Anda di halaman 1dari 45

9

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit

2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus

Kata “diabetes” digunakan pertama kali pada abad kedua oleh

ahli kesehatan yang bernama Aretaeus Cappadocia. Saat itu, Aretaeus

dan Celcus menggunakan istilah diabetes untuk orang yang sering

buang air kecil dan banyak minum. Diabetes Melitus berasal dari

bahasa Latin, yaitu diabetes yang berarti penerusan, mellitus yang

berarti manis (Tim Bumi Medika, 2017).

Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hiperglikemia (Brunner & Suddarth,2016).

DM termasuk kelompok penyakit metabolik yang

dikarakteristikkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah

(hiperglikemia) karena defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

kombinasi keduanya ADA (2003) dalam Smeltzer et al., (2008).

DM merupakan penyakit kronik, progresif yang

dikarakteristikan dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein awal terjadinya

hyperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah)(Black & Hawk,

2009).
10

Penyakit Diabetes Melitus (DM), atau yang lebih dikenal

sebagai penyakit kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul

pada seseorang akibat kadar glukosa darah (GD) yang tinggi

(hiperglikemia). Kadar tinggi GD ini disebabkan jumlah hormon

insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang

lebih, tetapi kurang efektif (resisten insulin) (Damayanti, 2015).

Maka dapat diartikan diabetes adalah kelainan heterogen yang

berupa penyakit metabolik tubuh yang ditandai dengan kenaikan kadar

gula dalam darah (hiperglikemia) karena defek sekresi insulin, defek

kerja insulin atau kombinasi keduanya yang bersifat kronik dan

berkembang secara progresif.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Beberapa klasifikasi Diabetes Melitus telah diperkenalkan,

berdasarakan metode presentasi klinis, umur awitan dan riwayat

penyakit. Klasifikasi yang diperkenankan oleh American Diabetes

Association (ADA) dan telah disahkan oleh World Health

Organization (WHO) serta telah dipakai seluruh dunia. Empat

klasisfikasi klinis gangguan toleransi glukosa tersebut dalam

Damayanti (2015) yaitu:

a. Diabetes Melitus Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Melitus

(IDDM)

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset

dan tipe dependen insulin, namun kedua tipe ini dapat muncul
11

pada sembarang usia. Insiden diabetes tipe 1 sebanyak 30.000

kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua sub tipe:

1. Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-

sel beta.

2. Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui

sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik

keturunan Afrika-Amerika dan Asia. Diabetes tipe 2 dulu

dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturasi dan

tipe nondependent insulin. Insiden diabetes tipe 2 sebesar

650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering

diakaitkan dengan penyakit ini.

Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetes adalah

tipe I. Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan

insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan

insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitannya

mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.

a) Faktor genetik :

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu

sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan

genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan

genetik ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe

antigen Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu. HLA


12

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas

antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.

b) Faktor imunologi

Ada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon

autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibodi

terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi

terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah

sebagai jaringan asing.

c) Faktor lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas,

sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus

atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang

dapat menimbulkan destuksi sel β pankreas.

b. Diabetes Melitus Tipe 2: Non Insulin Dependent Diabetes

Melitus (NIDDM)

Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik

adalah tipe II. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan

sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat

penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama

adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa

darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik

(suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat

mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka


13

yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka yang Obesitas

. Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui,

faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses

terjadinya resistensi insulin.

Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)

penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI

ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam

kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-

sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat

dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,

kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan

transpor glukosa menembus membran sel.

Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam

pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan

oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif

insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan

abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem

transpor glukosa.

Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu

yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada

akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008).

Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak


14

tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent

Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok

heterogen bentuk-bentuk diabetes yang lebih ringan, terutama

dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada

masa kanak-kanak.

Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya

DM tipe II, diantaranya adalah:

1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di

atas 65 tahun

2) Obesitas

3) Riwayat keluarga

4) Kelompok etnik

c. Diabetes gestasional (diabetes kehamilan)

Diabetes gestasional (GDM) dikenal pertama kali selama

kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor

resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas,

multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional

terlebih dahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai

hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi

glukosa, maka kehamilan adalah suatu kedaan diabetogenik.

Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara

genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau

manifestasi klinis diabetes pada kehamilan.


15

d. Tipe khusus lain.

Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan

hiperglikemia akibat peningkatan produksi glukosa oleh sel.

Sebelumnya dikenal oleh istilah Diabetes Sekunder, diabetes

tipe ini menggambarkan diabetes yang berhubungan dengan

keadaan dan sindrom tertentu, misalnya diabetes yang tejadi

dengan penyakit pankreas atau pengangkatan jaringan pankreas

dan penyakit endokrin seperti akromegali atau syndrom

chusing, karena zat kimia obat, infeksi dan endokrin opati. Dua

kategori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan

toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa (Soegondo,

Soewondo & Subekti, 2009).

2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus

Menurut Brunner dan Suddarth (2016), berikut adalah penyebab

terjadinya Diabetes Melitus.

a. Diabetes tipe I:

1. Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri;

tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik

ke arah terjadinya DM tipe Kecenderungan genetik ini

ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.


16

2. Faktor-faktor imunologi

Adanya respons autoimun yang merupakan respons abnormal

dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-

olah sebagai jaringan asing. Yaitu autoantibodi terhadap sel-sel

pulau Langerhans dan insulin endogen.

3. Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang

menimbulkan destruksi sel beta.

b. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum

diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses

terjadinya resistensi insulin. Faktor - faktor resiko:

1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas

65)

2) Obesitas

3) Riwayat keluarga

4) Kelompok etnik.
17

2.1.4 WOC Diabetes Melitus Menurut Padila 2012 dan Nurarif 2015

- Faktor
ginetik Kerusakan Ketidak Gula dalam darah tidak
- Inveksi virus sel β seimbangan dapat dibawa masuk
- Pengrusakan produksi insulin dalam sel
imunologik (defisiensi

glukosuria Batas melebihi hiperglikemia Anabolisme protein


ambang ginjal menurun

Diuresis osmotik Vikositas darah Syok Kerusakan pada


meningkat hiperglikemik antibodi

Poliuri → Aliran darah Koma Kekebalan tubuh


MK:Retensi urin lambat diabetik menurun

Kehilangan Iskemik MK: Resiko Neuropati sensori


elektrolit dalam jaringan
sel infeksi perifer
MK: Kehilangan
volume cairan
MK: Ketidak Nekrosis luka Klien tidak merasa
efektifan perfusi sakit
Dehidrasi
jaringan perifer
Gangrene MK: Kerusakan
MK: Resiko Kehilangan integritas jaringan
syok kalori

Sel kekurangan Protein dan


Merangsang bahan untuk lemak di BB menurun
hipotalamus metabolisme bakar

Pusat lapar dan Katabolisme lemak Pemecahan protein MK:


haus Keletihan

Polidipsia Asam lemak Keton Ureum


Polipagia

MK: Ketidak Ketoasidosis


seimbangan
nutrisi kurang
dari kebutuhan Koma Diabetik
tubuh
18

Gagal
Ginjal

Ginjal→Ne
Hemokonsentrasi Trombosis Atero Mikrovaskular
fropati
sklerosis

Retina→Reti
Miokard Infark Jantung Makro Ekstremita
vaskular nopati
s

MK: Nyeri akut Serebral Gangrene gg.


pengelihatan

Stroke

MK: Resiko
Cedera
19

2.1.5 Patofisiologi

Menurut Lemone dan Bauldoff (2016) patofisiologi Diabetes

Mellitus dimulai pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh

proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa

yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam

darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal

tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,

akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika

glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan

disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini

dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan

berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih

(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan

lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat

mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya

simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.


20

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan

glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru

dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita

defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut

akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi

pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton

yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton

merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh

apabila jumlahnya berlebihan.

Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-

tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi,

nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan

perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama

cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat

kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta

ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang

sering merupakan komponen terapi yang penting.

Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama

yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor

tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di


21

dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan

penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,

keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar

glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat

dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri

khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang

adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton

yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada

diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol

dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom

hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang

berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang

berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan

diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami


22

pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup

kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama

sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra

glukosanya sangat tinggi).

2.1.6 Anatomi Fisiologi Pankreas

Gambar 2.1 Anatomi Pankreas

Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang

gaster di retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus

limpa di arah kraniodorsal. Bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan

dengan korpus pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm.
23

Arteri dan vena mesentrika superior berada di dorsal leher pankreas.

Duodenum bagian horizontal dan bagian dari penonjolan posterior bagian

kiri bawah kaput pankreas ini disebut prosesus unsinatus pankreas,

melingkari arteri dan vena tersebut (Wijaya & Yessie, 2013).

Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit

dibawah lambung dan abdomen. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang

berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau

Langerhans yang berisi sel β (beta) yang mengeluarkan hormon insulin,

yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah, sel β

mensekresi insulin yang menurunkan kadar glukosa darah, juka sel γ

(delta) yang mengeluarkan somatostatin (Wijaya dan Yessie, 2013).

Pankreas terdiri dari labulus-labulus, masing-masing terdiri dari

satu pembuluh kecil yang mengarah pada duktus utama dan berakhir pada

sejumlah alveoli. Alveoli dilapisi oleh sel-sel yang mensekresi enzim yang

diantaranya:

1) Tripsinogen diubah menjadi tripsin aktif oleh enterokinase, enzim

yang disekresi usus halus. Dalam bentuk aktifnya, tripsin mengubah

pepton dan protein menjadi asam amino.

2) Amylase mengubah zat pati, baik yang masak dan tidak masak,

menjadi Maltose (gula malt).


24

3) Lipase mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol setelah

empedu mengemulsi lemak yang meningkat kanarea permukaan

(Wijaya dan Yessie, 2013).

Ada 5 hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah menurut Wijaya

(2013):

1) Insulin merupakan hormon yang menurunkan kadar glukosa dalam

darah dibentuk oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas.

2) Glukosa yang disekresi oleh sel-sel λ (alfa) pulau langerhans yang

berfungsi meningkatkan kadar glukosa dalam darah.

3) Epinefrin yang disekresi oleh medulla adrenal dan jaringan kromafin

lain, berfungsi meningkatkan kadar glukosa dalam darah.

4) Glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal.

5) Growth hormon yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.

Glukagon, epinefrin, glukokortikoid dan growth hormon, membentuk

suatu perlawanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya

hipoglikemia akibat pegaruh insulin.

Dalam buku karangan Wijaya dan Yessie (2013), pankreas

merupakan kelenjar ganda yang terdiri dari eksokrin dan endokrin , 99%

dari kelenjar merupakan eksokrin yang terdiri atas sel-sel asinus pankreas

dan duktus pankreas dan 1% lainnya merupakan endokrin oleh sel islet

langerhans.
25

a. Sekresi Eksokrin

Sekresi pankreas mengandung enzim untuk mencernakan 3 jenis

makanan utama: Protein (tripsin, kimotripsin, karboksi

poliopeptidase), karbohirat (amilase pankreas), dan lemak (lipase

pankreas). Disintesis oleh sel asinus pankreas dan kemudian

dikeluarkan melalui duktus pankreatikus. Sel eksokrin pankreas

mengeluarkan cairan elektrolit dan enzim sebanyak 1500-2500 ml

sehari dengan pH 8 sampai 8,3. Sekresi eksokrin pankreas diatur oleh

mekanisme humoral dan neural dalam tiga fase yaitu fase sefalik

melalui asetilkolin yang dibebaskan ujungnya. Vagus merangsang

sekresi enzim pencernaan pankreas.

Pada fase gastrik, dengan adanya protein dalam makanan akan

merangsang keluarnya gastrin yang juga merangsang keluarnya enzim

pencernaan kedalam duodenum, dan ketika kimus yang bersifat asam

memasuki duodenum pada fase intestinal, membran mukosa

duodenum menghasilkan hormon peptida sekretin ke aliran darah.

Hormon ini kemudian akan menstimulasi sekresi pankreas yang

mengandung ion bikarbonat dalam konsentrasi tinggi. Ion ini berguna

untuk menetralisir asam pada kimus dan menciptakan suasana yang

memungkinkan kerja dari enzim pencernaan.


26

Hormon kolesistokinin juga merupakan perangsang yang sangat

kuat terhadap sekresi enzim terutam dengan adanya protein dan lemak

dalam kimus. Seperti halnya sekretin kolesistokinin juga dikeluarkan

melalui pembuluh darah yang merangsang keluarnya cairan pankreas

yang mengandung enzim pencernaan dalam konsentrasi tinggi. Pada

saat disintesa enzim-enzim proteolitik berada dalam bentuk tidak aktif,

sedangkan enzim amylase dan lipase sudah dalam bentuk aktif. Enzim-

enzim ini tersimpan dalam granula zimogen sampai terdapat

rangsangan untuk melakukan sekresi dan enzim dikeluarkan dengan

proses exocytosis, dan kemudian diaktifkan didalam lumen intestinal.

b. Sekresi Endokrin

Sekresi hormon dihasilkan oleh sel islet dari langerhans.

Setiap pulau berdiameter 75 sampai 150 makron. Berjumlah sekitar 1-

2 juta, dan dikelilingi oleh sel-sel asinus pankreas, disekelilingnya

terdapat kapiler darah khusus dengan pori-pori yang besar. Sel-sel

islet pankreas mempunyai tiga tipe sel mayor, yang masing-masing

memproduksi endokrin yang berbeda yaitu sel λ (alfa) 20% terletak

diperifer dan memproduksi Glukagon, sel β (beta) 75% terletak

disentral memproduksi hormon insulin, sel delta 5% yang mensekresi

hormon somatostatin, dan sisanya yang memproduksi pankreas

polipeptida.
27

c. Insulin

Pengeluaran insulin oleh sel β dirangsang oleh kenaikan glukosa

dalam darah yang ditangkap oleh resptor glukosa pada sitoplasma

permukaan sel β yang akan merangsang pengeluaran ion kalsium

dalam sel. Ion kalsium akan meningkatkan exocytosis dari vesikel

sekresi yang berisi insulin dan meningkatkan jumlah insulin dalam

beberapa detik. Jika dalam keadaan hiperglikemia masih bertahan

maka mRNA akan dibentuk dalam nukleus dan berpindah ke

sitoplasma utntuk selanjutnya meningkatkan sintesis dari rantai

polipeptida tunggal (proinsulin) didalam retikulo endoplasma sel.

Selama pembentukan dalam appairatus golgi, proinsulin ini akan

diikat oleh 2 disulfida yang oleh enzim protease akan diubah menjadi

insulin dan disimpan dalam vesikel sekresi yang jika dibutuhkan akan

dikeluarkan melalui proses exocytosis. Insulin bekerja denag jalan

terikat dengan reseptor insulin yang terdapat pada membran sel target.

Mekanisme kerja insulin dapat berlangsung segera dalam beberapa

detik, dalam beberapa menit, atau dalam beberapa jam.

d. Glukagon

Glukagon mempunyai fungsi yang berlawanan dengan hormon insulin

yang meningkatkan konsentrasi glukosa. Efek glukagon dalam

metabolisme glukosa darah:

1) Pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis)


28

2) Meningkatkan glukoneogenesis pada hati

Glukagon juga meningkatkan, menghambat penyimpanan

trigliserida dan efek katogenik. Selain itu glukagon konsentrasi tinggi

mempunyai efek inotropik pada jantung, juga meningkatkan sekresi

empedu dan menghambat sekresi asam lambung.

e. Somatostatin

Somatostatin merupakan polipeptida dengan 14 asam amino dan

berat molekul 1640 yang dihasilkan di sel -sel D langerhans. Hormon

ini juga berhasil diisolasi di hypothalamus, bagian otak lainnya dan

saluran cerna. Sekresi somatostatin ditingkatkan oleh:

1) Meningkatkan konsentrasi gula darah

2) Meningkatkan konsentrasi asam amino

3) Meningkatkan konsentrasi asam lemak

4) Meningkatkan konsentrasi beberapa hormon saluran cerna yang

dilepaskan pada saat makan.

Somatostatin mempunyai efek inhibisi terhadap sekresi insulin dan

glukagon. Hormon ini juga mengurangi motilitas lambung, duodenum

dan kandung empedu. Sekresi dan absorbsi saluran cerna juga

dihambat. Selain itu somatostatin menghambat sekresi hormon

pertumbuhan yang dihasilkan hipofise anterior.


29

f. Pankreas Polipeptida

Hormon ini terdiri dari 36 asam amino dengan berat molekul

4200. Sampai saat ini proses sintesanya belum jelas. Sekresinya

dipengaruhi oleh hormon kolinergik, dimana konsentrasinya dalam

menurun setelah pemberian atropine. Sekresi juga menurun pada

pemberian somatostatin dan glukosa intavena. Sekresinya meningkat

pada pemberian protein, puasa, latihan fisik dan keadaan hipoglikemia

akut.

2.1.7 Tanda dan gejala Diabetes Mellitus

Gejala klinis DM yang klasik menurut Tim Bumi Medika (2017):

mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri dan berat badan naik (fase

kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul

gejala fase dekompensasi (Dekompensasi Pankreas), yang disebut gejala

klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga gejala

klasik tersebut diatas disebut pula “Trias Sindrom Diabetes Akut”

(poliuria, polidipsi, berat badan turun) bahkan apabila tidak segera

diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan ketoasidisis diabetik.

Sedangkan menurut Tjokroprawiro dkk.,(2007) dalam Damayanti

(2015) gejala kronis DM yang sering muncul antara lain lemah badan,

semutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan

menglihatan yang sering berubah, sakit sendi dan lain-lain Keluhan umum

pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak


30

ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat

komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.

Gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan

adalah, Katarak, Glaukoma, Retinopati, Gatal seluruh badan, Pruritus

Vulvae, Infeksi bakteri kulit, Infeksi jamur di kulit, Dermatopati,

Neuropati perifer, Neuropati viseral, Amiotropi, Ulkus Neurotropik,

Penyakit ginjal, Penyakit pembuluh darah perifer, Penyakit koroner,

Penyakit pembuluh darah otak (Damayanti, 2015).

2.1.8 Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi diabetes mellitus yang berkaitan dengan kedua tipe DM

(Diabetes Melitus) menurut Brunner dan Suddarth (2016) digolongkan

sebagai akut dan kronik:

a. Komplikasi akut

Komplikasi akut terjadi sebagai akibat intoleransi glukosa yang

berlangsung dalam jangka waktu pendek, mencakup:

1. Hipoglikemik/ Koma Hipoglikemia

Hipoglikemik adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar

gula darah yang normal 60-100 mg% yang bergantung pada

berbagai keadaan. Salah satu bentuk dari kegawatan hipoglikemik

adalah koma hipoglikemik. Pada kasus sopor atau koma yang tidak

diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu

hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pembarian glukosa.


31

Koma hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis

insulin. Selain itu dapat pula disebabkan oleh karana terlambat

makan atau olahraga yang berlebih. Diagnosa dibuat dari tanda

klinis dengan gejala hipoglikemik terjadi bila kadar gula darah

dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaaan darah jari.

Hipoglikemik sering didefinisikan dengan gambaran klinisnya dan

diklasifikasikan berdasarkan Triad Whipple (Damayanti 2015),

yaitu:

a) Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah

plasma yang rendah.

b) Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia

pada diabetes)

c) Hilangnya secara cepat keluhan sesudah kelainan biokimiawi

dikoreksi.

2. Diabetik Ketoasidosis

Ketoasidosi diabetik atau keracunan zat keton sebagai hasil

metabolisme lemak dan protein terutama terjadi pada IDDM

(Insulin Dependent Diabetes Melitus). Ketika patofisiologi DM tipe

1 yang tidak diobati semakin berlanjut, kekurangan insulin

menyebabkan cadangan lemak dipecah untuk menyediakan energi,

yang menghasilkan hiperglikemik berkelanjutan dan mobilisasi

asam lemak dengan ketosis bertahap.


32

Ketoasidosis Diabetik (DKA) terjadi bila terdapat kekurangan

insulin mutlak dan peningkatan hormon kontraregulator

terstimulasi (kortisol). Produksi glukosa oleh hati meningkat,

pemakaian glukosa perifer berkurang, mobilisasi lemak meningkat

dan ketogenesis (pembentukan keton) dirangsang. Peningkatan

kadar glukagon mengaktifkan jalur glukogenesis dan ketogenesis di

hati.

Pada saat kekurangan insulin, produksi berlebihan beta-

hidroksibutirat dan asam asetoasetat (badan keton) oleh hati

menyebabkan peningkatan konsentrasi keton dan peningkatan

pelepasan asam lemak bebas. Sebagai akibat dari kehilangan

bikarbonat (yang terjadi bila terbentuk keton), penyangga

bikarbonat tidak terjadi, dan terjadi asidosis metabolik, disebut

DKA. Depresi sistem saraf pusat (SSP) akibat penumpukan keton

dan asidosis yang terjadi dapat menyebabkan koma dan kematian

jika tidak ditangani menurut Porth & Matfin (2009) dalam

Damayanti (2013).

DKA melibatkan empat masalah metabolik:

a) Hiperosmolaritas akibat hiperglikemia dan dehidrasi

b) Asidosis Metabolik akibat penumpukan asam keton

c) Penurunan volume ekstraseluler akibat diuresis osmotik


33

d) Ketidakseimbangan elektrolit (misalnya kehilangan natrium dan

kalium) akibat diuresis osmotik.

Tabel 1.1 Manifestasi ketoasidosis diabetik (DKA)

Masalah Manifestasi
Dehidrasi (akibat 1. Rasa haus
hiperglikemia) 2. Kulit hangat dan kering dengan
turgor buruk
3. Bola mata lunak
4. Membran mukosa kering
5. Kelemahan
6. Malaise
7. Nadi cepat dan lemah
8. Hipotensi

Asidosis (akibat 1. Mual dan muntah


ketosis) 2. Nafas bau keton (buah, atau
seperti alkohol)
3. Letargi
4. Koma

Manifestasi lain 1. Nyeri perut (penyebab tidak


diketahui)
2. Pernafasan kussmaul
(peningkatan frekuensi dan
kedalaman pernafasan dengan
ekspirasi lama; respons
kompensatorik untuk mencegah
penurunan pH lebih lanjut)

(Lemone and Bauldoff, 2016)


34

Manifestasi DKA terjadi akibat dehidrasi berat dan asidosis.

Manifestasi ini diringkas dalam kotak diatas, temuan laboratorium

adalah sebagai berikut:

a) Kadar glukosa darah lebih tinggi dari 250 mg/dl

b) pH plasma kurang dari 7,3

c) Bikarbonat plasma kurang dari 15 mEq/l

d) Ada keton dalam serum

e) Ada keton dan glukosa dalam urine

f) Kadar natrium, kialium dan klorida serum tidak normal.

3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketosis

Keadaan Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS) terjadi

pada penyandang DM tipe 2. HHS ditandai terjadi osmolaritas

plasma 340 mOsm/L atau lebih (kisaran normal adalah 280-300

mOsm/L), naiknya kadar glukosa dengan cepat (lebih ari 600 mg/dl

dan sering kali 1000-2000 mg/dl), dan perubahan tingkat

kesadarannya yang berat. HHS adalah kedaruratan medis yang

serius yang mengancam jiwa dan memiliki angka kematian tertinggi

dibanding DKA . Kematian tinggi tidak hanya karena perubahan

metabolik yang serius tetapi juga karena penyandan DM biasanya

lansia dan memiliki masalah medis lain yang menyebabkan atau

disebabkan oleh HHS.


35

Faktor pemicu terkait HHS adalah infeksi, agens terapeutik

yang menyebabkan hiperglikemia (glukokortikoid, diuretik, agens

penyekat beta-adrenergik, imunosupresan, klorpromazin,

diazoksida), prosedur terapeutik (dialisis peritoneal, hemodialisis,

alimentasi hiperosmolar, pembedahan), penyakit akut (infeksi,

gangrene, infeksi kemih, luka bakar, perdarahan gastrointestinal,

infark miokardium, pankreatitis, stroke) dan penyakit kronis

(penyakit ginjal, penyakit jantung, hipertensi, stroke sebelumnya,

alkoholisme). Faktor pemicu yang paling umum adalah infeksi.

Manifestasi ini dapat lambat munculnya, dengan kisaran

awitan dari 24 jam hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai dengan

hiperglikemia, yang menyebabkan peningkatkan haluaran urine

sehingga terjadi berkurangnya volume plasma dan laju filtrasi

glomelurus (GFR) menurun. Akibatnya glukosa ditahan dan air

hilang. Glukosa dan natrium menumpuk didarah dan meningkatkan

osmolaritas serum.

Hiperosmolaritas serum mengakibatkan dehidrasi berat, yang

mengurangi air intraselular disemua jaringan, termasuk otak.

Penderita memiliki kulit dan mebran mukosa kering, rasa haus

ektrem dan perubahan tingkat kesadaran (dari letargi hingga koma).

Defisit neurologis dapat mencakup hipertermia, kerusakan motorik

dan sensorik, tanda babinski positif dan kejang.


36

Asidosis metabolik bukan bagian dari patologi; tetapi kenaikan

glukosa darah, insulin yang cukup tersedia untuk mencegah

metabolisme lemak dengan menghasilkan asam lemak dan keton

pada DKA. Terapi ditujukan untuk mengoreksi ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit, menurunkan kadar glukosa darah dengan

insulin, dan mengobati kondisi penyebab.

b. Komplikasi Kronik

Komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan

Diabetes Melitus. Komplikasi mencakup sebagai berikut:

1. Penyakit Makrovaskuler

Komplikasi ini diakibatkan karena perubahan ukuran diameter

pembuluh darah. Pembuluh darah akan menebal, sklerosis dan

menimbulkan sumbatan (occlusion) akibat plaque yang menempel.

Komplikasi makrovaskuler yang paling sering terjadi adalah

penyakit arteri koroner, penyakit cerebrovaskuler dan penyakit

vaskuler perifer (Smeltzer et al, 2008).

2. Komplikasi Mikrovaskuler

Perubahan mikrovaskuler melibatkan kelainan struktur

membran pembuluh dadrah kecil dan kapiler. Kelainan pembuluh

darah ini menyebabkan dinding pembuluh darah menebal dan

meningkatkan penurunan perfusi jaringan. Komplikasi


37

mikrovaskuler terjadi diretina (retinopati diabetik) dan diginjal

(nefropati diabetik).

3. Komplikasi Neuropati

Komplikasi ini memengaruhi sistem saraf sensori motori

dan otonom serta berperan memunculkan sejumlah masalah,

seperti impotensi dan ulkus kaki. Penyebab terjadinya ulkus

diabetik bersifat mutifaktoral, yang dapat dikategorikan menjadi

tiga kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi, deformitas

anatomi, dan faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi

menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskular dan penuruan

sistem imunitas. Faktor lingkungan terutama adalah trauma akut

maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan lain

sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus

(cahyono, 2007).

Faktor resiko terjadinya ulkus dan infeksi yaitu neuropati

perifer, deformitas neuro osteoarthophic, insufisiensi vascular,

hiperglikemia dan gangguan metabolik lain, keterbatasan pasien,

perilaku maladaptif serta kegagalan pelayanan kesehatan.


38

2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik

a. Kriteria diagnostik yang direkomendasikan American Diabetes

Association (2009) adalah sebagai berikut:

1. Manifestasi hiperglikemia (poliuria, polidipsia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan) dan konsentrasi gluosa

plasma (plasma glucose,PG) kasual >200 mg/dl (11,1 mmol/L).

Kasual diartikan sebagai sewakti-waktu tanpa mempertimbangkan

waktu makan terakhir.

2. Glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose,FPG) . 126 mg/dl

(7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori

selama 8 jam.

3. PG 2 jam >200 mg/dl (11,1 mmol/L) selama pemeriksaan toleransi

glukosa oral (oral glucose tolerance test,OGTT). Pemeriksaan in

harus dilakukan dengan muatan glukosa yang isinya setara dengan

75 glukosa anhidrosa yang dilarutkan dalam air.

Ketika menggunakan kriteria ini, kadar berikut digunakan untuk FPG:

1. Glukosa puasa normal = 100 mg/dl (6,1 mmol/L)

2. Glukosa puasa terganggu (impaired fasting glucose, IFG) = >100

(6,1 mmol/L) dan <126 mg/dl (7,0 mmol/L)

3. Diagnosis DM = >126 mg/dl (7,0 mmol/L)


39

Ketika menggunakan kriteria ini, kadar berikut digunakan untuk

OGTT:

1. Toleransi glukosa normal = PG 2 jam: <140 mg/dl (7,8 mmol/L)

2. Toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance, IGT) =

PG 2 jam: ≥140 (7,8 mmol/L) dan <200 mg/dl (11,1 mmol/L)

3. Diagnosois DM = PG 2 jam: ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Selain itu, ADA (2010) merekomendasikan pengukuran kadar

hemoglobin terglikolisasi (A1C), dengan kadar 6,5% cukup untuk

menegakkan diagnosis diabetes. Kadar 5,7%-6,49% mengindikasikan

resiko tinggi terjadinya diabetes dan penyakit kardiovaskular dan

merupakan penanda prediabetes. Berdasarkan ADA 2013, screening

untuk diabetes dengan pemeriksaan:

Tabel 1.2 Kriteria Diagnostik Diabetes Berdasarkan ADA 2013

Pemeriksaan Pre Diabetes Diabetes


HbA1c 5,7-6,4% ≥6,5%
GDP 100-125 (impaired ≥126 mg/dl
fasting glukoce/ IFT
OGTT 140-200(impaired ≥200 mg/dl
glukcose tolerance)
Random Plasma ≥200 mg/dl
Glucose

(Damayanti, 2015)
40

Tabel 1.3 Kriteria Diagnostik Diabetes Berdasarkan Depkes RI 2008

Bukan DM Belum DM
pasti DM
Kadar Plasma < 100 100-199 ≥200
glukosa darh vena darah
sewaktu kapiler
Kadar Plasma < 90 90-199 ≥200
glukosa vena darah
darah kapiler
puasa(mg/dl)

(Damayanti, 2015)

b. Menurut Smeltzer dan Bare (2008), adapun pemeriksaan penunjang

untuk penderita Diabetes Melitus antara lain :

1. Pemeriksaan fisik

Inspeksi : melihat pada daerah kaki bagaimana produksi

keringatnya (menurun atau tidak), kemudian bulu pada jempol kaki

berkurang (-). 2) Palpasi : akral teraba dingin, kulit pecah-pecah ,

pucat, kering yang tidak normal, pada ulkus terbentuk kalus yang

tebal atau bisa jugaterapa lembek. 3) Pemeriksaan pada neuropatik

sangat penting untuk mencegah terjadinya ulkus

2. Pemeriksaan Vaskuler

3. Pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan, adanya benda

asing, osteomelietus.

4. Pemeriksaan Laboratorium
41

a) Pemeriksaan darah yang meliputi : Gula Darah Sewaktu (GDS),

Gula Darah Puasa (GDP)

b) Pemeriksaan urine , dimana urine diperiksa ada atau tidaknya

kandungan glukosa pada urine tersebut. Biasanya pemeriksaan

dilakukan menggunakan cara Benedict (reduksi). Setelah

pemeriksaan selesai hasil dapat dilihat dari perubahan warna

yang ada : hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah bata

(++++).

c) Pemeriksaan kultur pus. Bertujuan untuk mengetahui jenis

kuman yang terdapat pada luka dan untuk observasi dilakukan

rencana tindakan selanjutnya.

d) Pemeriksaan jantung meliputi EKG sebelum dilakukan tindakan

pembedahan.

2.1.10 Penatalaksanaan

Menurut Price dan Lorrain (2005) pelaksanaan Diabetes Melitus di

dasarkan pada :

1. Rencana diet

2. Latihan fisik dan pengaturan aktifitas fisik

3. Agen-agen hipoglikemik oral

4. Terapi insulin

5. Pengawasan glukosa dirumah


42

6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri

Penatalaksanaan medis menurut Sugondo (2009 ) penatalaksaan secara

medis sebagai berikut :

1. Obat hiperglikemik Oral

2. Insulin

a) Ada penurunan BB dengan drastis

b) Hiperglikemi berat

c) Munculnya ketoadosis diabetikum

d) Gangguan pada organ ginjal atau hati.

3. Pembedahan pada penderita ulkus DM dapat juga dilakukan

pembedahan yang bertujuan untuk mencegah penyebaran ulkus ke

jaringan yang masih sehat, tindakannya antara lain :

a) Debridement : pengangkatan jaringan mati pada luka ulkus

diabetikum.

b) Neucrotomi

c) Amputasi

Sedangkan menurut Sugondo (2009) dalam penatalaksaan secara

keperawatan yaitu :

1. Diit

Diit harus diperhatikan guna mengontrol peningkatan glukosa.

2. Latihan
43

Latihan pada penderita dapat dilakukan seperti olahraga kecil, jalan

– jalan sore, senam diabetik untuk mencegah adanya ulkus.

3. Pemantauan penderita ulkus mampu mengontrol kadar gula

darahnya secara mandiri dan optimal.

4. Terapi insulin dapat diberikan setiap hari sebanyak 2 kali sesudah

makan dan pada malam hari.

5. Penyuluhan kesehatan dilakukan bertujuan sebagai edukasi bagi

penderita ulkus dm supaya penderita mampu mengetahui tanda

gejala komplikasi pada dirinya dan mampu menghindarinya.

6. Nutrisi disini berperan penting untuk penyembuhan luka

debridement, karena asupan nutrisi yang cukup mampu mengontrol

energi yang dikeluarkan.

7. Stress mekanik untuk meminimalkan BB pada ulkus. Modifikasinya

adalah seperti bedrest, dimana semua pasin beraktifitas di tempat

tidur jika diperlukan. Dan setiap hari tumit kaki harus selalu

dilakukan pemeriksaan dan perawatan (medikasi) untuk mengetahui

perkembangan luka dan mencegah infeksi luka setelah dilakukan

operasi debridement tersebut (Smelzer & Bare, 2005)

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

Menurut Nursalam (2001), Asuhan keperawatan adalah praktek

keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada berbagai tatanan


44

layanan kesehatan, dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia. dengan

menggunakan metedologi proses keperawatan.

Menurut Nursalam (2001), proses keperawatan adalah suatu tahapan

desain tindakan yang ditujukan untuk memenuhi tujuan keperawatan, yang

meliputi: mempertahankan keadaan kesehatan klien yang optimal, apabila

keadaannya berubah membuat suatu jumlah dan kualitas tindakan keperawatan

terhadap kondisinya guna kembali kekeadan yang normal. Jika kesehatan yang

optimal tidak dapat tercapai, proses keperawatan harus dapat memfasilitasi

kualitas kehidupan yang maksimal berdasarkan keadaannya untuk mencapai

derajat kehidupan yang lebih tinggi selama hidupnya.

Menurut Nursalam (2001) proses keperawatan dikelompokan menjadi

lima tahap, yaitu:

a. Pengkajian keperawatan
b. Diagnosa keperawatan
c. Intervensi keperawatan
d. Implementasi keperawatan
e. Evaluasi keperawaan.
2.2.1 Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah pengumpulan dan analisis informasi

secara sistematis dan berkelanjutan mengenai klien. Pengkajian dimulai

dengan mengumpulkan data dan menempatkan data ke dalam format

terorganisir. Selama fase pengkajian mengumpulkan data, perawat mulai

menerima dan mengidentifikasi masalah atau kebutuhan yang ada.


45

Kebutuhan yang ada sering menjadi prioritas diatas kebutuhan potensial,

yang sering ditulis sebagai risiko.

a. Pengumpulan data

Sumber informasi terbaik mengenai klien adalah klien dan keluarga.

Pemeriksaan fisik juga memberikan data penting. Pengumpulan data

mengenai klien umumnya dimasukkan kesalah satu dari dua kategori,

yaitu:

1. Data objektif: mencakup semua bagian informasi yang dapat diukur

dan diobservasi mengenai klien dan kondisi kesehatannya seecara

keseluruhan. Istilah objektif berarti bahwa hanya pengukuran yang

akurat dan tepat atau penjelasan yang jelas yang digunakan seperti

pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital, berat badan, tinggi badan,

catatan riwayat dokter dan lain-lain.

2. Data subjektif: terdiri atas opini klien atau perasaan mengenai apa

yang terjadi baik secara lisan maupun tulisan serta bahasa tubuh.

b. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data

mencakup observasi, wawancara, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan diagnostik lain serta pemeriksaan fisik.

Menurut NANDA (2013), fase pengkajian merupakan sebuah

komponen utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi


46

data, mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data.

Pengumpulan data antara lain meliputi:

1. Biodata

Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,

pekerjaan, agama, suku, alamat,status, tanggal masuk, tanggal

pengkajian, diagnosa medis). Identitas penanggung jawab (nama,

umur, pekerjaan, alamat, hubungan dengan pasien).

2. Riwayat kesehatan

Keluhan utama , biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien saat

dilakukan pengkajian. Pada pasien post debridement ulkus kaki

diabetik yaitu nyeri 5 – 6 (skala 0 - 10) 2) Riwayat kesehatan

sekarang. Data diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan

penyakit pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan

mendapatkan perawatan di bangsal.

a) Riwayat kesehatan dahulu adakah riwayat penyakit terdahulu

yang pernah diderita oleh pasien tersebut, seperti pernah

menjalani operasi berapa kali, dan dirawat di RS berapa kali.

b) Riwayat kesehatan keluarga, riwayat penyakit keluarga ,

adakah anggota keluarga dari pasien yang menderita penyakit

Diabetes Melitus karena DM ini termasuk penyakit yang

menurun.
47

3. Pola Fungsional Gordon

a) Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat infeksi sebelumnya,

persepsi pasien dan keluarga mengenai pentingnya kesehatan

bagi anggota keluarganya.

b) Pola nutrisi dan cairan: pola makan dan minum sehari – hari,

jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, jeni makanan

dan minuman, waktu berapa kali sehari, nafsu makan

menurun /tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan berat

badan.

c) Pola eliminasi: mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan

selama sakit , mencatat konsistensi,warna, bau dan berapa kali

sehari, konstipasi, beser.

d) Pola aktivitas dan latihan: reaksi setelah beraktivitas (muncul

keringat dingin, kelelahan/ keletihan), perubahan pola nafas

setelah aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara

mandiri.

e) Pola tidur dan istirahat: berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,

gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.

f) Pola persepsi kognitif: konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan

mengetahui tentang penyakitnya.

g) Pola persepsi dan konsep diri: adakah perasaan terisolasi diri

atau perasaan tidak percaya diri karena sakitnya.


48

h) Pola reproduksi dan seksual

i) Pola mekanisme dan koping: emosi, ketakutan terhadap

penyakitnya, kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas.

j) Pola hubungan: hubungan antar keluarga harmonis, interaksi ,

komunikasi, cara berkomunikasi.

k) Pola keyakinan dan spiritual: agama pasien, gangguan

beribadah selama sakit, ketaatan dalam berdo’a dan beribadah.

4. Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan umum penderita post debridement ulkus DM biasanya

timbul nyeri akibat pembedahanskala nyeri (0 - 10), luka

kemungkinan rembes pada balutan. Tanda-tanda vital pasien

(peningkatan suhu, takikardi), kelemahan akibat sisa reaksi obat

anestesi.

b) Sistem pernapasan ada gangguan dalam pola napas pasien,

biasanya pada pasien post pembedahan pola pernafasannya

sedikit terganggu akibat pengaruh obat anesthesia yang diberikan

di ruang bedah dan pasien diposisikan semi fowler untuk

mengurangi atau menghilangkan sesak napas.

c) Sistem kardiovaskuler denyut jantung, pemeriksaan meliputi

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada permukaan

jantung, tekanan darah dan nadi meningkat.


49

d) Sistem pencernaan pada penderita post pembedahan biasanya

ada rasa mual akibat sisa bius, setelahnya normal dan dilakukan

pengkajian tentang nafsu makan, bising usus, berat badan.

e) Sistem musculoskeletal pada penderita ulkus diabetik biasanya

ada masalah pada sistem ini karena pada bagian kaki biasannya

jika sudah mencapai stadium 3 – 4 dapat menyerang sampai otot.

Dan adanya penurunan aktivitas pada bagian kaki yang terkena

ulkus karena nyeri post pembedahan.

f) Sistem intregumen turgor kulit biasanya normal atau menurun

akibat input dan output yang tidak seimbang. Pada luka post

debridement kulit dikelupas untuk membuka jaringan mati yang

tersembunyi di bawah kulit tersebut.

2.2.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan mmengenai masalah

kesehatan klien yang aktual atau potensial yang dapat dikelola melalui

intervensi keperawatan mandiri. Diagnosis keperawatan adalah

pernyataan yang ringkas, jelas, berpusat pada klien, dan spesifik pada

klien. Diagnosis keperawatan merupakan identifikasai masalah kesehatan

klien yang aktual atau potensial, masalah dapat dikelola dengan tindakan

keperawatan mandiri dan sebagai pedoman untuk mengidentifikasi

prioritas keperawatan dan mengarahkan keperawatan.


50

Menurut Potter dan Perry ( 2005 ) Diagnosa keperawatan adalah

pernyataan yang menggambarkan respon aktual atau potensial klien

terhadap masalah kesehatan. Diagnosa keperawatan memberikan dasar

untuk pemilihan intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung

gugat perawat.

Alasan untuk merumuskan diagnosa keperawatan setelah

menganalisis data pengkajian adalah untuk mengidentifikasi masalah

kesehatan yang melibatkan klien dan keluarganya dan untuk memberikan

arah asuhan keperawatan ( Potter dan Perry, 2005).

Menurut Carpenito (2006) diagnosis keperawatan dapat berupa

tipe aktual, potensial, resiko, kesejateraan atau sindrom.

a. Aktual, suatu diagnosis keperawatan aktual menggambarkan penilain

klinis yang harus divalidasi perawat adanya batasan karakteristik

mayor.

b. Resiko, diagnosis resiko menggambarkan penilaian klinis yang

individu/kelompok lebih rentan untuk mengalami masalah dibanding

orang lain dalam situasi ysng sama atau serupa.

c. Kesejateraan, diagnosis keperawatan kesejahteraan adalah penilaian

klinis tentang individu, keluarga atau komunitas tentang transisi dari

tingkat kesejahteraan tertentu ke tingkat kesejahteraan yang lebih

tinggi.
51

d. Sindrom, diagnosa keperawatan sindrom terdiri atas kelompok

diagnosis keperawatan aktual atau resiko yang diperkirakan ada

karena situasi atau peristiwa tertentu.

Berikut beberapa diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan

Diabetes Melitus:

Menurut Nanda (2013) dalam Nurarif (2015), diagnosa keperawatan yang

muncul antara lain :

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan gangguan keseimbangan insulin, makanan dan

aktivitas jasmani.

2. Resiko syok berhubungan dengan ketidakmampuan elektrolit

kedalam sel tubuh, hipovolemia.

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan nekrosis

kerusakan jaringan (necrosis luka gangrene).

4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma pada jaringan, proses

penyakit (diabetes mellitus).

5. Retensi urine berhubungan dengan inkomplit pengosongan kandung

kemih, sfingter kuat dan poliuri.

6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan sirkulasi darah ke perifer, proses penyakit (diabetes

mellitus).
52

7. Resiko ketidak seimbangan elektrolit berhubungan dengan gejala

poliuria dan dehidrasi.

8. Keletihan berhubungan dengan penurunan berat badan, proses

penyakit (diabetes mellitus).

Diagnosa keperawatan menurut Padila 2012:

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

2. Kekurangan volume cairan

3. Gangguan integritas kulit

4. Resiko terjadi cedera

Diagnosa keperawatan menurut Randy dan Margareth 2012:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik

2. Nyeri akut jaringan berhubungan dengan faktor mekanik mobilitas

dan penurunan neuropati, perubahan sirkulasi

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan faktir biologis.

Diagnosa keperawatan menurut Nugroho 2011:

1. Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan/ gangguan fungsi

sensori, kurangnya kesadaran


53

2. Resti/ aktual nutrisi kurang/ lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakseimbangan insulin, makan dan aktivitas

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, perawatan,

rehabilitasi, pencegahan kekambuhan, tanda dan gejala, komplikasi.

2.2.3 Rencana keperawatan

Perencanaan adalah pengembangan tujuan untuk mencegah,

mengurangi, atau mengatasi masalah dan untuk mengidentifikasi

intervensi keperawatan yang akan membantu klien dalam memenuhi

tujuan. Menetapkan prioritas , menetapkan hasil yang diharapkan, dan

memilih intervensi keperawatan akan menghasilkan rencana asuhan

keperawatan. Rencana asuhan keperawatan yang ideal bersifat individual

untuk setiap klien. Rencana sauhan terstandarisasi adalah alat bantu

efisien dan diterima dengan baik ketika merawat banyak klien.

Anda mungkin juga menyukai