Anda di halaman 1dari 3

Membaca Neruda dan Belajar

Menyembuhkan Lukaku yang Meruak


(Javier Zamora dalam “How Poetry Helped Him Break the Silence”)

Kapan dan bagaimana kamu mulai bercerita tentang dari mana kamu dan keluargamu
datang? Mengapa kamu berada di negera lain? Dan mengapa harus kamu?

Tumbuh besar di San Rafael, California, setelah bermigrasi sendirian dari El Savador pada
usia sembilan tahun, aku tak pernah bertanya pertanyaan ini. Aku tidak berani. Sejak aku
melintasi perbatasan Padang Sonoran, pada 10 Juni 1999—bukan, jauh sebelum itu
lagi—sejak pagi hari saat aku mengucapkan perpisahan pada kakekku, dari belakang bus
dekat perbatasan Guatemala-Meksiko, aku tahu tak akan pernah membicarakan apa yang
akan terjadi.

Aku takkan melihat kakek untuk 6 tahun, dan nenek untuk 19 tahun. Saat aku berjumpa
dengan orang tuaku di US pada 11 Juni 1999, mereka bilang agar aku tak menceritakan
kepada siapa pun bahwa aku lahir di negara lain, tentang aku yang masuk secara ilegal,
tentang apa yang kualami selama dua bulan ketika tak ada yang tahu keberadaanku. Itu
menjadi rahasiaku.

Sebelum aku punya alat (pena dan kertas puisi) untuk mengulang, menganalisa, merevisi
traumaku sebagai pengungsi, aku menyimpan seluruh amarah jauh dalam hati. Aku ingin
melupakan apa yang sudah kualami, tapi cara kerja trauma tidak seperti itu. Aku pikir tak
seorang pun—tidak orang tuaku, temanku, atau konselor terbaik—dapat mengerti apa
yang kualami. Aku percaya bahwa akulah satu-satunya anak berumur sembilan tahun
yang bermigrasi seorang diri, menyeberangi lautan, tiga negara, dan padang pasir. Seperti
yang dideskripsikan Mahtem Shiferraw dalam puisinya, Talks about Race ‘Berbicara
tentang Ras,’

“Aku (tak) mengerti bagaimana menyesuaikan, menyesuaikan diri dalam batas-batas


baru— / pengembara sepertiku tak punya tempat pulang, tak mungkin memiliki.”

Aku mulai mabuk-mabukan dan bergaul dengan orang yang salah di komplek apartemen.
Memakai warna geng tertentu. Teman-teman dan aku bukan gangster sungguhan; kami
hanya ingin disambut. Aku bisa saja menjadi siswa teladan di sekolah menengah, tapi
kelakuanku menghalangi itu. Suatu waktu, aku melempar sebotol air ke guru kelas tujuh.
Berkali-kali aku dikeluarkan dari kelas karena berbicara vulgar agar yang lain tertawa.
Aku butuh perhatian. Butuh didengar. Aku ingin seseorang bertanya apa yang salah
denganku, dan sungguh-sungguh akan itu. Pertanyaan yang dapat membuatku jatuh dan
menangis di depan mereka. Namun tak pernah terjadi.

Kala sma, aku membiarkan puisi menemukanku. Guru bahasa Inggris tahun terakhirku,
Nina, menghabiskan tiga minggu penuh untuk materi ini; ia bahkan membawa seorang
penyair, Rebecca Foust, ke kelas. Rebeccalah yang mengenalkanku ke Pablo Neruda.
Seperti halnya orang tua Amerika Latin lain, orang tuaku punya sebuah CD Twenty Love
Poems and a Song of Despair ‘20 Puisi Cinta dan 1 Nyanyian Putus Asa’ versi Spanyol, yang
mana kubenci. Namun, dalam kelas itu, melihat bahasa Spanyol dan Inggris ada pada
halaman yang sama seperti sihir. Itulah momen pertama kedua sisi identitasku ada
berdampingan.

Ketika Neruda berbicara tentang lanskap Chili, itu mengingatkanku kepada rumah. “Mi
Tierra (My Land)” adalah puisi pertama yang secara sadar kutuliskan. Aku mulai
menemukan kembali apa yang kucoba untuk lupakan. Neruda mengenalkanku ke Roque
Dalton, Claribel Alegria, Sharon Olds, June Jordan, Yusef Komunyakaa, Charles Simis, dan
akhirnya kepada penyair dalam antologi Ink Knows No Borders ‘Tinta Tak Kenal Batas’.
Puisi menunjukkan bahwa aku tak sendiri.

Aku menghabiskan masa kecil di El Salvador; tapi seperti dikatakan Li-Young Lee dalam
puisinya, A Hymn to Childhood ‘Himne untuk Masa Kecil,’ aku hanya tak tahu “masa kecil
mana” yang dimaksud. Apakah itu yang “tak pernah berakhir,” yang aku “tak pernah
melarikan diri” darinya? Tentu saja itu yang “tak bertahan lama.” Aku menukar petak
umpet bersama teman-teman, dengan bersembunyi dari pihak berwenang, di kapal, di
bawah bus, di bawah semak-semak.

Yang menuntunku adalah harapan untuk melihat orang tuaku lagi. Pada akhirnya aku
berhasil bertemu ayah yang pergi sejak umurku beranjak dua tahun. Ayah yang
menggendongku di pundaknya saat berlari menuju lapangan bola sebelum mulai
permainan. Di atas kertas, karena puisi, aku bisa menulis kenyataan itu, gambar-gambar
yang pernah kudengar. Aku bisa mengulang saat tangan ibu mengusap kepalaku sebelum
tidur.

Puisi membiarkanku untuk mengetuk memori-memori ini dan banyak lagi. Puisi
mengajarkanku bahwa tak masalah untuk membuka diri. Tak masalah untuk melihat ke
dalam dan meminta pertanggungjawaban orang-orang di sekitar kita. Mengajarkanku
bahwa berbicara adalah langkah awal untuk penyembuhan.

Aku tak mengatakan bahwa puisi bisa memperbaiki segalanya, bahwa aku telah
sepenuhnya sembuh, tapi itu adalah awal dari jalan panjangku menuju penyembuhan.
Dalam puisinya, Someday I’ll Love Ocean Vuong ‘Suatu Hari Aku Akan Mencintai Ocean
Vuong’, Ocean Vuong menulis, “ujung jalan jauh di depan / itu sudah di belakang kita” dan
“bagian terindah dari tubuhmu / adalah ke mana ia menuju”. Aku bisa melihat akhirnya
sekarang.

Aku mulai menulis artikel ini di luar rumah masa kecilku di El Salvador, Juli 2018 lalu,
dengan kodok-kodok dan burung-burung di sekitar. Rumahku berada di jalur
penerbangan dari bandara. Aku ingat pernah membayangkan, saat bocah, bahwa semua
pesawat adalah menuju Bandara San Francisco. Empat atau lima kali sehari, aku akan
melihat ke atas, melihat wajah orang tuaku di ujung landasan. Itu tak terjadi kepadaku
saat berumur sembilan; aku tak mengalami keistimewaan seperti yang Lena Khalaf sebut
dalam puisinya Immigrant ‘Imigran’ saat meninggalkan tanah airku “di atas karpet ajaib
biru tua(ku) / paspor US”.

Namun, pada 11 Juli 2018 yang lalu, pada usia 28 tahun, aku kembali ke California dengan
pesawat. Aku berada di El Salvador untuk wawancara visa EB-1, sebuah Kartu Hijau. Sulit
untuk kembali ke negaraku setelah 19 tahun. Beberapa malam aku terbangun oleh
tembakan. Pada pagi hari, lonceng gereja menandakan kematian lain. Sulit untuk melihat
seberapa banyak kotaku berubah, seberapa banyak aku berubah. Seperti yang ditulis
Craig Santos Perez dalam puisinya Off-Island Chamorros ‘Pulau Mati Chamorros,’ “Aku
(merasa) asing di tanah air(ku)”.

Aku berada di sana selama empat minggu, tiga minggu tanpa tahu apakah akan lulus
wawancara visa atau tidak. Namun aku lulus; puisilah yang mengantarku kuliah dan
memberiku penghargaan yang diperlukan untuk memungkinkanku melamar “Visa
Einstein”. Minggu-minggu itu, ketika aku tak tahu apakah akan diizinkan kembali ke AS,
adalah sebuah berkah dapat membaca puisi di tanah airku. Adalah berkah memiliki alat
untuk memproses kisah migrasiku, dan cerita-cerita itu, yang pernah ada dalam berita.

Negara kami belum berubah. El Salvador masih berbahaya, kami akan terus bermigrasi.
Kami hanya ingin dilihat. Itu memberiku kenyamanan untuk mengetahui, bahwa
beberapa cerita kami eksis, dengan cara kami sendiri, dalam suara kami sendiri, pada
antologi seperti Ink Knows No Borders ‘Tinta Tak Kenal Batas’.

Anda mungkin juga menyukai