Anda di halaman 1dari 5

Embryo Manusia, Suatu Ras Baru?

Ada satu kejadian menarik. Pada zaman penemuan dunia baru, yakni benua

Amerika di sekitar zaman Christopher Columbus, para pendatang baru untuk pertama

kalinya bertemu dengan penduduk asli yang, dengan kesalahpahaman mereka sebut

sebagai Indians. Para Indian ini memiliki budaya yang jauh berbeda, tingkah laku,

bahasa, warna kulit, dan struktur wajah yang berbeda dengan para Europeans-

Caucasians waktu itu. Mereka kemudian menjajah dan memperbudak para Indian itu.

Anehnya, sambil memperbudak sesamanya manusia, para Caucasians itu

melontarkan suatu pertanyaan konyol, “Are those Indians human beings?” Pertanyaan

konyol ini kemudian berkembang menjadi debat filosofis-teologis berkepanjangan,

bahkan sampai menimbulkan perseteruan sengit. Akhirnya, Paus Pius III, dengan bulla

Sublimis Deus (1537), menentang keras perbudakan para Indian itu dan menyatakan

dengan tegas bahwa “the Indians themselves indeed are true men.” Bulla ini

menghentikan perdebatan dan berangsur-angsur namun pasti mengurangi perbudakan.

Dunia berkembang pesat, abad demi abad berlalu. Zaman teknologi super canggih

menguasai dunia. Dunia mikroskopis yang dahulu menjadi rahasia besar bagi manusia

menjadi suatu dunia tour yang menarik bagi para ilmuwan. Mereka menjelajah tanpa

kenal lelah dunia mikro ini. Suatu waktu mereka berhasil menemukan ovum dan sperma,

kemudian mereka mengerti proses pembuahan dan perkembangan embryo. Saat itulah

mereka dikejutkan oleh rupa embryo manusia dan melontarkan pertanyaan sama yang

dilontarkan pendahulu mereka, “Apakah embryo ini manusia?”

Inilah pertanyaan dasar yang menjadi debat dalam dunia bio-ethics, khususnya

dalam problem cloning dan human embryonic stem-cell research (hES-cell). Beberapa

1
waktu yang lalu konggres Amerika sudah menyetujui kembali embryonic stem-cell

research yang sempat ditunda penyelesaian masalahnya. Dana federal mengucur untuk

“proyek kemanusiaan” ini. Beberapa bulan sebelum konggres Amerika menyetujui

embryonic stem-cell research, para ahli di Korea dari Seoul National University dalam

kerjasamanya dengan para ahli dari University of Pittsburg School of Medicine

mengumumkan keberhasilannya memproduksi sebelas human embryonic stem-cells (sel

batang embryonik manusia).

Mengapa hES-cell research ini menarik sangat perhatian publik? Ini karena hES-

cell research menjanjikan suatu bentuk “obat” baru, yakni regenerative medicine (cf. Ed.

Suzanne Holland et al., The Human Embryonic Stem Cell Debate, 2002). Obat ini bukan

menyembuhkan penyakit dari luar dengan bahan kimia, tapi dari “dalam” yakni dengan

menggantikan sel-sel yang rusak. Misalnya, diabetes, yang adalah penyakit karena

rusaknya sel-sel pankreas, bisa disembuhkan dengan menanamkan dan menumbuhkan

sel-sel pankreas baru dari hES-cells untuk mengganti sel yang rusak itu. hES-cell,

menurut teori, bisa dikembangkan menjadi berbagai macam jenis sel-sel manusia.

Menurut teori pula, sel-sel inilah yang akan “dikembangbiakkan” untuk mensuplai

kebutuhkan regenerative medicine yang spektakuler itu. Inilah janji kesembuhan yang

dengan hingar bingar diiklankan pada publik sebagai proyek kemanusiaan.

Lalu apa masalahnya hES-cell research? Masalahnya mereka menggunakan dan

menghancurkan embryo manusia. Dengan istilah teknis-rumit yang membuat para awam

dunia mikrobiologi tidak mengerti, seperti: zygote, blastocyst, morula, para ahli tersebut

mencoba meyakinkan publik untuk melegitimasi dan mendanai karya mereka. Mereka

hanya berargumen bahwa blastocyst itu hanyalah sekumpulan sel (a cluster of cells).

2
Oleh karena itu blastocyst ini bisa dibedah (dihancurkan) untuk diambil stem-cells-nya.

Untuk kepentingan research yang dengan jelas banyak terjadi trials and errors, ribuan

blastocysts akan menjadi korban penghancuran. Padahal blastocyst adalah nama lain dari

embryo manusia yang sedang berkembang dalam usia lima hari. Benarkah bahwa

blastocyst itu hanya sekumpulan sel? Ataukah para ahli itu sedang melontarkan kembali

pertanyaan dasar di atas, “Apakah embryo itu manusia?” Pertanyaan ini sama dengan

pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah bayi itu manusia? Apakah orang cacat mental itu

manusia? Apakah orang tua renta itu manusia? Apakah orang koma itu manusia?

Kita sering terjebak dengan appearances dalam mengkategorikan sesama kita

sebagai manusia ataupun bukan (bdk. Luk 10: 25-37). Ini sama sekali tidak tepat.

Manusia itu berkembang dan berubah dalam penampilannya. Systems biology

menyebutkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang mulai dari tahap molekuler-

embryonik sampai dengan saat kematiannya (cf. N.P.G. Austriaco, O.P., On Static Eggs

and Dynamic Embryos: A Systems Perspective, NCBQ 2002). Jadi zygote atau embryo

atau apapun bentuk dan namanya (termasuk blastocyst) adalah manusia. “Sejak

pembuahan kehidupan manusia baru sudah dimulai,” kalimat ini mengawali penjelasan

detail embryologi dari Keith L. Moore & T.V.N. Persaud, The Developing Human:

Clinically Oriented Embryology, 1998. Jadi embryo adalah manusia dalam tahap awal

perkembangannya. Manusia yang memiliki hak hidup yang sama dengan kita. Manusia

yang sudah bertumbuhkembang dalam tahap tertentu.

Di sisi lain, jika para ahli itu demi ilmunya tetap berpendapat bahwa embryo

dalam usia lima hari (blastocyst) adalah bukan manusia dan hanya sekumpulan sel; maka

di sini kita mengalami kerancuan logika yang sangat parah! Sains sudah mulai mencoba

3
meredefinisi eksistensi kita sebagai manusia. Apakah dari sesuatu yang bukan manusia

akan menjadi manusia? Tidak mungkin. Tidak mungkin kita menanam anggur yang

keluar adalah durian. Kucing tidak mungkin menjadi dinosaurus. Apa yang bukan

manusia tidak bisa menjadi manusia dalam perkembangannya. Embryo manusia adalah

manusia dalam tahap awal perkembangannya dan akan berkembang menjadi manusia,

seperti kita.

Dalam dunia etika ada prinsip penting: ends do not justify the means. Tujuan tidak

menghalalkan segala cara. Kita tidak bisa membunuh dan mengambil jantung orang

hidup dan sehat, untuk menggantikan jantung saudara kita yang sudah rusak fungsinya.

Dengan berdasarkan prinsip ini, kita tidak dapat menyembuhkan penyakit manusia

dengan janji regenerative medicine dari hES-cells dengan mengorbankan manusia yang

lain, dalam hal ini masih berupa embryo. Embryo bukanlah ras baru yang patut kita

curigai keberadaannya sebagai manusia. Kita tidak patut melontarkan pertanyaan yang

tidak bijak seperti yang dilontarkan oleh para penemu benua Amerika ratusan tahun yang

lalu. Embryo adalah sesama kita. Embryo mempunyai hak hidup yang sama dengan kita.

Kehidupan manusia baru dalam rupa embryo di dalam rahim patutlah kita sambut dengan

hormat dan gembira. Sains adalah untuk manusia. Manusia tidak bisa dikorbankan begitu

saja dengan brutal di altar sains. Jika kita gagal menghormati martabat manusia dalam

rupa embryo, kita juga pasti akan mengalami kegagalan besar dalam menghormati

martabat orang lain yang setiap hari berhadapan dengan kita. Semoga tidak. Kita

dipanggil untuk merenungkan Firman Allah, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam

rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau.” (Yer 1:5).

4
Pengirim:

Benny Phang O.Carm


Whitefriars Hall
1600 Webster St, NE
Washington, DC 20017
U.S.A.

Anda mungkin juga menyukai