Tesis Bitung
Tesis Bitung
PENDAHULUAN
1
2
November 2014 dalam Pidato KTT ASEAN di Nay Pyi Myanmar, Presiden
Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia menyatakan diri sebagai
Poros Maritim Dunia yang menjadi paradigma pembangunan Indonesia.
Terdapat 5(lima) agenda yang akan dilaksanakan; (1) Membangun
kembali budaya maritim Indonesia, (2) Menjaga sumberdaya laut dan
kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama,
(3) Memberi prioritas utama pada pembangunan infrastruktur dan
konektivitas maritim dengan membanguntol laut,deepseaport, logistik,
industri perkapalan, dan pariwisata maritim, (4) Menerapkan diplomasi
maritim melalui usulan peningkatan kerjasama di bidang maritim dan
upaya menangani sumber konflik seperti, pencurian ikan pelanggaran
kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan dan pencemaran laut dengan
penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara
dan bukan memisahkan, (5) Membangun kekuatan maritim sebagai
bentuk tanggungjawab, menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan
maritim. Sebagai implementasi dikeluarkan 3 (tiga) peraturan untuk
meningkatkan pembangunan maritim Indonesia, yaitu Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri
Perikanan Nasional, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Rencana Aksi Industrialisasi Perikanan, dan Peraturan Presiden Nomor
16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.
Hasanuddin
3. Revitalisasi Pelabuhan Pelabuhan Kualitatif Menganalisis faktor
Labuhan Haji di Lombok Timur Labuhan pendekatan penghambat
Haji di analisis operasional
Wahyu Prasetya Anggrahini
Lombok deskriptif Pelabuhan
Puslitbang Transportasi Laut,
Timur Labuhan Haji sejak
Sungai, Danau, Dan
tahun 2009 s.d
Penyeberangan, Badan
sekarang
Litbang Perhubungan
Jalan Merdeka Timur No. 5,
Jakarta Pusat, 10110
25
2) Objek Penelitian
Objek penelitian adalah Pengembangan Pelabuhan Bitung sebagai
Sumber Pendapatan Nasional Dalam Mendukung Kebijakan Poros
Maritim Dunia di Kabupaten Belitung Timur.
5.2 PEMBAHASAN
pelayaran, sistem navigasi dan persandian, perijinan bagi kapal yang akan
berlabuh atau berlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya.
Kewenangan teknis seperti itu sangat mensyaratkan kemampuan
yang handal dari SDM dan perangkat sistem kediklatan pendukungnya.
Tanpa adanya human-ware yang memadai, maka pengambilalihan
pengelolaan pelabuhan hanya akan mendatangkan kerugian baik bagi
pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat di wilayah
tersebut.
arus barang 1,366,876 ton dan maka 110,232 dan pada tahun 2030 arus
barang 3,387,431 dan 273,180 TEU. Berdasarkan proyeksi pertumbuhan
arus barang di maka dibutuhkan peningkatan pelabuhan Dendang untuk
mengakomodasi kebutuhan arus barang.
b) Perkiraan Arus Kapal
Perkiraan arus kapal didasarkan pada Call dan jumlah GT pada
tahun didasarkan pada tren tahun sebelumnya yaitu sebesar 3% per
tahun. Perkiraan arus kapal di Pelabuhan Dendang ditunjukkan pada
Tabel 5.
Tabel 5.2 Perkiraan Arus Kapal
6.1 KESIMPULAN
6.1.1 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
rencana pengembangan Pelabuhan Bitung perlu didukung dengan
permohonan ulang melalui penyusunan Rencana Induk
Pengembangan Pelabuhan Bitung dengan memperhatikan petunjuk
teknis dari Ditjen Perhubungan Laut. Penyusunan rencana induk
pelabuhan harus melihat sisi teknis maupun non teknis dan dikaji
secara totalitas dan komprehensif untuk memprediksi supply dan
demand Pelabuhan Bitung secara tepat, sehingga rencana
pengembangan ke depan sesuai dengan kebutuhan.
6.1.2. Fasilitas yang tersedia di Pelabuhan Bitung saat ini dinilai sudah
memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan bongkar muat barang
dan saranatransportasi laut. Rencana pengembangan Pelabuhan
Bitung perlu daya dukung yang kuat dari seluruh stakeholders dan
dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut agar
pembangunannyabisa terlaksana. Karena Pelabuhan Bitung saat
ini menjadi andalan masyarakat nelayan untuk mencari nafkah
danmasih bisa dimanfaatkan sebagaitransportasi laut jika
menggunakan kapal yang berkunjung ke Pelabuhan Bitung adalah
kapal-kapal berukuran rata-rata 1000-1500 DWT.
6.2. SARAN
6.2.1 Perlu adanya perubahan terhadap UU Pelayaran dan tentu saja
harus diikuti dengan perubahan peraturan pelaksana di bawahnya,
seperti PP No.69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan, yang secara
konkret dapat dilaksanakan dalam praktik. Hal ini juga diperlukan
untuk mengakomodir putusan judicialreview MA mengenai
pengelolaan pelabuhan yang diajukan oleh Pemkot Cilegon dan
Forum Deklarasi Balikpapan. Dalam hal ini, draf RUU Pelayaran
sebenarnya telah disusun dan dibahas, namun perlu pula
dipertimbangkan mengenai pasal-pasal yang mengandung multi
tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN