SOSIOLOGI OLAHRAGA
Dr. Asep Suharta, M.Pd.
FIK Universitas Negeri Medan
Materi 4:
1
A. TOKOH POLITIK DAN OLAHRAGA.
Pembinaan citra diri yang berwatak baik melalui olahraga dan penampilannya
di media masa pada dasarnya berasumsikan pada nilai budaya olahraga itu. Sampai
saat ini masih berlaku kepercayaan bahwa olahragawan ini mempunyai sifat-sifat
yang baik seperti sportivitas, tekun, ulet, jujur, setia, dan mampu menguasai diri.
Sehubungan dengan hal ini Harry Edward yang mengadakan penelitian pada tahun
1973 tentang keyakinan dan ideologi olahraga, secara sistematik telah membuat garis
besarnya. Garis besar dan ideologi olahraga tersebut dikutip oleh Donald W Calhoun
(1987) sebagai berikut:
2
Partisipasi keolahragaan itu mengembangkan watak yang baik
Mengembangkan nilai kesetiaan
Membangkitkan altruisme
Membangkitkan nilai kendali diri dan social
Mengembangkan ketabahan
Menyiapkan olahragawan untuk kehidupan
Menyajikan kesempatan untuk keuntungan individu
Menghasilkan kebugaran jasmani
Membangkitkan kesiagaan diri
Membantu prestasi belajar
Mengembangkan keagamaan
Mengembangkan patriotisme
Keyakinan dan ideologi olahraga tersebut baru merupakan kepercayaan yang kuat
dimasyarakat. Apakah keyakinan itu memang secara empirik berlaku di dalam
kehidupan nyata, masih perlu diteliti lebih lanjut. Namun bagi tokoh masyarakat
keyakinan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjang kemampuan karir politik
yaitu dengan membina citra dirinya ikut berpartisipasi dalam olah raga.
Citra kesetian kepada Negara itu pun dapat di bina melalui partisipasi dalam
olah raga sebab seperti telah di kemukakan olah raga itu tidak dapat lepas dari
keterlibatan pemerintah atau bahkan pejabat pemerintah.dengan demikian partisipasi
dalam keolah ragaan itu akan sendirinya akan mendekatkan diri dengan kalangan
pemerintah bahkan lebih jauh lagi akan memberikan citra bahwa yang terlibat dalam
kegiatan.olahraga itu turut memperjuangkan misi pemerintah dan berdedikasi tinggi
terhadap pemerintah. Hal ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh tokoh pengusaha
dan tokoh partai. Bagi pengusaha ketrlibatan dalam olahraga itu sebenarnya
mempunyai dampak mengurangi citra buruk pengusaha yang lazim beredar di
masyarakat. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa pengusaha itu
biasanya pelit, suka memeras demi keuntungan, egois, dan manipulatif. Dengan ikut
serta dalam kegiatan keolahragaan ini maka citra buruk itu bisa terhapus.
3
B. OLAHRAGA DAN KESADARAN POLITIK
Hal tersebut itu mungkin karena salah satu karakteristik olahraga adalah
kemampuan melarutkan diri kedalam kelompok, organisasi masyarakat, ataupun
Negara. Membonceng pada karakteristik inilah kalangan politik dapat memanfaatkan
olahraga demi kepentingan diri pribadi tokoh politik atau pun misi politiknya. Namun
satu hal yang patut dipikirkan adalah hal sebaliknya. Mengapa dari kalangan olahraga,
khususnya bintang-bintang olahragawan jarang memanfatkan kondisi diri yang baik
ini untuk menjadi tokoh politik yang elit? Inilah masalah yang perlu dikaji dan di uji.
Dari uraian terdahulu nyatalah bahwa pemerintah selalu terlibat dalam kegiatan
olahraga. Kadar keterlibatan itu mungkin besar tetapi juga mungkin kecil. Amerika
serikat yang menganut paham liberalisme, dimana semangat deregularisme sangat
besar dan anti campur tangan pemerintah tidak luput dari intervensi pemerintah dalam
olahraga. Adalah Presiden Carter yang menekankan boikot terhadap Olympiade
Moscow. Bukan hal ini merupakan suatu ungkapan nasionalisme Amerika Serikat.
4
yang dipromosikan oleh Pierre de Coubertin asal Prancis itu merupakan perpaduan
antara idealisme dan nasionalisme. Menurut idealisme Olympiade pertandingan itu
hendaknya merupakan forum olahraga internasional dimana olahragawan amatir
hendaknya bertanding sebagai individu lepas dari pemerintahnya. Namun dalam
olahraga, kenyataan yang berlaku justru sebaliknya, para olahragawan bertanding
atas nama negaranya dimana kemenangan merupakan factor penting. Ada baiknya
disini diajukan tujuan I.O.C. masih tetap melestarikan amaterisme dengan semangat
seperti yang tercantum dalam sumpah Olympic berikut ini:
“ The most important thing in the Olympic Games is not to win but to take apart,
just as the most important thing in life is not to have conquered but to have
faught well”
Nampaknya semangat dan jiwa amaterisme seperti digambarkan sumpah diatas dan
bebas dari kepentingan Negara itu sekarang hanya impian belaka.
5
Demokrasi terpimpin, khususnya dalam penyelenggaraan Game Of The New
Emerging Force (Gma FO).
Secara mikroskopis dapat pula dinyatakan bahwa peran serta dalam olahraga
dapat pula menghasilkan nilai-nilai aspek politik. Snyder dan Spreitzer (1975)
merumuskan berdasarkan beberapa penelitian para ahli lain bahwa olahragawan
mempunyai kecenderungan lebih konservatif, konvensional, konformistis,
dibandingkan dengan yang bukan olahragawan.
Kesimpulan selanjutnya adalah olahraga mempunyai pengaruh “pelestarian”
terhadap pemuda melalui pembinaan kerja keras, tekun, rajin dan lugas, dan
penguasaan diri dalam mengalami mobilitas sosialnya.
Namun Schfer (1971) memperingatkan bahwa nilai mistik yang menyaputi
olahraga pertandingan di sekolah atas di Amerika Serikat menimbulkan fungsi salah
atau disfungsi dalam artian menghasilkan konformistis, otoritar, aktivis berjiwa robot
yang kehilangan otonomi kesadar batin untuk menerima inovasi, system nilai yang
berbeda, dan cara hidup yang lain, bagaimanapun juga penemuan itu masih
merupakan masalah bagi kehidupan olahraga Indonesia, masih perlu dikaji dan diteliti.
Ditinjau secara makroskopik maupun mikroskopik Nampak jelas adanya
hubungan antara olahraga dan politik sebagai suatu lembaga sosial. Lebih lanjut
Petric (1975) merangkumkan hubungan olahraga dengan politik. Dan tidak ada
salahnya bila rangkuman itu diajukan secara garis besarnya di bawah ini.
Pemanfaatan keterlibatan secara pribadi maupun perwakilan dalam olahraga
sebagai alat perwujudan dari citra politik dan posisi tokoh-tokoh politik. Dalam
prakteknya dimensi ini dilaksanakan dengan memanfaatkan secara pribadi
ketelibatan tersebut oleh tokoh-tokoh politik secara perorangan menyisipkan secara
lugas pesan politik dan simbolisme nasional ke dalam lingkungan olahraga sehingga
penonton terbujuk menduduki posisi mendukung tokoh atau partai politik tertentu.
Pemanfaatan olahraga sebagai alat mengembangkan keterpautan masyarakat
dan identitas nasional. Identitas masyarakat dapat diwujudkan melalui publikasi yang
meluas tentang keberhasilan tim local sekolah, universitas, atau professional.
Pengaruh ini bila mencakup semua anggota suuatu sistim nasional maka akan
menjadi nasionalisme. Respon dari public yang sedang beridentivikasi itu secara
mendasar adalah sama, baik itu cakupan local maupun regional atau nasional, yaitu
adanya keyakinan bahwa kebanggaan, kemampuan dan superioritas ekonomi politik
terpancang dalma pertandingan olahraga dengan pihak luar. Meningkatkan
6
persekutuan tersebut mempunyai dampak politik yang jelas yaitu memelihara identitas
masyarakat superioritas pada suatu pertandingan dalam suatu bidang tertentu
terbawa berkat kepada bidang lain di luar perwujudan fisik ataupun estetika murni.
Pemanfaatan olahraga sebagia ajang persaingan antar ideology politik lepas
dari hubngannya dengan program olahraga berskala besar dan elistis di sekolah dan
universitas. Dalam hal ini pendekatan yang bertentangan melihat bahwa olahraga
merupakan kekuatan utama bagi integrasi sosial atau sebagai suatu institusi yang
menyajikan pengalaman sosialisasi pada masyarakat yang
rusuh dan beban biasa sosial yang mempunyai akibat negative bagi para pesertanya.
Asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas itu diharapkan menjadi acuan dalam
menghayati dan menyimak kebijaksanaan pemerintah dalam bidang olahraga, gejala-
gejala sosiologik yang terkandung dalam kegiatan olahraga sosial, dan menyusun
suatu pola pembinaan yang lebih efektif.
Selain masalah pokok yang telah dikemukakan diatas beberapa pertanyaan
sehubungan dengan pembinaan olahrgaa di kampus dikemukakan berikut ini. Mudah-
mudahan pertanyaan tersebut menjadi perangsang kepada pemikiran yang lebih luas.
Sampai seberapa jauh pembinaan olahraga kampus menaruh perhatian
terhadap upaya menghindarkan masuknya kepentingan pribadi atau perorangan,
kelompok golongan atau partai tertentu ke dalam kegiatan olahraga kampus? Adakah
kecernderungan orang, kelompok, golongan atau partai yang bermaksud
memanfaatkan olahraga demi kepentingan masing-masing? Kalau memang ada
apakah tidak menghambat institusionalisasi perguruan tinggi tersebut?
Jenis kegiatan olahraga mana yang cocok untuk meningkatkan keterpautan
masyarakat kampus, olahraga prestatif yang selektif atau olahraga massal yang lebih
banyak peserta aktifnya? Kalau olahraga prestatif yang menjadi pilihan bagaimana
cara nya memperoleh dan membina olahragawan kampus itu tetap membawakan
kebanggaan, keunggulan, dan superioritas kampusnya tanpa imbalan yang
berlebihan ? bagaimana hubungan politik dengan olahraga secara lebih rinci dibahas
dibagian lain secara tersendiri.