dari segala bentuk perbudakan dilakukan tanpa paksaan dan tanpa perintah.
(Desai, 2010, p. 635). Selain itu, pendidikan, Pandangan tersebut merupakan bentuk
menurut Tagore, harus memfasilitasi kritik Ki Hajar Dewantara pada pendidikan
pertumbuhan individu, pengembangan Barat yang menurutnya dasar dari pendidikan
masyarakat, dan peningkatan masyarakat Barat yaitu perintah, hukuman, dan
internasional (Samuel, 2010, p. 349). Tentu ketertiban. Dasar pendidikan tersebut
saja, filosofi pendidikan Tagore dan pada menjadikan peserta didik akan rusak budi
praktiknya tidak sempurna. Hal ini adalah pekertinya (Dewantara, 2011, p. 13).
salah satu mimpi manusia yang berpikir Pendidikan sebagai “tuntunan” menunjukan
sebagai cara terbaik. Teori dan praktik bahwa di dalam pertumbuhan peserta didik
mungkin tidak ditransplantasikan di sekolah- dapat dipengaruhi oleh banyak hal dan
sekolah saat ini. Namun, filsafat pendidikan pendidikan memiliki perannya di sana.
tersebut, pedagogi, dan kurikulum dapat Bagi Ki Hajar Dewantara, peran
menginspirasi pendidik dari abad ke-21 pendidikan tersebut terkait dengan
(Samuel, 2010, p. 354). pembentukan budi pekerti. Jika peserta didik
Berdasarkan penjelasan di atas dapat tidak baik “dasar jiwanya”, tentu ia harus
disimpulkan bahwa pendidikan ideal bagi mendapatkan pendidikan agar bertambah baik
Rabindranath Tagore yaitu pendidikan yang budi pekertinya. Peserta didik yang tidak baik
humanis serta memberikan kebebasan dan ‘dasar jiwanya’ dan tidak mendapat
cinta bagi peserta didik. Guru memiliki peran pendidikan akan mudah menjadi orang yang
untuk merawat peserta didik, tanpa jahat atau buruk adabnya (Dewantara, 2011,
melakukan intervensi atau memaksanya. p. 2011). “Dasar jiwa” yaitu keadaan jiwa
Dengan cara demikian, pembentukan karakter yang asli menurut kodratnya sendiri, sebelum
mendapat pengaruh dari luar.

175
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016

Teori “dasar jiwa” tersebut dapat dilihat merupakan bagian biologis (malu, takut,
dari tiga aliran. Pertama, teori tabula rasa pemarah, dll) dan tidak dapat berubah selama
(lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret hidup. Meskipun demikian, tabiat-tabiat
oleh pendidik). Teori ini memandang bahwa “biologis” dapat dikendalikan dengan
peserta didik diumpamakan seperti sehelai “menguasai diri”. Oleh karena itu,
kertas yang belum ditulis, sehingga pendidik “menguasai diri” atau “zelfbeheersching”
boleh mengisi kertas yang kosong tersebut disebut dengan tujuan pendidikan dan
menurut kehendaknya. Artinya pendidik maksudnya keadaban. “Beschaving is
berkuasa seluasnya untuk membentuk watak zelfbeheersching” (adab itu, tidak lain dan
atau budi pekerti seperti yang diinginkannya. tidak bukan adalah menguasai diri)
Kedua, aliran negatif yang memandang (Dewantara, 2011, pp. 23–25).
peserta didik lahir sebagai sehelai kertas yang Teori konvergensi menunjukan bahwa
sudah ditulisi sepenuhnya hingga tidak “ajar” dan “dasar” saling berpengaruh.
memungkinkan pendidikan dari siapa pun Pendidikan (ajar) memiliki kekuatan atau
dapat mengubah watak peserta didik. pengaruh dalam pembentukan watak atau
Pendidikan hanya dapat mengawasi agar budi pekerti, tetapi pendidikan tidak leluasa
tidak sampai ada pengaruh jahat yang dan hanya terbatas oleh garis-garis dasar dari
mendekati peserta didik. Pendidikan menurut tiap manusia. Oleh karena itu, pendidikan
teori ini dianggap dapat menolak pengaruh tidak mungkin melenyapkan atau
dari luar dan mewujudkan budi pekerti yang menghilangkan pengaruh kodrat. Sebaliknya,
tidak tampak ada dalam jiwa peserta didik dasar hidupnya manusia sungguhpun kuat
(Dewantara, 2011, pp. 22–23). Ketiga, teori tetapi segala “dasar” tersebut tidak mungkin
konvergensi, yaitu teori yang memandang terus bersifat murni atau tidak berubah oleh
peserta didik yang dilahirkan dapat segala pengaruh dari luar baik yang disengaja
diumpamakan sehelai kertas yang telah (pendidikan) maupun yang tidak disengaja
ditulisi penuh, akan tetapi tulisan tersebut atau pengalaman (Dewantara, 2011, p. 441).
masih suram. Menurut aliran ini, pendidikan Pada prinsipnya “menguasai diri”
berkewajiban dan berkuasa menebalkan berhubungan erat dengan karakter. Menurut
segala tulisan yang suram dan mengisinya Dewantara (Dewantara, 2011, p. 25) budi
dengan kebaikan, agar tampak sebagai budi pekerti, watak, atau karakter dimaknai
pekerti yang baik. Segala tulisan yang “bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan
mengandung arti jahat agar jangan sampai kehendak atau kemauan yang selalu
menjadi tebal (Dewantara, 2011, p. 23). menimbulkan tenaga. Pandangan ini sejalan
Berdasarkan ketiga teori tersebut, Ki Hajar dengan Lickona (Lickona, 2009) bahwa
Dewantara lebih cenderung pada teori pendidikan karakter meliputi tiga hal yaitu,
konvergensi. Pada penjelasannya, teori moral knowing (pengetahuan tentang moral),
konvergensi membagi watak manusia moral feeling (perasaan bermoral), dan moral
menjadi dua. Bagian pertama dinamakan action (perilaku bermoral).
bagian intelligible yakni yang berhubungan Watak atau karakter merupakan paduan
dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap,
yang dapat berubah karena pengaruh sehingga menjadi tanda yang khusus untuk
pendidikan atau keadaan. Bagian kedua membedakan manusia satu dengan yang

176
Pendidikan Ideal Perspektif …. (Marzuki dan Siti Khanifa)

lainnya. Karakter terjadi karena cara yang dapat dihubungkan dengan umur
perkembangan dasar yang telah kena peserta didik (Dewantara, 2011).
pengaruh ajar. “Dasar” sebagaimana telah Pendidikan budi pekerti dilakukan dengan
dijelaskan sebelumnya merupakan kodrat sistem among yaitu, metode pengajaran dan
(biologis), sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan berdasarkan asah, asih, dan asuh
“ajar” yaitu segala sifat pendidikan dan yang dalam pelaksanaan pengajarannya
pengajaran mulai anak dalam kandungan meliputi kepala, hati, dan panca indera
hingga akil balig yang dapat mewujudkan (Wijayanti, 2016, p. 800). Guru atau pendidik
“intelligible” yakni tabiat yang dipengaruhi pada sistem among berperan; ing sung
oleh angan-angan (Dewantara, 2011, p. 407). tuladha, ing madya mangun karsu, tutwuri
Konsep pendidikan karakter sendiri oleh handayani . Pendidik atau guru yang menjaga
Ki Hajar Dewantara disebut dengan sikap dan bicaranya agar menjadi teladan
pendidikan budi pekerti atau pendidikan adab perserta didik, merupakan perwujudan dari
(Dewantara, 2011, pp. 25–26). Pendidikan konsep ing ngarsa sung tuladha, sedangkan
karakter atau pendidikan budi pekerti pendidik atau guru yang memotivasi peserta
menjadikan manusia sebagai ‘manusia didik adalah wujud dari ing madya mangun
merdeka’ (berpribadi) yang dapat memerintah karsa. Selain itu, ada kalanya guru atau
atau menguasai diri sendiri. Hal inilah yang pendidik bersikap tegas dengan menegur
disebut sebagai manusia yang beradab. peserta didik yang melakukan kegiatan
Singkatnya, watak atau budi pekerti yang membahayakan, ini disebut dengan tutwuri
merupakan “dasar biologis” dapat handayani (Magta, 2013, p. 229).
dipengaruhi oleh pendidikan dan segala Ki Hajar Dewantara, selain mengkaji budi
pengalaman serta keadaan (Dewantara, 2011, pekerti juga membahas tentang ilmu adab dan
pp. 25–26)). etika. Pengertian dari ilmu adab atau etika
Pada pelaksanaan pendidikan karakter atau yaitu ilmu yang mempelajari segala soal
budi pekerti oleh Ki Hajar Dewantara disebut kebaikan dan keburukan di dalam hidup
dengan peralatan pendidikan. ‘Peralatan’ manusia, khususnya terkait pikiran dan rasa
menunjuk pada alat-alat yang pokok, caranya yang dapat menjadi pertimbangan hingga
mendidik di antaranya yaitu; 1) memberi terjadi suatu perbuatan (Dewantara, 2011, p.
contoh (voorbeeld); 2) pembiasaan 459). Kebaikan dan kejahatan pada akhirnya
(pakulinan, gewoontevorming); 3) pengajaran bergantung pada masing-masing individu,
(leering, wulang-wuruk); 4) perintah, sesuai dengan sifat kejiwaannya dan
paksaan, dan hukuman (regeering en tucht); kejasmaniannya, mulai dari “genotype”
5) laku (zelfbeheersching, zelfdiscipline); dan sampai “phaenotype” yaitu pandangan hidup,
6) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, sikap hidup, atau karakter (Dewantara, 2011,
ngroso, beleving). Alat pendidikan tersebut p. 461).
tidak perlu dilakukan semuanya, misalnya Guru memiliki kewajiban mendidik dan
pendidik dari aliran ‘vrije opvoeding’ mengajar. Bagi Ki Hajar Dewantara kedua hal
(pendidikan bebas) tidak suka menggunakan tersebut memiliki konsep yang berbeda.
nomor 4 (perintah, paksaan, dan hukuman). Mengajar diartikan sebagai kegiatan
Selain itu, pendidik dapat mementingkan memberikan pengetahuan, menuntun gerak-
suatu bagian dan pada umumnya memilih pikiran, serta melatih kecakapan atau

177
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016

kepandaian peserta didik agar kelak menjadi umur. Peserta didik yang mash kecil,
anak yang pintar, pandai, berpengetahuan, pengajaran dilakukan dengan membiasakan
dan cerdas. Adapun mendidik berarti agar ia bertingkah laku baik. Pada tahap ini,
menuntun tumbuhnya budi pekerti pada diri guru atau pamong memberi contoh, anjuran,
peserta didik, agar ia menjadi manusia dengan atau perintah dan peserta didik melakukan apa
kepribadian yang beradab dan bersusila yang diinstruksikan. Pada tingkat kedua
(Dewantara, 2011, p. 482). Pengajaran adab pengajaran merupakan tingkat ‘hakikat’ yang
dan kesusilaan mengajarkan tentang segala bermakna ‘kenyataan’ atau ‘kebenaran’. Pada
sifat dan bentuk kebaikan dalam hidup tahap ini pengajaran diberikan kepada peserta
manusia, bukan hanya untuk diketahui dan didik yang sudah mampu berpikir berupa
dimengerti, akan tetapi untuk diinsafi, pengertian dan pemahaman tentang kebaikan
diingini, dikehendaki, dan dilakukan oleh atau keburukan pada umumnya. Peserta didik
manusia. Pengajaran adab tersebut tidak lagi terikat pada ‘pembiasaan-
menekankan pada segala hak dan kewajiban pembiasaan’ dengan tidak mengetahui akan
manusia baik sebagai diri pribadi maupun maksud dan tujuan yang sebenarnya. Bagi
sebagai anggota masyarakat (Dewantara, para peserta didik yang sudah dewasa,
2011, p. 483). pengajaran dilakukan dengan cara disengaja
Ki Hajar Dewantara menjelaskan supaya mereka terlatih melakukan kebaikan
pemahamannya terkait dengan pengajaran meskipun sukar dan berat. Pengajaran pada
budi pekerti yang menurutnya merupakan tingkat dewasa dilakukan dengan memaksa,
bagian dari pendidikan. Ki Hajar Dewantara menekan, atau memerintah untuk menguasai
menyebutnya sebagai pengajaran pendidikan diri pribadi.
karena lebih pada hal yang bersifat metodik
terkait budi pekerti. Pengajaran budi pekerti Titik Simpul Pemikiran Tagore dan Ki
dimaknai untuk menyokong perkembangan Hajar Dewantara tentang Pendidikan
hidup peserta didik, lahir dan batin, dari sifat Ideal dalam Membentuk Karakter Peserta
kodratnya menuju ke arah peradaban dalam Didik
sifatnya yang umum. Contohnya yaitu, Kajian terhadap pemikiran Rabindranath
meminta peserta didik untuk duduk, tidak Tagore dan Ki Hajar Dewantara pada
berteriak-teriak agar tidak mengganggu akhirnya menemukan beberapa poin pokok.
peserta didik yang lain, menolong teman, Penulis membaginya dalam empat poin
hormat kepada orang yang lebih tua, dll. Hal pokok yaitu pendidikan, orientasi pendidikan,
tersebut merupakan contoh dari pengajaran pengembangan pendidikan, metode atau
budi pekerti (Dewantara, 2011, pp. 484–483). pendekatan yang digunakan oleh kedua tokoh
Pengajaran budi pekerti diberikan pada tersebut. Poin-poin tersebut tersaji dalam
peserta didik disesuaikan dengan tingkat tabel berikut ini.

178
Pendidikan Ideal Perspektif …. (Marzuki dan Siti Khanifa)

Tabel Pandangan Tagore dan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Ideal


No. Pandangan Rabindranath Ki Hajar Dewantara
Tagore
1. Pendidikan Kebebasan dan cinta Humanis (tanpa paksaan
dan perintah)
2. Orientasi Pembangunan Pikiran, karakter (batin),
Pendidikan dan jasmani
3. Pengembangan Shantiniketan Taman Siswa
4. Metode/Pendeka Ekperiental learning, Sistem among
tan guru sebagai ‘tukang
kebun’
Sumber: data diolah penulis, 2016
Rabindranath Tagore dan Ki Hajar selayaknya ‘tukang kebun’ dalam merawat
Dewantara memiliki banyak persamaan peserta didik. Pada sisi yang lain, Ki Hajar
dalam memandang pendidikan ideal. Dewantara di Indonesia mendirikan Taman
Pendidikan yang dilakukan tanpa paksaan. Siswa dengan menempatkan guru sebagai
Tujuan pendidikan menurut Rabindranath “pamong” atau “among”, pembelajaran yang
Tagore adalah untuk pembangunan, bukan dikembangkan yaitu “asah”, “asih”, “asuh”.
sekadar mencari pekerjaan. Hal yang senada Berdasarkan kajian tentang pendidikan
juga dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam perspektif Tagore dan Ki Hajar
bahwa pendidikan berkaitan dengan olah Dewantara di atas, dapat ditemukan titik
pikiran, budi pekerti, dan jasmani. simpul pemikiran kedua tokoh tersebut terkait
Rabindranath Tagore dalam mewujudkan dengan pembentukan karakter peserta didik.
pendidikan idealnya mendirikan Persamaan kedua tokoh tersebut yaitu pada
Shantiniketan dengan menggunakan bagian orientasi atau tujuan pendidikan yaitu
pendekatan experiential learning yaitu pembangunan atau pembentukan karakter
pembelajaran yang menghadirkan secara khusus. Hal ini dapat dilihat pada
pengalaman pribadi sebagai pengalaman gambar di bawah ini.
belajar. Tagore, menempatkan guru

Gambar. 1. Titik Simpul Pemikiran Tagore dan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan dalam
Membentuk Karakter Peserta Didik

Rabindra Ki Hajar
nath Dewanta
Tagore ra
Shantiniketan Taman Siswa

Experiential Sistem among


learning
Pendidikan dilakukan tanpa paksaan dan perintah dalam
pembentukan karakter peserta didik
Sumber: data diolah peneliti, 2016

179
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016

Dengan demikian, kedua tokoh pendidikan


tersebut, meskipun berada pada tempat yang DAFTAR PUSTAKA
berbeda, memiliki konsep dan visi yang
Desai, F. P. (2010). Tagore’s educational
hampir sama, yakni keduanya lebih
experiments and right to education bill: a
menekankan pada pendidikan budi pekerti comparison. Rupkatha Journal on
atau pendidikan karakter. Tentu keduanya Interdisciplinary Studies in Humanities,
tidak memandang remeh pendidikan yang 2(4), 628–640.
terkait dengan intelektual peserta didik. Dewantara, K. H. (2011). Bagian pertama:
Kecerdasan intelektual peserta didik harus pendidikan (Cetakan Ke). Yogyakarta:
dijadikan dasar untuk mengantarkannya pada Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
kecerdasan hati nuraninya. Ghosh, R. (2015). Caught in the cross traffic:
Rabindranath Tagore and the trials of
SIMPULAN child education. Comparative Education
Review, 59(3), 399–419.
Pendidikan yang ideal adalah pendidikan
yang tidak hanya transfer of knowledge tetapi Guha, M. (2013). Education in a Tagorean
Perspective. International Journal of
juga transfer of value. Dengan demikian,
Humanities and Social Science Invention,
pendidikan tidak hanya menghasilkan peserta 2(12), 35–41.
didik beratribut ‘robot cerdas’, tetapi juga
Jha, N. (1999). Rabindranath Tagore.
peserta didik dengan karakter yang baik. Pada PROSPECTS The Quarterly Journal of
tahap ini, guru dan sistem pendidikan Education, 24(3–4), 603–619.
memiliki andil yang signifikan. http://doi.org/10.1007/BF02195291
Model pendidikan Rabindranath Tagore Kumalasari, D. (2015). Konsep pemikiran Ki
dan Ki Hajar Dewantara layak untuk Hadjar Dewantara dalam pendidikan
dikembangkan untuk mewujudkan taman siswa (tinjauan humanis-religius).
Istoria, 8(1).
pendidikan yang ideal, keduanya memiliki
persamaan tujuan yaitu untuk pembangunan Kurniawan, Y., & Hindarsih, T. P. (2013).
Character building; membangun karakter
atau pembentukan karakter peserta didik.
menjadi pemimpin. Yogyakarta: Pro U
Meskipun demikian, gagasan kedua tokoh Media.
tersebut bukan tanpa kekurangan. Oleh
Lickona, T. (2009). Educating for character:
karena itu, disarankan: 1) pengembangan How our schools can teach respect and
pendidikan disesuaikan dengan kondisi responsibility. New York: Bantam Books.
zaman dan kondisi peserta didik, 2) Magta, M. (2013). Konsep pendidikan Ki
pemerintah sebagai pengembang sistem Hajar Dewantara pada anak usia dini.
pendidikan perlu kiranya mempertimbangkan Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(2),
pemikiran kedua tokoh tersebut untuk modal 221–232.
perbaikan pendidikan ke depan, 3) guru Pridmore, J. (2009). The poet’s school and the
sebagai pelaksana sistem pendidikan harus parrot’s cage: the educational spirituality
memposisikan diri bukan hanya sebagai of Rabindranath Tagore. International
Journal of Children’s Spirituality, 14(4),
“komando” yang hanya memberi perintah,
355–367.
tetapi juga sebagai ‘tukang kebun’ atau
Putri, I. A. E. (2012). Konsep pendidikan
‘pamong’ yang mengawal dan mengawasi
humanistik Ki Hajar Dewantara dalam
proses yang dijalani peserta didik.

180
Pendidikan Ideal Perspektif …. (Marzuki dan Siti Khanifa)

pandangan Islam. Tesis. Tidak Philosophy and Theory, 43(10), 1161–


Diterbitkan. IAIN Walisongo. 1174.
Quayum, M. A. (2016). Education for Singh, R., & Rawat, S. S. (2013).
tomorrow: The vision of Rabindranath Rabindranath tagore’s contribution in
Tagore. Asian Studies Review, 40(1), 1– education. VSRD International Journal of
16. Technical & Non-Technical Research,
4(8).
Samuel, F. A. (2010). Tagore’s vision of
international education: Relevance and Wijayanti, D. (2016). Pendidikan yang
implications for today. In The memanusiakan manusia (konsep karakter
Educational Forum (Vol. 74, pp. 347– warga negara ideal Ki Hajar Dewantara).
356). Taylor & Francis. In M. Murdiono, Samsuri, B. Mulyono, &
I. Arpannudin (Eds.), Prosiding
Samuel, F. A. (2011). Educational visions
Konferensi Kewarganegaraan ke-II, UNY
from two continents: What Tagore adds to
(pp. 796–806). Yogyakarta: Jurusan
the deweyan perspective. Educational
PKnH FIS UNY.

181

Anda mungkin juga menyukai