RIZKY RAHMATILLAH
NIM. 115120107111029
ABSTRAK
ABSTRACT
Indonesia. Menurut Nabila dalam Setiawan (2012), Indonesia termasuk dalam 5 besar negara
yang memiliki jumlah pengemis terbanyak di dunia dengan perkiraan jumlah pengemis ± 15 juta
jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sekitar 30-40 persen ditahun berikutnya. Bahkan
setiap menjelang Idul Fitri pun, jumlah pengemis sudah meningkat hingga 100%. Pengemis
sebagian besar terkonsentrasi di berbagai kota besar di Indonesia seperti Bandung, Semarang,
Dalam praktek kesehariannya, proses mengemis yang dilakukan oleh para pengemis ternyata
tidak hanya dilakukan seorang diri. Dalam beberapa artikel yang tertulis di media massa nasional
maupun daerah, menyebutkan bahwa kini banyak bermunculan pengemis-pengemis yang telah
berkelompok atau lebih terorganisir. Fenomena pengemis berkelompok yang lebih terorganisir
dan dijadikan sebagai mata pencaharian maupun yang bekerja secara perorangan pada dasarnya
tidak hanya muncul di Jakarta dan Surabaya, namun juga muncul di beberapa daerah lain, seperti
di Bali (Munti Gunung), dan Madura. Selain itu tidak hanya di kawasan Pulau Jawa dan bali
saja, fenomena mengemis yang di jadikan sebagai pekerjaan juga muncul di wilayah lain seperti
pekerjaan. Namun para pengemis yang mengemis tidaklah terorganisir, tapi melakukan
mengemis secara masing-masing (perseorangan), namun dalam satu lokasi atau wilayah yang
sama dengan jumlah yang cukup banyak. Lokasi Desa Kelampayan berada dalam wilayah
Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar yang beribukota Martapura. Kota Martapura selama ini
adalah karena adanya sebuah makam dari salah seorang wali kenamaan di wilayah Desa
Kelampayan. Beliau adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau masyarakat Kalimantan
Selatan biasa menyebut beliau dengan Datu Kelampayan. Makam Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari sering kali diziarahi oleh umat muslim yang tidak hanya berasal dari wilayah Kalimantan
saja, tapi juga banyak peziarah yang datang dari Pulau Jawa, Madura, Sumatera, bahkan juga
para peziarah dari luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Hampir setiap hari
makam beliau selalu ramai oleh peziarah. Terlebih saat weekend dan juga hari-hari besar Islam,
Karena banyaknya peziarah yang berdatangan ke lokasi makam Syekh Arsyad Al-Banjari
(Datu Kelampayan), kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengharap belas kasih dari
para peziarah yang berdatangan. Di sekitaran lokasi makam wali Syekh Arsyad Al-Banjari inilah
terdapat banyak sekali orang yang mengemis. Makam Syekh Arsyad Al-Banjari atau Datu
Kelampayan pada akhirnya menjadi titik strategis bagi para pengemis untuk dimanfaatkan.
Lokasi sekitar makam ramai oleh para pengemis saat hari atau moment tertentu dimana makam
juga akan ramai oleh para peziarah, seperti pada hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid
Nabi. Lokasi persebaran pengemis pada dasarnya terdapat pada 2 wilayah. Yang pertama adalah
para pengemis yang terdapat di sepanjang jalan desa menuju makam. Dan yang kedua adalah
Praktek mengemis yang terjadi di Desa Kelampayan ini pada dasarnya telah sebuah tradisi dan
kebiasaan serta telah menjadi kondisi turun temurun dari keadaan masyarakat Desa Kalampayan.
Kedudukan sosial (status) yang berbeda sehingga berpengaruh pula dalam keahlian
(kemampuan), gaya dan pandangan hidup inilah yang kemudian berpengaruh dalam proses
praktek mengemis yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun di Desa Kelampayan, dan
menjadi nilai (pegangan) tersendiri yang diterima oleh para pelakunya (yang mengemis). Bagi
mereka mungkin tidak ada yang salah dengan apa yang telah mereka lakukan selama ini. Karena
pengetahuan dan praktek tentang mengemis yang masih bertahan hingga sekarang, yang
diwariskan secara turun temurun telah dikonstruksikan oleh para pendahulu masyarakat Desa
Fokus dalam penelitian ini adalah pada para pengemis yang merupakan warga asli Desa
Kelampayan yang terus menerus melestarikan praktek mengemis yang ada di wilayahnya. Para
pengemis yang berasal dari Desa Kelampayan sendiri memang muncul dari berbagai kalangan,
mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua. Mengemis pada masyarakat Desa Kelampayan
sudah menjadi praktek turun-temurun dan berlangsung dari generasi ke generasi. Praktek
mengemis yang sudah ada sejak lama pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang sangat sulit
untuk dihilangkan. Lalu sebenarnya bagaimana praktek mengemis ini dapat terbentuk pada
masyarakat Desa Kelampayan? Dan bagaimana konstruksi sosial praktek mengemis yang ada
sehingga praktek mengemis dapat terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Desa
Kelampayan? Hal inilah yang akan peneliti bahas dan tuliskan dalam jurnal ini.
menemukan, menggambarkan, dan menjelaskna kualitas atau keistimewaan dari penelitian sosial
yang tidak dapat dijelaskan, diukur, ataupun digambarkan melalui penelitian kuantitatif
(Saryono, 2010). Metode kualitatif digunakan karena peneliti ingin mengetahui lebih mendalam
perihal permasalahan yang diangkat dan menjadi fokus dalam penelitian ini. Selain itu metode
kualitatif deskriptif dirasa tepat dalam penelitian sosial yang akan peneliti lakukan, karena sifat
penelitian sosial yang fleksibel. Sedangkan pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini adalah
fenomenologi. Secara sederhana, fenomenologi dapat di artikan sebagai sebuah pendekatan yang
mencari makna di balik sebuah fenomena yang ada di dalam mayarakat. Dengan kata lain,
pengalaman individu ataupun kelompok direfleksikan dalam perilaku atau tindakan dalam
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dibalik fenomena kebiasaan mengemis yang telah
bertahan sangat lama dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Karena fenomenologi
merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk mencari makna di balik sebuah fenomena,
yang dalam penelitian ini fenomenanya adalah praktek mengemis yang dilakukan oleh ratusan
Desa Kelampayan merupakan desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Astambul,
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Dahulu Desa Kelampayan adalah wilayah satu
kesatuan dengan nama Desa Kelampayan. namun pada tahun 1987 Desa Kelampayan
dimekarkan menjadi 3 yakni Desa Kelampayan Ulu, Desa Kelampayan Tengah dan Desa
Kelampayan Ilir. Lokasi pengemis sendiri ada di Desa Kelampayan Ulu dan Desa Kelampayan
Tengah, dan dilokasi Desa Kelampayan Ulu dan Tengah ini pulalah terletak makam Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dalam proses yang terjadi pada kehidupan masyarakat Desa
Kelampayan dengan praktek mengemisnya dapat dijabarkan beberapa hal yang kemudian
atau kompleks makam dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kelampayan). Sebelum
adanya kubah atau areal kompleks makam, dikatakan belum ada masyarakat Desa Kelampayan
yang mengemis. Benih-benih awal dari kebiasaan mengemis mulai muncul pada masyarakat
Desa Kelampayan saat makam mulai banyak didatangi oleh peziarah. Kubah dan kompleks
pemakaman sendiri dibangun sekitar akhir tahun 1800an hingga awal 1900an. Sehingga
Pemicu dari munculnya pengemis adalah karena tindakan dari seorang bangsawan
kerajaan yang awalnya berziarah ke makam sang wali sembari membagikan uangnya kepada
penduduk Desa Kelampayan, setelahnya apa yang dilakukan oleh si bangsawan kemudian diikuti
pula oleh peziarah lain yang berkunjung ke makam sang wali di Desa Kelampayan. Semasa
hidupnya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memang menjadi ulama kesayangan serta
panutan dari keluarga Kerajaan Banjar. Hal ini terbukti saat beliau masih kecil karena kelebihan
agama yang dimiliki beliau, Syekh Muhammad Arsyad kecil sudah diangkat menjadi anak dari
Raja Banjar saat itu. Dan ketika beliau remaja, beliau dikirimkan ke Mekkah untuk belajar dan
memperdalam Agama Islam. Saat beliau meninggal pun, beliau masih dihormati dan disayangi,
oleh keluarga Kerajaan salah satunya adalah dengan bentuk kunjungan (ziarah) ke makam beliau
di Desa Kelampayan. Bangsawan dari Kerajaan tersebut tidak hanya berziarah ke Makam Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, namun juga membagi-bagikan uang pada masyarakat Desa
Kelampayan. Adapun maksud dari beliau membagi-bagikan uang kepada penduduk Desa pada
awalnya adalah untuk berbagi rezeki (zakat) dan menunaikan nazar. Inilah awal dari pemicu
Berbagi rezeki juga merupakan bentuk penteladanan dari sifat Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari yang semasa beliau hidup dikatakan memiliki sifat pemurah. Diceritakan
bahwa saat beliau masih hidup Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah ulama yang sangat
pemurah dan senang berbagi rezeki pada orang lain, terutama pada kaum fakir miskin. Hal yang
dilakukan oleh para peziarah dalam membagikan uang tersebut adalah untuk mentaati dan
menurut pada sifat pemurah yang merupakan salah satu sifat dan juga ciri khas dari diri seorang
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kelampayan tersebut. hal yang dilakukan oleh
para peziarah dalam membagikan uang pada dasarnya dapat dilihat sebagai sebuah
pengekspresian dari penteladanan sifat seseorang yang dikagumi, bukan hanya atas dasar alasan
rasa kasihan dan prihatin kepada para pengemis. Praktek mengemis sendiri kemudian adalah
menjadi sebuah bentuk dari pengekspresian diri oleh individu pada masyarakat Desa
Kelampayan.
Arus transportasi yang saat zaman dahulu hanya bisa dilewati melalui sungai dengan
menggunakan kapal jukung / kelotok, kemudian juga berpengaruh pada lokasi persebaran
pengemis dan juga cara-cara mengemis yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kelampayan
zaman dahulu. Penduduk yang mengemis pada waktu itu hanya menunggu peziarah di sekitaran
areal makam, yakni seperti di Dermaga dan juga di pelataran pintu masuk makam. Tidak hanya
menunggu di dermaga atau pelataran makam, anak-anak yang ikut mengemis dahulu seperti
yang diceritakan oleh informan, sering kali akan menceburkan dirinya ke sungai hanya untuk
beberapa orang informan terhitung cukup cepat.Saat era tahun 40an, penduduk yang menjadi
pengemis terhitung masih sedikit. Seiring berjalannya waktu sekitar tahun 50an, jumlah
masyarakat Desa Kelampayan yang kemudian ikut terlibat menjadi pengemis di sekitaran areal
makam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Orang yang mengemis tersebut adalah dari
masyarakat Desa Kelampayan kala itu. Di tahun 60an hingga tahun 90an semakin banyak
penduduk Desa Kelampayan yang menjadi pengemis. Kebiasaan ini terus bertahan hingga saat
ini.
Para pengemis yang hingga saat ini masih mempraktekkan kebiasaan mengemis hanya
tersebar di 2 lokasi Desa Kelampayan, yakni Desa Kelamyan Ulu dan Desa Kelampayan Tengah.
Setidaknya ada 2 faktor ataupun alasan yang dapat menjelaskan mengapa praktek mengemis
tidak sampai ke wilayah Desa Kelampayan Ilir. Pertama adalah seperti yang telah dituliskan di
atas, bahwa wilayah Desa Kelampayan Ilir pada dasarnya adalah wilayah yang tergolong baru
dengan orang-orang atau penduduk didalamnya yang pada dasarnya tidak terbiasa dan juga tidak
terlahir dari lingkungan yang membuat diri mereka menjadi seorang pengemis, karena mereka
adalah orang yang berpindah tempat. Dan hal ini berlanjut kepada keturunan selanjutnya yang
lahir di Desa Kelampayan Ilir, tidak ada penduduk yang mengikuti praktek mengemis seperti
yang terjadi pada masyarakat Desa Kelampayan Ulu dan Desa Kelampayan Tengah. Batas
wilayah antara Desa Kelampayan Tengah dan Desa Kelampayan Ilir berada pada pertigaan jalan
dan terdapat 2 jembatan di antara pertigaan tersebut. Daerah pertigaan jalan ini kemudian
berhubungan dengan alasan atau faktor kedua mengapa praktek mengemis tidak ada di Desa
Kelampayan Ilir. Yakni karena jalan Desa Kelampayan Ilir sangat jarang dilalui oleh mobil atau
kendaraan bermotor dari para peziarah. Banyak dari para peziarah (baik yang menggunakan
kendaraan pribadi maupun jasa angkutan umum seperti taksi) yang biasanya melalui jalan Desa
Kelampayan Tengah kemudian berbelok ke kiri mengambil jalur ke arah Desa Sungai Tuan yang
berbatasan langsung dengan jalan raya antar Kota. Sedangkan jalur yang melalui jalan Desa
Namun terlepas dari hal tersebut, praktek mengemis yang terdapat di Desa
Kelampayan adalah praktek yang telah menjadi kebiasaan dari masyarakatnya yang telah ada
sejak dahulu dan masih bertahan hingga saat ini. Jika dilihat dari konsep dari Engkus Kuswarno
(2009), para pengemis yang ada di Desa Kelampayan dapat dimasukkan ke dalam kategori
pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan.
Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif
sebab). Hal ini pula yang terjadi pada kasus di Desa Kelampayan, dimana praktek mengemis
sangat sulit untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakatnya karena telah ada sejak waktu yang
sangat lama.
Lokasi tempat persebaran pengemis Desa Kelampayan terbagi ke dalam 2 lokasi yakni
jalanan Desa Kelampayan Tengah dan Areal kompleks kubah Makam Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari. Usia para pengemis pun beragam, yang paling muda tentunya adalah anak-anak
seusia sekolah dasar. Anak-anak yang meminta-minta lebih banyak terlihat di sekitaran makam,
biasanya mereka akan bergerombol bersama anak-anak seusianya. Tidak hanya dari kalangan
anak-anak, mengemis juga dilakukan oleh penduduk yang sudah tua dan bahkan juga orang-
Beberapa pengemis yang merupakan warga asli Desa Kelampayan mengaku bahwa
mereka menjadi pengemis karena memang tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Hal ini
disebabkan karena mayoritas tingkat pendidikan mereka yang rendah, yang kemudian berimbas
pada rendahnya kesempatan kerja bagi mereka. Para pengemis yang beroperasi di Desa
Kelampayan mayoritas hanyalah lulusan sekolah dasar. Para pengemis juga mengakui bahwa
menjadi pengemis adalah atas keinginan mereka sendiri tanpa adanya ajakan atau paksaan
siapapun. Namun menurut mereka pula, bahwa sebenarnya mereka ingin menjadi pengemis
karena melihat orang-orang sekitar mereka yang mudah untuk mendapatkan uang dengan
menjadi pengemis. Hal ini berarti secara tidak langsung mereka menjadi pengemis pada dasarnya
Selain dari kaum pria, pengemis yang ada di Desa Kelampayan juga ada yang dari
kaum wanita. Beberapa bahkan ada yang membawa serta anaknya ketika mengemis. Hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian peziarah agar merasa kasihan kepada pengemis sehingga
peziarah kemudian memberikan uangnya kepada pengemis. Selain itu, para pengemis yang ada
di Desa Kelampayan sendiri sebenarnya tidak ada yang mengkoordinir atau sifatnya tidak
terorganisir secara berkelompok. Pengemis yang ada di Desa Kelampayan hanya bekerja sendiri-
sendiri atau secara individual, namun dengan jumlah yang banyak. Sehingga sering kali muncul
dugaan dari orang-orang luar seperti para peziarah bahwa pengemis yang ada di Desa
Kelampayan ada yang mengkoordinir. Padahal kenyataannya tidak ada yang mengorganisir para
pengemis, hal ini seperti yang disampaikan oleh beberapa pengemis bahwa mereka hanya
beroperasi sendiri-sendiri.
Para pengemis yang beroperasi biasanya akan menyesuaikan waktu dengan jam-jam
yang ramai oleh para peziarah. Misalnya ketika hari kerja seperti hari Senin hingga hari Jum’at,
maka juga akan lebih sedikit pengemis yang terlihat beroperasi. Hari yang ramai oleh para
pengemis menurut penuturan beberapa informan jika pada hari biasa adalah pada hari Sabtu dan
hari Minggu. Sedangkan pada hari-hari besar Islam seperti momen Hari Raya, dimana pada saat
hari tersebut juga banyak peziarah yang berkunjung ke makam Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari, maka juga banyak bermunculan orang-orang yang mengemis. Artinya dalam momen
atau situasi tertentu juga akan muncul para pengemis musiman di Desa Kelampayan. Bahkan
jalanan Desa Kelampayan Tengah akan macet pada saat momen Hari Raya. Kemacetan bukan
hanya disebabkan oleh banyaknya mobil yang lewat dan juga jalan Desa yang tergolong kecil,
tetapi juga karena banyaknya pengemis yang duduk-duduk di sepanjang jalan Desa Kelampayan
Tengah. Dari tahun ke tahun memang dikatakan bahwa jumlah pengemis yang ada di
Konstruksi sosial dari praktek kebiasaan mengemis yang telah langgeng di Desa
Kelampayan pada dasarnya terbentuk dalam proses yang panjang dan berkesinambungan.
Praktek mengemis yang terjadi, mulanya mulanya memang dimulai dari masyarakat Desa
Kelampayan sendiri. Namun karena adanya pemicu dari orang luar Desa Kelampayan. Menurut
Berger (2012), realitas sosial dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak dapat berdiri
sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial
memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu
lain sehingga mamantapkan realitas tersebut secara objektif. Sehingga menurut Berger kenyataan
sosial merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya dari
yang telah terciptakan sejak lama tidak akan dapat langgeng bertahan hingga sekarang jika bukan
karena individu-individu yang ada di luar maupun di dalam masyarakat Desa Kelampayan
sendiri. Praktek mengemis yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan telah melalui proses yang
panjang dari masa lampu hingga masa sekarang, dan bahkan bisa jadi akan terus langgeng
hingga masa yang akan datang. Artinya praktek mengemis pada dasarnya dapat terus bertahan
karena adanya interaksi yang terjadi antara masyarakat Desa Kelampayan dengan para peziarah
yang dalam hal ini merepresentasikan orang luar Desa Kelampayan. Dalam kehidupannya pun
masyarakat Desa Kelampayan tentu memiliki kenyataan ganda, dimana mereka tentu memiliki
pengalaman mengenai praktek mengemis yang kemudian menjadi kebiasaan, dan juga
dimensi subyektif dan obyektif. Realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
dipandang memiliki kenyataan ganda, tidak hanya kenyataan tunggal. Hal ini karena individu
pada dasarnya memiliki pengalaman dan pemahaman atas realitasnya masing-masing. Bagi
Berger, masyarakat dilihat sebagai realitas obyektif yang memiliki sifat memaksa kepada
individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Secara sederhana, realitas obyektif adalah
realitas yang berada di luar individu. Berger terpengaruh pemikiran Durkheim mengenai fakta
sosial, dimana menurutnya pengalaman adalah sebagai sebuah paksaan eksternal bukan karena
dorongan internal. Dalam kehidupannya, manusia terus menerus melakukan kegiatan timbal
balik antara sesama manusia, proses ini akan berlangsung dalam dialektika eksternalisasi,
manusia akan berhadapan dengan realitas subyektif. Pemikirannya ini sejalan dengan pemikiran
Marx. Ketika realitas obyektif terus menerus terulang dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat,
maka akan muncul subyektivitas yang kemudian dilihat sebagai kenyataan subyektif. Maka dari
itu, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui
mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, dimana terdapat tesa, anti tesa,
dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk
Kelampayan pada dasarnya muncul karena adanya interaksi antara masyarakat Desa Kelampayan
sendiri dengan orang luar Desa yang dalam hal ini adalah para peziarah yang sering kali
mengunjungi dan juga berziarah ke makam Wali yang ada di Desa Kelampayan. Seperti yang
telah dituliskan pada bagian sejarah munculnya mengemis, bahwa awal mula kemunculan
pengemis adalah karena adanya seorang bangsawan Kerajaan yang membagikan uangnya kepada
masyarakat Desa Kelampayan. Dalam teori Berger, cerita masa lalu mengenai bangsawan yang
berbagi rezeki pada masyarakat Kelampayan dapat dilihat sebagai sebuah proses interaksi
dalam hal ini tentu memiliki makna bagi dirinya sendiri. Niat membagikan uang yang
merupakan rezeki yang beliau miliki, dimaksudkan untuk menteladanani sifat dari Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, yakni mengikut pada sifat pemurah yang beliau miliki semasa
hidup. Hal ini karena rasa hormat dan sayang dari masyarakat kepada sang wali yang
Hal yang dilakukan oleh para peziarah dalam membagikan uang pada dasarnya
dapat dilihat sebagai sebuah pengekspresian dari penteladanan sifat seseorang yang dikagumi,
bukan hanya atas dasar alasan rasa kasihan dan prihatin kepada para pengemis. Praktek
mengemis sendiri kemudian adalah menjadi sebuah bentuk dari pengekspresian diri oleh
individu pada masyarakat Desa Kelampayan. Hal ini menurut Berger adalah kemampuan
ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektivasi, artinya ia memanifestasikan diri dalam
produk-produk kegiatan manusia. Obyektivasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-
ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Maksudnya
individu yang saling berinteraksi kemudian memiliki pengartian sama terhadap tindakan yang
mereka lakukan.
realitas subyektif dan obyektif, maupun proses dialektis dari obyektivikasi, internalisasi dan
eksternalisasi. Proses dialektika ini merupakan proses yang berjalan terus, di mana internalisasi
dan eksternalisasi menjadi momen dalam sejarah (Poloma dalam Berger, 2004). Ketiga elemen
membentuk suatu konstruksi sosial. Sedangkan dalam permasalahan yang diangkat dalam
pembahasan ini, penulis akan memulainya dari proses obyektivasi, kemudian berlanjut pada
Proses awal dari konstruksi sosial praktek mengemis di Desa Kelampayan dapat
dilihat dari proses obyektivasi. Obyektivikasi merupakan interaksi seorang individu dengan
dunia intersubjektif yang telah terlembagakan atau mengalami institusionalisasi (Berger, 1991).
Dalam proses ini individu telah membaur dalam realitas kehidupan masyarakat yang telah ada.
Masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif. Dalam sebuah titik pada proses objektifikasi
terdapat sebuah proses mengubah kesadaran menjadi suatu tindakan. Artinya suatu nilai yang
telah dipegang oleh seorang individu dalam masyarakat kemudian menjadi elemen yang tidak
terpisahkan. Sehingga apa yang disadari oleh individu adalah apa yang ia lakukan.
realitas yang telah ada dan telah terbentuk sejak lama. Contoh konkritnya misalkan adalah ketika
seorang individu kemudian membaur dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, dan ikut
melanjutkan kebiasaan mengemis. Seorang individu tidak akan melakukan praktek mengemis
jika ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Artinya lingkungan adalah salah satu elemen dari
pembentuk kesadaran atau nilai yang dipegang individu mengenai praktek mengemis yang ia
lakukan. Kesadaran tersebut misalnya hadir dalam bentuk bergabungnya individu ke dalam
pengemis karena keinginan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Keinginan mengemis
muncul dari diri mereka sendiri, meski sebenarnya mereka terpengaruh oleh lingkungan
pertemanannya. Para pengemis mengaku bahwa mereka tertarik menjadi pengemis setelah
melihat teman-temannya yang terlebih dahulu mengemis dengan mudah mendapatkan banyak
uang dari mengemis, sehingga kemudian juga muncul keinginan untuk mengemis. Mereka sadar
bahwa mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang memelihara praktek mengemis dan
mereka pun kemudian terpengaruh serta akhirnya memilih untuk mengikuti kebiasaan yang ada.
Dalam pemikiran Berger (2012), masyarakat pada dasarnya memiliki sifat yang memaksa
terhadap realitas yang dihadapi seorang individu. Meski kenyataannya tidak ada yang mengajak
mereka untuk mengemis, tetapi secara tidak sadar lingkungan lah yang kemudian mempengaruhi
Praktek mengemis di Desa Kelampayan tidak akan dapat muncul tanpa adanya
tindakan yang dilakukan melalui penegasan yang berulang-ulang, meski di sisi lain juga terdapat
faktor lain yang kemudian membuat masyarakat menjadi pengemis. Maksudnya adalah ketika
para peziarah semakin sering membagikan uangnya maka masyarakat kemudian menjadi terbiasa
dan mulai memanfaatkan tindakan yang dilakukan oleh para peziarah. Antara peziarah dan
pengemis kemudian terbangun sebuah arti mengenai memberi dan menerima. Mengemis adalah
Bentuk konkrit dari penegasan berulang-ulang tersebut misalnya adalah ketika dahulu
para peziarah setiap hari membagi-bagikan uangnya kepada penduduk Desa Kelampayan dan
masyarakat Desa Kelampayan kemudian menjadi terbiasa dengan hal ini. Hingga kemudian
praktek mengemis pun akhirnya dilakukan setiap hari, oleh individu-indivdiu yang
melakukannya dengan jam kerja yang mengikut pada aktivitas peziarah. Bahkan para pengemis
juga mengetahui waktu-waktu yang ramai oleh peziarah, maksudnya ketika peziarah ramai,
maka pengemis yang terlihat di kawasan Desa Kelampayan juga akan sangat banyak.
mengalami proses pembiasaan atau habitualisasi. Aktivitas yang telah menjadi proses
pembiasaan tersebut dijadikan sebagai cara seseorang dalam memaknai situasi dan menjadi dasar
untuk bertindak pada situasi atau moment tertentu. Dari segi makna yang diberikan manusia
kepada kegiatannya, pembiasaan menyebabkan tidak perlunya tiap situasi didefiniskan kembali.
Setiap perilaku sifatnya adalah baku. Hal ini berlaku pula dalam konteks kehidupan masyarakat
kebiasaan karena selalu dilakukan setiap hari dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang
sangat lama. Aktivitas mengemis yang dilakukan tidak lagi memerlukan penjelasan karena telah
terbentuk dan tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Sehingga ketika
ada peziarah yang memberikan uangnya, maka para pengemis tidak akan menolaknya. Sifat
hubungan semacam ini adalah sesuatu yang baku dan dapat diterima. Pembiasaan juga dapat
dilihat dalam hal kehidupan sehari-hari seseorang yang tumbuh dalam lingkungan pengemis
seperti yang terdapat pada kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Seseorang akan menjadi
terbiasa, yang kemudian juga tertanam ke dalam dirinya mengenai lingkungan hidup tempat
Seperti yang telah dituliskan di atas, manusia pada dasarnya menciptakan proses
tipifikasi yang memaksa pada kesadaran masing-masing individu atas aktivitas dalam
pembiasaan tersebut, sehingga kemudian dapat dipahami bersama dan menghasilkan suatu
kelembagaan. Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-
tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe perilaku. Lembaga pada umumnya mewujudkan
diri pada kolektivitas manusia dalam jumlah yang banyak. Namun menurut Berger, proses
pelembagaan tipifikasi (timbal-balik) juga akan terjadi ketika dua individu saling berinteraksi
untuk pertama kalinya (Berger, 2012). Tipifikasi timbal balik yang terjadi pada kedua individu
didalamnya.
dilakukan tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang, namun dengan jumlah kolektivitas
manusia yang banyak. Hubungan yang terjalin antara peziarah dan pengemis pun bersifat timbal
balik dan saling menguntungkan. Sehingga kemudian terdapat pengkategorian makna tersendiri
dari praktek yang dilakukan oleh para pengemis yang ada di Desa Kelampayan. Dalam praktek
mengemis yang dilakukan masyarakat Desa Kelampayan sendiri terdapat cara-cara tertentu,
kebiasaan, dan tata kelakukan dari inivdidunya. Hal ini merupakan elemen yang mencirikan
Habitualisasi atau proses pembiasaan yang telah terbentuk dalam diri individu
kemudian memunculkan sebuah pengalaman yang tersimpan pada kesadaran, lalu mengendap
menjadi suatu kesadaran individu untuk kemudian dialihkan atau diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan dari setiap individu akan terus
mengendap kemudian terkumpul sebagai ingatan sebuah entitas yang dapat dikenali dan juga
akan diingat kembali. Pengendapan intersubjektif hanya benar-benar dinamakan sosial ketika
telah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda. Artinya, sangat memungkinkan bagi terulangnya
Para pengemis di Desa Kelampayan yang telah terbiasa dengan aktivitas yang
mereka lakukan kemudian menjadi sebuah pengalaman tersendiri yang juga merupakan
kesadaran bagi mereka. Pengalaman yang mereka peroleh dari praktek mengemis tersebut
kemudian dapat diteruskan atau dilanjutkan kepada individu-individu baru. Praktek mengemis
merupakan sebuah kebiasaan yang kemudian dapat dialihkan dan diteruskan serta dapat terulang
kembali di tengah kehidupan masyarakat Desa Kelampayan dengan individu yang berbeda yang
akan melakukannya.
Selain itu, Berger melihat bahwa pengetahuan pada dasarnya terdistribusi dalam
masyarakat. Pengetahuan yang dimaksud oleh Berger adalah realitas sosial masyarakat itu
sendiri. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan
berkembang di masyarakat sebagai sebuah konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai
hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial tidaklah berlangsung dalam ruang hampa seolah
tidak terjadi apa-apa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Berger, 2012). Apa yang
diketahui oleh seseorang, belum tentu kemudian diketahui oleh orang lain. Begitu pula pada
masyarakat Desa Kelampayan, masyarakat tentu memiliki pengetahuan yang tersebar kepada
individu-individu di dalamnya. Menurut Berger pengetahuan dan pengalaman pada diri setiap
manusia pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Manusia saling berinteraksi dalam proses
timbal balik yang terus menerus hingga akhirnya terjadi pertukaran yang membuat pengetahuan
menjadi terintegrasi dan juga terbentuk cadangan pengetahuan yang kemudian dialihkan dari
generasi ke generasi. hal ini juga berlaku pada setiap individu yang ada pada masyarakat Desa
Kelampayan. Pengetahuan setiap individu tentu berbeda satu dengan yang lainnya dan perbedaan
pengetahuan akan menjadi sebuah kesatuan pengetahuan yang terintegrasi ketika individu yang
hidup dalam masyarakat Desa Kelampayan saling berinteraksi. Dalam kehidupan masyarakat
pengetahuan mengenai praktek mengemis yang ia lakukan menurutnya adalah benar, dan hal ini
telah tertanam ke dalam dirinya. Namun di sisi lain juga ada masyarakat Desa Kelampayan yang
memiliki pengetahuan lain, yang menganggap bahwa mengemis bukanlah hal yang tepat meski
mereka hidup dalam keadaan berkekurangan. Perbedaan pengetahuan seperti yang diungkapkan
melalui sebuah alat, yakni bahasa yang mengobyektifikasi endapan tersebut dan kemudian akan
diobyektifikasi menjadi sebuah tradisi dari akumulasi pengalaman bersama oleh kolektivitas
akan terjalin ketika terdapat individu yang melanjutkan praktek mengemis atau individu lain
yang baru hadir kemudian ikut serta dengan individu yang telah terlebih dahulu melakukan
yang lebih luas, lalu dapat diajarkan pada setiap generasi baru (Berger, 2012).
Dalam konteks masyarakat Desa Kelampayan, bahasa adalah alat yang digunakan
dari orang-orang terdahulu untuk memberikan suatu penjelasan kepada generasi selanjutnya
mengenai praktek mengemis yang dilakukan. Penjelasan melalui bahasa berisikan hal-hal
mendasar mengenai cara mengemis yang dapat dilakukan. Misalnya adalah mengenai waktu dan
momen yang tepat kapan mengemis dapat dilakukan. Atau misalnya kemampuan anak-anak
dalam merayu para peziarah agar memberikan uangnya kepada mereka. Melalui sistem
yang langgeng hingga saat ini. Bahasa dalam contoh yang diberikan Berger tidak hanya terbatas
pada suara yang keluar dari mulut seseorang, namun bahasa dapat dimaknai secara luas seperti
misalnya pada gerak tubuh maupun ekspresi bagian tubuh manusia lainnya. Bahasa memiliki
peranan yang sangat vital dalam interaksi sosial. Karena bahasa kemudian dapat menyatukan
semua kalangan sehingga antar manusia dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Tidak hanya itu, bahasa juga dapat menjadi bentuk ekspresi seorang manusia. Kemampuan
dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik bagi produsennya maupun bagi orang
lain sebagai unsur-unsur dunia bersama (Berger, 2012). Bahasa yang dikeluarkan oleh anak-anak
yang mengemis di areal makam Desa Kelampayan, tentu tidak akan keluar dari mulut mereka
sendiri tanpa adanya proses pembelajaran dan pengalihan dari orang-orang yang lebih dewasa.
Dan mereka pada akhirnya tidak hanya tahu harus berkata apa ketika ingin meminta-minta
kepada para peziarah, tetapi anak-anak tersebut juga telah memiliki pengetahuan mengenai
praktek mengemis itu sendiri. Sehingga seperti yang telah dikatakan Berger bahwa bahasa adalah
Pada titik dimana pengetahuan menjadi relevan bagi semua orang inilah, peranan
individu diperlukan dalam tatanan kelembagaan dunia sosial. Asal mula peranan terletak dalam
proses mendasar pembiasaan dan obyektivasi yang sama dengan asal mula lembaga. Peranan
muncul bergitu dimulai proses pembentukan cadangan pengetahuan bersama yang mengandung
berbagai tipifikasi perilaku secara timbal balik. Semua peranan bersifat mengendalikan
pelembagaan. Saat peranan yang hadir dalam tatanan kelembagaan diinternalisasi oleh individu
maka dunia sosial individu bersangkutan secara obyektif menjadi nyata karena pengungkapan
diri individu mencerminkan suatu peran dan tindakan untuk menyesuaikan diri dengan
membuat pengetahun mengemis menjadi relevan misalnya adalah karena faktor dari para orang
yang ‘dituakan’ oleh masyarakat Desa Kelampayan juga pernah mengemis dan juga tokoh agama
yang ‘menghalalkan’ praktek mengemis dalam masyarakat Desa Kelampayan sendiri. Tokoh
agama dan tetua atau orang yang dituakan di Desa Kelampayan pada dasarnya tidak
mempermasalahkan praktek mengemis yang ada di desanya. Mereka melihat praktek mengemis
sangat sulit dihilangkan karena memang sudah sangat lama hadir dalam kehidupan masyarakat
Desa Kelampayan.
individu mengapa ia harus melakukan suatu tindakan tertentu dan bukan tindakan lainnya. Selain
itu legitimasi juga memberitahukan kepada individu yang hidup dalam masyarakat mengapa
segala sesuatu berlangsung seperti apa adanya. Legitimasi dapat disampaikan melalui beberapa
alat, misalnya menurut Berger dapat dilakukan melalui teologi, seperti dalil-dalil agama, lalu
mitologi (mitos) atau cerita rakyat maupun yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Berger menyatakan bahwa legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai obyketivasi
makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk
mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan. Legitimasi bukan hanya sekedar nilai-
Dalam sudut pandang agama yang disampaikan oleh seorang tokoh agama Desa
Kelampayan menyatakan bahwa mengemis boleh dilakukan atas dasar-dasar tertentu. Hal ini
seperti yang dituliskan Berger, bahwa pengetahuan bersama yang dimiliki oleh masyarakat pada
Hal ini dilakukan melalui proses legitimasi, yang berfungsi agar segala lembaga yang telah
diobyektifikasi bisa diterima oleh umum dan masuk akan secara individual. Pada masyarakat
Desa Kelampayan agama menjadi alat yang sangat efektif sebagai legitimasi terhadap praktek
mengemis itu sendiri. Selain melalui sudut pandang agama, legitimasi praktek mengemis juga
hadir melalui cerita rakyat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Cerita
rakyat tersebut menyatakan bahwa jika ada orang yang mengganggu atau memarahi dan bahkan
menghina pengemis maka akan kualat tersendiri bagi para pelakunya. Karena mereka
menganggap pengemis muncul karena adanya karomah (berkah) dari wali yang dimakamkan di
desanya. Sehingga keberadaan pengemis dianggap sebagai suatu hal yang sakral dan tidak bisa
diganggu.
Kemudian jika dilihat dari sudut pandang si pemberi atau para peziarah, terdapat
legitimasi agama yang menyatakan bahwa orang yang suka memberi atau bersedekah adalah
orang yang murah rezeki. Maksudnya ketika seseorang peziarah memberikan uangnya kepada
pengemis yang ada di Desa Kelampayan, maka harapannya dari si peziarah adalah agar ia
kemudian mendapatkan rezeki yang lebih dari Allah atas apa yang telah ia berikan kepada si
pengemis. Artinya dalam hal ini, agama telah melegitimasi tindakan para peziarah dalam
mengemis itu sendiri, dogma agama juga memunculkan penggolongan atau pembagian pihak-
pihak mana saja yang kemudian pantas untuk memberi dan menerima. Dalam sudut pandang
agama, mereka yang tidak pantas dan tidak berhak untuk menerima zakat adalah mereka yang
hidup dalam keadaan berkecukupan dan tidak berkekurangan, maka jika melihat pada konteks
Desa Kelampayan contoh tersebut merepresentasikan para peziarah yang senang membagi-
bagikan uangnya. Tujuannya seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, adalah
untuk berbagi rezeki, dan berzakat. Dan memberi atau membagikan uang adalah wujud
penteladanan nyata dari para peziarah kepada kelebihan sifat yang dimiliki oleh Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang dimakamkan di Desa Kelampayan. Harapannya ketika para
peziarah sudah membagikan rezekinya, maka suatu saat Allah akan memberikan rezeki lebih
banyak lagi, dan juga tentunya pengharapan tertinggi adalah adanya balasan surga. Karena
penteladanan dari kelebihan sifat seorang wali yang dicintai tentu adalah agar para peziarah yang
hanya orang biasa dapat mengikuti jejak sang wali yang dekat dengan Tuhan dan dapat tempat di
surga.
Sedangkan dalam sudut pandang agama mengenai mereka yang pantas untuk diberi
atau menerima zakat adalah mereka yang hidup dalam kekurangan, miskin, dan tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka jika melihat pada konteks Desa Kelampayan, hal ini
merepresentasikan para pengemis yang merupakan penduduk asli Desa Kelampayan sendiri,
dimana mereka kemudian mencitrakan diri mereka dengan pakaian yang kotor, kucel, compang-
camping dan sebagainya. Para pengemis kemudian dapat menjabarkan atau mengartikan sendiri
bahwa mereka adalah pihak yang pantas untuk mendapatkan pemberian dari para peziarah.
E. Internalisasi Praktek Mengemis oleh Penduduk Desa Kelampayan
masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Setiap orang dapat mengartikan subyketivitas yang
dilakukan oleh individu lain berdasarkan pola pikir orang yang mengobyektivikasi. Individu
yang bersangkutan kemudian dapat memilih apakah ada kesesuaian antara proses satu orang
dengan yang lain. Dalam hal ini individu bersangkutan telah menyaring apa yang menjadi
realitas obyektifnya. Tahapan kedua pasca obyektivasi tersebut adalah tahapan internalisasi.
Berger menyatakan bahwa proses internalisasi akan terus menerus berlangsung seumur hidup
dalam 2 tahapan yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Momen internalisasi yang
dialami individu secara terus menerus dilakukan dengan proses pengidentifikasian timbal balik
yang terjadi antara individu dan masyarakat, hal ini untuk memperkenalkan dan juga
mengukuhkan eksistensi diri individu tersebut ke dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga
dimaksudkan agar keberadaan individu yang bersangkutan dapat diketahui dan dikenal oleh
masyarakat.
A. Sosialisasi Primer
Pada masa kecil atau anak-anak, individu telah mengalami sosialisasi dalam
dirinya melalui berbagai cara yang emosional. Orang-orang yang sangat berpengaruh dalam hal
ini sangat mungkin adalah orang tua dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap
sosialisasi anak. Dalam praktek mengemis yang terjadi di Desa Kelampayan, sejak kecil banyak
anak-anak Desa Kelampayan yang telah terbiasa dengan lingkungan pengemisnya, terlebih
dalam proses sosialisasi primer seperti keluarga. Dalam beberapa kasus, terdapat semua anggota
keluarga yang kemudian menjadi pengemis, mulai dari ayah ibu dan anaknya. Sehingga tidak
heran kemudian mengapa mengemis terus menerus menjadi sebuah kebiasaan karena praktek
berpengaruh seperti orang tua dan keluarga akan lebih diterima dan akan begitu kuat melekat
dalam diri seorang individu. Individu bersangkutan dapat menginternalisasikan peran dan sikap
orang-orang yang berpengaruh terhadap dirinya tersebut, dan dapat menjadikannya sebagai sikap
dan perannya sendiri. Artinya seperti yang telah dituliskan diatas, seorang anak pada masyarakat
Desa Kelampayan kemudian dapat dengan mudah menjadi pengemis karena terpengaruh dan
mengikut pada peranan serta sikap orang yang dianggapnya berpengaruh secara emosi yakni
menempatkan individu pada suatu identitas subyektif yang masuk akal karena merupakan
cerminan yang diambil dari sikap orang-orang berpengaruh bagi si individu yang bersangkutan.
Sosialiasi primer menciptakan suatu abstraksi yang lebih kuat di dalam kesadaran anak
keluarga yang semua anggota keluarganya mengemis, mulai dari anak, bibi, pamannya, orang
tuanya, hingga kakek neneknya. Tahapan sosialiasi primer merupakan dunia pertama dimana
seorang individu terbentuk, dimana penanaman nilai-nilai dan pengetahuan pada anak sebagai
indivdiu yang diberikan oleh orang tua dan keluarga kepadanya memberikan gambaran yang
lebih kuat yang kemudian tertanam ke dalam dirinya. Dalm tahapan sosialisasi primer juga akan
menyebabkan munculnya perbedaan pada tingkat pemahaman setiap individu dalam masyarakat.
Pengaruh lingkungan dalam sosialisai primer ini sangat penting, yang kemudian menyebabkan
setiap individu dalam masyarakat memiliki dunia yang berbeda menurut pengalaman dan
pemahamannya sendiri. Contoh nyata dari penuturan Berger tersebut misalnya adalah ketika
seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan pengemis seperti yang terjadi di Desa
Kelampayan, dikemudian hari si anak yang telah terbiasa dan terpengaruh oleh orang-orang yang
penting dalam hidupanya (seperti orang tua dan keluarga lain) akan mengharuskannya untuk ikut
Sosialisasi Sekunder
sekunder. Dalam sosialisasi sekunder, Berger menjelaskan bahwa sosialisasi yang terbangun
pada individu misalnya adalah melalui organisasi dalam masyarakat. Sosialisasi sekunder
menjadi diperlukan bagi diri individu untuk kemudian mendistribusikan pengetahuan khusus
yang didapatnya dari sosialisasi primer, karena dalam proses sosialisasi sekunder terdapat proses
internalisasi sejumlah subdunia kelembagaan (Berger dan Luckman, 1990). Berger juga
menyatakan bahwa sosialisasi berisi muatan emosi yang rapuh dan mudah hilang.
menyatakan bahwa mereka menjadi pengemis karena melihat orang lain yang ada di sekitarnya
juga mengemis. Mereka melihat orang lain yang ada disekitarnya dengan mudah mendapatkan
uang tanpa harus bersusah payah, sehingga kemudian juga muncul keinginan untuk turut serta
menjadi pengemis. Meski mereka juga menyatakan menjadi pengemis tanpa adanya ajakan atau
paksaan dari orang lain, namun pada dasarnya ketika mereka telah melihat apa yang dilakukan
orang lain dan kemudian mengikutinya, artinya mereka telah terpengaruh oleh tindakan yang
dilakukan orang lain tersebut. Contoh konkrit dari proses sosialisasi sekunder pada masyarakat
Desa Kelampayan, terjadi pada saat individu bersentuhan dengan lingkungan tempat tinggal
mereka contohnya seperti tetangga dan juga teman sepermainan. Seorang anak yang lahir dan
kemudian besar di Desa Kelampayan, tentu akan terbiasa dengan lingkungan orang-orangnya
yang mengemis. Lambat laun karena telah terbiasa, sangat mungkin individu yang bersangkutan
juga akan mengikuti apa yang telah tejadi di lingkungannya. Selain keluarga proses sosialisasi
sekunder seperti lingkungan pertemanan juga mempengaruhi seorang individu. Seorang individu
dapat terpengaruh dan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep Berger yang menyatakan bahwa dalam
proses sosialisasi sekunder sosialisasi yang ada lebih rapuh dan mudah hilang karena tanpa
adanya muatan emosional dan tidak adanya gambaran dari orang yang dianggap penting oleh
seorang individu seperti orang tua dan keluarga. Pandangan Berger mengenai sosialisasi
sekunder ini telah dipatahkan dengan realitas yang ada di kehidupan masyarakat Desa
Kelampayan dengan praktek mengemisnya. Nyatanya proses sosialisasi sekunder juga memiliki
pengaruh dalam proses pembentukan diri seorang individu. Proses yang ada dalam sosialisasi
sekunder pada akhirnya juga dapat menguatkan kembali pengetahuan dan nilai yang telah
didapatkan pada proses sosialisasi sebelumnya atau saat individu melewati proses sosialisasi
primer.
Manusia sebagai makhluk hidup akan terus tumbuh berkembang dan berinteraksi
untuk kelangsungan hidupnya. Manusia tidak mungkin dapat berkembang jika hidup dalam
keadaan yang terisolasi atau hidup dalam keadaan menyendiri tanpa adanya interaksi. Manusia
tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya hubungan yang bersifat timbal-balik dengan
akan terus mengalami perkembangan karena adanya hubungan atau interaksi. Baik itu hubungan
dengan lingkungan alam Desa Kelampayan, maupun antara sesama individu yang ada dalam
kehidupan sosial masyarakat sendiri. Eksternalisasi merupakan proses di mana manusia yang
mengalami sosialisasi yang tidak sempurna secara bersama-sama membentuk suatu realitas baru,
manusia melakukan sesuatu untuk menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup dan akhirnya
terpaksa menjadi pengemis karena kebutuhan hidup yang tidak mencukupi adalah sebuah proses
eksternalisasi ulang terhadap nilai lama yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat dilihat juga
sebagai sebuah bentuk penyesuaian dan pencurahan diri individu terhadap realitas yang ada di
hadapannya. Seorang individu yang hidup dalam masyarakat Desa Kelampayan dapat menjaga
eksistensi dirinya dengan ikut serta melanjutkan kebiasaan dari praktek mengemis. Dengan
mengikuti praktek mengemis, keberadaan individu menjadi jelas dalam masyarakat. Jika proses
ini terjadi, berarti telah terjadi proses eksternalisasi ulang atas realitas yang telah ada dalam
kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Para pengemis yang ada di Desa Kelampayan juga
akan terus mengeksternalisasikan dirinya untuk menjadi pengemis, selama para peziarah terus
menerus membutuhkan mereka. Maksudnya adalah, salah satu faktor lain mengapa para
pengemis terus bermunculan salah satunya adalah karena faktor dari para peziarah. Orang-orang
yang berziarah biasanya akan selalu memanjakan para pengemis dengan memberi mereka uang.
Bahkan ketika para pengemis tidak ada mereka akan terus menerus dicari oleh para peziarah. Hal
ini pernah terjadi pada satu kasus pada saat momen Hari Raya Idul Adha lalu, dimana saat itu
tidak ada satupun pengemis yang beroperasi karena maraknya razia dari pihak terkait. Para
peziarah yang ingin berbagi zakat akhirnya harus meminta pertolongan kepada pihak yayasan
makam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam membagikan rezekinya. Karena masih
adanya kebutuhan dari para peziarah dalam menyalurkan zakatnya, para pengemis akhirnya terus
bermunculan, ini artinya terus menerus terjadi eksternalisasi ulang terhadap praktek mengemis.
H. Kesimpulan
masyarakat Desa Kelampayan serta beradasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka
didapatkan kesimpulan bahwa yang pertama praktek mengemis pada dasarnya telah ada sejak
lama pada kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Praktek mengemis yang telah bertahan
sangat lama tersebut pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan turun temurun yang sangat sulit
untuk dihilangkan.
Kedua, dalam proses yang telah berlangsung sangat lama tersebut terdapat beberapa
hal yang membuat praktek mengemis dapat terus menerus langgeng dalam kehidupan
masyarakat Desa Kelampayan. Diantaranya yakni karena adanya proses pembiasaan dan
legitimasi dari praktek mengemis itu sendiri, dimana terus menerus terjadi penegasan berulang-
ulang yang membuat pengetahuan dan nilai mengenai mengemis diserap dan tertanam kuat, lalu
disebaran kepada individu lain hingga kemudian menjadi sebuah tindakan komunal pada
masyarkat Desa Kelampayan. Penyebaran mengenai nilai dan pengetahuan praktek mengemis
dilakukan melalui reproduksi pengetahuan yang terjadi dalam interaksi antar individu pada
kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, misalnya melalui tahapan sosialisasi dalam keluarga
Ketiga, dalam realitasnya praktek mengemis tidak hanya bertahan karena masyarakat
Desa Kelampayan itu sendiri yang tetap mempertahankan kebiasaan mengemisnya, tetapi juga
karena adanya peran dari para peziarah yang berkunjung ke kawasan Desa Kelampayan. Dalam
prosesnya, interaksi antara pengemis dan peziarah kemudian memunculkan sebuah hubungan
yang saling menguntungkan satu sama lain. Para peziarah membutuhkan para pengemis untuk
membagikan rezekinya, sedangakan para pengemis hadir untuk memberikan wadah bagi para
peziarah yang ingin menyampaikan secara langsung rezeki mereka. Para peziarah merasa lebih
puas ketika rezeki yang mereka miliki diberikan langsung kepada para pengemis. Bahkan para
pengemis akan selalu dicari ketika mereka tidak ada, artinya para pengemis tidak hanya
diuntungkan namun juga selalu dibutuhkan oleh para peziarah di Desa Kelampayan. Proses
pemberian rezeki dari para peziarah dan juga karena merasa selalu dibutuhkan serta
mendapatkan hasil yang mudah, membuat para pengemis menjadi merasa nyaman dengan
keadaan yang ada dan pada akhirnya juga memunculkan rasa malas kepada para pengemis di
Desa Kelampayan, sehingga meski mereka telah diberdayakan namun mereka enggan untuk
Daftar Pustaka
Berger, P. L. dan Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the
sociology of knowledge. (Hasan Basari Terj) Jakarta: LP3ES.
Faatchan, A. (2011). Metode penelitian kualitatif: Beserta contoh proposal skripsi, tesis, dan
desertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.
Johnson, D.P. (1988). Teori sosiologi klasik dan modern. Jakarta : PT.Gramedia.
Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi: Metode penelitian komunikasi. Bandung: Widya
Padjajaran.
Nazaruddin, S. (1988). Manakib riwayat hidup dan juriyat Datu Kalampayan. Martapura: Al-
Zahra Darussalam.
Tim Sahabat. (2010). 27 ulama berpengaruh Kalimantan Selatan. Kandangan, Kalimantan
Selatan: Sahabat.
Suharto. E. (2008). Pendekatan pekerjaan Sosial dalam Menangani Kemiskinan di Tanah Air.
Jakarta. LP3ES.
Jurnal
Nabila, N, et. al. (2013). Teknik minimalisasi pengemis dengan maksimalisasi potensi dan
motivasi melalui konsep brainwashing. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Rukmyanti. Novi. 2010. Etika Pengemis.pdf
Imaddudinn. 2013. http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/539/jbptunikompp-gdl-imaddudinn-
26904-7-unikom_i-i.pdf.
Dokumen Pemerintah
Bagian Perencanaan dan Data Setditjen Pendidikan Islam Departemen Agama Republik
Indonesia. 2008. Pondok Pesantren. Jakarta: Penyusun