Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral, bukan hanya
dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke-islaman namun juga
merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang sejarah.
[1] Kitab suci ini diturunkan Allah kepada nabi pamungkas, Muhammad saw lengkap
dengan lafal dan maknanya, diriwayatkan secara mutawatir, memberi faedah untuk
kepastian dan keyakinan, ditulis dalam kitab suci mulai awal surat al-fatihah sampai
akhir surat an-nas (Mushaf Usmany), diperintahkan untuk disampaikan kepada
umatnya, sebagai pedoman dan tuntunan hidup bagi umat manusia. Dasar dari ajaran
islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok
akhlak dan perbuatan dapat dijumpai dalam sumbernya yang asli di dalam ayat-ayat
Al-Qur’an. Quraish Shihab menyebutkan bahwa agama Ialam mempunyai satu sendi
utama yang esensial, yaitu Al-Qur’an yang berfungsi memberikan petunjuk ke jalan
yang sebaik-baiknya.
Al-Qur’an merupakan sumber yang otentik dan yang pertama dijadikan
pedoman bagi pembentukan hukum syari’at Islam. Dan merupakan wahyu ilahi yang
benar dan abadi yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka dengan
keotentikan dan kedudukannya sebagai sumber utama hukum islam menutut kita
umat Islam untuk mengkaji dan mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-
Qur’an.[2]
Studi Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada
kaitannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam yang berlaku
sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas. Inilah yang
membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus perbedaan Al-Qur’an dengan kitab

1 Rohiminm, Metode Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 84.
2 Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV. Pustaka, 2008), hal. 32-34.

1
suci lainnya. Pengkajian studi ini sangatlah penting bagi umat islam khususnya, agar
dapat mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam kitab suci tersebut. Untuk
memudahkan dalam membahas kajian ini, penulis akan memberikan batasan-batasan
pada makalah ini. Adapun yang menjadi objek pembahasan makalah ini meliput,
definisi Al-Qur’an, wahyu dan ilham, kajian Al-Qur’an di kalangan muslim generasi
awal, pendekatan dalam studi Al-Qur’an, perkembangan mutakhir, dan kontribusi
para ilmuan barat dalam studi Al-Qur’an.
Pendekatan keilmuan yang digunakan tersebut, dapat dilakukan hanya satu
keilmuan atau bisa saja dilakukan secara gabungan. Contoh studi tafsir Al-Qur’an;
pendekatan filosofis, atau studi tafsir Al-Qur’an; pendekatan hukum. Tetapi bisa juga
merupakan gabungan dua atau tiga keilmuan dalam satu studi tafsir misalnya tafsir
social politik karya Su’bah Asa. Dengan pendekatan multidimensional diharapkan
muncul sikap-sikap terbuka, luas wawasan, kritis dan tidak fanatis dalam memahami
ajaran-ajaran keislaman secara mendalam dan terbuka. Posisi Al-Qur’an merupakan
sentral dalam studi Islam, karena Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran agama
Islam.[3]
Studi-studi terhadap Al-Qur’an meliputi tentang bagaimana Al-Qur’an
diturunkan, bagaimana Al-Qur’an dihapal dan dituliskan atau kodifikasi Al-Qur’an,
bagaimana Al-Qur’an dipahami, bagaimana sifat dasar bahasa Al-Qur’an, berapa
jumlah ayat dalam Al-Qur’an, bagaimana cara membaca Al-Qur’an, bagaimana
model-model pengungkapan Al-Qur’an melalui kata-kata dan kalimat dalam untaian
ayat-ayat Al-Qur’an, bagaiamana memahami kandungan Al-Qur’an dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berinisiatif melakukan penulisan ilmiah
dengan formulasi judul: Islam Sebagai Agama Wahyu.

1.2 Rumusan Masalah


3 Baharuddin dan Buyung Ali, Metode Studi Islam (Bandung: Cita Pustaka, 2005),  hal 41-42.

2
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana defenisi wahyu Al-Qur’an?
2) Apa fungsi Al-Qur’an bagi umat Islam dan seluruh umat manusia di dunia?
3) Bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan Ijma’ dan Qiyas sebagai dasar hukum
Islam?
4) Bagaimana pendekatan pokok dalam studi Al-Qur’an?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendeskripsikan defenisi wahyu Al-Qur’an.
2) Untuk menjelaskan fungsi Al-Qur’an bagi umat Islam dan seluruh umat manusia
di dunia.
3) Untuk mengetahui bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan Ijma’ dan Qiyas
sebagai dasar hukum Islam.
4) Untuk mengetahui pendekatan pokok dalam studi Al-Qur’an.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan ini adalah
1. Untuk memperoleh pengalaman serta dapat menambah pengetahuan dan wawasan
berpikir penulis tentang masalah yang dikaji.
2. Diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan konsep-
konsep dalam studi Islam dan studi Al-Qur’an.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wahyu Al-Qur’an


Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang berarti suara, api dan kecepatan.
Disamping itu juga ia mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Lebih jauh
Harun Nasution menyebutkan “Al-wahy selanjutnya mengandung arti pembeitahuan
secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa
yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.[4] Sehingga dalam kata wahyu
terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang-orang yang menjadi pilihan-
Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Dimana
sabda Tuhan tersebut mengandung pelajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan
umat manusia dalam perjalanan hidup baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam
Islam, wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw
terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.[5]
Abu Anwar menjelaskan bahwa kata wahy dan derivasinya di dalam Al-
Qur’an disebut sebanyak 78 kali. Kata wahy yang dalam bahasa Indonesia disebut
“wahyu” merupakan bentuk mashdar yang berasal dari akar kata wâw, hâ’ dan yâ’.
Makna awal dari kata wahy adalah “isyarat yang cepat”. Ia bisa berupa ucapan dalam
bentuk lambang dan isyarat, atau dalam bentuk suara yang tak tersusun, atau juga
berupa isyarat anggota badan. Karena wahy memiliki dua ciri utama, yakni “samar”
dan “cepat”, maka secara etimologis kata tersebut kerap diartikan sebagai
“pemakluman secara samar, cepat, dan terbatas Secara leksikal, wahyu memiliki
makna yang beragam. Yang paling komprehensif dan sempurna dari seluruh makna
tersebut adalah perpindahan pengetahuan kepada pikiran orang yang dituju secara

4 Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal.


20.
5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyrakat (Bandung: Mizan1992), hlm. 86.

4
cepat dan rahasia sedemikian sehingga tersembunyi dan tidak nampak bagi semua
orang.[6]
Selanjutnya, disebutkan bahwa menurut etimologi (bahasa) adalah
memberitahukan secara sama, atau dapat diartikan juga dengan tulisan, tertulis,
utusan, ilham, perintah dan isyarat. Sedangkan menurut terminology (syariat) adalah
memberitahukan hukum – hukum syariat, namun terkadang yang dimaksud dengan
wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. Adapun pengertian “permulaan turunnya wahyu” adalah
segala sesuatu yang berkenaan dengan permulaan turunnya wahyu.[7]
Dari pemaknaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wahyu memiliki
enam makna yakni, (1) bisikan, (2) suara yang tak terdengar, (3) isyarat, (4) tulisan,
(5) risalah dan utusan, dan (6) ilham.[8]
Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah SWT berbicara kepada para hamba-Nya
dengan tiga cara. Pertama, Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa
perantara. Kedua, Dia membuat mereka menyaksikan pandangan gaib (kasyaf) dalam
keadaan tidur, yang dapat ditakwilkan atau tidak atau kadang-kadang membuat
mereka mendengar kata- kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka
tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka (ilham). Inilah makna kata
“dari belakang tabir”. Ketiga, Tuhan mengutus seorang rasul atau seorang malaikat
yang menyampaikan amanat-Nya.
Dalam prakteknya, semua cara Allah Taala bercakap-cakap kepada para
hamba-Nya itu, pada umumnya orang menyebut dengan istilah ‘wahyu’. Dengan
wahyu itu, Dia menampakkan wujud dan keagungan-Nya kepada mereka.
Penjelasan tentang tata cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi,
diberikan oleh al- Qur'an sendiri. Salah satu ayat dalam QS. Asy-Syura/42 : 51
sebagaimana berikut ini.

6 Moh. Ali Aziz dan Bambang Subandi, Pengetahuan tentang Al-Qur’an (Surabaya, Fakultas
Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009), hal. 16.
7 Ibid
8 Rohimin, Metode Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 14.

5
“Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan
wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk
mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sesungguhnya Ia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana”
Al-Qur’an secara terminologi merupakan Kalamullah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi umat Islam. Al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT,
sampai saat ini Al-Qur’an terus dijaga keasliannya dan terus dibukukan dengan
menggunakan bahasa Arab.
Rohimin mengungkapkan, Al-Qur’an tidak berasal dari kata apa pun dan tidak
ditulis dengan hamzah. Lafadz Al-Qur’an menurutnya sudah lazim digunakan untuk
pengertian firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain
dari Al Farra mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari qarain yang merupakan
bentuk jamak dari qarinah yang artinya “kaitan”. Ini sesuai dengan makna dan
kandungan ayat Al-Qur’an yang berkaitan satu dengan lainnya.[9]
Saat ini Al-Qur’an banyak diterjemahkan ke bahasa asing seperti bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris namun bahasa asli Al-Qur’an yaitu bahasa Arab tetap
dipertahankan untuk menjaga keasliannya. Hal ini perlu dilakukan karena setiap
bahasa memiliki makna tersendiri yang kadang tak bisa langsung diterjemahkan
dalam bahasa lainnya.
Rohimn menyatakan bahwa al-Qur'an adalah firman Allah SWT yang mu’jiz,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam
mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya,
diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.  Kata al- Qur'an
selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah kitab yang komplit lagi sempurna dan
mencakup segala-galanya termasuk sistem hidup kemasyarakatan manusia, ilmu

9 Ibid

6
pengetahuan dan teknologi modern, timbul dari ayat-ayat Al-Qur’an sendiri yang
salah satu penafsirannya dapat membawa pengertian demikian. 

2.2 Fungsi Al-Qur’an


Setelah melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Qur’an
mempunyai kekhususan dan keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Maka apabila ada
sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Qur’an, maka tidak bisa
dikatakan sebagai Al-Qur’an. Adapun kekhususan dan keistimewaan menurut
Syarmin Syukur sebagai berikut:[10]
a. Bahwa Al-Qur’an baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT. Dan Rasul
SAW dalam hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia
diturunkan Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis dengan
apa yang ada sekarang ini.
b. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan uslub bahasa.
c. Bahwa Al-Qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan
ilmu yang qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang
sah.
Dari uraian tersebut di atas, kemudian muncul sebuah pertanyaan, apa sih
fungsi Al-Qur’an sesungguhnya dalam kehidupan kita ini? Sepanjang perjalanan
hidup manusia, fungsi Al-Qur’an bukan hanya bacaan (apalagi hanya dibaca tanpa
dipahami), syair (apalagi hanya disyairkan tanpa diamalkan), pajangan, jimat, mantra,
dan lain-lain. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
perantaraan Malaikat Jibril, bertujuan agar wahyu Illahi ini dijadikan sebagai
pedoman hidup seluruh umat manusia.
Setiap apa yang Allah berikan kepada kita pasti ada tujuannya dan fungsinya,
karena Allah tidak pernah berbuat sia-sia. Begitu juga dengan Al-Qur’an yang Allah
turunkan. Di dalam Al-Qur’an, Allah telah menerangkan fungsi Al-Qur’an itu sendiri,
sebagaiman firman Allah dalam QS. Yunus : 57. “Hai manusia, sesungguhnya telah
10 Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal. 28.

7
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman”.
Melalui ayat di atas, dapat dipahami bahwa, fungsi Al-Qur’an dalam agama
Islam antara lain:[11]
1. Al-Huda (Petunjuk)
Di dalam Al-Qur’an, ada tiga posisi Al-Qur’an yang fungsinya sebagai petunjuk.
Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia secara umum, petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa, dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Jadi Al-
Qur’an tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat Islam saja tapi bagi manusia
secara umum. Kandungan Al-Qur’an memang ada yang bersifat universal seperti
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan itu bisa menjadi petunjuk bagi
semua orang tidak hanya orang yang beriman Islam dan bertakwa saja.
Petunjuk bagi orang yang beriman berarti bagi orang yang memiliki iman Islam
dalam dirinya yaitu yang mengakui bahwa Muhammad sebagai utusan Allah dan
Allah sebagai satu-satunya Tuhan Semesta Alam. Sedangkan untuk orang yang
bertakwa berarti bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Beberapa kali di Al-Qur’an dituliskan tentang
kepada siapa ayat atau sebuah perintah ditujukan, apakah bagi orang yang
beriman atau bagi orang-orang yang bertakwa.
2. Al-Furqon (Pemisah)
Nama lain Al-Qur’an adalah Al-Furqon atau pemisah. Ini berkaitan dengan fungsi
Al-Qur’an lainnya yang dapat menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil,
atau antara yang benar dan yang salah. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan berbagai
macam hal yang termasuk kategori salah dan benar atau hak dan yang batil.
Jadi jika sudah belajar Al-Qur’an dengan benar maka seseorang seharusnya dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah. Misalnya saja saat mencari

11 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Surabaya Press, 2012), hal. 32.

8
keuntungan dengan berdagang, dijelaskan bahwa tidak benar jika melakukan
penipuan dengan mengurangi berat sebuah barang dagangan. Begitu juga dengan
berbagai permasalahan lainnya yang bisa diambil contohnya dari ayat-ayat Al-
Qur’an.
3. Al-Asyifa (Obat)
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan obat bagi penyakit
yang ada di dalam dada manusia. Penyakit dalam tubuh manusia memang tak
hanya berupa penyakit fisik saja tapi bisa juga penyakit mental atau psikologis.
Perasaan manusia tidak selalu tenang, kadang merasa marah, iri, dengki, cemas,
dan lain-lain.
Seseorang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya dapat terhindar dari
berbagai penyakit hati tersebut. Al-Qur’an memang hanya berupa tulisan saja tapi
dapat memberikan pencerahan bagi setiap orang yang beriman. Saat hati
seseorang terbuka dengan Al-Qur’an maka ia dapat mengobati dirinya sendiri
sehingga perasaannya menjadi lebih tenang dan bahagia dengan berada di jalan
Allah.
4. Al-Mau’izah (Nasihat)
Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pembawa nasihat bagi orang-orang yang
bertakwa. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak pengajaran, nasihat-nasihat,
peringatan tentang kehidupan bagi orang-orang yang bertakwa, yang berjalan di
jalan Allah. Nasihat yang terdapat di dalam Al-Qur’an biasanya berkaitan dengan
sebuah peristiwa atau kejadian, yang bisa dijadikan pelajaran bagi orang-orang di
masa sekarang atau masa setelahnya.
Nasihat dan peringatan tersebut penting karena sebagai manusia kita sering
menghadapi berbagai masalah dan cara penyelesaiannya sebaiknya diambil dari
ajaran agama. Bagaimana cara kita menghadapi tetangga, suami, orang tua, dan
bahkan musuh kita telah diajarkan dalam Al-Qur’an.

9
Di dalam kehidupan sehari-hari pun, Al-Qur’an memiliki beberapa fungsinya,
sebagaimana yang akan dijelaskan berikut:[12]
1. Sebagai petunjuk jalan yang lurus
Jalan yang lurus adalah jalan Islam yang mengajarkan umatnya untuk berakhlak
mulia sekaligus menjalankan ibadah dengan baik. Banyak umat manusia yang
kadang kebingungan harus berbuat apa lagi di dunia ini, dan tak sedikit yang
kemudian terperosok ke jalan yang salah. Misalnya orang-orang yang melakukan
perbuatan kriminal atau menggunakan narkoba.
Al-Qur’an memberikan petunjuk agar umat manusia dapat terus berjalan di jalan
yang lurus. Di dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan mana yang salah dan yang
benar, serta peringatan-peringatan agar terus bertakwa kepada Allah SWT.
2. Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW
Jika nabi-nabi lainnya mendapatkan mukjizat yang terlihat jelas seperti dapat
berbicara dengan binatang, menyembuhkan orang sakit, dan lainnya maka Nabi
Muhammad SAW diberikan mukjizat yang sedikit berbeda yaitu Al-Qur’an yang
merupakan kitab suci umat Islam. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala
sumber hukum dan penyempurna dari kitab-kitab yang terdahulu. Meskipun Nabi
Muhammad SAW tidak dapat membaca dan menulis namun Allah menjaga Al-
Qur’an yang diwahyukan kepada beliau.
3. Menjelaskan kepribadian manusia dan yang membedakannya dari makhluk
lainnya
Di dalam Al-Qur’an disebutkan tentang manusia yang memiliki berbagai sifat
baik itu sifat yang baik dan buruk. Selain itu manusia juga dikaruniai akal yang
membuatnya berbeda dari binatang. Allah SWT menjadikan manusia sebagai
pemimpin di dunia ini. Sebagai pemimpin manusia seharusnya dapat memiliki
akhlak-akhlak yang baik bukannya malah berperilaku seperti binatang.
Mengamalkan Al-Qur’an akan membuat kita menjadi manusia yang bertakwa dan
berakhlak mulia.
12 Ibid

10
4. Merupakan penyempurna bagi kitab-kitab Allah yang telah turun sebelumnya
Umat Islam percaya dengan adanya kitab-kitab Allah yang telah turun sebelum
Al-Qur’an, yaitu Taurat, Injil, dan Zabur. Namun tetap Al-Qur’an yang wajib
dipelajari karena merupakan penyempurna dan digunakan sampai akhir zaman.
Kitab-kitab Allah sebelumnya ditujukan hanya pada umat pada zaman tersebut
saja, berbeda dengan Al-Qur’an. Allah akan menjaga keaslian Al-Qur’an melalui
para umat yang hafal Al-Qur’an dan mengamalkannya.
5. Menjelaskan masalah yang pernah diperselisihkan umat sebelumnya
Al-Qur’an turun pada saat zaman Nabi Muhammad masih hidup. Firman yang
turun tersebut akan berkaitan dengan kejadian pada saat itu. Misalnya saja
perselisihan suatu kaum, atau cerita tentang kaum sebelumnya yang mendapatkan
teguran dari Allah SWT.
Berdasarkan kisah umat terdahulu kita bisa belajar agar tidak mengulangi
kesalahan yang mereka perbuat misalnya serakah dan berbuat buruk terhadap
orang lain. Ini juga bisa berkaitan dengan kebiasaan buruk umat sebelumnya yang
harus dihindari pada masa sekarang.
6. Al-Qur’an dapat memantapkan iman Islam
Membaca Al-Qur’an dan memahami artinya dapat membuat kita lebih mantap
lagi memegang teguh ajaran Islam. Sebagai umat Islam kita kadang sering merasa
iman kita menurun karena kesibukan duniawi, namun jika kita rutin dalam
membaca Al-Qur’an serta mencoba belajar tentang isi dari Al-Qur’an maka kita
bisa mempertebal iman kita.
Isi Al-Qur’an akan membuat kita semakin yakin bahwa agama Islam adalah
agama yang memang harus kita anut. Jadi belajarlah Al-Qur’an jika ingin lebih
memantapkan iman Islam atau jika tiba-tiba merasa ada keraguan dalam hati.
7. Tuntunan dan hukum untuk menjalani kehidupan
Al-Qur’an berisi tentang banyak hal termasuk tuntunan dan hukum dalam
menjalani kehidupan. Manusia bisa saja membuat hukum sendiri untuk sebuah
negara atau daerah namun hukum Al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT yang

11
tentunya lebih sempurna jika mampu dijadikan dasar. Tuntunan dalam Al-Qur’an
diperuntukkan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an mengatur
bagaimana tentang berhubungan dengan orang lain, berdagang, warisan, zakat,
dan banyak hal lain. Umat Islam yang mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan
mampu mengamalkannya maka hidupnya akan tertuntun rapi.

2.3 Hubungan Al-Qur’an dengan Ijman dan Qiyas sebagai Dasar Hukum Islam
Ijma' (ُ‫ )اإِل جْ َماع‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (‫ )أَجْ َم َع‬yang memiliki dua
makna: (1) Tekad yang kuat (ُ‫)ال َع ْز ُم ال ُم َؤ َّكد‬, seperti: ‫( أَ َج َم َع فُاَل ٌن َعلَى َسفَ ٍر‬sifulan bertekad
kuat untuk melakukan perjalanan), dan (2) kesepakatan (ُ‫)االتِّفَاق‬, seperti: ( َ‫أَجْ َم َع ال ُم ْسلِ ُموْ ن‬
‫ ) َعلَى َك َذا‬kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu. Sedangkan makna Ijma' menurut
َ ‫ق ُمجْ تَ ِه ِديْ أُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد‬
istilah adalah: َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ ْع َد َوفَاتِ ِه فِ ْي َعصْ ِر ِمنَ ال ُعصُوْ ِر َعلَى أَ ْم ٍر ِمن‬ ُ ‫اتِّفَا‬
‫( األُ ُموْ ِر‬Kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam
masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula).[13]
Menurut definisi di atas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:[14]
1) Kesepakatan (ُ‫ )االتِّفَ‡‡اق‬artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan
atau dengan sikap.
2) Para Mujtahid ( َ‫)ال ُمجْ تَ ِه ُدوْ ن‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang
yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i
dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah
pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima
seruan dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau
hidup tidak disebut ijma'.

13 Abuddin Nata, Al- Qur'an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1996), hal 41.
14 Ibid

12
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan
saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara
yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at.
Upaya mengistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya,
sebagaimana yang dilakukan oleh para Mujtahir, bukanlah perkara mudah. Para
Mujtahir dituntut kemampuannya secara maksimal dalam menetapkan ketentuan
hukum. Adapun syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang Mujtahid adalah
sebagai berikut: (1) memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, (2) memiliki
pengetahuan tentang Sunnah, (3) memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’
sebelumnya, (4) memiliki pengetahuan tentang ushul fikih, (5) menguasai ilmu
bahasa.[15]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu
seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi,
seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia
harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan
pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu:[16]
1. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu
kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan
dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan
2. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam
hal persesuaiannya atau perbedaannya

15 Rohiminm, Metode Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 112.
16 Ibid

13
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini
terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.[17]
1) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak
ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh
mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma
sharih
2) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan
dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan
adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh
mujtahid
Sementara itu, Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan
menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak
ada nash hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena
persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.
Adapun rukun Qiyas adalah sebagai berikut:[18]
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nash, ia disebut
al-Maqis ’alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ’alaih (yang dijadikan
pertangungan), musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya,
ia disebut Maqis (yang diqiyaskan), AlMahmul (yang dipertanguhngkan) dan al
musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas
nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u (cabang).
4. Al-Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai
dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat
itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syarat illat adalah sebagai berikut:

17 Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur'an (Jakarta, Reneka Cipta, 1992), hal 36.
18 Ibid

14
1. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
2. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya
pada furu’ dan tidak mudah berubah.
3. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
4. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pad
beberapa satuan hukum yang bukan asl.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas merupakan
hukum Islam yang mesti kita ikuti, karena tanpa Ijma’ dan Qiyas kita tidak akan
mngetahui hukum dalam suatu permasalahan jikalau kita tidak mendapatkan dalil
yang pasti dari Al-Qur’an dan Hadits.

2.4 Pendekatan Pokok dan Studi Al-Qur’an


Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang berlaku sepanjang zaman dan ia
adalah sebagai pedoman hidup manusia. Dari segi penerapan hukum, sebahagian
kandungan Al-Qur’an dianggap zanni, dan hanya sebhagian kecil saja yang qat’i. 
Lahirnya praduga di atas kemungkinan disebabkan banyaknya ayat-ayat yang
dapat diinterpretasikan oleh rasio manusia. Dalam banyak ayat sering dijumpai
ungkapan-ungkapan Afala tatafakkaruun, afala ta’qilun, dan lainnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pemakaian akal sangat diajurkan dalam Islam, bahkan wajib
dipergunakan dalam melihat fenomena alam sekitarnya, termasuk juga dalam
meneliti nash-nash Al-Qur’an.
Kajian mendalam mengenai nash Al-Qur’an ini dalam ushul fiqh, biasanya
dikaitkan dengan masalah ma’qul dan ghair maqu, ta’aqul dan ta’abbudi. Ma’qul
atau ta’aqul dapat diartikan dengan upaya menafsirkan (menginterpretasikan) ayat
agar sesuai dengan situasi dan kondisi kemashlahatan masyarakat. Penekanan
diletakkan pada maksud syariat yang terkandung didalamnya. Dalam ayat-ayat yang
berhubungan dengan mu’amalat, kita memang dituntut agar memahami maksud
syariat yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain lain ma’qul adalah suatu
upaya, penalaran terhadap maksud ayat dalam rangka mencari makna yang tersirat

15
dari bentuk-bentuk perintah dan larangan yang tersurat. Adapun yang dimaksud
dengan ghair ma’qul atau al-ta’abbud adalah bertumpuh pada masalah ibadat.[19]
Dalam mempelajari dan meneliti Al-Qur’an ada beberapa pendekatan-
pendekatan yang utama yang harus diketahui seseorang yang mempelajari Al-Qur’an
diantarnya adalah:[20]
1. Ilmu-ilmu Bahasa Arab. Seperti nahu, sharaf, Balaghah, mantik dan lain
sebagainya..
2. Kaedah-kaedah tafsir.
3. Kemudian ilmu-ilmu keislaman dan keimanan harus dipahami seeorang yang
harus belajar Al-Qur’an.
Manfaat studi Al-Qur’an ialah untuk mencapai hal-hal, sebagai berikut:[21]
1. Untuk mengetahui seala ihwal kitab Al-Qur’an sejak dari turunnya wahyu yang
pertama kepada Muhammad SAW, sampai keadaan kitab itu hingga sekarang.
Sebab, dengan Ulumul Qur’an itu akan bisa diketahui bagaimana wahyu Al-
Qur’an itu turun dan diterima oleh Nabi Muhammad SAW, dan bagaimana beliau
menerima dan membacanya, serta bagaimana beliau mengajarkannya kepada para
sahabat serta menerangkan tafsiran ayat-ayatnya kepada mereka. Dan dengan
ilmu itu dapat diketahui pula perhatian umat islam terhadap kitab sucinya pada
tiap-tiap adab serta usaha-usaha mereka dalam memelihara, menghafalkan,
menafsirkan dan mengistimbatkan hukum-hukum ajaran Al-Qur’an dan
sebagainya.
2. Untuk dijadikan alat bantu dalam membaca lafal ayat-ayatnya, memahamai isi
kandungannya, menghayati dari mengamalkan aturan-aturan/ hukum ajarannya
serta untuk menyelami rahasia dan hikmah disyariatkannya sesuatu peraturan/
hukum dalam kitab itu. Sebab, hanya dengan mengetahui dan menguasai
pembahasan-pebahasan Ulumul Qur’an inilah, orang baru akan bisa membaca

19 Muhaimin, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam (Jakarta, Prenanda Media, 2005), hal 73.
20 Ibid
21 Moh.Ali Aziz dan Bambang Subandi, Pengeahuan Tentang Al-Qur’an, (Surabaya, Fakultas
Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009), hal 16.

16
lafal ayat-ayatnya dengan baik, sesuai dengan aturan. Dan dengan Ulumul Qur’an
itu pula, orang akan bisa mengerti isi kandungan Al-Qur’an, baik yang berupa
segi-segi kemukjizatannya, atau segi hukum-hukum petunjuk ajarannya, sesuai
dengan keterangan-keterangan dari Ilmu I’jazil Qur’an, Ilmu Tafsiril Qur’an, dan
Ilmu Ushulil Fiqh, yang juga berupa bidang-bidang pembahasan dari Ulumul
Qur’an itu.[22]
3. Untuk dijadikan senjata pamungkas guna melawan orang-orang non muslim yang
mengingkari kewahyuan Al-Qur’an dan membantah tuduhan orang-orang
tertentu, yang tiap-tiap ada raja orang yang melamparkan tuduhan tuduhan kaji
terhadap kesucian kitab Al-Qur’an. Kalau umat Islam berkewajiban membela
agamanya, jelaslah kewajiban pertama yang harus dibelanya ialah membela
eksistensi dan fungsi kitab suci ini, dengan mempertahankan kesucian, kemuliaan
dan kegunaannya.

22 H. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya, Dunia ilmu, 2013), hal 21.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur'an adalah firman Allah SWT yang mu’jiz, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf,
diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, diawali
dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.  Kata al- Qur'an
selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan
kepada Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah kitab yang komplit lagi sempurna
dan mencakup segala-galanya termasuk sistem hidup kemasyarakatan manusia,
ilmu pengetahuan dan teknologi modern, timbul dari ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
yang salah satu penafsirannya dapat membawa pengertian demikian.
2. Kekhususan dan keistimewaan AL-Qur’an adalah: (1) bahwa Al-Qur’an baik
kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT. Dan Rasul SAW tidak lain
hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis dengan apa yang ada sekarang.
(2) Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan uslub bahasa. (3)
Al-Qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu
yang qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.
3. Ijma’ dan Qiyas merupakan hukum Islam yang mesti kita ikuti, karena tanpa
Ijma’ dan Qiyas kita tidak akan mngetahui hukum dalam suatu permasalahan
jikalau kita tidak mendapatkan dalil yang pasti dari Al-Qur’an dan Hadits.
4. Dalam mempelajari dan meneliti Al-Qur’an ada beberapa pendekatan-pendekatan
yang utama yang harus diketahui seseorang yang mempelajari Al-Qur’an
diantarnya adalah ilmu Bahasa Arab, kaedah-kaedah tafsir, serta ilmu-ilmu
keislaman dan keimanan.

18
3.2 Saran
Penyusun sangat menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun
menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini, agar
bisa lebih banyak lagi menambah literatur-literatur supaya dapat menambah
pengetahuan kita terhadap konsep Keislaman, demi untuk menambah dan melengkapi
pembahasan yang diulas dalam makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. 1996. Al- Qur'an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Baharuddin dan Buyung Ali. 2005. Metode Studi Islam. Bandung: Cita Pustaka.
H. Abdul Djalal. 2013. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia ilmu.
M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyrakat. Bandung: Mizan.
Manna’ Al-Qaththan. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Moh. Ali Aziz dan Bambang Subandi. 2009. Pengeahuan Tentang Al-Qur’an.
Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Muhaimin. 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenanda Media.
Rohimin. 2007. Metode Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosihon Anwar. 2008. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka.
Syarmin Syukur. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2012. Studi Al-Qur’an. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Surabaya Press.
Zainal Abidin. 1992. Seluk Beluk Al-Qur'an. Jakarta: Reneka Cipta.

20

Anda mungkin juga menyukai