Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

Epilepsi

Oleh :

Dini Fajriah Omari 2040312131


Muhammad Tsani Mudzakir 2040312147

Preseptor:
dr. Reno Bestari, Sp. N

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan suatu kondisi neurologis yang secara umum
mengenai orang dari seluruh kelompok usia, ras dan kelas sosial. Kira-kira
sebanyak 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi.1 Suatu estimasi
insidens dan prevelansi terjadinya epilepsi sulit tercapai kerana identifikasi
penderita epilepsi adalah sukar.2 Di Indonesia sendiri, belum ada data pasti
tentang jumlah penderita epilepsi, namun diperkirakan ada sebanyak 1-2 juta
orang. Insiden epilepsi di Indonesia adalah sebanyak 50 kasus per 100.000 orang
per tahun sedangkan prevalensi epilepsi adalah 5-10 kasus per 1.000 orang.3
Epilepsi adalah suatu gangguan sistem saraf pusat yang bermanifestasi
dengantimbulnya kejang secara tiba-tiba dan berkala. 4 Di Indonesia, epilepsi
dikenal dengan istilah seperti sawan, ayan, sekalor dan celengan.3,4Seorang
dengan epilepsi dapat mengalami kehilangan kesadaran saat serangan.5 Suatu
serangan epilepsi terjadi oleh karena terjadinya perlepasan muatan listrik yang
abnormal, berlebihan dan sinkron oleh neuron yang terletak di bagian korteks
serebri.6 Tipe epilepsi dapat bervariasi, tergantung dari bagian serebri otak yang
terkena dan jenis kejang yang terjadi.7 Klasifikasi epilepsi yang tepat dapat
dilakukan dengan menggunakan pedoman terbaru dari International League
Against Epilepsy (ILAE) tahun 2016.5,8
Suatu diagnosis epilepsi harus ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik.9 Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG), video-EEG, CT-Scan dan MRI turut membantu
dalammenegakkan diagnosis pasti epilepsi.10 Tujuan tatalaksana epilepsi adalah
untuk membebaskan kejang tanpa menimbulkan efek samping.5 Epilepsi
ditatalaksana dengan pemberian obat anti epilepsi.6 Obat anti epilepsi dapat
diberikan sebagai monoterapi maupun secara kombinasi tergantung dari tipe
kejang yang terjadi.11 Prognosis epilepsi tergantung dari tipe epilepsi yang terjadi. 2
Penderita harus rutin kontrol ke poli saraf untuk mendapatkan terapi secara teratur
karena dengan pengobatan yang cukup, suatu bangkitan kejang ada epilepsi dapat
diminimalisir.5

3
1.2 Batasan Masalah
Penulisan makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan
penatalaksanaan epilepsi.

1.3 TujuanPenulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan epilepsi.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
berbagai literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“epilepsia” yang didefinisikan sebagai suatu gangguan umum kronis yang disertai
dengan kejang berulang tanpa alasan, kejang sementara dan/atau gejala dari
aktivitas neuronal yang abnormal, berlebihan atau sinkron di otak.4 Epilepsi
merupakan sebuah gangguan kronik yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
provokasi.5 Suatu gangguan otak dapat dinamakan epilepsi sekiranya memenuhi
kondisi12:
1. Terjadi sekurang-kurangnya 2 kejang tanpa provokasi dalam jangka > 24
jam.
2. Terjadi satu kejang tanpa provokasi dan ada kemungkinan terjadi kejang
lebih lanjut yang serupa dengan resiko kekambuhan umum (setidaknya
60%) setelah dua serangan tanpa provokasi, yang terjadi 10 tahun ke depan.
3. Diagnosis sindroma epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).

2.2 Epidemiologi
Epilepsi mengenai orang dari seluruh kelompok usia, ras dan kelas sosial.
Kira-kira sebanyak 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. 1 Suatu
estimasi insidens dan prevelansi terjadinya epilepsi sulit tercapai kerana
identifikasi penderita epilepsi adalah sukar.2 Di Indonesia sendiri, belum ada data
pasti tentang jumlah penderita epilepsi, namun diperkirakan ada sebanyak 1-2
jutaorang. Insiden epilepsi di Indonesia adalah sebanyak 50 kasus per 100.000
orang per tahun sedangkan prevalensi epilepsi adalah 5-10 kasus per 1.000 orang.3

2.3 Etiologi
Kejang pada epilepsi terpicu karena terjadinya pelepasan berlebihan dan
sinkronisasi neuron. Hal ini menganggu kerja normal dari bagian otak yang
terlibat sehingga menyebabkan gejala klinis dan tipe spesifik dari epilepsi. 1
Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi empat, yaitu idiopatik, simptomatik,
kriptogenik danprogresif.7
Epilepsi idiopatik (atau primer) ditentukan oleh genetik dan biasanya
berhubungan dengan karakteristik klinis yang khas dan temuan hasil
elektroensefalografi (EEG) yang spesifik. Epilepsi ini sering terjadi namun
penyebabnya masih belum diketahui. Beberapa penyakit lagka yang didapat
seperti sklerosis tuberculosis dan neurofibromatosis dapat menyebabkan epilepsi
idiopatik. Pasien dengan Trisomy 21 (Down’s syndrome) adapat mengalami
epilepsi idiopaik pada akhir kehidupannya.7Secara umum, epilepsi idiopatik
biasanya mempunyai prognosis baik dan respon dengan baik dengan obat anti
konvulsan.1
Epilepsi simptomatik adalah kondisi yang didapat dan berhubungan
dengan abnormalitas struktural otak. Penyebab epilepsi simptomatik adalah
trauma kepala, trauma saat lahir, gangguan serebrovaskular, infeksi otak,
malformasi kortikal dan tumor otak. Oleh karena itu investigasi yang mendalam
harus dilakukan untuk menggali penyebab epilepsi ini.7Prognosis epilepsi
simptomatik biasanyajelek.Suatu epilepsi dikatakan kriptogenik apabila tidak ada
penyebab abnormalitas yang jelas atau apabila suatu dugaan faktor resiko yang
menjurus ke kondisi epilepsi simpomatik atau didapat. Kira-kira 40% pasien
epilepsi tidak ditemukan penyebab epilepsinya. Namun, angka ini didapatkan
semakin menurun dengan meningkatnya fasilitas neuroimaging terutama MRI.7
Epilepsi dikatakan progresif apabila berhubungan dengan kondisi
neurologi yang semakin menjadi. Epilepsi mioklonik progresif merupakan
sekumpulan gangguan yang terjadi pada penyakit otak degenerative yang
diturunkan serta gangguan metabolik saat lahir. Penyakit yang sering terkait
dengan epilepsi ini adalah adrenoleukodistrofi, penyakit Alper’s dan penyakit
Tay-Sachs.7
Suatu etiologi atau faktor resiko terjadinya epilepsi tergantung pada usia
pasien dan tipe kejang yang bermanifestasi. Penyebab epilepsi tersering pada bayi
adalah hipoksia perinatal dan trauma, gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital dan infeksi. Pada anak kecil dan remaja, epilepsi idiopatik sering
terjadi, walaupun trauma dan infeksi juga memainkan peran yang penting.
Penyebab epilepsi pada orang dewasa bervariasi. Kedua epilepsi idiopatik dan
epilepsi yang berhubungan dengan trauma saat lahir biasanya bermanifestasi pada
saat dewasa. Penyebab epilepsi pada orang dewasa yang lain termasuk cedera
kepala, alkohol, tumor otak dan penyakit serebrovaskular. Pada beberapa negara
berkembang, penyakit parasitik seperti sisterkosis dan malaria dapat memicu
terjadinya epilepsi.7

2.4 Klasifikasi

Gambar 1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against


Epilepsy(ILAE) tahun 20178

Klasifikasi kejang bermula dengan manifestasi awal, bersifat fokal atau


umum. Onset yang tidak diketahui atau ragu dapat dikatakan sebagai tidak
diketahui / tidak diklasifikasikan. Pada kejang fokal, tingkat kesadaran dapat
dimasukkan kepada tipe kejang. Suatu kejang dengan kesadaran baik sama dengan
istilah dari klasifikasi ILAE sebelumnya yaitu kejang fokal simpleks. Suatu
kejang fokal dengan kesadaran terganggu sama dengan istilah kejang parsial
kompleks.Gangguankesadaranyangterjadipadamana-
manatahapkejangdapatdiklasifikasikan sebagai tipe kejang fokal kesadaran
terganggu. Suatu kejang fokal dibagi lagi menjadi berdasarkan tanda dan gejala
motorik dan non motorik pada saat onset. Sekiranya kedua tanda motorik dan non
motorik ditemukan pada onset suatu kejang, biasanya gejala motorik akan
mendominasi, kecuali jika gejala non motorik lebih menonjol.8
Suatu kejang fokal dengan kesadaran baik dan kesadaran terganggu dapat
diklasifikasi sebagai lanjut dengan gejala onset motorik dan non motorik,
tergantung gejala yang muncul pertama kali, sebagai contoh, kejang fokal
automatisme dengan kesadaran terganggu. Klasifikasi tambahan dapat digunakan,
tergantung dari pengalaman dan tujuan tertentu.2,8
Tipe kejang dibagi menjadi kejang fokal (parsial) dan umum. Kejang fokal
terjadi pada area terbatas pada koretks. Gejala dapat dibagi menjadi simpleks
(fenomena motorik atau sensorik) atau kompleks (automatisme dengan/tanpa
penurunan kesadaran). Kejang fokal dapat menyebar ke bagian otak lain sehingga
menjadi kejang umum tonik-klonik. Kejang umum muncul dari kedua hemisfer
otak, dengan onset non-fokal bilateral, biasanya disertai dengan penurunan
kesadaran pada awal onset kejang. Kejang biasanya bermanifestasi dengan absens,
kejang tonik klonik, gerakan sentakan mioklonik, serangan akinetik atau atonik.8

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis epilepsi berbeda mengikut tipe epilepsi.

2.5.1 Bangkitanumum
Bangkitan ini terjadi pada semua area otak. Terjadi gangguan kesadaran
pada awal onset epilepsi. Kadang-kadang dapat diawali dengan kejang parsial
simpleksatau kejang parsial kompleks. Hal ini dinamakan sebagai kejang umum
tonik- klonik sekunder.5
a) Tonik-klonik (Grand Mal)
Merupakan jenis yang umumnya terjadi. Biasanya dimulai dengan
kehilangan kesdaran dan penderita akan menangis. Pasien akan terjatuh apabila
berdiri, tubuh menegang (tonik) dan diikuti dengan sentakan otot (klonik). nafas
pada pasien ini dangkal dan terputus sehingga biir dan kulit tampak kebiruan.
Dapat terjadi akumulasi air liur di mulut, dan disertai dengan darah apabila lidah
tergigit. Dapat disertai dengan kehilangan kontrol kandung kemih. Biasanya
kejang berlangsung selama ≥ 2 menit. Pasien sering mengalami periode
kebingungan, agitasi dan tidur setelah serangan. Kadang- kadang, sakit kepala dan
nyeri dirasakan setelahserangan.5
b) Absans (Petit Mal)
Tipe kejang ini biasanya terjadi pada masa anak-anak (bisa juga terjadi
pada orang dewasa), pasien didapatkan seringkali keliru dengan melamun dan
tidak dapat memberikan perhatian. Biasanya ditemukan riwayat yang sama pada
keluarga. Kejang ini diawali dengan mendadak, di mana pasien menatap, tanpa
ekspresi, tanpa respon dengan menghentikan aktifitas yang sedang dilakukan.
Sering terjadi kedipan mata atau gerakan mata yang menghadap edke atas. Durasi
kejang ± 10 detik dan berhenti dengan tiba-tiba. Setelah serangan, penderita
kembali sadar dan melanjutkan aktifitas seperti normal, tanpa adanya ingatan
tentang serangan yang terjadi. Penderita tetap mempunyai tingkat kecerdasan
yang normal. Biasanya teratasi seiring dengan pubertas.5

c)Mioklonik
Kejang tipe berlangsung sebentar, dengan sentakan otot yang kuat pada
ekstremitas atas. Pasien biasanya menjatuhkan atau menumpahkan sesuatu setelah
serangan. Kesadaran tidak terganggu, namun pasien merasakan kebingungan dan
mengantuk sekiranya episode kejang berlangsung terus dalam waktu yang singkat.
Tipe kejang ini dapat menjadi lebih berat yaitu sebagai tipe kejang tonik-klonik.5

d) Tonik
Kejang tipe ini terjadi mendadak dengan manifestasi kekakuan pada otot
seluruh tubuh, sehingga pasien yang berada daam posisi berdiri, menjadi kaku dan
terjatuh. Pemulihan pada tipe kejang ini adalah sebentar namun cedera masih
dapat bertahan. Kejang ini dapat terjadi saat pasien sedang tidur.5

e)Atonik
Tipe ini terjadi mendadak, pasien kehilangan kekuatan otot sehingga
merasa lemas dan dapat terjatuh dari posisi berdiri. Dapat disertai dengan cedera
dan luka pada kepala. Tidak disertai dengan kehilangan kesadaran. Pemulihan dari
serangan adalah cepat kecuali apabila ada cedera.5

2.5.2 BangkitanParsial/Fokal
Pasien dengan kejang fokal terjadi pada satu bagian otak tetapi dapat difus
ke bagian otak lain. Jika terjadi penyebaran, disebut sebagai kejang umum
(sekunder), dan sering menjadi kejang tonik-klonik. Sekitar pada 60% penderita
epilepsi terjadi kejang fokal dan kadang-kadang kejang tipe ini tidak mampan
dengan pemberian obat antikonvulsan.4,5

a) Parsial Simpleks
Kejang tipe ini juga dikenal sebagai “aura” atau “warning” dan
bermanifestasi sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik-klonik.
Biasanya tidak ada penurunan kesadaran dan durasi serangan adalah selama< 1
menit.5
b) Parsial Kompleks
Tipe serangan ini bervariasi, tergantung pada bagian otak dan dimulai dan
penyebaran yang terjadi. Sebagian besar dimulai dengan tatapan kosong,
kehilangan ekspresi / samar-samar dan penampilan bingung. Pada pasien dengan
serangan ini, kesadaran dapat terganggu dan pasien kemungkinan tidak akan
merespon. Dapat disertai dengan perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum pada
serangan ini termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar dan bergumam.
Durasi kejang ini adalah selama 30 detik sampai 3 menit. Pasien sering bingung
dan kadang-kadang tidak ingat apa-apa setelah serangan.5,9

2.6 Diagnosis
Suatu penentuan diagnosis epilepsi haruslah dilakukan sesuai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap.10

Anamnesis
Suatu wawancara yang lengkap baik sama pasien, keluarga pasien, orang
yang merawat atau saksi mata haruslah dilakukan untuk menentukan suatu
serangan kejang itu adalah kejang atau bukan. Beberapa pertanyaan tentang
kejadian sebelum, selama dan sesudah serangan kejang harus ditanyakankarena
dokter tidak dapat melihat sendiri serangan kejang yang terjadi pada pasien.10

Antara pertanyaan yang ditanyakan, termasuk:


1. Kapan pasien mengalami serangan kejangyang pertama kali selamaini?
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejangterjadi?
3. Apa yang terjadi selama serangan kejangberlangsung?
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejangberlangsung?
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jamsehari?
6. Apakah ada faktorpencetus?
7. Bagaimana frekuensi serangankejang?
8. Apakah sejak dari awal ada periode bebas serangankejang?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satumacam?
10. Apakah pasien mengalami luka di tubuh sehubungan dengan serangan kejang?
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?

Selain daripada pertanyaan di atas, harus juga ditanyakan pertanyaan yang


berhubungan dengan riwayat medik dahulu, riwayat sosial, riwayat alergi, riwayat
pengobatan dan riwayat pemeriksaan penunjang yang lain.

Pemeriksaan Fisik dan Neurologi


Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menapis sebab-sebab terjadinya
serangan kejang dengan menggunakan unsur usia dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada pasien yang tua, seharusnya dilakukan auskultasi pada
daerahleheruntukmengetahuiadanyapenyaitvaskular.Padapasiendenganserangan
kejang yang muncul pertama kali, haruslah dilakukan pemeriksaan kardiovaskular
karena sinkop kardiovaskular mirip dengan serangan kejang.10
Pemeriksaan neurologi yang dilakukan termasuklah status mental, “gait”,
koordinasi, pemeriksaan saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik serta reflex
tendon. Hasil pemeriksaan neurologis dapat menentukan jenis epilepsi yang
terjadi.9,10

PemeriksaanPenunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menentukan
diagnosis pasti epilepsi.9 Pemeriksaan yang dapat dilakukantermasuk:
1. PemeriksaanLaboratorium10
Biasanya dilakukan atas indikasi. Untuk menyingkirkan suatu kelainan
dini metabolik, haruslah diperiksa kadar glukosa darah serta pemeriksaan
elektrolit (kalsium dan magnesium) Indikasi pemeriksaan ini dilakukan adalah
untuk penapisan dini racun/toksik, pemeriksaan serologis, kadar vitamin dan
nutrient lainnya. Sekiranya ada kecurigaan adanya sindroma tertentu, pemeriksaan
laboratorium yang harus diperiksa adalah asam amino, asam organik, NH3, enzim
lysosomal, serum laktat dan serum piruvat. Sedangkan untuk kecurigaan infeksi
system saraf pusat akut, seharusnya dilakukan lumbalpungsi.6
2. Pemeriksaan Elektroensefalografi(EEG)10
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi(EEG).Perekamanpemeriksaaninisebaiknyadilakukan pada
waktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktutidur,dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaan EEG sesuai sebagai pemeriksaan penunjang, karena:
• Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan
EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklasifikasikan jenis
serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
• Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG ( spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3- Hzspike-
wave complexes” adalah karakteristik ke arah sindrom epilepsi yangspesifik.
• Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenic pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada “aura” maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu
dilakukan dengan cermat.

Harus diketahui bahwa terdapat beberapa keterbatasan dalam menilai hasil


pemeriksaan EEG, yakni:
• Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasilEEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah pentingsekali.

• Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang
normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan
untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
• Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin
saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien
epilepsianak.
• Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang kadang dapat membingungkan
untuk menentukan klasifikasi serangan kejang kedalam serangan kejang
parsial atau serangan kejangumum.

3. PemeriksaanVideo-EEG10
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,
atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan
terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan Video - EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50 – 70 %
dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejangepilepsi.

4. PemeriksaanRadiologi

CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic


ResonanceImaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak. Indikasi CT Scan kepala adalah:
• Semua kasus serangan kejang yangpertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural diotak.
• Perubahan serangankejang.
• Ada defisit neurologisfokal.
• Serangan kejangparsial.
• Serangan kejang yang pertama diatas usia 25tahun.
• Untuk persiapan operasiepilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontraindikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraanotak pilihan
untuk epilepsi dengan sensitivitastinggi dan lebih spesifik dibanding dengan
CTScan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecildiotak, sklerosis hipokampus,
disgenesiskortikal, tumor dan hemangioma kavernosa,maupun epilepsi refrakter
yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi“T1 dan T2 weighted“ dengan minimal duairisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan sagital.

5. PemeriksaanNeuropsikologi10
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbanganakan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif,demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan epilepsi adalah untuk mengontrol kejang dengan
pemberian obat anti epilepsi yang sesuai, tanpa menimbulkan efek samping. 2,11
Penatalaksanaandenganobatantiepilepsiseharusnyadimulaisetelah menegakkan
diagnosis epilepsi. Pemberian obat anti epilepsi dimulakan setelah terjadi dua atau
lebih kejang tanpa provokasi, setelah mengedukasi penderita dan keluarga
penderita tentang resiko dan keuntungan dari pemberian obat anti epilepsi.11

Tatalaksana pada serangan kejang pertama11


Suatu serangan kejang yang pertama tidak boleh dikatakan sebagai
epilepsi. Rata-rata resiko terjadinya bangkitan kejang yang kedua setelah serangan
kejang pertama tanpa provokasi adalah sebanyak 35-40%. Kebanyakan penderita
dengan kejang pertama yang dibiarkan tanpa diobati biasanya tidak mengalami
bangkitan kejang yang kedua. Resiko untuk terjadi serangan kejang ketika setelah
dua serangan kejang tanpa provokasi adalah lebih tinggi. Secara umum, kejang
pertama tidak diobati. Penderita dan keluarga penderita haruslah dijelaskan
tentang kemungkinan terjadinya bangkitan kejang dan harus rutin follow up ke
dokter. Pasien dengan kejang pertama dapat diberikan obat anti epilepsi sekiranya
ditemukan hal sebagaiberikut:
1. Kejang fokal yangberlanjutan.
2. Kejang pertama yang bermanifestasi sebagai statusepileptikus.
3. Apabila kejang disertai dengan defisit neurologis, hemiparesis, retardasi
mental atau cerebralpalsy.
4. Apabila diketahui adanya riwayat keluarga denga kejang, misalnya orang tua,
saudara dananak.
5. AbnormalitasEEG.
6. Abnormalitas pada CT-Scan atauMRI.
7. Apabila penderita pernah mengalami kejang sebelumnya. Biasanya tidak
terdeteksi dan hanya ketahuan dengan amamnesis yangteliti.
8. Penderita dengan pekerjaan resiko tinggi (misalnya, profesi atau aktivitas lain
yang dapat mengancamnyawa).
9. Penderita ataukeluargapenderitayang tidakmenerimaresiko kemungkinan
terjadinya serangan kejang yangkedua.

Tatalaksana pada epilepsi yang baru terdiagnosis11


Pemberian obat anti epilepsi biasanya direkomendasikan setelah terjadi
serangan kejang kedua tanpa provokasi. Suatu pengobatan epilepsi hanya dimulai
setelah diagnose epilepsi ditegakkan. Pengobatan dapat berubah sekiranya terjadi
salah satu yang di bawah:
 Kejang yang jarang dengan interval antara kejang yang sangatlama.
 Terjadi kejang yang sangat singkat (dan parsial sensori jarang atau mioklonik)
tanpa adanya kelainan struktural yangmendasari.
 Terjadi epilepsi benign dengan paku serebro-temporal (epilepsi rolandic
padaanak).

Suatu pertimbangan pengobatan obat epilepsi haruslah diputuskan oleh dokter


spesialis.
Gambar 2. Algoritma pemilihan obat anti epilepsi pada penderita epilepsi
dengan onsetbaru11

Prinsip terapi epilepsi11


1. Terapi obat anti epilepsi harus dimulai setelah diskusi dengan penderita dan
keluarga penderita tentang resiko dan keuntungan terapi dan harus
mempertimbangkan jenis kejang, prognosis, faktor lifestyle dan sosioekonomi.
2. Terapi harus dimulai dengan obat anti epilepsi konvensional dosis tunggal
(monoterapi).
3. Obat anti epilepsi diberikan mulai dari dosis minimal dan dosisnya dinaikkan
sehingga kejang dapat terkontrol atau sampai timbul efek samping.
4. Jika terapi inisial tidak memberikan efek atau toleransinya rendah, monoterapi
dilakukan dengan menggunakan obat anti epilepsi yang lain. Dosis obat kedua
dinaikkan sedikit secara bertahap sehingga dosis adekuat atau dosis toleransi
maksimal tecapai. Obat pertama kemudiannya dilakukan tapering off
secarabertahap.
5. Sekiranya obat yang kedua tidak mampan, obat dengan efikasi atau
tolerabilitas lebih rendah harusdiberhentikan.
6. Terapi kombinasi (politerapi atau terapi tambahan) dapat dipertimbangkan
apabila kedua percobaan monoterapi dengan obat anti epilepsi tidak berhasil
dalam menatalaksanakejang.
7. Jika kejang masih berlanjut meskipun dengan percobaan pemberian dua obat
anti epilepsi, pasien haruslah dirujuk ke spesialis untukkonsultasi.
8. Selama kehamilan obat anti epilepsi harus digunakan sekali sehari dengan
hati-hati.

Pemilihan obat anti epilepsi11


 Fenitoin,fenobarbital, karbamazepine, oksarbazepine, asam valproate
diklasifikasikan sebagai obat konvesional atau obat lini pertama. Obat anti
epilepsi lain diklasifikasikan sebagai obat baru atau obat linikedua.
 Sebaiknya diberikan obat anti epilepsi konvesional terlebih dahulu sebagai
dosis inisial karena kelompok obat ini adalah lebih murah dan efek samping
pada penggunaan jangka waktu yang lama sudahdikenal.
 Pemilihan obat anti epilepsi adalah berdasarkan tipe kejang dan sindrom
epilepsi. Pada kejang parsial, pilihan utama berupa karbamazepine,
oksarbazepine, fenitoin, asam valproate ataufenobarbital.
 Pada kejang umum dengan onset tonik klonik, pilihan utama adalah asam
valproate, fenitoin, fenobarbital, karbamazepine dan oksarbazepine. Bagi
kejang lena, asam valproat merupakan pilihan utama sedangkan pada sentakan
mioklonik, obat yang dipilih adalah asam valproate dan benzodiazepine.
 Sebelum memberikan obat anti epilepsi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
darah rutin, enzim hati dan fungsiginjal.

Dosis-dosis obat anti epilepsi5


Obat-obat lini pertama untuk epilepsi antara lain:
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif
untuk kejang absens. Dapat memperburuk kejang mioklonik. Dosis total 600-
1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis perhari.
2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis 100-
200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-400 mg bila
digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, ataukarbamazepine.
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang
absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis perhari.
4. Obat-obat yang tersedia di puskesmas:
a. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral dinaikkan 30 mg
setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120mg/hari.

b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau duadosis).

c. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga hingga empat
dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien epilepsi pada kehamilan.

Tabel 1. Dosis obat anti epilepsi dan efek samping11


BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan berumur 14 tahun datang ke Poli Saraf RSUP


Dr.M. Djamil Padang pada tanggal 13 Januari 2021 dengan identitas:

Nama : Nn M

Usia : 14 tahun

Alamat : SangirBatang Hari, Solok Selatan

Pekerjaan :Pelajar

Agama :Islam

StatusMenikah : Belummenikah

ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)

Keluhan Utama
Kejang berulangsejak 2 minggusebelumdatangkePoli Saraf RSUP Dr. M. Djamil
Padang.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien mengalami kejang 2 minggu sebelum datang ke Poli Saraf RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien belajar sebanyak 1x.
Awalnya pasien mengatakan kepalanya terasa berat, lalu pasien memanggil
ibunya, dan tiba-tiba pasien mengalami kejang. Kejang terjadi pada seluruh
tubuh, tubuh menegang dan diikuti dengan sentakan otot dengan durasi <3
menit. Saat kejang mata pasien mendelik ke atas, mulut tidak berbuih. Kejang
kemudian berhenti sendiri. Saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang
pasien sadar namun tampak kebingungan dan lambat merespon, tetapi setelah
itu pasien kembali sepertibiasa.
 Pasien mengalami bangkitan pertama padatahun 2019. Awalnya pasien sedang
di kamar mandi, lalu pasien keluar kamar mandi dan merasa pusing, setelah
itu pasien tiba-tiba mengalami kejang dan terjatuh tetapi masih sempat ditahan
oleh keluarga pasien. Kejang berlangsung selama ±3 menit, kejang di seluruh
tubuh, mata melihat ke atas, keluar busa dari mulut, pasien tidak sadar saat
kejang dan pasien sadar sendiri setelah kejadian. Namun pasien tampak
bingung segera setelah kejadian dan ketika ditanya pasien mengaku tidak
menyadari kejang yangdialaminya.
 Kejang sudah terjadi 3 kali semenjak serangan pertama. Pola kejang yang
terjadi selalu sama. Kejang terjadi saat pasien sedang atau selesai belajar
dengan keadaan pasien kurangtidur.
 Pasien merasa kejang yang dialaminya ini cukup mengganggu aktivitasnya
dalam belajar karena ia merasa daya ingatnya menjadiberkurang.
 Awalnya pasien dan keluarganya mengira bahwa pasien "diguna-guna" dan
tidak melakukan upaya medis. Namun pada serangan yang ketiga, akhirnya
pasien dibawa ke RSUD MuaraLabuh untuk diperiksa. Pasien dirujuk ke
RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk dilakukan EEG karena alat tersebut tidak
tersedia di RSUD MuaraLabuh.
 Nyeri kepala sesudah kejang tidakada.
 Muntah sesudah kejang tidakada.
 Kelemahan anggota gerak tidakada.
 BAK dan BABbaik.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat kejang demam tidakada
 Riwayat trauma kepala tidakada
 Riwayat menderita penyakit DM, hipertensi, maupun penyakit jantung
tidakada.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit sepertiini.
 Tidak ada keluarga yang menderita DM, hipertensi, penyakitjantung.

Riwayat Kebiasaan, Sosial, dan Ekonomi


 Pasien adalah seorang pelajar kelas 3 SMP dengan aktivitassedang.
PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaanumum : Baik
Kesadaran : Composmentis Cooperatif, GCS 15
(E4M6V5) Tekanandarah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Nafas : 18 x/menit
Suhu : 36,5 °C

Status Internus
Mata :
Kanan : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidakikterik
Kiri : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidakikterik

Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
JVP 5-2 cmH2O.

Toraks :
Paru:
Inspeksi : Simetris kiri dankanan
Palpasi : Fremitus simetris kiri dan kanan Perkusi :Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing(-/-).

Jantung:
Inspeksi : Iktus tidakterlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RICV
Perkusi : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial
LMCS RICV.
Auskultasi : Bunyi jantung teratur, bising (-)

Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampakmembuncit
Palpasi: Hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-), nyeritekan(-),
nyeri lepas(-)
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Punggung :
Tidak ada kelainan

Ekstremitas :
Udem tidak ada

Status Neurologis
1. GCS 15 (E4 M6 V5)
2. Tanda Rangsangan Meningeal:
a. Kaku kuduk(-)
b. Brudzinky I(-)
c. Brudzinky II(-)
d. Kernig(-)
3. Tanda peningkatan tekananintrakranial:
a. Muntah proyektil tidakada.
b. Sakit kepala tidakada.

4. Pemeriksaan Nervus Kranialis:


N.I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N.II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam Penglihatan Baik Baik
Lapangan Pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N.III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola Mata Bulat Bulat
Ptosis - -
Gerakan Bulbus Bebas ke segala arah
Strabismus - -
Nistagmus -
Ekso/Endopthalmus - -
Pupil
Bentuk Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks Cahaya (+) (+)
Refleks Akomodasi Baik Baik
Refleks Konvergensi Baik Baik

N.IV (Troklearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N.VI (Abdusens)

Kanan Kiri
Gerakanmata kemedial
Baik Baik
bawah
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N.V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakan rahang Baik Baik
Menggigit Baik Baik
Mengunyah Baik
Sensorik
 Divisi Oftlamika
Refleks Kornea (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
 Divisi Maksila
Refleks Masseter Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
 Divisi Mandibula
Sensibilitas Baik Baik

N.VII (Fasialis)

Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata (+) (+)
Fisura palpebral Baik Baik
Menggerakan dahi Baik Baik
Menutup mata Baik Baik
Mencibir/bersiul Baik
Memperlihatkan gigi Baik
Sensasi lidah 2/3 belakang Baik Baik
Hiperakusis (-) (-)
Plika nasolabialis Simeteris
N.VIII (Vestibularis)
Pendengarannormal

Kanan Kiri
Suara berbisik Baik Baik
Detik Arloji Baik Baik
Rinne test Baik Baik
Webber test Tidak ada lateralisasi
Scwabach test
 Memanjang Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
 Memendek Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Nistagmus
 Pendular (-) (-)
 Vertikal (-) (-)
 Siklikal (-) (-)
Pengaruh posisi kepala (-) (-)

N.IX (Glosofaringeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Baik Baik
Refleks muntah (gag
+ +
reflex)

N.X
N.XI (Vagus)

Kanan Kiri
Arkus faring Simetris kiri dan kanan
Uvula Ditengah
Menelan Baik Baik
Artikulasi Baik
Suara Baik
Nadi Teratur

N.XII (Asesorius)

Kanan Kiri
Menoleh kekanan (+) (+)
Menoleh kekiri (+) (+)
Mengangkat bahu kanan (+) (+)
Mengangkat bahu kiri (+) (+)

N.XIII (Hipoglosus)

Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Di tengah
Kedudukan lidah dijulurkan
simetris
Tremor (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Atropi (-) (-)
Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan
Keseimbangan
Romberg test Baik Baik
Romberg test
Baik Baik
dipertajam
Stepping gait Baik Baik
Tandem gait Baik Baik
Koordinasi
Jari-jari Baik Baik
Hidung-jari Baik Baik
Pronasi supinasi Baik Baik
Tes tumit lutut Baik Baik
Rebound
Baik Baik
pheenomen

Pemeriksaan Fungsi Motorik


Badan Respirasi Teratur
Duduk Dapat dilakukan
Berdiri dan
Gerakanspontan (-) (-)
berjalan
Tremor (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Khorea (-) (-)

Superior Inferior
Ekstermitas
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 555 555 555 555
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Baik
Sensibilitas nyeri Baik
Sensibilitas termis Baik
Sensibilitas kortikal Baik
Stereognosis Baik
Pengenalan 2 titik Baik
Pengenalan rabaan Baik

Sistem Refleks
Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis Triseps (++) (++)
Laring KPR (++) (++)
Masseter (+) (+) APR (++) (++)
Dinding Perut Bulbokavernosa
 Atas (-) Creamaster
 Tengah (-) Sfingter
 Bawah (-)
Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Tungkai
Hofmann Tromner Babinski
(-) (-) (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

5. FungsiOtonom

BAK :Normal

BAB :Normal

SekresiKeringat :Normal

6. Fungsiluhur

Kesadaran Tanda demensia


Reaksi bicara Baik Reflek glabella -
Fungsi intelek Baik Reflek snout -
Reaksi emosi Baik Reflek mengisap -
Reflek memegang -

Reflekpalmomental -

DIAGNOSIS KERJA
 DiagnosisKlinis : Epilepsi umum tonik-klonik

 DiagnosisTopik : Intrakranial

 DiagnosisEtiologi : Idiopatik

 DiagnosisSekunder :-

PEMERIKSAAN ANJURAN
 EEG
TERAPI
Umum:
 Istirahat yangcukup

Khusus :
 Fenitoin 3x100 mg(PO)
 Vitamin B kompleks 1x1 tab(PO)

Edukasi :
Kepada pasien:
 Harus patuh minumobat
 Kontrol teratur

Kepada keluargapasien :
 Beri dukungan kepadapasien
 Ciptakan suasana yang nyaman agar pasien tidak stres
 Memberikan informasi kemungkinan kejang berulangkembali
 Memberikan informasi cara penanganankejang :
 Tetap tenang dan tidakpanik
 Kendurkan pakain yang ketat terutama disekitarleher
 Jika tidak sadar posisikan pasien terlentang dengan kepala miring,
bersihkan muntahan di mulut atau hidung, jangan memasukkan sesuatu
ke dalammulut
 Observasi dan lihat kejangnya berapalama
 Tetap bersama pasien selamakejang
 Segera bawa ke RS jika kejang lebih dari 5menit

PROGNOSIS
 Quoadsanam : Dubia adbonam
 Quoadvitam : Dubia adbonam
 Quo ad functionam : Dubia adbonam
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berumur 14 tahun datang ke Poli Saraf RSUP


Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 13 Januari 2021 dengan diagnosis klinis
epilepsiumumtonik-klonik, diagnosis topik intrakranial, diagnosis etiologi
idiopatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis didapatkan keluhan kejang berulang sejak 2 minggu
sebelum datang ke rumah sakit. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien sedang belajar
sebanyak 1 kali. Sebelum kejang pasien mengatakan kepalanya terasa berat, lalu
pasien memanggil ibunya dan tiba-tiba pasien mengalami kejang. Kejang terjadi
pada seluruh tubuh dengan tubuh menegang dan diikuti dengan sentakan durasi<3
menit. Saat kejang mata pasien mendelik ke kanan, mulut tidak bebuih, dan tidak
mengompol. Kejang berhenti sendiri, dan setelah kejang pasien tampak
kebingungan. Saat kejang pasien tidak sadar. Pasien pernah mengalami kejang
seperti ini sebelumnya sebanyak dua kali pada tahun 2019.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan dari status internus dalam batas normal
dan pada status neurologi ditemukan GCS 15 (E4M6V5). Pada kasus ini, pasien
mengalami epilepsi didugakarena faktor kelelahan. Kelelahan merupakan salah
satu faktor pemicu terjadinya kejang. Kejang terjadi pada seluruh
tubuhmenunjukan pasien mengalami kejang umum. Kejang yang dialami pasien
terjadi pada seluruh tubuh pasien tubuh, menegang (tonik), dan diikuti dengan
sentakan otot (klonik), maka pasien mengalami epilepsi umum tonik-klonik. Dari
sini, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah epilepsi umum tonik-
klonik.
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukanpemeriksaan EEG. Terapi
yang diberikan pada pasien saat ini, fenitoin 3x100 mg per oral dan vitamin B
kompleks 1x1 tab per oral. Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarganya
sebagai suatu bentuk penatalaksanaan non farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rugg-Gunn FJ, Smalls JE. A Practical Guide to Epilepsy. UK Chapter of the


International League against Epilepsy. 2015. United Kingdom, 15 : Hal1-283
2. NICE Guideline. Epilepsies: Diagnosis and Management. 2016. United
Kingdom : Hal1-111
3. Gunawan DM, Winifred K, Maja P.S.J. Gambaran Tingkat Pengetahuan
Masyarakat tentang Epilepsi di Kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna
Kabupaten Sangihe. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado. 2013. Manado : Hal1-6
4. Maryanti NCW. Epilepsi dan Budaya. Buletin Psikologi. 2016. Universitas
Gadjah Mada, 24(1) : Hal 23-32
5. Kristanto A. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis. 2017. Bali, 8(1) : Hal69-73
6. Standar Pelayanan Medik.2013. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia(PERDOSSI).
7. Global Campaign Against Epilepsy. Atlas: Epilepsy Care in The World. 2005.
World Health Organization. Hal1-96
8. Fisher RS, Cross JH, French JA dkk. Operational classification of seizure
types by the International League Against Epilepsy: Position Paper of the
ILAE Commision for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017. United
Kingdom; 58(4) : Hal 522-530
9. Shih T. Epilepsy & Seizures dalam Neurologic Investigations. Current
Diagnosis and Treatment Neurology.McGraw-Hill Lange; Edisi 2: Hal 47- 62
10. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi. Wijaya Kusuma. 2007. Probolinggo; 1(1) :
Hal49-56
11. Guidelines for the Management of Epilepsy in India. Indian Epilepsy Society.
2008. 18th International Epilepsy Congress Trust. Hal1-65

Anda mungkin juga menyukai