Anda di halaman 1dari 44

Apresiasi Sastra

A.   Pendahuluan

Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan


mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan
diwujudkan dalam wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan
olahraga, agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi
pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan
pendidikan secara terencana terarah, dan berkesinambungan.

Suatu mata pelajaran mempunyai karakteristik yang mungkin sangat berbeda dengan karakteristik
mata pelajaran yang lain. Sebagai contoh, Bahasa Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan mata pelajaran biologi. Oleh karena itu agar dapat mengajar dengan baik, guru memerlukan
informasi tentang karakteristik mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Apabila kita renungkan sesungguhnya banyak sekali peristiwa yang dapat kita catat yang kita temui
dalam kehidupan sehari-hari. Beraneka ragam peristiwa tersebut ada yang membuat hati kita
gembira, sedih, terharu, marah, kagum, terpesona dan sebagainya. Kemudian kalau kita mau
mengkajinya lebih dalam, dibalik peristiwa-peristiwa tersebut sebenarnya terdapat nilai-nilai atau
hikmah yang dapat kita petik, yang dapat kita jadikan pelajaran atau pedoman hidup kita.

Bagi seorang seniman, semua kejadian atau peristiwa yang dialaminya dalam kehidupan ini
direkamnya, direnungkannya dan dicarinya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kemudian
dengan akal dan dayanya peristiwa-peristiwa yang dirasakan mengesankan hati dan perasaannya
tersebut diusahakan untuk diabadikan menjadi suatu karya seni. Dengan kata lain dapatlah
dinyatakan bahwa karya seni pada umumnya tidak lain adalah hasil pengungkapan kembali segala
peristiwa atau kejadian yang terdapat di dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan yang terdapat di dalam karya seni tersebut tidak sama persis dengan kehidupan nyata
dalam alam ini, sebab kehidupan yang terdapat di dalam karya seni tersebut telah diramu
sedemikian rupa dengan daya pikiran dan perasaan seniman. Kehidupan di dalam seni telah
diwarnai pula dengan sikap seniman, latar belakang kehidupannya, pendidikannya, dan pandangan
hidupnya. Itulah sebabnya dari objek atau materi yang sama sering membuahkan karya seni yang
berbeda mutu dan bobotnya karena lahir dari jiwa seniman yang berbeda pula (Surana, 1980 : 86).

Suharianto (1981 : 12) mengatakan bahwa proses pengolahan kehidupan dalam benak dan
perasaan seniman sering disebut sebagai proses imajinasi. Kehidupan yang terdapat di dalam karya
seni sering disebut pula sebagai kehidupan yang imajinatif, Pengertian imajinatif tidak sama dengan
khayalan atau lamunan, sebab imajinasi selalu bertolak dari kesan dan pengalaman serta
pengetahuan seniman, sedangkan khayalan atau lamunan sifatnya kosong belaka tidak mempunyai
pijakan, arah maupun tujuan. Imajinasi didukung oleh gagasan-gagasan dan pengamatan serta
pengalaman seniman, baik yang diperolehnya dari kehidupannya di tengah-tengah masyarakat
maupun dari buku-buku yang dibacanya.

Pembelajaran apresiasi sastra mempunyai peranan dalam rangka membentuk karakter siswa serta
menumbuhkan kepekaan rasa. Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah sangat penting karena
bertujuan untuk mengembangkan dan mencerdaskan siswa serta memberikan wawasan yang luas
dalam mempelajari karya sastra, sejarah sastra, dan berekspresi sastra. Siswa selain mempelajari
teori-teori sastra, juga dituntut melakukan aktivitas.

Pada hakikatnya kegiatan apresiasi sastra tersebut selalu bermuara pada pencapaian katarsis, yaitu
sesuatu yang merujuk pada upaya pembersihan atau penyucian diri, pembaruan rohani dan
pelepasan diri dari ketegangan dengan menyalurkan emosi yang terpendam. Katarsis dapat dicapai
apabila pembaca benar-benar memahami karya sastra yang dibacanya. Pemahaman yang
sungguh-sungguh terhadap karya sastra sangat berguna untuk menemukan pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Pencapaian katarsis tersebut tidaklah selalu mudah. Karya sastra,
dengan segala keunikan problematikanya, terkadang menimbulkan sejumlah permasalahan dalam
kegiatan apresiasi di sekolah. Permasalahan yang dihadapi berpusat antara lain pada sikap
apresiasi siswa yang dikaitkan dengan pemilihan bahan ajar. Sedangkan pada bahan pembelajaran,
permasalahan yang hampir selalu ditemui adalah tidak adanya bahan pembelajaran yang benar-
benar sesuai dengan daya kognisi siswa.

Pembelajaran sastra di sekolah terdiri atas kegiatan apresiasi puisi, prosa (cerpen dan novel), dan
drama. Pembelajaran apresiasi novel memiliki kendala-kendala tersendiri. Kendala-kendala itu,
seperti diungkapkan oleh Suwardi Endraswara (2005:176), adalah: (1) tak tersedianya cukup waktu
di sekolah untuk membaca novel sampai tuntas, (2) di sekolah tak tersedia aneka judul novel yang
layak sebagai pilihan, dan (3) hampir setiap novel yang dipandang berkualitas relatif tebal.
Kendala yang pertama yaitu tak tersedianya cukup waktu di sekolah untuk membaca novel. Tidak
seperti pada puisi yang bersifat pemadatan, di dalam mengapresiasi novel diperlukan waktu baca
yang lebih lama daripada puisi. Ciri novel yang demikian ini berpengaruh pada proses apresiasi.
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dalam 1 hari maksimal 2 jam pelajaran, belum
lagi dikurangi oleh kegiatan apersepsi dan refleksi serta persiapan-persiapan lainnya. Jadi, kegiatan
apresiasi novel dilakukan dalam waktu lebih kurang 75 menit. Hal ini tentu membuat apresiasi novel
di sekolah tidak optimal, terlebih lagi bagi siswa yang kurang suka membaca.

Kendala kedua yaitu tak tersedianya aneka judul novel di sekolah yang layak sebagai pilihan.
Kondisi tersebut setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) keberagaman kondisi masing-masing
sekolah, dan (2) ketidakmampuan pihak sekolah dalam menentukan bacaan apa saja yang layak
untuk dinikmati siwa di perpustakaan. Keberagaman kondisi sekolah mengacu pada kemampuan
masing-masing sekolah untuk mencukupi kebutuhan minat baca warga sekolah. Tidak dapat
dipungkiri bahwa ada sekolah-sekolah (yang karena kondisi dan situasi tertentu) tidak mampu
menyediakan novel-novel atau bacaan lain yang berkualitas.

Kendala ketiga adalah pandangan bahwa hampir setiap novel yang dianggap berkualitas relatif
tebal. Daya tahan dalam membaca, selain dipengaruhi oleh jenis bacaan, juga dipengaruhi oleh
ketebalan, mengingat di dalamnya terdapat unsur keterbacaan yang ditentukan oleh jumlah kata.
Ketebalan novel-novel tersebut dikhawatirkan akan mengurangi daya tariknya. Hal ini dapat
membuat siswa malas untuk membaca apalagi yang minat bacanya rendah.

Faktor pengaruh ketebalan ini perlu dikaji ulang mengingat fenomena Harry Potter beberapa tahun
silam. Buku Harry Potter, yang mempunyai ketebalan di atas 300 halaman untuk setiap serinya (seri
kelima bahkan hingga 1200 halaman), mampu memikat pembaca dari semua kalangan. Buku seri
Harry Potter juga mempunyai segmentasi yang luas, dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini
mengindikasikan bahwa siswa tidak berkeberatan dengan ketebalan bacaan jika bacaan itu mampu
menarik minat mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang lebih berpengaruh adalah isi.
Isi berkaitan dengan ide cerita, teknik dan gaya penulisan, serta unsur-unsur intrinsik di dalamnya.

Kendala-kendala yang telah dikemukakan di atas lazim ditemui dalam pembelajaran apresiasi
sastra di sekolah. Dengan adanya kendala-kendala tersebut guru sering mencari jalan tengah
misalnya dengan menyajikan sinopsis atau ringkasan novel seperti yang terdapat dalam buku-buku
pelajaran. Di sini muncul permaslahan baru, Permasalahannya, sinopsis novel tidak sama dengan
novel. Memang benar bahwa sinopsis sedikit banyak mengandung alur dan penokohan yang sama
dengan novel asli, namun sebuah sinopsis tidak cukup mewakili sebuah novel secara keseluruhan.
Sinopsis, oleh karena mengedepankan sisi keringkasannya, terkadang melewatkan substansi dan
hal-hal yang justru esensial dalam novel aslinya. Hal ini tentu berbeda jika siswa membaca langsung
novel aslinya. Siswa dapat menemukan sendiri unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel
tersebut. Demikianlah yang disebut sebagai sikap apresiasi yang sebenarnya.

Dari penjabaran mengenai kendala-kendala di atas, jalan tengah yang dapat diambil untuk
menyelesaikannya adalah dengan menitikberatkan pada pemilihan materi atau bahan ajar. Dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada latar belakang mengenai Standar Kompetensi butir
ketiga menyebutkan bahwa guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar
kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya. Dengan kata lain praktik pembelajaran apresiasi sastrai kelas merupakan keleluasaan
sekaligus tanggung jawab guru yang bersangkutan.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyampaikan beberapa teori yang berkaitan dengan apresiasi
sastra, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Semoga tulisan
ini dapat menambah wawasan para guru dalam membelajarkan apresiasi sastra di sekolahnya
masing-masing.

B.   Apresiasi Sastra

1.    Pengertian Apresiasi Sastra

Apresiasi sastra adalah memberikan penilaian terhadap karya sastra. Jika anda mengapresiasikan
sebuah karya sastra, maka anda melakukan kegiatan pengamatan, penilaian, dan memberikan
penghargaan terhadap karya sastra tersebut. Menurut Sayuti (2009) bahwa apresiasi sastra
merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menemukan nilai hakiki karya sastra lewat
pemahaman dan penafsiran sistematik yang dapat di nyakan dalam bentuk tertulis

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, S. Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi
sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya
sastra. Dari pendapat itu juga dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan
baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya,
menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian
dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan ruhaniahnya.

Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton.
Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan menuju tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap
karya sastra akan membuat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya
sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedih ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut
gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari
yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.

Apresiasi sastra hendaknya diartikan sebagai suatu kondisi kesempatan jiwa yang matang dalam
menghadapi karya sastra. Lebih luas lagi, apresiasi sastra dimaksudkan sebagai kematangan jiwa
untuk dapat memaahami, menikmati dan memperoleh kekayaan batin dari karya sastra. Jadi
seseorang yang mamiliki apresiasi sastra yang memadai berarti ia memiliki sikap batin yang positif
terhadap karya sastra (Suyitno 1985:22).

Apresiasi adalah (1) kesadaran terhadap nilai-nilai budaya, (2) penilaian atau penghargaan terhadap
sesuatu, (3) kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu
bertambah (KBBI 2002:62). Waluyo (2003: 164-165) mengemukakan bahwa apresiasi adalah
pernyataan seseorang yang secara sadar tertarik dan senang terhadap suatu hal, mampu
menyatakan penghargaan dan memandang hal yang dipilihnya itu mengandung nilai dalam
kehidupannya. Orang merasakan pengalaman yang menyenangkan jika terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan hal yang dipilinya itu. Dengan demikian apresiasi juga mempinyai
berbagai unsur, yaitu (1) perhatian yang terkontrol dan terpilih, (2) persetuan untuk merespons, (3)
kemauan untuk merespons, (4) keputusan untuk merespons, (5) penerimaan suatu nilai, (6)
pemilihan suatu nilai.

Apresiasi menurut Suharianto (1982;15) adalah kegiatan atau usaha merasakan dan menikmati
hasil-hasil karya sastra. Hal serupa dikemukakan oleh S. Effendi (1982:11) bahwa apresiasi sastra
adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan,
pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Berbeda dengan Nadeak (1985:44) yang mengatakan apresiasi berkaitan dengan nilai-nilai estetis
yang berkaitan dengan puisi dan pengajarannya serta batasan-batasan yang perlu dijernihkan
terlebih dahulu.
Kata apresiasi mengandung arti tanggapan sensitif terhadap sesuatu ataupun pemahaman sensitif
terhadap sesuatu. Dengan demikian maka apresiasi sastra berarti tanggapan ataupun pemahaman
sensitif terhadap karya sastra (Purwo, 1991:58). Apresiasi mengandung pengertian penghargaan,
pengenalan, penilaian, dan pemanfaatan sesuatu untuk kehidupan manusia. Apresiasi sastra berarti
mengenal, menyenangi, menghargai, memahami, dan menjadikan karya sastra sebagai sebagian
kebutuhan hidup (Sumardjo, 1995:3).

Kajian lain mengenai apresiasi sastra juga dikemukakan oleh Sayuti (1996: 130), yang menyatakan
bahwa apresiasi sastra merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menemukan nilai
hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dapat dinyatakan dalam
bentuk tertulis. Melalui kegiatan apresiasi sastra itulah akan timbul kegairahan dalam diri pembaca
(masyarakat) untuk lebih memasuki dunia saastra, sebagai dunia yang juga menyediakan alternatif
pilihan untuk menghadapi permasalahan kehidupan.

Apresiasi kreatif menurut J.Grace (dalam Semi, 1993:153) adalah berupa respon sastra. Respon ini
menyangkut aspek kejiwaan, terutama berupa perasaan, imajinasi, dan daya kritis. Dengan memiliki
respon sastra, siswa diharapkan mempunyai bekal untuk mampu merespon kehidupan ini secara
artistik imajinatif karena sastra itu sendiri muncul dari pengolahan kehidupan ini secara artistik dan
imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dalam Semi (1993:153) disebutkan bahwa apresiasi kreatif yang menjadi tujuan pengajaran sastra
itu dalam wujud kegiatan belajar sastra terdiri dari tiga tingkatan, yaitu penerimaan, memberi respon,
dan apresiasi. Dalam tingkatan penerimaan, siswa memperlihatkan bahwa dia mau belajar, mau
bekerja sama, dan mau menyelesaikan tugas membaca, dan tugas-tugas lain yang berkaitan
dengan itu. Pada tingkat memberi respon, siswa suka terlibat dalam kegiatan membaca dan
menunjukkan minat pada kegiatan penelaahan sastra. Pada tingkat apresiasi, siswa menyadari
manfaat pengajaran, sehingga dengan kemampuan sendiri ingin menambah pengalamannya, ingin
membaca karya sastra, baik dianjurkan atau tidak, ingin berpartisipasi dalam kegiatan diskusi,
memberikan ulasan, dan bahkan berkeinginan untuk dapat menghasilkan karya sastra.

Kegiatan mengapresiasi karya sastra di sekolah selain melibatkan aspek kognitif juga memerlukan
aspek afektif siswa. Apresiasi sastra hakikatnya adalah sikap menghargai sastra secara
proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga
sastra memiliki kapling dalam hati kita, dalam batin kita.
Tujuan pokok pengajaran sastra adalah untuk mencapai kemampuan apresiaasi kreatif. Di dalam
menilai atau mengetahui siswa yang telah memiliki apresiasi, dapat digunakan seperangkat
indikator, yaitu sebagai berikut: (1) siswa mampu menginterpretasikan perilaku (perwatakan) yang
ditemuinya dalam karya sastra yang dibacanya; (2) memiliki sensitivitas dalam bentuk dan gaya
bahasa; (3) mampu menangkap ide dan tema; (4) menunjukkan perkembangan atau kemajuan
selera personal terhadap sastra (Semi, 1993:153).

2.   Aspek-aspek Apresiasi Sastra

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Konteks yang lebih luas dalam istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan
melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai
keindahan yang diungkapkan pengarang. Pendapat lain, Squire dan Taba menyimpulkan bahwa
apresiasi sebagai suatu proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek
emotif, dan (3) aspek evaluatif.

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur
kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut selain
dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra
atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra itu sendiri atau
unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra yang bersifat objektif itu misalnya tulisan serta aspek bahasa
dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat. Sedangkan unsur
ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial-
budaya yang menunjang kehadiran teks sastra.

Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembicara dalam upaya menghayati unsur-
unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan
dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa
bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau yang bersifat konotatif-interpretatif serta
dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang
bersifat metaforis.

Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah
tidak indah, sesuai tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam
sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain,
keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang
telah mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan
penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.

3.   Cara Mengapresiasi Sastra

Kaya sastra tidak hanya memberikan hiburan dan pengalaman semata, namun juga berbagai
pengetahuan seperti sosiologi, psikologi, pendidikan, filsafat, agama, ekonomi, politik, moral dan
masih banyak lagi. Semua pengetahuan itu dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra jika
pembaca mampu mengapresiasi karya itu secara tepat. Tidak semua orang mampu melakukan
apresiasi sastra dengan baik. Hal itu terjadi karena masing-masing orang mempunyai sikap yang
berbeda-beda terhadap karya sastra. Demikian pula ketika mengapresiasi teenlit, masing-masing
siswa mempunyai asumsi sendiri.

Handayani (2004: 63) mengemukakan bahwa ada beberapa bekal awal yang harus dimiliki oleh
seorang calon apresiator, dalam hal ini siswa, yaitu: (a) kepekaan emosi atau perasaan sehingga
mampi memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam ciptasastra, (b)
pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan
kemanusiaan, (c) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, (d) pemahaman terhadap unsur-unsur
intrinsik cipta sastra.

Dalam mengapresiasi karya sastra pada umumnya, hendaknya mempunyai sikap-sikap sebagai
berikut: (1) bersikap terbuka, tanpa prasangka; dan (2) memandang karya sastra sebagai subjek.
Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung pada gilirannya akan ikut
berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa jika bahan bacaan yang ditelaahnya itu
memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi (Handayani, 2004: 63).

Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam
tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu
kegiatan yang harus terwujud secara konkret. Perilaku tersebut dalam hal ini dapat dibedakan
antara perilaku kegiatan secara langsung dan kegiatan perilaku secara tidak langsung.

Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa
teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung
dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra,
baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra berupa puisi.
Kegiatan langsung yang terwujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi, misalnya
saat Anda melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan
membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di
panggung terbuka. Kedua bentuk kegiatan itu dalam hal ini perlu dilaksanakan secara sungguh-
sungguh, berulang kali, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kepekaan pikiran dan
perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media tulisan,
lisan, maupun visual.

Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori
sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun koran,
mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu
karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi
secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya mengembangkan
pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam
rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.

Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut
berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan tentang sastra
yang telah ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi sastra. Misalnya membaca
masalah minat baca sastra murid, kemampuan apresiasi sastra masyarakat Indonesia atau mungkin
artikel tentang pengajaran sastra di sekolah. Meskipun pembahasan itu sangat penting untuk
mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, pembahasan itu sedikit sekali peranannya atau
bahkan tidak berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi. Dalam hal demikian,
pembaca tidak melaksanakan kegiatan apresiasi secara langsung maupun tidak langsung.

4.   Pendekatan dalam Apresiasi Sastra

Pendekatan sebagai suatu prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu
mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang
digunakan itu dalam halaman ini lebih banyak ditentukan oleh (1) tujuan dan apa yang akan
diapresiasi lewat teks sastra yang dibacanya, (2) kelangsungan apresiasi itu terproses lewat
kegiatan bagaimana, dan (3) penentuan pendekatan tersebut tentu sangan ditentukan oleh tujuan
pengapresiasi itu sendiri.

Keragamanan pendekatan apresiasi sastra terbagi menjadi tiga bagian, yaitu menurut tujuan dan
apa yang akan diapresiasi, kelangsungan apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan
landasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi. Ada beberapa pendekatan sebagai pilihan,
antara lain sebagai berikut.

a.    Pendekatan Parafrastis

Pendekatan parafrastis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra
dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan
menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang
digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan parafrastis itu adalah untuk
menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih
mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

Penerapan pendekatan parafrastis selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu
bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan melengkapi pemahaman makna
yang diperoleh pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrastis
ini, selain dapat dilaksanakan pada awal kegiatan mengapresiasi sastra, juga dapat dilaksanakan
setelah kegiatan apresiasi berlangsung.

b.    Pendekatan Emotif

Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Prinsip-prinsip dasar yang
meletarbelakangi adanya pendekatan emotif yaitu pandangan bahwa cipta sastra merupakan dari
karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu
memberikan hiburan dan kesenangan.

Selain berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan
masalah gaya bahasa seperti metafor, simile maupun penataan setting yang mampu menghasilkan
panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan menyampain
cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang lucu dan menarik sehingga mampu memberikan
hiburan dan kesenangan kepada pembaca.

Penikmatan keindahan itu lebih lanjut juga dapat berhubungan dengan masalah pola persajakan
dan paduan bunyi yang lebih lanjut dapat menghadirkan unsur-unsur musikalitas  yang merdu dan
menarik. Untuk menemukan dan menikmati cipta sastra yang mengandung kelucuan, anda tentunya
juga  harus memilih cipta sastra yang tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor dan ragam
komedi.

c.    Pendekatan Analitis

Pendekatan analitis dalah suati pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu
sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun
totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

Dalam pelaksaannya, penerapan pendekatan analitis ini diawali dengan kegiatan membaca teks
secara keseluruhan. Setelah itu, pembaca menampilkan beberapa pernyataan yang berhubungan
dengan unsur-unsur intrinsik yang membangun cipta sastra yang dibacanya. Misalnya, sewaktu
pembaca mengapresiasi salah satu judul cerpen, lewat judul cerpen yang bacanya itu, setelah
pembaca melaksanakan kegiatan baca terhadap keseluruhan cerpen itu secara skimming, pembaca
lebih lanjut menampilkan pertanyaan-pertanyaan, misalnya bagaimana penokohannya, setting-nya,
perwatakan setiap tokoh, dan pertanyaan tentang unsur intrinsik lain yang terdapat dalam cerpen
itu. Setelah itu, pembaca kembali membaca ulang sambil berusaha menganalisis setiap unsur yang
telah ditetapkannya

d.    Pendekatan Historis

Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi
pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa-masa terwujudnya
cipta sastra yang dibaca, serta bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun
kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.

Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan ini adalah anggapan bahwa cipta sastra
bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Salain itu, pemahaman terhadap biografi
pengarang juga sangat penting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta
sastra. Sebab itulah telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosiosemantik sangat
mengutamakan konteks, baik konteks sosio, budaya, situasi atau zaman maupun konteks
kehidupan pengarangnya sendiri.

e.    Pendekatan Sosiopsikologis
Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang
kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap
pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu
diwujudkan. Dalam pelaksaannya, pendekatan ini memang sering tumpang tindih dengan
pendekatan historis. Akan tetapi, selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan itu
dibatasi dengan jelas, maka ketumpangtindihan itu pasti dapat dihindari.

Contoh penerapan pendekatan sosio-psikologi itu misalnya kita membaca puisi Chairil
berjudul Diponegoro jika dalam pendekatan historis kita dapat membahasnya lewat pembahasan
tentang biografi pengarang, peristiwa kesejarahan yang terjadi pada masa itu serta telaah tentang
bagaimana perkembangan ataupun hubungan antara puisi  Diponegoro itu dengan puisi-puisi Chairil
sebelumnya maupun dengan perkembangan karya sastra pada umumnya. Maka dalam pendekatan
sosio-psikologis, apresiator berusaha memahami bagaiman kehidupan sosial masyarakat pada
masa itu, bagaimana sikap pengarang terhadap lingkungannya, serta bagaimana hubungan antara
cipta sastra itu dengan zamannya.

f.    Pendekatan Didaktis

Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami
gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan
maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosof, maupun
agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah
pembaca.

Dalam pelaksanaannya, penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman
satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta karta. Satuan pokok pikiran itu pada
dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar,
dialog, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya. Dalam penerapan pendekatan
didaktis ini, sebagai pembimbing kegiatan berpikirnya, pembaca dapat berangkat dari pola berpikir,
misalnya jika Malin kundang itu akhirnya mati karena durhaka kepada ibunya, maka dalam
hidupnya, manusia itu harus bersifat baik kepada orang tua.

Dengan demikian, pendekatan dalam apresiasi sastra dapat ditentukan oleh tujuan terhadap apa
yang akan diapresiasikan dalam teks sastra tersebut. Pendekatan apresiasi sastra terproses lewat
kegiatan memahami atau memaknai sebuah karya sastra. Proses memahami atau memaknai suatu
karya sastra dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain: 1) pendekatan parafrastis,
2)  pendekatan emotif, 3) pendekatan analitis, 4)  pendekatan historis, 5) pendekatan
sosiopsikologis, dan 6) pendekatan didaktis.

5.   Manfaat Mengapresiasi Sastra

Apresiasi sastra merupakan salah satu bentuk reaksi kinetik dan reaksi verbal seorang pembaca
terhadap karya sastra yang didengar atau dibacanya. Kata apresiasi diserap dari kata bahasa
Inggris appreciation yang berarti penghargaan. Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya
sastra. Apresiasi sastra berusaha menerima karya sastra sebagai sesuatu yang layak diterima dan
mengakui nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar. Adapun manfaat yang diperoleh dari
legiatan mengapresiasi sastra adalah sebagai berikut.

a.    Manfaat secara umum

Bila mengamati kehidupan sehari-hari, sering kali kita lihat ada seseorang yang dengan asyik
membaca cerita sambil menunggu kereta atau bus yang tak kunjung tiba, sebagai penyangga
kantuk sewaktu harus berjaga, sebagai pengantar tidur, atau mungkin sebagai pengisi waktu luang.
Dalam hal ini manfaat dari kegiatan apresiasinya itu akan begitu saja hilang. Hal yang demikian itu
terjadi karena manfaat yang diperoleh lewat kegiatan membaca sastra demikian itu hanyalah
manfaat (1) mendapatkan hiburan dan (2) pengisi waktu luang.

b.    Manfaat secara khusus

Manfaat secara khusus itu dapat diartikan pula sebagai manfaat yang dicapai oleh seorang
pembaca sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa
seorang pembaca sastra, kegiatan bacanya dapat dilatarbelakangi tujuan mendapatkan berbagai
macam nilai kehidupan. Dalam hal demikian, kegiatan membaca sastra dapat memberika manfaat
(1) memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, dan (2)
memperkaya wawasan kehidupan maupun nilai kehidupan.

Secara umum, lewat karya sastra seseorang dapat menambah pengetahuannya tentang kosa kata
dalam suatu bahasa, tentang pola kahidupan suatu masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari,
seringkali kita lihat ada seseorang yang dengan asyik membaca cerita sambil menunggu kereta atau
bus yang tak kunjung tiba, sebagai penyangga kantuk sewaktu harus berjaga, sebagai pengantar
tidur, atau mungkin sebagai pengisi kegiatan dari pada tidak ada yang harus dikerjakan.
Hal yang telah disebutkan di atas terjadi karena manfaat yang diperoleh lewat kegiatan membaca
sastra demikian itu hanyalah manfaat mendapat hiburan dan mengisi waktu luang. Sedangkan
pegertian manfaat mengaresiasi sastra secara khusus adalah manfaat yang dicapai oleh seorang
pembaca sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal demikian,
kegiatan membaca sastra dapat memberikan manfaat (1) memberikan informasi yang berhubungan
dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, dan (2) memperkaya pandangan atau wawasan
kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan
nilai kehidupan manusia itu sendiri.

6.   Bekal Awal Mengapresiasi Sastra

Menurut pendapat E.E. Kellet pada saat membaca karya sastra selalu berusaha menciptakan sikap
serius, tetapi dengan suasana batin riang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra
itu terjadi karena sastra lahir dari daya kontemplasi batin pengarang sehingga untuk memahaminya
juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif pembacanya. Sementara pada sisi lain, sastra
merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual
dan imajinatif sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.

Sebab itu tidak berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-
nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya,
juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik
berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macam problema yang
berhubungan dengan kompleksitas hidup. Kandungan makna yang begitu kompleks serta berbagai
macam nilai keindahan tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar lewat media
kebahasaan, media tulisan, dan struktur wacana.

Sastra, dengan demikian sebagai salah satu cabang seni sebagai bacaan. Sastra tidak cukup
dipahami lewat analisis kebahasaannya, melalui studi yang disebut text grammar atau text
linguistics, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan dengan literary text karena teks
sastra bagaimanapun memiliki ciri-ciri khusus teks sastra itu salah satunya ditandai oleh adanya
unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan
bacaan lainnya.

Berdasarkan keseluruhan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa cipta sastra sebenarnya
mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain:
1)  unsur keindahan,
2) unsur kontemplatif, yaitu unsur yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan
tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalahan
kehidupan,
3)  media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana,
4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik cipta sastra itu sendiri
sebagai suatu teks.

Kemampuan untuk mengapresiasi cipta sastra seseorang harus secara terus menerus menggauli
karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan dan pengalaman dapat diibaratkan sebagai
pemilikanpisau bedah, sedangkan kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan
sehingga pisau itu menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan
akrab dengan kegiatan membaca sastra. Sejalan dengan kandungan keempat aspek di atas,
mengimplikasikan bahwa untuk mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersyaratkan
memiliki bekal-bekal tertentu. Bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator antara lain:

1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati
unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra,
2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan
ini secara intensif-kontemplatif  maupun dengan membaca buku-buku yang
berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi,
3)  pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta karya sastra yang akan berhubungan
dengan telaah teori sastra.

Lebih lanjut, seperti telah disinggung di depan, kepekaan emosi dan perasaan itu bukan hanya
berhubungan dengan kegiatan penghayatan dan pemahaman nilai-nilai keindahan, melainkan juga
berhubungan dengan usaha pemahaman kandungan makna dalam cipta sastra yang umumya
bersifat konotatif. Konotasi makna dalam cipta sastra itu terjadi karena kata-kata dalam cipta sastra
itu terwujud dalam endapan pengalaman, daya emosional, maupun daya intelektual pengarangnya
selain itu juga telah mengalami pemadatan. Sebab itulah dalam kegiatan apresiasi sastra, Brooks
membedakan adanya dua level, yakni level objektif yang berhubungan dengan respons intelektual,
dan level subjektif yang berhubungan dengan respons emosional.

7.    Tahapan Apresiasi Sastra

Pentahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra. Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-
tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini akan
dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi
sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator.
Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya
mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang
dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang
dibacanya.

Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia
menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut
dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator
memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya
sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.

Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia
memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya,
tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain,
pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya,
situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.

Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat
menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya
sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-
unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.

8.   Teori Pembelajaran Sastra

Sebelum kita sampai pada pembicaraan mengenai teori pembelajaran apresiasi sastra menurut
Moody, ada baiknya Anda terlebih dahulu mengetahui prinsip ganda karya sastra. Menurut Moody
(1971) karya sastra memiliki prinsip ganda sebagai berikut: pertama, sastra sebagai pengalaman
dan kedua, sastra sebagai bahasa.

Sastra sebagai pengalaman artinya sesuatu yang harus dihayati, dinikmati, dirasakan dan
dipikirkan. Dengan demikian, berdasarkan prinsip ini karya sastra yang kita sajikan dalam
pengajaran apresiasi sastra hendaknya menyajikan pengalaman baru yang kaya bagi para siswa.
Oleh karena itu, karya sastra tersebut harus memberikan pengaruh kepada kehdupan para siswa.
Hal yang terutama harus dilakukan guru sastra adalah memberikan bimbingan agar para siswa
menemukan makna karya sastra menurut mereka sendiri. Sikap yang paling tepat yang harus
ditunjukkan guru sastra dalam kaitan ini adalah sikap ‘pasif-bijaksana’. Artinya, guru lebih banyak
memberikan kebebasan kepada para siswa untuk memberikan tafsiran. Ia hanya ‘berbicara’ pada
saat yang benar-benar dibutuhkan.

Prinsip ganda berikutnya adalah sastra sebagai bahasa. Sebagai sebuah komunikasi yang
menggunakan bahasa, karya sastra menggunakan teknik-teknik pemakaian unsur kebahasaan,
misalnya pernyataan, keterangan, pembandingan, ungkapan, nada, dan tekanan kalimat. Dengan
demikian, karya sastra harus dipelajari melalui analisis verbal. Guru sastra hendaknya memahami
seluk-beluk kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra yang disajikan kepada para siswa.

Setelah memahami prinsip ganda yang terdapat dalam karya sastra, marilah kita menelusuri tata
cara penyajiannya. Menurut Moody (1971) pembelajaran apresiasi sastra mengikuti penahapan
berikut.

a.  pelacakan pendahuluan;
b.  penentuan sikap praktis;
c.  introduksi;
d.  penyajian;
e.  diskusi; dan
f.   pengukuhan.

Keenam tahap tersebut rinciannya sebagai berikut. Masing-masing disajikan secara rinci pada
bagian berikut ini.

Pertama, pelacakan pendahuluan. Pada tahap ini guru mempelajari karya sastra. Pemahaman
terhadap karya sastra penting agar guru dapat menentukan strategi yang tepat, dapat menentukan
aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian yang khusus dari siswa. Misalnya pengulangan yang
kuat seperti yang ditunjukkan sajak Perempuan-perempuan Perkasa pada larik yang
berbunyi perempuan-perempuan yang membawa bakul … harus mendapat perhatian para siswa.
Mengapa pengulangan ini demikian kuat. Apakah artinya? Apakah tidak memiliki efek bagi puisi ini
secara keseluruhan? Kalau ada efeknya, bagaimanakah efek dari pengulangan ini?

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pelacakan pendahuluan ini ialah meneliti fakta-fakta yang
masih perlu dijelaskan. Misalnya fakta yang terdapat dalam sajak Karangan Bunga terdapat baris
yang berbunyi bagi kakak yang ditembak mati siang tadi harus dicari penjelasannya. Syukur kalau
mereka masih ingat peristiwa terbunuhnya Pahlawan Ampera itu dalam perspektif sejarah.
Pelacakan pendahuluan juga penting untuk menemukan cara penyajian pembelajaran apresiasi
sastra yang tepat dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: siapakah yang jadi sasaran
penyair/pengarang itu apakah pribadi tertentu atau manusia pada umumnya. Misalnya siapa yang
dituju oleh sajak Perempuan-perempuan Perkasa Hartoyo Andangjaya tadi, berbeda dengan
sasaran sajak Teratai Sanusi Pane. Pertimbangan lainnya antara lain dari segi bagaimana
pengarang menyajikan karyanya. Apakah pengarang dalam hal ini penyair menggunakan gaya
monolog pada sajak Doa karya Chairil Anwar. Tuhan dalam sajak itu berfungsi sebagai apa? Hal
lain yang harus diperhatikan yaitu apakah karya sastra itu bermakna tersirat atau tersurat. Walaupun
karya sastra umumnya memiliki makna tersirat, tetapi ada pula karya-karya tertentu yang memiliki
makna tersurat, misalnya sajak Menyesal karya Ali Hasjim. Berbeda dengan sajak Menuju ke
Laut karya Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki arti tersirat.

Tahap kedua dalam pembelajaran apresiasi sastra menuru Moody adalah penentuan sikap praktis.
Yang dimaksud dengan penentuan sikap praktis di sini adalah bagaimana guru menentukan hal-hal
yang berkenaan dengan pelaksanaan penyajian pembelajaran apresiasi sastra. Pada tahap ini guru
harus menentukan karya sastra mana yang akan disajikan. Karya sastra yang akan disajikan
hendaknya tidak terlalu panjang. Usahakan karya sastra yang bisa disajikan dalam satu pertemuan.
Hal lain yang harus ditentukan pada tahap ini adalah informasi apa yang perlu diberikan kepada
siswa agar mempermudah siswa memahami karya sastra. Informasi/ keterangan awal itu
hendaknya jelas dan seperlunya. Pada tahap ini guru juga harus menentukan kapan karya sastra
dibagikan.

Tahap ketiga adalah introduksi atau pengantar. Pada tahap ini guru memberikan, informasi awal
berupa uraian singkat mengenai karya yang disajikan, termasuk juga informasi mengenai
pengarangnya dan karya pengarangnya yang lain. Harap jangan Anda lupakan situasi dan kondisi
saat suatu karya sastra diciptakan. Misalnya, ketika kita akan menyajikan cerita pendek Robohnya
Surau Kami karya A.A. Navis, kita berbicara tentang masyarakat Minangkabau secara singkat,
begitu pula tentang A.A. Navis dan karya-karyanya yang lain.

Tahap keempat adalah tahap penyajian. Pada tahap ini kita sebagai guru harus meyakini terlebih
dahulu hakikat sastra yang bersifat lisan, khususnya puisi. Pada tahap ini, khususnya puisi lebih
baik dibacakan dulu secara nyaring. Pembaca puisi tidak mesti selalu guru, tetapi bisa saja para
siswa sendiri. Walaupun demikian, suara guru sebenarnya lebih mereka sukai. Hanya,
kelemahannya mereka cenderung meniru apa yang dilakukan gurunya. Lagi pula, tidak setiap guru
sastra mampu membacakan puisi dengan baik. Jadi, yang jadi model pembacaan puisi tidak mesti
selalu guru. Pada kesempatan ada siswa yang sangat bagus, siswalah yang membacakan puisi.
Justru yang harus didorong adalah agar seluas mungkin para siswa meyakini mereka bisa
membaca puisi. Akan lebih baik bila misalnya ada model pembacaan puisi dari para penyair yang
direkam. Model ini diperlukan hanya semacam pola, bukan yang harus diikuti secara persis dengan
cara menirunya.

Alangkah baiknya bila suara yang membacakan puisi itu direkam pada media audio. Suara yang
direkam bisa suara guru, siswa sendiri, atau penyair. Dengan demikian, model pembacaan itu dapat
diulang-ulang bila sewaktu-waktu diperlukan. Bila suara guru sendiri yang diulang para siswa akan
meyakini bahwa gurunya sebagai model profesional sekaligus akan membuat guru makin
berwibawa di mata siswa. Akan tetapi, bila hal ini tidak mampu guru lakukan, guru bisa minta tolong
kepada para siswa sendiri atau kepada siapa saja yang pembacaannya layak dijadikan model.

Bagaimana dengan cerita pendek juga novel? Cerita pendek dan novel tidak mesti selalu dibacakan
seperti puisi. Untuk cerita pendek, mungkin saja satu cerita pendek itu dibacakan secara bergiliran
di depan kelas setelah mereka membaca dalam hati masing-masing. Ini diperlukan untuk
memberikan efek lebih pada penikmatan. seperti juga pada puisi, sekaligus ini merupakan bagian
dari pelajaran membaca ekspresif dan pembelajaran apresiasi sastra. Dengan demikian,
pembacaan karya sastra sekaligus meraih dua pulau, pulau pembelajaran apresiasi sastra dan
pulau pelajaran membaca ekspresif. Hanya, guru juga sesekali boleh turut membacakan satu
bagian dari cerita pendek. Jangan terlalu panjang. Biarkan bagian mereka yang lebih panjang.

Untuk novel, bacalah satu atau dua fragmen dari suatu novel yang dianggap akan menarik minat
siswa. Misalnya, jika mereka sedang membaca novel Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis,
bacakan beberapa bagian mengenai keragu-raguan guru Isa sehingga menyebabkannya
mengalami impotensi. Bacakan pula bagian yang menggambarkan bagaimana keragu-raguan
bahkan ketakutan yang selama ini mencekam guru Isa lenyap seketika.

Dalam pembacaan sajak, formasi pembacaannya bisa Anda variasikan sesuai dengan kondisi yang
Anda hadapi. Yang terpenting dari kegiatan ini siswa beroleh efek yang lain yang membuat mereka
lebih menikmati sajak bila dibandingkan dengan mereka membaca secara perseorangan.

Sebagai contoh kepada mereka diberikan sajak yang berjudul “Sajak Orang Gila”, karya Sapardi
Djoko Damono (Suryadi, 1987: 413-415). Pertama-tama sajak ini bisa saja dibacakan oleh salah
seorang murid atau guru atau model pembaca (berupa rekaman). Sajak ini pada kedua kalinya bisa
atau bahkan ketiga atau keempat kalinya dibaca secara bersama-sama oleh dua atau tiga orang.
Sampailah kita sekarang kepada tahap yang kelima yaitu tahap diskusi. Pada tahap ini berikan
kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk memberikan tafsiran, walaupun pada bagian
tertentu guru sedikit demi sedikit memberikan kondisi agar mereka mampu menangkap makna karya
sastra yang sedang dipelajari. Pada bagian ini beri mereka kesempatan untuk menyampaikan
tanggapan tanpa campur tangan guru. Guru tetap diharap memiliki sikap “pasif-bijaksana”. Artinya,
kalau tidak perlu benar guru harus bisa menahan diri agar tidak ‘berbicara’. Dorong mereka untuk
menarik kesan umum, kesan khusus, dan kesan umum lagi untuk menarik simpulan. Dorong pula
mereka agar menangkap ide global. Bagaimana ide itu ditunjukkan dalam kalimat-kalimat?
Bagaimana penyusunannya? Apa arti kias karya sastra itu? Rincian-rincian tadi coba dipadukan
untuk beroleh simpulan.

Hindari pembahasan yang tidak ada relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra atau terlalu
jauh misalnya membahas aspek tatabahasa karya sastra itu tanpa mengaitkannya dengan makna
karya sastra tersebut. Dengan demikian, pernbelajaran apresiasi sastra tidak akan terperosok
kepada pembelajaran tata bahasa belaka.

Tahap terakhir dari langkah-langkah pembelajaran apresiasi sastra menurut Moody ini ialah
pengukuhan. Pengukuhan di sini maksudnya langkah ini akan lebih mengukuhkan pemahaman
siswa terhadap karya sastra yang dipelajari. Pengukuhan ini bisa dilakukan secara lisan, bisa pula
secara tertulis. Pengukuhan yang bersifat lisan misalnya dengan cara mengusahakan agar tiap
siswa membacakan puisi di depan kelas, tidak perlu secara perseorangan. Bisa saja secara
berkelompok dengan cara membaca rampak seperti sudah ditunjukkan pada bagian/tahap
penyajian tadi. Formulasinya berikan kepada mereka kebebasan berkreasi. Untuk apresiasi cerpen
atau novel tidak mungkin hal ini dilakukan. Mungkin bisa dilakukan dengan cara pengukuhan tertulis,
misalnya berupa tugas menulis esei tentang salah satu aspek yang menurut mereka menarik dari
karya sastra tersebut. Contoh pengukuhan tertulis lainnya bisa dengan cara meminta mereka
mengubah genre karya sastra, misalnya dari puisi menjadi cerpen atau sebaliknya.

9.   Kriteria Bahan Ajar Apresiasi Sastra

Pembicaraan tentang kriteria bahan ajar apresiasi sastra ini akan diawali dengan pembahasan
tentang hakikat dan tujuan pendidikan. Terdapat hubungan yang, erat antara nilai-nilai didik, hakikat
pendidikan, dan tuiuan pendidikan. Hakikat pendidikan menyangkut pengertian masalah pengertian
pendidikan, tujuan pendidikan dengan sasaran yang hendak dicapai dalam pendidikan, sedangkan
nilai-nilai didik dapat dikategorikan sebagai isi, subtansi, muatan, atau bahan yang tergolong
sebagai unsur pendidikan. Hadi (1993 : 18) menyebutkan bahwa unsur pendidikan tersebut, antara
lain : (l) peserra didik ; (2) pendidik ; (3) interaksi edukarif peserta didik dan pendidik ; (4) isi
pendidikan; segala sesuatu yang disajikan oleh pendidikan agar menjadi milik anak didik. Menurut
waluyo (1992: 2) Apresiasi adalah penghargaan, dan apresiasi sastra adalah penghargaan karya
sastra. 

Tujuan pengajaran sastra menurut GBPP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama adalah agar siswa
mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. Dalam pengajaran apresiasi sastra agar tercipta suasana yang memadai diperlukan
seorang guru yang memiliki pengetahuan sastra yang memadai pula, sesuai dengan jenjang
pengetahuannya, pengetahuan tersebut penting bagi para calon pengapresiasi sastra sebab tingkat
pengetahuan itulah yang akan menentukan kedalaman apresiasi seseorang.

Karya sastra yang akan disampaikan sebagai bahan dalam pembelajaran apresiasi sastra di
sekolah haruslah diseleksi terlebih dahulu, dengan memperhatikan pada prinsip dan aspek-aspek
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bahan ajar tersebut. Prinsip yang penting dalam
pengajaran adalah bahwa bahan pengajaran yang akan disajikan harus sesuai dengan kemampuan
siswa pada suatu tahapan tertentu. Belajar merupakan upaya yang memakan waktu yang cukup
lama, dari tidak tahu manjadi tahu, dari yang sederhana sampai yang rumit.

Dalam dunia pendidikan, saat ini mengenalkan kurikulum 2013. Secara garis besar dapat dikatakan
bahwa kurikulum 2013 pada hakikatnya lebih mengedepankan sebuah penalaran daripada sebuah
hafalan dengan alasan agar target untuk mencapai kemajuan menjadi semakin nyata, serta agar
siswa dan guru kita dapat bersaing dengan mutu pendidikan dengan negara maju. Titik beratnya,
bertujuan untuk mendorong peserta didik, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya,
bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka
ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam
penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan
budaya.

Salah satu hal penting dalam pengujian pada kurikulum 2013 adalah bahwa pengujian perlu
dilakukan secara komperhensif dan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan pengujian komperhensif
adalah bahwa pengujian hendaknya memuat kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa.
Artinya, pengujian yang dikembangkan tersebut hendaknya dapat mangukur semua kompetensi
dasar yang telah ditetapkan. Selanjutnya, pengujian juga dituntut memenuhi prinsip berkelanjutan.
Artinya bahwa pegujian hendaknya dilakukan secara terus-menerus selama proses belajar
mengajar, bukan hanya pada akhir proses belajar mengajar (Depdiknas, 2012 : 155).

Suatu mata pelajaran mungkin akan mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan
karakteristik mata pelajaran yang lain. Sebagai contoh, Bahasa Indonesia mempunyai karakreristik
yang berbeda dengan mata pelajaran biologi atau matematika. Oleh karena itu, agar dapat
mengajar dengan baik guru memerlukan informasi tentang karakteristik mata pelajaran Bahasa
Indonesia.

Mata pelajaran Bahasa Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran
eksakta atau mata pelajaran sosial lainnya. Perbedaan ini terletak pada fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa belajar Bahasa Indonesia bukan saja belajar kosakata
dan tatabahasa dalam arti pengetahuannya, tetapi harus berupaya menggunakan atau
mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kegiatan komunikasi. Seorang siswa belum dapat
dikatakan menguasai bahasa Indonesia kalau dia belum dapat menggunakan Bahasa Indonesia
untuk keperluan komunikasi meskipun dia mendapatkan nilai yang bagus pada penguasaan
kosakata dan tatabahasanya.

Memang diakui seseorang tidak mungkin akan dapat berkomunikasi dengan baik kalau
pengetahuan kosakatanya rendah. Oleh karena itu, penguasaan kosakata memang tetap diperlukan
tetapi yang lebih penting bukan semata-mata pada penguasaan kosakata tersebut tetapi
memanfaatkan pengetahuan kosakata tersebut dalam kegiatan komunikasi bahasa indonesia.
Dalam belajar bahasa, orang mengenal keterampilan represif dan ketrampilan produktif (Depdiknas,
2002 : 157). Keterampilan reseptif meliputi keterampilan menyimak (listening) dan keterampilan
membaca (reading). Sedangkan ketrampilan produktif meliputi keterampilan berbicara (speaking)
dan keterampilan menulis (writing), baik keterampilan reseptif rnaupun produktif perlu dikembangkan
dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia.

Agar dapat menguasai ketrampilan tersebut di atas dengan baik, siswa perlu dibekali dengan unsur-
unsur bahasa misalnya kosakata. Penguasaan kosakata hanya salah satu unsur bahasa yang
diperlukan dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya
adalah penguasaan tatabahasa. Telah dipahami bahwa tatabahasa telah membantu seseorang
untuk mengungkapkan gagasanya dan membantu si pendengar untuk memahami gagasan yang
diungkapkan oleh orang lain. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tatabahasa hanyalah unsur
pembantu dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Oleh karenanya, pengajaran yang
menekankan semata-mata pada pengetahuan tatabahasa ditinggalkan. Tatabahasa hendaknya
ditinggalkan dalam rangka memfasilitasi penguasaan keempat keterampilan yang telah disebut di
muka.

Sarwadi dalam Jabrohim (1994: 175) menyebutkan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan materi pembelajaran apresiasi sastra adalah; estetis, psikologis, ideologi, dan paedagogi.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu-persatu aspek-aspek tersebut sebagai berikut.

a.    Aspek Bahasa

Dalam memilih bahan pembelajaran yang akan disampaikan pada siswa harus diperhatikan faktor
bahasanya. Bahan pembelajaran tersebut harus disesuaikan dengan tingkat kebahasaan siswa.
Bahan pembelajaran dapat diperhitungkan dari segi kosakatanya, tatabahasanya, situasi, dan isi
wacana termasuk ungkapan dan gaya penulis dalam menuangkan ideidenya, serta hubungan
kalimat-kalimatnya.

b.    Aspek Kematangan Jiwa

Bahan ajar yang akan disampaikan siswa hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa. Taraf perkembangan kematangan jiwa siswa melewati tahap-tahap perkembangan tertentu
yang harus diperhatikan oleh guru. Menurut Moody dalam Jabrohim (1994 : 174) siswa termasuk
dalam tahap realis atau realistic stage (13 – 16 tahun).

c.    Latar Belakang Budaya

Suatu karya sastra yang akan disampaikan pada siswa hendaknya mempunyai hubungan yang erat
dengan kehidupan siswa atau yang dapat dihayati siswa. Siswa biasanya lebih tertarik dengan karya
sastra yang berlatar belakang identik dengan latar belakang siswa. Latar belakang tersebut meliputi
tempat, adat istiadat, budaya, iklim, geografi, sejarah, nilai masyarakat, dan sebagainva.

d.    Aspek Ideologi

Karya sastra yang dipilih hendaknya dapat dipertanggungjawabkan secara ideologi, sehingga tidak
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa: Pendidikan nasional
bertujuan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Depdiknas, 1995 : 217).

e.    Aspek Paedagogis

Karya sastra yang akan diajarkan pada siswa sedapat mungkin adalah karya sastra yang
mengandung nilai-nilai didik yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan cipta, rasa, dan karsa
para siswa untuk menuju arah yang positif. Pengembangan berbagai aspek tersebut secara
langsung akan memberikan kesadaran kepada siswa terhadap nilai-nilai luhur.

f.    Estetik

Cerpen atau karya sastra yang diberikan pada siswa hendaknya dapat dipertanggungjawabkan
secara estetika ataupun telah diseleksi dengan baik oleh pengarang ataupun oleh penerbit.

Bentuk-bentuk sastra ada bermacam-macam, ada prosa, puisi, cerpen, dan drama. Namun yang
menjadi perhatian utama dalam tulisan ini adalah prosa dalam hal ini cerita pendek. Menurut
Sumardjo (1986: 3) sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan
pesona dengan alat bahasa. Sawardi dalam Jabrohim (1994: 165) memberi batasan cerpen
sebagai cerita fiksi bentuk prosa yang singkat padat, yang unsur ceritanya terpusat pada satu
peristiwa pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelakunya terbatas, dan keseluruhan cerita
memberikan satu efek (kesan tunggal).

Penceritaan narasi dalam cerpen harus dilakukan secara ekonomis, sehingga dalam cerpen
biasanya hanya ada dua atau tiga tokoh saja, hanya ada satu peristiwa, hanya ada satu kesan saja,
dan hanya ada satu efek saja bagi pembacanya. Namun sebuah cerpen harus tetap merupakan
satu kesatuan bentuk yang betul-betul utuh dan lengkap. Keutuhan dan kelengkapan sebuah cerpen
tersebut terlihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur tersebut adalah
peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (mood dan
atmosfir cerita), latar cerita (setting), sudut pandangan pencerita (poin of view), dan gaya (style)
pengarangnya.

Berdasarkan tuntutan ekonomis serta efek satu kesan pada pembacanya, maka biasanya penulis
cerpen hanya mementingkan salah satu unsur dalam cerpennya. Dalam hal ini, mementingkan atau
penekanan salah satu unsur cerpen tidak berarti meniadakan unsur-unsur yang lain. Sebuah cerpen
harus lengkap dan utuh, artinya harus memenuhi unsur-unsur bentuk yang sudah disebutkan tadi.
Hanya pengarang dapat memusatkan (fokus) pada satu unsurnya saja yang mendominasi
cerpennya.

Menurut Tarigan (1985 : I77) ciri-ciri cerita pendek adalah sebagai berikut :

a. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah : singkat, padu, intensif (brefity, unity, intensifty).
b. Unsur-unsur cerita pendek adalah : adegan, tokoh dan gerak (scene, character,and
action).
c. Cerita pendek haruslah tajam, suggestive, dan menarik perhatian (incisive, suggestive,
alert).
d. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsep dirinya
mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek di dalam pikiran pembacanya.
f.  Cerita pendek haruslah menimbulkan perasaan dalam diri pembaca bahwa jalan
ceritalah yang pertama-tama menarik perhatian perasasaan dan kemudian menarik
pikiran.
g.  Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.
h.  Cerita pendek harus mempunyai satu efek atau kesan yang menarik.
i.   Centa pendek harus mempunyai seorang pelaku yang utama.
j.   Cerita pendek bergantug pada satu situasi.
k.  Cerita pendek memberikan impresi tunggal.
l.   Cerita pendek memberikan suatu kebutalan efek.
m. Cerita pendek menyajikan satu emosi.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita fiksi
yang relatif singkat dan pendek, mengisahkan salah satu moment dalam suatu kehidupan sehingga
jumlah pelaku dan pengembangannya terbatas, dan dapat dibaca dalam sekali waktu. Dalam cerita
pendek pengarang mengambil sari ceritanya saja. Oleh karena itu ceritanya pendek (singkat).
Kejadian-kejadiannya dibatasi, yakni pada kejadian-kejadian yang benar-benar dianggap penting
untuk membentuk suatu cerita. Di samping itu cerita harus memiliki kepaduan atau kebulatan yang
tinggi. Oleh sebab itu, tokoh yang digambarkan harus diperhatikan agar tidak mengurangi kebulatan
cerita dan berpusat pada tokoh utama dari awal hingga akhir.

10. Tingkat Apresiasi Sastra

Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam
kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani,
mempertebal nilai moral dan estetis. Maka, tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat
keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator
harus memiliki patos. Istilah patos berasal dari kata patere (Latin) yang berarti merasa. Dengan kata
lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat
membuka rasa.

Untuk dapat membuka rasa tersebut, dibutuhkan tiga tingkatan. Tingkatan pertama dalam apresiasi
sastra adalah simpati. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk
memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca
karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita
sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.

Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah empati. Pada tingkatan ini batin apresiator mulai
bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita
membaca prosa cerita kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.

Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah refleksi diri. Pada tingkatan ini,
seorang apresiator tidak hanya sekedar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) saja,
tetapi lebih dari itu dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra
itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya
sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.

Dalam pengajaran apresiasi sastra, karya sastra sebagai objek yang dibaca, dihayati, dinikmati,
digemari berdasarkan tingkatan apresiasi sastra, yaitu : 1) tingkat menggemari, 2) tingkat menikmati,
3) tingkat rnereaksi, 4) tingkat produktif (Rahmanto, l988 : 7). Berikut penjelasan dari tingkatan
apresiasi sastra tersebut sebagai berikut.

a. Tingkat menggemari karya sastra. Pada tingkatan ini siswa merasa tertarik dan
berkeinginan untuk membaca karya sastra. Dalam tingkatan menggernari ini terdapat
ketertarikan pada buku sastra, dan ingin membaca buku sastra. Tertarik dan ingin
menunjukan tingkat afektif yang paling rendah, karena didalamnya baru menunjukan
penerimaan seseorang terhadap fenomena. Kata tertarik dan ingin belum menunjukan
tingkah laku kongkrit, tetapi dapat diukur melalui tingkah laku yang menunjukan minat
dan keinginannya itu.
c. Tingkat menikmati karya sastra. Tingkat menikmati karya sastra berarti menganggap
karya sastra dapat menghibur dan bermanfaat bagi diri siswa.
d. Tingkat mereaksi karya sastra. Tingkat mereaksi karya sastra tentu saja bermacam-
macam, atau bertingkat-tingkat. Semakin mendalam pengetahuan dan pemahaman
terhadap karya sastra reaksinya akan semakin bermutu juga. Jenis reaksi terhadap
karya sastra ditentukan oleh kedalaman pengetahuan sastra dan kedalaman
penghayatan terhadap karya sastra yang dibaca atau yang dinikmatinya
e. Tingkat produktif. Dalam tingkatan ini siswa aktif bersastra misalnya menulis cerpen,
novel, puisi, dan sebagainya. Pada tingkat ini, siswa tidak hanya sekedar menerima dan
merespon, tetapi juga menjadikan karya sastra sebagai bagian hidupnya. Siswa
mungkin tidak dapat memisahkan dirinya dengan sastra. Kelak mungkin sastra akan
menjadi profesi yang dipilihnya, dan kehidupan bersastra menjadi kehidupan yang
benar-benar mengisi sebagian besar hidupnya.

Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa tingkatan pertama merupana tingkatan yang
didominasi pergulatan emosi, walaupun tetap dikontrol oleh kesadaran intelektual dan dipupuk oleh
imajinasi. Di tingkat pertama, apresiator seolah-olah berada di dalam pengalaman yang diceritakan
pengarang. Ia dapat merasakan kesenangan, kegembiraan, dan sebagainya jika pengarang
memang melukiskan hal tersebut. Dengan imajinasinya apresiator dapat menangkap dan
membayangkan kejadian-kejadian yang terdapat dalam karya tersebut. Ia mulai memperoleh
kenikmatan dari karya sastra yang sedang diakrabinya.

Kemampuan apresiasi  dapat bermacam-macam tingkatannya, karena itu dapat ditingkatkan ke


tingkat yang lebih tinggi atau lebih baik. Yang belum mampu dapat dijadikan mampu. Jadi, apresiasi
itu dapat dipelajari, dapat dilatih, karena itu pula dapat diajarkan.

Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual telah bekerja lebih giat. Maksudnya,  adalah
selain terjadi pergulatan emosi, terjadi pula pergulatan intelektual. Pada tingkat kedua ini, intelektual
bekerja lebih giat, karena apresiator tidak hanya puas dengan memperoleh kenikmatan menemukan
pengalaman, melainkan ia juga ingin tahu mengapa karya tersebut memberi nikmat.

Di tingkat ini,  apresiator berusaha mengungkap hal-hal yang ada di balik karya tersebut.Ia
memperhatikan unsur-unsur pembentuknya, bahkan ia merasa perlu mengetahui kaidah-kaidah
pembentukan cipta  sastra. Iapun merasa perlu mendalami pengertian tentang unsur-unsur cipta
sastra. Dengan demikian ia dapat menelusuri karya tersebut, dari unsur-unsur pembentuknya (unsur
intrinsik dan ekstrinsik karya sastra). Pada tingkatan ini, apresiator sudah mempunyai gambaran
tentang karya yang sedang diapresiasinya. Ia sudah mulai mengetahui kualitas karya tersebut, dan
jika karya tersebut bagus ia mulai kagum akan karya tersebut  dan terhadap pengarangnya. Iapun
semakin menikmati dan semakin bergairah mengakrabi karya tersebut.

Pada apresiasi tingkat ketiga, seseorang menyadari bahwa sastra bukan sekedar permainan
bahasa atau bunyi bahasa. Sastra ternyata memberikan sesuatu yang dapat dipetik manfaatnya.
Dari sastra seseorang menemukan nilai-nilai hidup tanpa merasa digurui atau dikhotbahi, sehingga
ia menjadi bijak sendiri. Menjadi bijak dan memperoleh kenikmatan. Dalam tingkatan ini, apresiator
sudah mencapai kenikmatan yang tinggi. Ia telah merasa nikmat memperoleh pengalaman dari
karya sastra. Ia juga menemukan kenikmatan estetik, karena ia tahu tentang wujud bangun karya
sastra secara mendalam. Ia juga merasa nikmat karena memperoleh nilai-nilai untuk menghadapi
kehidupan dengan lebih baik. Ia kagum akan karya tersebut dan ia kagum akan pengarangnya.

11.  Pembelajaran Apresiasi Sastra

Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi, sedangkan belajar sastra menghargai manusia dan
nilai-nilai kemanusian. Sesuai dengan standar kompetensi pembelajaran Bahasa Indonesia
bertujuan meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia, baik
secara lisan maupun secara tertulis, serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia.
Penghargaan terhadap hasil cipta manusia inilah yang dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
disebut sebagai apresiasi terhadap hasil karya sastra atau apresiasi sastra.

Nadeak (1985) menyatakan bahwa pelajaran sastra haruslah dapat menunjang pelajaran Bahasa
Indonesia pada umunya. Para siswa harus dibangkitkan minatnya agar mereka mampu memahami
karya satra Indonesia. Teori sastra hendaknya juga diajarkan untuk melengkapi pengetahuan siswa
mengenai kesusastraan. Titik berat pengajaran sastra ialah memperkenalkan kepada mereka karya-
karya sastra Indonesia. Siswa-siswa harus membaca puisi, drama, novel, dan jenis karya satra lain,
baik sastra lama maupun karya sastra baru. Dengan demikian siswa diharapkan mapu menghayati
karya sastra tersebut sehingga dapat menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran
kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap citra sastra.

Di sekolah, apresiasi sastra menjadi salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa.
Komptetensi Dasar menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra adalah salah satu
Dalam kompetensi dasar ini peserta diharapkan mampu menentukan unsur intrinsik dan ekstrinsik
karya sastra, sebagai bentuk apresiasinya terhadap sastra, selain itu peserta didik juga diharapkan
mampu memetik nilai-nilai moral positif yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Akan tetapi ada
beberapa kendala dalam pencapain kompetensi dasar tersebut, di antaranya adalah penggunaan
bahasa dalam karya sastra yang seringkali menggunakan bahasa atau kosa kata arkhais. Hal ini
menjadi kendala bagi peserta didik untuk memahami isi dari karya sastra yang telah dibaca,
sehingga peserta didik akan merasa kesulitan dalam mengapresiasi karya sastra tersebut.

12. Penilaian Karya Sastra

Penilaian karya sastra adalah usaha untuk menentukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu
karya sastra (Sayuti, 1996: 4). Penilaian karya sastra yang digunakan dalam tulisan ini adalah
berupa kritik sastra. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritein yang berarti mengamati,
membanding, dan menimbang. Kritik sastra berarti pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat
serta pertimbangan yang adil, terhadap baik buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra
(Tarigan, 1984: 187-188).

Luxemburg dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra, menguraikan bahwa ilmu sastra tidak menilai,
tidak bertindak sebagai hakim, tetapi bersama dengan para ahli estetika kita dapat mempelajari
fakta dan relasi-relasi yang diungkapkan dalam sebuah penilain. Bila kita
mengatakan Ramayana merupakan karya sastra dunia terbaik, maka ucapan itu, seperti penilaian,
mengandung beberapa implikasi. Karena penilaian itu membandingkan semua karya literer lainnya
dianggap lebih rendah daripada Ramayana. Bila kita mengatakan Ramayana adalah karya
Sansekerta terbaik, maka perbandingan itu tidak terlalu jauh, tetapi memang diimplikasikan suatu
perbandingan dengan karya-karya Sansekerta lainnya.

Sebuah penilaian yang masuk akal hendaknya memerhitungkan sejauh mana objek yang satu dapat
dibandingkan dengan objek yang lain. Perbandingan misalnya hendaknya dilakukan dalam  batas
suatu priode tertentu atau dalam batas satu jenis sastra tertentu. Bila kita mengadakan
perbandingan di luar batas satu priode atau jenis sastra, maka baiknya dikatakan, butir-butir mana
atau aspek-aspek mana yang ingin dibandingkan. Syair Ramayana dalam teks Sanskerta misalnya
dapat dibandingkan dengan versi Jawa Kuno dalam Jawa Modern. Dialog-dialog dalam karya
seorang pengarang Inggris dari abad ke-17 dapat dibandingkan dengan dialog-dialog dalam karya
Graham Greene misalnya. Selain itu, kalau kita ingin mengadakan perbandingan atau penilaian,
maka seyogyanya diperhitungkan juga pandangan mengenai sastra yang dapat berubah dan sidang
pembaca yang disapa oleh seorang pengarang. Sebuah legenda dari zaman dahulu jangan
dibandingkan dengan cerita dongeng bagi anak-anak zaman sekarang. Selaian itu, suatu penilaian
selalu menimbulkan dua pertanyaan, kreteria mana dipergunakan sang kritikus dalam penilaiannya,
dan alasan-alasan apa yang diajukannya untuk mendukung penilaiannya.

Penilaian-penilaian tidak tetap sama dari zaman ke zaman, sementara seniman tidak dihargai oleh
orang-orang sezaman dan baru di kemudian hari diakui kebesarannya. Ada pula kurun-kurun waktu
sebuah karya tertentu seolah-olah dilupakan. Karya-karya sastra yang kini dianggap sebagai
puncak-puncak kesastraan, dulu diremehkan. Misalnya Hamlet karangan Shakespeare. Oleh
Voltaire dianggap tulisan seorang yang sedang mabuk, tetapi lima tahun kemudian Victor Hugo
menilai Shakespeare lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine, dewa drama di Perancis.
Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 menulis tentang soneta-soneta Shakespeare,
mengemukakan bahwa lebih baik Shakespeare tidak pernah menulis soneta-sonetanya. Pada abad
ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.
Perubahan dalam penghargaan bahwa tidak ada seorang kritikus yang memiliki sifat-sifat yang
menjamin bahwa karya itu sepanjang masa akan dijunjung tinggi. Namun dapat diduga bahwa
karya-karya yang sering dan untuk jangka waktu yang cukup panjang dinilai tinggi, mengandung
unsur-unsur dan struktur-struktur yang pantas dinilai tinggi. Tetapi sampai sekarang tak ada
seorangpun untuk karya apapun yang mengajukan alasan-alasan yang meyakinkan, bahwa karya
itu memiliki struktur-struktur dan unsur-unsur yang harus dinilai tinggi untuk selama-lamanya.

Sementara itu, perubahan dalam penilaian tentu saja berkaitan dengan perbedaan dalam keadaan
sosial dan historik masyarakat umum dan dengan pandangan mengenai sastra yang berubah. Aliran
Romantik menolak soneta-soneta Shakespaere karena aliran tersebut suka yang alami dan
spontan, padahal soneta Shakespaere tersusun dengan berbelit-belit. Penghargaan yang berubah
dapat juga disebabkan karena penafsiran baru yang dapat dilakukan terhadap salah satu karya
tertentu.

Perbedaan dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi dalam kurun waktu yang
sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai aliran. Keyakinan pribadi, sosial,
relegius, dan politik dapat menyebabkan perbedaan dalam penilaian. Lagu-lagu perjuangan dari
Amerika Selatan dinilai tinggi oleh kaum cendekiawan kiri. Selain itu perubahan dalam pandangan
mengenai sastra ada pengaruhnya. Bila kita perpedoman pada fiksionalitas sastra, maka lagu-lagu
perjuangan tidak akan dinilai tinggi. Kritisi yang menjunjung tinggi kesatuan logik dalam sebuah
karya sastra pasti tidak suka akan prosa eksperimental.

Terdapat dua metode yang dapat digunakan dalam kritik sastra, yaitu metode ganzheit (secara
keseluruhan), dan metode analitik (bagian per bagian). Kedua metode ini akan digunakan dalam
tulisan ini. Kritik sastra mempunyai fungsi: (1) melayani para penulis/pengarang, (2) melayani
masyarakat, dan (3) melayani para kritikus (Tarigan, 1984: 188). Fungsi-fungsi tersebut merupakan
jembatan antara karya sastra dengan pembaca karena kritik sastra merupakan proses komunikasi
sastra.

Ada beberapa hal penting dalam mengadakan kritik terhadap karya sastra yaitu: (1) mengerti serta
memahami bahan yang dikritik, (2) mengadakan interpretasi setepat mungkin, (3) menghidupkan
kembali tahap-tahap perkembangannya, dan (4) mengambil bagian serta meresapi segala daya
yang dikandungnya (Cazamian dalan Tarigan, 1884: 201).

Mengenai jenis-jenisnya, kritik sastra dibagi menjadi: (1) kritik mimetik, yang bertolak dari
pandangan bahwa sastra merupakan tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia,
maka kritik akan membicarakan sejauh mana karya sastra mampu menjadi cermin kehidupan; (2)
kritik pragmatik, yang lebih banyak mengkaji sejauh mana karya tersebut mempunyai efek-efek
tertentu; (3) kritik ekspresif, yang lebih mengutamakan pengkajian sejauh mana karya tersebut
menjadi tempat pencurahan ide, visi, dan pernyataan jiwa pengarangnya; dan (4) kritik objektif, yang
menempatkan karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, otonom, dan punya dunia sendiri (Alwi
dan Sugono, 2002: 224). Dengan memperhatikan jenis-jenis tersebut, maka jenis kritik sastra dalam
penelitian ini secara dominan cenderung ke arah kritik mimetik meskipun dalam praktiknya selalu
dimungkinkan adanya persentuhan dengan jenis lain.

13. Kriteria Penilaian Karya Sastra

Dalam buku Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg menjelaskan bahwa suatu penilaian diberikan
berdasarkan kriteria. Seringkali kriteria itu diungkapkan, tetapi kadang-kadang dapat kita lacak
kembali, kriterium mana yang dianut. Penilaian terhadap suatu karya sastra juga dipengaruhi
oleh  pandangan seseorang mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan menimbulkan kriteria
lain atau memengaruhi hirarki kriteria, mana yang paling dipentingkan.

Berkaitan uraian Luxemburg, Pradopo menguraikan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik
buruk karya sastra, pertimbangan bernilai baik tidaknya. Dalam kata pertimbangan terkandung arti
memberi nilai. Sebab itu, dalam kritik sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra
adalah termasuk karya seni dan di dalamnya sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni itu
berhubungan  dengan pengertian indah atau keindahan.

Tepatlah apa yang diungkapkan oleh Rene Wellek bahwa kita tidak dapat memahami atau
menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan suatu sruktur
sebagai karya seni, kita sudah memakai timbangan penilaian. Dengan begitu, jika kita mengeritik
karya sastra tanpa penilaian, maka karya sastra yang kita kritik tetap tidak dapat kita pahami baik-
buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan  pengalaman jiwanya.

Membicarakan atau menganalisis karya sastra tanpa pembicaraan penilaian menjadi kehilangan
sebagian artinya, kehilangan rasanya karena di dalam karya sastra yang menarik adalah sifat
seninya, dan sifat estetik hanyalah yang dominan pada karya sastra. Sebab itu, membicarakan
karya sastra sebagai karya seni harus disertai penilaian, karena kritik sastra tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian.
Berkaitan dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, Bagaimanakah karya sastra yang
bernilai? dan Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra dapat dikatakan
bernilai?  Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti dan hakikat karya sastra
serta fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan gunanya. Sering hal ini
menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan fungsi karya sastra, atau
melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat
propaganda, yang sama nilainya dengan teks pidato.

Hadimadja (1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak yang


diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian pada moral.
Baik keindahan maupun moral keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut Hadimadja berkaitan
penerimaan H.B. Jassin menjawab bahwa sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut
pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi si
pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka
lebih senanglah dia.

Dalam menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan intuitif
sehingga tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya
sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra
sehingga jawabannya sangat subjektif dan tidak jelas. Padahal hubungan nilai, hakikat sastra, dan
fungsi sangat penting dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rene Wellek
bahwa bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra harus kita jawab dengan definisi-
definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya dan menaksir nilai itu menurut kadar
sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat hubungannya.

Untuk mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih dahulu
meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang dikutip oleh Pradopo dalam bukunya Prinsip-
prinsip Kritik Sastra, adalah sebagai berikut.

a. Sastra (शास्त्र, shastra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang
indah: yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan
mengenai hasil seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali, 1958).
Sementara itu, arti seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang
menimbulkan kesenangan yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan
keharuan, kemesraan, kebencian, atau peradangan hati, gemas, dan dendam.
b. Kesusastraan merupakan kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh
karena itu, kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang
dipergunakan orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah,
dan permai dengan bahasasebagai alatnya (Simorangkir, 1959).
c. Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra.
Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian
dari kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra (shastra. Skt) =
tulisan atau bahasa; su (Skt); indah, bagus, susastra = bahasa yang indah, maksudya
hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dan
akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang
terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan
peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat. (Usman, 1960).
d. Kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah kesenian suatu bangsa
dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya.
Kesenian adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam
kebudayaan dan berjiwa kecantikan. (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan
membagi kesusastraan menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan
kesusastraan khusus Kesusastraan umum adalah pendek, segala buah pikiran, buah
pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi kitab ilmu pengetahan yang sudah
menjadi milik satu bangsa; kesusastraan khusus, yang mempergunakan bahasa
kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat membuat pembacanya
atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya maupun
disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
e. Kata kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya:
segala yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata dan
susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis itulah
kesusastraan, tetapi tidak semua bahasa tulis dinamakan kesusastraan, yang isinya
merupakan ilmu pengetahuan tidak termasuk kesusastraan. Warta berita yang serupa
dengan itu pun tidak termasuk kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian
bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
f. Dalam Theory of Literature, Rene Wellek mengemukakan ada tiga definisi, pertama, seni
sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku
yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan
penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi
intelektualnya saja; ketiga, Rene Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika istilah
kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat imaginative, sifat imaginative ini
menunjukkan dunia anagan dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik,
dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kesusastraan mengakui adanya sifat fictionaly, (sifat


menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan), dan imagination (mengandung kekuatan
menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionaly di sini menunjukkan
dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan, bukan dunia yang
nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention, menunjukkan pengertian adanya penemuan-
penemuan yang baru akibat pengkhayalan, jadi ini adanya keaslian cipta.
Sedangkan imagination menunjukkan adanya daya mengangankan dan menyatukan sesuatu yang
baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra dengan begitu, Rene Wellek
mengungkapkan ialah karya-karya yang fungsi estetiknya dominan.

Karya sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yangimaginatif dan yang seni. Dalam arti karya
sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan
baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Sementara ini dipergunakan
istilah “seni” bukan kata indah, karena pada zaman sekarang pemakaian kata indah itu rasanya
tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian keindahan itu bukan lagi tujuan
penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat bahwa : karena seni tidak perlu indah;
hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah,
maupun secara kemasyarakatan, kami dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan
barang yang indah. Menurut Leo Tolstoy, keindahan (beauty) bukan tujuan seni, karena:

   Orang akan sampai kepada pengertian bahwa arti makan terletak pada pemberian zat-
zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa objek dari
aktivitas tersebut adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang
akan sampai kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap
bahwa tujuan aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan
ialah sebagai tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban
apakah seni itu, tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain
yang sangat berlainan dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.

Dengan demikian, indah menurut sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai kreteria
karya seni (sastra) karena itu lebih baik dipakai kata atau istilah seni untuk menyatakan sifat-sifat
estetik karya sastra. Arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena
dalam pengertian seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni” juga, karena
dapat berhasil diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa yang seni ini biasanya
disebut sublim atau agung. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung arti indah dan agung, besar
atau sublim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika dimaksudkan ilmu
seni, maka sudah tentu ia harus berbicara tentang sublim karena daerah seni meliputi kesubliman.
Sublim menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua pengertian sama sekali berbeda
yang memiliki ciri-ciri “lebih besar dan  lebih kuat”. Memang sering para ahli estetika kesubliman itu
disatuartikan dengan keindahan, disebut difficult beauty, dan di samping itu ada easy
beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan yang mudah (bunyi indah, kenangan indah, dan
sebagainya), dan difficult beauty (sublimes, keindahan sukar) atau keindahan yang mengandung,
kesakitan, keburukan (Rene Wellek, 1978).

Berdasarkan beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka dalam
hal ini jawaban yang ditawarkan  bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya terdapat sifat
seni, yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim dan besar itu kian
banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan daya cipta dan keaslian
cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara menilai karya sastra berdasarkan fungsinya,
haruslah dipakai kreteria hakikatnya yaitu menyenangkan dan berguna. Hal ini sejalan apa yang
diuraikan oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius) menganggap, karya seni yang baik, termasuk
sastra selalu memenuhi dua kreteria, yaitu dulce et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan).
Tentu saja kenikmatan ini hanya dimiliki oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi
manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral.

Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut kreativitas.
Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis. Sementara itu, pembaca
yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian, dapat mengurangi nilai estetis, dan karena
itu mengganggu kenikmatan pembaca.

Sebagai contoh, tengoklah novel  Sutan Takdir Alsyahbana yang berjudul Layar Terkembang. Novel
ini menuai berbagai kritik, karena moral novel ini sangat jelas; semua bangsa Indonesia, khususnya
pemuda dan pemudi harus berpikir ke depan, ke dunia barat yang maju. Karena itulah, novel ini
dianggap sebagai esai berbaju novel. Pengertin esai di sini tidak lain adalah khotbah.

Dalam jangka panjang tampak bahwa nilai estetika novel Armijn Pane yang berjudul Belenggu lebih
menonjol daripada Layar Terkembang. Belenggu tidak menggurui, sedangkan Layar
Terkembang terkesan menggurui. Bukan hanya itu. Berbeda dengan Layar
Terkembang, Belenggu tidak membawakan moral yang baik.

Dalam Belenggu tampak kehidupan keluarga yang bobrok. Tokoh-tokoh utamanya bukanlah orang-


orang yang bersih. Tono, sang suami, menyeleweng dengan seorang perempuan bernama Rohaya,
sementara Tini, istrinya, patut diragukan keperawanannya ketika menikah dengan Tono. Sebagai
seorang yang berpikiran modern dengan orientasi Barat, Tono dapat menerima Tini dengan baik,
tanpa memertimbangkan masa lalu Tini. Ketika sudah menjadi istri Tono, Tini pernah pula
berhubungan dengan mantan kekasihnya dulu. Perkawinan akhirnya buyar.

Dari segi moral. Belenggu benar-benar negatif. Namun justru moral negatif inilah nilai
estetik Belenggu lebih baik daripada Layar Terkembang. Nilai kontemplatif Belenggu lebih tinggi,
dan karena itu sampai sekarang Belenggu masih diperbincangkan dengan semangat tinggi,
sementara Layar Terkembang hanya dicatat sebagai sebuah bagian sejarah sastra.

Karya Tolstoy juga mengalami masalah yang sama, sesuai dengan konsep kreatvitasnya. Pada
waktu masih muda, dia hidup bergelimang dalam dunia keduniaan. Novel-novel puncaknya, antara
lain Perang dan Damai dan Anna Kareninaditulis  tidak memikirkan masalah moral.
Cerpen Tolstoy yang berjudul Tuhan Tau, Tapi Menunggu menandai bagian tengah perjalanan
hidupnya. Dia masih mementingkan dunia duniawi, namun sudah mulai masuk ke dunia rohani.
Moral dalam cerpen ini juga meragukan; seorang yang begitu tulus mulia hatinya harus kehilangan
segala-galanya, dan mati dengan stigma sebagai pembunuh. Mungkin  dalam cerpen ini Tolstoy
memikirkan masalah kehidupan sesudah mati: kebahagiaan sebenarnya tidak terletak dalam
kehidupan sehari-hari, namun akan datang setelah seseorang memasuki alam kubur.

Bagian ketiga kehidupan Tolstoy membawa warna yang jauh berbeda. Dia menjadi sangat relegius
dan karya-karyanya berubah menjadi semacam khotbah keagamaan. Semua karyanya pada bagian
ketiga hidupnya ini dianggap sebagai khotbah belaka, dan karena itu tidak dianggap sebagai karya
sastra yang baik.

Dalam semua novel-novel Jane Austen, tampak dengan jelas bahwa kerja paling berat dalam
menulis baginya tidak lain adalah memadukan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai moral. Semua
tokohnya harus menarik, dan untuk benar-benar dapat menarik, nilai-nilai moral harus dilanggar. Dia
berhasil dengan baik karena dia akhirnya sanggup memadukan tuntutan estetika dan tuntutan
moral.

Keberhasilan Jane Austen dan pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan estetika dan
tuntuan moral melahirkan kreteria lain, yaitu bentuk atau form dan isi atau content harus seimbang.
Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah pemikiran yang akan dituangkan
dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan
isi yang baik tanpa diimbangi oleh bentuk yang tepat akan melahirkan karya sastra yang menggurui.

Salah satu bagian bentuk adalah bahasa yang baik dengan isi yang tidak bermutu akan melahirkan
retorika kosong belaka. Kesukaran dalam pemakaian bahasa ini dialami oleh semua penulis,
khususnya penyair. Perjuangan penyair untuk menyusun bahasa pada hakikatnya identik dengan
perjuangan untuk menyampaikan gagasan berbobot tinggi.

Moral sementara itu, masuk pada bagian isi. Perimbangan yang baik antara bentuk dan isi, dengan
demikian, menyangkut masalah moral. Namun dalam sastra modern ada kecenderungan untuk
mengabaikan moral, sebagaimana yang tampak dalamBelenggu. Karena itu, dalam
perkembangannya, isi cenderung hanya berupa pemikiran yang belum tentu ada kaitanya dengan
moral.
Isi dengan sendirinya tidak lepas dari konsep pengarangnya. Konsep ini tampak antara lain dalam
aliran masing-masing pengarang. Sajak-sajak William Wordsworth, misalnya, selalu dipenuhi oleh
bahasa sehari-hari serta pemujaan terhadap alam sebagai penuntun kehidupan manusia. Semua
sajaknya sesuai dengan aliran dia, yaitu romantisme. Teodore Dreiser, selalu menggambarkan
dunia kelas bawah yang ambisius dan akhirnya gagal mencapai kebahagiaan, tidak lain karena dia
penganut aliran naturalisme.

Dalam perkembangan berikutnya, isi dapat pula identik dengan ideologi politik, sebagaimana yang
tampak dalam sajak para penyair Lekra. Semua sajak mereka tidak lain adalah alat untuk
memerjuangkan komunisme. Makna ideologi dapat meluas, antara lain menyangkut masalah agama
dan kepercayaan, sebagaimana misalnya sastra Islam, sastra sufi, dan lain-lain.

E.M. Foster, seorang novelis dan teoritikus sastra, dalam Asects of the Novel antara lain menulis
mengenai cerita dan plot, serta tokoh dan penokohan. Cerita adalah sebuah peristiwa yang diikuti
oleh peristiwa lain, kemudian diikuti oleh peristiwa lain lagi, dan demikianlah seterusnya.

Contoh cerita, Dia kemarin berangkat dari rumah ke kantor jam 7.00 pagi, sampai di kantor jam 8.00
pagi, kemudian dia langsung bekerja sampai jam 12.00, lalu beristrahat makan siang sampai jam
13.00, melanjutkan pekerjaannya sampai jam 17.30, lalu dia pulang, sampai di rumah dia membaca
Koran sebentar, lalu mandi, dan seterusnya.

Contoh plot, Raja sakit, karena itu dokter segera dipanggil. Namun ternyata dokter tidak sanggup
menyembukan raja, dan karena itu dipanggillah dokter terkenal dari luar negeri. Ternyata dokter
inipun tidak sanggup menyembuhkan raja. Sakit raja makin parah, dan karena itu Ratu makin sedih.
Pada suatu hari, setelah melalui masa-masa kritis, Raja pun wafat Ratu bertambah sedih, dan
akhirnya Ratu pun meninggal pula.

Demikianlah perbedaan antara cerita dan plot dalam teori, kendati dalam praktek cerita dapat
bermakna karya sasta, dapat pula berarti plot. Namun, menurut teori, karya sastra yang baik bukan
sekedar cerita, tapi plot. Antara satu peristiwa dan peristiwa lain diikat oleh hukum sebab-akibat.

Kunci penting sebab akibat tidak lain adalah konflik, dan kunci penting konflik adalah tokoh dan
penokohan. Sebagaimana halnya manusia dalam kehidupan sehari-sehari masing-masing tokoh
mempuyai watak sendiri-sendiri dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Perbedaan watak
inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi watak-watak itu saling bertetangan.
E.M. Forser membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat atau roud character dan tokoh pipih
atau flat character. Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman,
dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Konflik pada umumnya tercipta oleh interaksi antara satu
tokoh bulat dan toh bulat lainnya. Tokoh pipih sebaliknya, tidak mempunyai kemampuan untuk
berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Mulai dari awal sampai
akhir tokoh pipih tidak mengalami perubahan watak sama sekali.

Dalam sastra dunia ada tokoh-tokoh yang tampaknya tidak dapat beruba, namun pada
hakikatnya  berubah. Tokoh sentral tragedi Shakespeare Macbeth, misalnya, sejak awal sampai
akhir tetap serakah dan kejam. Namun titik berat keserakahan dan kekejamannya terletak pada sifat
buruk dia, yaitu ambisi yang berlebihan. Dia ingin menjadi raja, dan karena itu semua orang
dianggap dapat menghalangi keinginannya harus dimusnahkan.

Ambisi Macbeth baru tampak ketika tiga peri meramalkan dia akan menjadi raja pada suatu saat
kelak. Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan tiga peri itu, ambisinya akan tetap berkobar,
kendati mungkin dengan bentuk dan proses lain. Lalu, dengan cerdik, namun juga licik, bersama
dengan istrinya dia membuat rencana dengan cermat untuk menghabisi semua pihak yang dapat
menghalangi ambisinya. Tindakan dia bersama istrinya untuk membunuh mereka menunjukkan
bahwa dia belajar dari keadaan, dan karena itu dia bukan tokoh pipih.

Sebagai ekoran teori E.M. Forster, berkembanglah berbagai macam kreteria untuk menentukan
apakah tokoh bulat dari segi estetika sastra dapat dianggap baik atau tidak. Dapat diambil
kesimpulan, tokoh bulat yang baik harus konsisten dari setiap perubahan dan harus mempunyai
motivasi yang kuat untuk berubah. Konsistensi dan motivasi Macbeth terletak pada ambisinya, dan
ambisi inilah salah satu kunci kekuatan dia sebagai tokoh bulat.

Tanpa interaksi tokoh satu dengan tokoh lain, sekali lagikonflik tidak akan tercipta. Karena konflik
merupakan bagian integral yang harus ada, maka sebagai ekoran dari teori E.M. Forster lahirlah
berbagai kreteria untuk menilai apakah sebuah konflik itu baik atau tidak. Dari berbagai kreteria itu
dapat disimpulkan bahwa konflik yang baik adalah konflik delematis, tokoh berhadapan dengan
dilema yang bernar-benar tidak memberi kesempatan untuk melarikan diri.

Contoh konflik yang sangat baik dalam sastra dunia tampak dalam drama tregedi Yunani Kuno
Antine, karya Sophocles. Dalam drama tragedi ini Raja Creon dari Thebes dikisahkan mempunyai
dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Dua anak laki-laki ini bermusuhan dalam perang
saudara dan akhirnya dua-duanya tewas. Oleh  Creon salah satu anaknya yang lain dianggap
pengkhianat. Mayat anak yang dianggap pahlawan harus dimakamkan dengan upacara kebesaran,
sedangkan mayat anak yang dianggap pengkhianat harus dilemparkan ke padang terbuka untuk
menjadi makanan burung-burung liar, tanpa upacara sama sekali.

Antigone anak perempuan tertua, menganggap bahwa dua saudara laki-lakinya dimakamkan
dengan layak, dan karena itu dia mempersiapkan sebuah upacara pemakaman untuk menghormati
abangnya yang mayatnya akan dibuang ke padang terbuka. Creon melarang, namun dia tetap pada
pendiriannya. Konflik delematis harus dihadapi Antigone: kalau dia menuruti kehendak ayahnya,
salah satu mayat abangnya akan dinistakan, kalau dia melanggar perintah ayahnya dia akan
dihukum mati.

Konsistensi dan motivasi Raja Creon amat jelas, demikian pula konsistensi dan motivasi Antigone.
Sebagai tokoh-tokoh bulat, Raja Creon dan Antigone sangat memenuhi persyaratan estetika sastra.
Konflik dalam drama tragedi  juga tinggi nilai estetika sastranya karena dilemma Antigone benar-
benar tidak mungkin diatasi kecuali dengan kompromi, dan dia menolak untuk kompromi.

Sebagai konsekuensi keharusan adanya konflik, muncul tuntutan lain, yaitu klimaks sebagai


penentu penutup plot. Makin tinggi nilai estetik sebuah karya konflik, makin tinggi pula nilai estetika
sastra. Karena klimaks memegang kunci penutup plot, maka karya sastra dengan konflik yang baik
dan klimaks yang baik juga akan memunyai penutup yang baik.

Contoh klimaks yang baik tampak antara lain dalam cerpen Gu de Maupassant, Kalung. Mathilda,
tokoh sentral dalam cerpen ini, bukanlah seorang yang kaya, namun terkenal rupawan dan selalu
berpenampilan menarik. Gaji suaminya juga biasa-biasa saja. Merasa kurang beruntng karena tidak
mungkin hidup mewah, dia berusaha keras untuk bergaul dengan kelas atas, sebuah kelas yang
sebetulnya berada di luar jangkauanya.

Dengan segala daya upaya, akhirnya dia memeroeh undangan untuk menghadiri sebuah pesta
mewah sebuah keluarga kelas atas.  Supaya  dalam pesta itu tampak anggun, dia meminjam
sebuah kalung. Dengan menganakan kalung pinjaman itu, datanglah dia ke pesta, dan, sesuai
dengan harapnnya, semua orang mengagumi keanggunannya.

Namun tanpa diduga, kalung itu hilang. Sebagai seseorang yang berpenampilan anggun dan
tampak kaya, dengan sendirinya dia tidak mau megakui kepada pemilik kalung bahwa dia telah
menghilangkan kalungnya. Diam-diam hutang ke sana ke mari untuk membeli sebuah kalung yang
sangat mahal untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Sementara untuk mengembalikan hutang-hutangnya dia harus bekerja siang dan malam selama
bertahu-tahun, sekarang dia tampak sangat tua, kulitnya berkeriput, dan tubuhnya kurus kering.
Secara kebetulan, pada suatu hari pemilik kalung melihat dia sedang bekerja keras menyapu di
pinggi jalan. Kendati dia sudah banyak berubah, akhirnya pemilik kalung mengenalinya kembali.

Pemilik kalung bukan hanya terperana menyasikan penampilannya sekarang, namun juga kisahnya
mengenai mengapa Mathilda sampai menderita seperti ini. Kalung dahulu itu sebetulnya hanyalah
imitasi, bukan kalung yang sebenarnya. Karena itu, ketika Mathilda dulu mengembalikannya kepada
pemiliknya, pemiliknya tampak tidak begitu peduli. Demikianlah, Mathilda telah menyengsarakan
dirinya sendiri karena menyangka bahwa kalung itu dulu asli, dan untuk memertahankan
martabatnya, dia terpaksa menggantinya dengan kalung asli yang sangat mahal.

Klimaks terjadi ketika kalung hilang, seandainya kalung tidak hilang, penutup plot tentu akan
berbeda. Klimaks sebagai ekoran dari penokohan yang baik dan konflik yang baik, merupakan salah
satu kreteria untuk menentukan apakah sebuah karya sastra mutu estetiknya dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak.

Ada satu hal penting lain bagi penutup plot cerpen ini, yaitu surprice. Marthilda dan pembaca sama
sekali tidak menduga bahwa kalung itu hanyalah imitasi, dan karena itu, baik Martilda maupun
pembaca terkecoh. Sementara itu, pemilik kalung juga sama sekali tidak menduga bahwa kalung
yang dikembalikan Martilda benar-benar asli dan harganya mahal sekali.

Tokoh bulat, konflik, dan klimaks, merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah karya


sastra yang baik, namunsurprise, bukan merupakan tuntutan mutlak. Apakah sebuah surprise dapat
menambah nilai estetika atau tidak terpulang kepada hakikat masing-masing karya sastra. Beberapa
contoh justru menunjukkan bahwa surprise merupakan kelemahan karya sastra.

Salah satu contoh surprise yang justru memerlemah karya sastra tampak dalam cerpen Edith
Wharton, yang berjudul Demam Roma. Pada penutup plot baik pembaca maupun salah satu tokoh
dalam cerpen ini, Elida Slade, baru menyadari bahwa anak perempuan sahabat karibnya, Grace
Ansley, tidak lain adalah anak kandun Elida Slade sendiri. Surprise  di sini hanya berfungsi untuk
memberi kejutan kepada Elida Slade dan pembaca, tanpa fungsi lain yang lebih berbobot.

Menurut Kuntowijoyo, salah satu kelemahan sastra Indonesia adalah lemahnya konflik. Pengarang
tidak mampu menciptakan konflik yang bermakna, tidak lain karena pengarang adalah produk
masyarakat Indonesia, sementara masyarakat Indonesia cenderung menghindari konflik sehingga
berbagai masalah yang seharusnya dapat diselesaikan tidak pernah terselesaikan dan dibiarkan
berlarut-larut sampai hilang dengan sendirinya.

Contoh konflik yang lemah tampak dalam novel Nh. Dini, Namaku Hiroko. Tokoh sentral novel ini,
Hiroko adalah seorang gadis desa, melarat, namun cantik. Tujuan hidupnya hanya satu, yaitu hidup
dengan mudah, mempunyai banyak uang, tanpa bekerja keras. Dia sama sekali tidak memunyai
pertimbangan moral. Ketika dia menyerahkan diri kepada sekian banyak lelaki untuk mendapatkan
uang, dengan sendirinya dia sama sekali tidak mengalami konflik batin.

Seandainya Hiroko mempunyai prinsip moral yang sangat kuat, tentu tudak akan mau menyerahkan
diri pada laki-laki yang akan menjadikannya perempuan simpanan. Kalau dipaksa untuk menjadi
perempuan simpanan tanpa kemampuan untuk melawan, pasti dia akan dilanda oleh konflik batin
yang amat hebat. Karena Hiroko tidak mengalami konflik maka klimaks dan penutup plot yang
bermakna pun tidak ada.

Manun, karena pengarang adalah produk masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri adalah produk
kebudayaan, kreteria untuk menentukan nilai estetis sastra Indonesia khususya dan sastra Asean
pada umumnya, juga berbeda. Kriteria estetika Indonesia ditentukan oleh kebudayaan Indonesia
sendiri, tidak selamanya terikat oleh kebudayaan di luar Indonesia. Konflik dalam karya sastra tidak
perlu keras karena kebudayaan Indonesia sendiri berusaha untuk menghindari konflik.

Kembali kepada kriteria dalam penilaian yang digagas oleh Luxemburg bahwa pada dasarnya sama
yang digagas oleh Darma, perbedaannya terletak pada ulasan, kendati arah dan tujuan sama.
Menurut Luxemburg,

a. Ada kriteria yang mengaitkan karya sastra dengan pengarangnya. Ini nampak dalam
kriteria ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi pengarang
diungkapkan dengan baik. Juga dalam kriterium intensi:sebuah karya adalah baik bila
intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-
normanya. Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi, seperti yang
dilakukan oleh Romantik, maka kriterium ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai
sastra.
b. Kriteria yang mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin di
dalamnya: kriterium realisme atau mimesis, sebuah karya yang dinilai baik bila
kenyataan diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara tipikal (menampilkan ciri-ciri
yang khas). Bila seorang kritikus mengharapkan dari sastra, supaya kenyataan
diperjelas, maka kriterium inilah yang dipergunakan atau yang diutamakan. Pandangan
ini juga berpengaruh bila diharapkan agar sastra secara tidak langsung memantulkan
kenyataan. Kriteium ini berkaitan juga dengan kriteria kognitif yang mengukur mutu
sebuah karya sastra sekedar dengan pengetahuan yang disampaikan.
c. Kriteria yang langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra. Seorang
kritikus dapat mempergunakan kriteria politik, relegius atau moral. Sebuah karya dinilai
baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu
menyoroti situasi-situasi yang dianggap penting oleh pihak kritikus, sekalipun itu tidak
ditekankan oleh pengarang sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra
ditempatkan dalam biang pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar
sastra mengambil sikap yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri
dalam situasi itu.
d. Kriteria yang memerhatikan kemampuan karya untuk mengasyikkan pembaca, atau
yang dapat menarik peratiannya ataupun yang dapat mengharukan hatinya:
kriteria emotivitas. Dalam penelitian sastra yang berpangkal pada psikoanalisis
diarahkan perhatian kepada kemampuan sastra untuk mencairkan ketegangan dalam
hati pembaca, atau untuk mengalirkan atau bahkan memecahkannya.
e. Kriteria struktur memerhatikan susunan, keberkaitan, dan kesatuan karya sastra.
Kecenderungan untuk mengutamakan kriteria ini didukung oleh suatu pendekatan
terhadap sastra yang menitikberatkan karya sendiri, yang lebih memerhatikan
bagaimananya daripada apa-nya, jadi yang mendekati sastra secara estetik.
f. Kriteria tradisi menilai sebuah karya menurut daya pembaharuan atau justru sebaliknya,
sejauh karya itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan priode. Kriteria ini ditonjolkan
oleh kaum kritisi yang memusatkan perhatiannya kepada unsur kesastraan di dalam
sastra.

Bila seorang kritikus mempergunakan kreteria tertentu ini tidak dengan sendirinya menentukan
penilaiannya. Misalnya dalam pendekatan struktural, maka cara seorang menafsirkan unsur-unsur
tertentu memengaruhi juga penilaiannya. Apakah unsur-unsur tersebut memperkuat ataupun
mengganggu kesatuan karya. Unsur-unsur fiksional hendaknya menjamin bahwa perhatian
pembaca dapat bertahan terhadap tekanan fakta yang makin meningkat. Secara
struktural kesalahan, tadi bukan lagi suatu kesalahan, melainkan sebuah sarana konvensional-literer
yang dengan sengaja dipergunakan oleh pengarang yang mahatahu. Bila kita menyetujui pendapat
bahwa tugas sastra ialah menampilkan kenyataan, maka ini tidak berarti bahwa detail-detail yang
sama kita tafsirkan secara mimetik. Karya Henry Miller pernah ditafsirkan sebagai realistik, tetapi
pendapat yang sebaliknya pernah juga ditemukan.

C.   Penutup

Pembelajaran apresiasi sastra merupakan pembelajaran kognitif dan afektif yang bertujuan untuk
meningkatkan sikap kepekaan siswa terhadap karya sastra. Lebih jauh lagi, tujuan apresiasi
tersebut diharapkan mampu manusia yang menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk
itulah pembelajaran apresiasi sastra perlu memperhatikan banyak hal. Salah satunya mengenai
bahan pembelajaran karena hal itulah yang merupakan jembatan interaksi antara guru dan peserta
didik.
Kemampuan mengapresiasi sastra harus dikuasai oleh setiap orang, baik anak, orang tua,
mengapresiasi sastra dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting karena dapat memperoleh
informasi untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Begitu juga di sekolah, mengapresiasi
sastra mempunyai peranan penting karena dengan mengapresiasi sastra dapat menambah ilmu,
menerima dan menghargai pendapat orang lain.

Bahan ajar sastra yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran saat ini masih terbilang sedikit.
Selain itu, bahan ajar yang tersedia saat ini sulit dipahami oleh siswa, karena bahan ajar tersebut
cenderung menggunakan bahasa yang terkadang sulit dimengerti oleh siswa misalnya karena
penggunaan kata-kata arkhais. Hal ini tentu saja mampu menghambat keterampilan siswa dalam
mengapresiasi karya sastra melayu. Oleh karena itu dibutuhkan bahan ajar yang sesuai dan mudah
dipahami oleh siswa. Hal ini bertujuan untuk memudahkan siswa memahami isi kandungan yang
terdapat dalam karya sastra.

Daftar Pustaka

Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia lengkap. Jakarta. Hi-Fest Publishing.


Ahmadi, Muksin. l984. Strategi Belajar Mengajar, Ketrampilan Berbahasa dan Mengapresiasi Sastra
Indonesia. Jakarta : Depdikbud.
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Aminuddin. 2002.  Pengantar Apresiasi Karya Sastra..Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Aminuddin. 2006. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Arikunto, suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka cipta.
Atmosuwito, Subiyantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung : Sinar
Baru.
Danandjaja, James. 2002. Foklor Indonesia: Ilmu gossip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Graffiti.
Depdikbud. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas .2002. Kurikulum Berbasis Komputer SLTP. Jakarfa : Dharma Bhakti.
Depdiknas. 2005. Standar Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Standar Isi 2006 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD, SMP, SMA,
SMK. Jakarta: BSNP.
Djojosuroto, Kinayati dan Sumaryati. 2004. Prinsip-prinsip Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung:
Nuansa.
Djojosuroto, Kinayati dan Trully Wungouw (ed). 2005. Mozaik Sastra Indonesia : Dimensi Sastra dari
Pelbagai Perspektif. Bandung: Nuansa.
Dojosantoso. 1998. Unsur Religius dalam Sastra. Semarang : Aneka Ilmu.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas
Negeri Makassar.
Doyin, Mukh. 2005. Kata Baku Bahasa Indonesia. Semarang: Teras Pustaka.
Effendi, S. 1982. Bimbingan dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Endraswara, Suwardi. 2002. Metode Pengejaran Sastra. Yogyakarta: CV Raditya Buana.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Gani, Rizanur. 1998. Pengajaran Sastra Indonesia Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Harjito. 2005. Sastra dan Manusia, Teori dan Terapannya. Semarang : Rumah Indonesia.
Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Jakarta: Nusa Indah.
Kitao, Kenji. 1997. “Selecting and Developing Teaching/Learning Materials”. Journal International of
TESL, IV:4.
Mahmud, K. Usman. 1991. Sastra Indonesia dan Daerah. Bandung: Angkasa.
Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya.1982. Sastra dan Religtus. Jakarta: Sinar Harapan.
Mansoer. 2007. Collaborative Learning Via Email Discussion: Strategies for ESL Writing
Classroom. Journal International.
Mujiyanto. 1994. Sastra Perbandingan. Surakarta: UNS press.
Nadeak, Wilson. 1985. Pengajaran Apresiasi Puisi Untuk Sekolah Lanjutan Atas. Bandung: Sinar
Baru.
Ngafenan, Mohamad. 1990. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara Prize.
Nurgiyantoro, Burhan 2000. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Nursito.2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Rahayu, Sri. 1972. Kesusastraan Lama Indonesia. Surakarta: Widya Duta.
Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riyanto Yatim. 1995. Metodologi Penelitian Pendidiknn, Suatu Tinjauan Dasar. Surabaya: SIC
Surabaya.
Semi, Atar. 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Somad, Abdul Hadi. 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Bandung: Pusbuk.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugiarto, Eko. 2009. Mengenal Pantun dan Puisi Lama. Yogyakarta: Pustaka Widyatma.
Suharianto, S. 1981. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Suharianto, S. 2005. Dasar-Dasar Teori Sastra. Semarang : Rumah Indoneia.
Sukasworo dan Sartini. 1990. Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA. Yogyakarta:
Kanisius.
Sumardjo, Jakob. 1994. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta,: Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: ITB.
Supardo, Nursinah. 1956. Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Fasco.
Surana dkk. 1987. Himpunan Materi Sastra. Solo: Tiga Serangkai.
Surana, FX. 1980. Teori dsn Apresiasi Sastra Indonesia. Solo : Tiga Serangkai.
Suseno, Tusiran. 2008. Mari berpantun. Depok: Yayasan Panggung Melayu.
Suyitno. 1985. Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa. Yogyakarta:
Hanindita.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa.
Tim Penyusun. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta,: Balai pustaka.
Wahyudi, Ibnu (ed). 1990. Konstelasi Sastra. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Waluyo, J. Herman. 1992. Apresiasi dan Pengajaran Sastra. Surakarta : UNS Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraani. Jakarta: Gramedia.
Yassin, HB. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung.
Zainuddin. 1991. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai