Anda di halaman 1dari 33

KONSTRUKSI SOSIAL PRAKTEK MENGEMIS

MASYARAKAT DESA KELAMPAYAN, KABUPATEN BANJAR,


KALIMANTAN SELATAN

RIZKY RAHMATILLAH
NIM. 115120107111029

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan mengenai kebiasaan mengemis yang


ada pada masyarakat Desa Kelampayan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Mengemis pada
masyarakat Desa Kelampayan sudah menjadi praktek turun-temurun dan berlangsung dari
generasi ke generasi. Praktek mengemis yang sudah ada sejak lama pada akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan yang sangat sulit untuk dihilangkan. Tujuan penelitian ini adalah mencari tahu
bagaimana praktek mengemis dapat terbentuk dan konstruksi sosial seperti apa yang kemudian
membuat praktek mengemis dapat bertahan hingga saat ini.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Selain itu penelitian ini juga menggunakan teori Konstruksi Sosial dari Peter. L. Berger. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Hasil penelitian mengenai Konstruksi Sosial Praktek Mengemis Masyarakat Desa
Kelampayan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa praktek mengemis di
Desa Kelampayan terbentuk sekitar awal tahun 1900an diawali pasca dibangunnya kubah dan
kompleks pemakaman untuk seorang wali kenamaan Kalimantan Selatan. Pemicu dari
munculnya pengemis adalah karena tindakan dari seorang bangsawan kerajaan yang awalnya
berziarah ke makam sang wali sembari membagikan uangnya kepada penduduk Desa
Kelampayan, setelahnya apa yang dilakukan oleh si bangsawan kemudian diikuti pula oleh
peziarah lain yang berkunjung ke makam sang wali di Desa Kelampayan. Maksud dan tujuan
dari berbagi uang adalah untuk berbagi zakat dan sebagai sebuah penteladanan kepada karomah
(kelebihan) sifat yang dimiliki oleh sang wali yang dimakamkan di Desa Kelampayan.
Masyarakat Desa Kelampayan kemudian memanfaatkan hal ini dan memanifestasikan tindakan
yang dilakukan para peziarah dengan mengemis. Dalam perkembangannya dari dulu hingga
sekarang terdapat beberapa aspek yang membuat praktek mengemis dapat terus bertahan,
diantaranya adalah karena adanya proses pembiasaan, legitimasi, dan proses sosialisasi pada
keluarga maupun lingkungan.
Kata Kunci : Mengemis, Tradisi, Habitualisasi, Legitimasi, Sosialisasi

ABSTRACT

The background of research is the problem of begging habit in the community of


Kelampayan Village, Banjar Regency, South Kalimantan. Begging in the community at
Kelampayan Village is a practice of legacy and has been inherited throughout generations.
Therefore, begging practice is becoming a habit that is hardly removed. The objective of research
is to understand how begging practice can emerge and what social construction that makes
begging practice becoming persistent currently.
The method used in this research is qualitative method with phenomenological
approach. Social construction theory by Peter L. Berger is also used by this research. Data
collection techniques involve interview, observation and documentation. Result of research
about Social Construction of Begging Practice in The Community of Kelampayan Village,
Banjar Regency, South Kalimantan, has indicated that begging practice at Kelampayan Village
has been started since 1990s after the renovation of dome and cemetery complex of a famous
Moslem leader in South Kalimantan. The original story of the emerging of beggars is when a
person of royal nobility who gives alms to the people of Kelampayan Village during the journey
of pilgrimage. This noble deed is followed by other pilgrims who visit the grave of the religious
leader at Kelampayan Village. The aim of giving alms is to spread the tithes and to perform
kindness to reflect good example shown by the religious leader who rests in peace at
Kelampayan Village. The community of Kelampayan Village is taking benefits from this and
manifesting this action by begging some cashes from the pilgrims. Until now, several aspects of
begging practice are made to persistent such as the habituation, the legitimacy, and the
socialization of begging into the family and environment.
Keywords : Begging, Tradition, habituation, legitimacy, and socialization
A. Praktek Mengemis Masyarakat Desa Kelampayan
Permasalahan mengenai pengemis bukanlah fenomena baru dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Menurut Nabila dalam Setiawan (2012), Indonesia termasuk dalam 5 besar negara

yang memiliki jumlah pengemis terbanyak di dunia dengan perkiraan jumlah pengemis ± 15 juta

jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sekitar 30-40 persen ditahun berikutnya. Bahkan

setiap menjelang Idul Fitri pun, jumlah pengemis sudah meningkat hingga 100%. Pengemis

sebagian besar terkonsentrasi di berbagai kota besar di Indonesia seperti Bandung, Semarang,

Surabaya, dan Jakarta.

Dalam praktek kesehariannya, proses mengemis yang dilakukan oleh para pengemis ternyata

tidak hanya dilakukan seorang diri. Dalam beberapa artikel yang tertulis di media massa nasional

maupun daerah, menyebutkan bahwa kini banyak bermunculan pengemis-pengemis yang telah

berkelompok atau lebih terorganisir. Fenomena pengemis berkelompok yang lebih terorganisir

dan dijadikan sebagai mata pencaharian maupun yang bekerja secara perorangan pada dasarnya

tidak hanya muncul di Jakarta dan Surabaya, namun juga muncul di beberapa daerah lain, seperti

di Bali (Munti Gunung), dan Madura. Selain itu tidak hanya di kawasan Pulau Jawa dan bali

saja, fenomena mengemis yang di jadikan sebagai pekerjaan juga muncul di wilayah lain seperti

di Kalimantan. Di sebuah desa di provinsi Kalimantan Selatan tepatnya di Desa Kalampayan,

terdapat sekelompok masyarakat yang menjadikan mengemis (meminta-minta) sebagai sebuah

pekerjaan. Namun para pengemis yang mengemis tidaklah terorganisir, tapi melakukan

mengemis secara masing-masing (perseorangan), namun dalam satu lokasi atau wilayah yang

sama dengan jumlah yang cukup banyak. Lokasi Desa Kelampayan berada dalam wilayah

Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar yang beribukota Martapura. Kota Martapura selama ini

dikenal sebagai kota penghasil batu Intan terbaik di Indonesia.


Yang membuat Desa Kelampayan menjadi pangsa pasar yang menjanjikan untuk mengemis

adalah karena adanya sebuah makam dari salah seorang wali kenamaan di wilayah Desa

Kelampayan. Beliau adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau masyarakat Kalimantan

Selatan biasa menyebut beliau dengan Datu Kelampayan. Makam Syekh Muhammad Arsyad Al-

Banjari sering kali diziarahi oleh umat muslim yang tidak hanya berasal dari wilayah Kalimantan

saja, tapi juga banyak peziarah yang datang dari Pulau Jawa, Madura, Sumatera, bahkan juga

para peziarah dari luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Hampir setiap hari

makam beliau selalu ramai oleh peziarah. Terlebih saat weekend dan juga hari-hari besar Islam,

makam akan penuh sesak oleh para peziarah.

Karena banyaknya peziarah yang berdatangan ke lokasi makam Syekh Arsyad Al-Banjari

(Datu Kelampayan), kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengharap belas kasih dari

para peziarah yang berdatangan. Di sekitaran lokasi makam wali Syekh Arsyad Al-Banjari inilah

terdapat banyak sekali orang yang mengemis. Makam Syekh Arsyad Al-Banjari atau Datu

Kelampayan pada akhirnya menjadi titik strategis bagi para pengemis untuk dimanfaatkan.

Lokasi sekitar makam ramai oleh para pengemis saat hari atau moment tertentu dimana makam

juga akan ramai oleh para peziarah, seperti pada hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid

Nabi. Lokasi persebaran pengemis pada dasarnya terdapat pada 2 wilayah. Yang pertama adalah

para pengemis yang terdapat di sepanjang jalan desa menuju makam. Dan yang kedua adalah

pengemis yang melakukan praktek mengemis di dalam areal pelataran makam.

Praktek mengemis yang terjadi di Desa Kelampayan ini pada dasarnya telah sebuah tradisi dan

kebiasaan serta telah menjadi kondisi turun temurun dari keadaan masyarakat Desa Kalampayan.

Kedudukan sosial (status) yang berbeda sehingga berpengaruh pula dalam keahlian

(kemampuan), gaya dan pandangan hidup inilah yang kemudian berpengaruh dalam proses
praktek mengemis yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun di Desa Kelampayan, dan

menjadi nilai (pegangan) tersendiri yang diterima oleh para pelakunya (yang mengemis). Bagi

mereka mungkin tidak ada yang salah dengan apa yang telah mereka lakukan selama ini. Karena

pengetahuan dan praktek tentang mengemis yang masih bertahan hingga sekarang, yang

diwariskan secara turun temurun telah dikonstruksikan oleh para pendahulu masyarakat Desa

Kelampayan dan juga oleh masyarakat luar Desa Kelampayan.

Fokus dalam penelitian ini adalah pada para pengemis yang merupakan warga asli Desa

Kelampayan yang terus menerus melestarikan praktek mengemis yang ada di wilayahnya. Para

pengemis yang berasal dari Desa Kelampayan sendiri memang muncul dari berbagai kalangan,

mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua. Mengemis pada masyarakat Desa Kelampayan

sudah menjadi praktek turun-temurun dan berlangsung dari generasi ke generasi. Praktek

mengemis yang sudah ada sejak lama pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang sangat sulit

untuk dihilangkan. Lalu sebenarnya bagaimana praktek mengemis ini dapat terbentuk pada

masyarakat Desa Kelampayan? Dan bagaimana konstruksi sosial praktek mengemis yang ada

sehingga praktek mengemis dapat terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Desa

Kelampayan? Hal inilah yang akan peneliti bahas dan tuliskan dalam jurnal ini.

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Metode kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

menemukan, menggambarkan, dan menjelaskna kualitas atau keistimewaan dari penelitian sosial

yang tidak dapat dijelaskan, diukur, ataupun digambarkan melalui penelitian kuantitatif

(Saryono, 2010). Metode kualitatif digunakan karena peneliti ingin mengetahui lebih mendalam

perihal permasalahan yang diangkat dan menjadi fokus dalam penelitian ini. Selain itu metode

kualitatif deskriptif dirasa tepat dalam penelitian sosial yang akan peneliti lakukan, karena sifat
penelitian sosial yang fleksibel. Sedangkan pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini adalah

fenomenologi. Secara sederhana, fenomenologi dapat di artikan sebagai sebuah pendekatan yang

mencari makna di balik sebuah fenomena yang ada di dalam mayarakat. Dengan kata lain,

pengalaman individu ataupun kelompok direfleksikan dalam perilaku atau tindakan dalam

kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan fenomenologi, peneliti berusaha mencari tahu

mengenai apa yang sebenarnya terjadi dibalik fenomena kebiasaan mengemis yang telah

bertahan sangat lama dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Karena fenomenologi

merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk mencari makna di balik sebuah fenomena,

yang dalam penelitian ini fenomenanya adalah praktek mengemis yang dilakukan oleh ratusan

orang di sebuah wilayah makam yang terletak di Desa Kelampayan.

B. Sejarah dan Perkembangan Pengemis Desa Kelampayan

Desa Kelampayan merupakan desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Astambul,

Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Dahulu Desa Kelampayan adalah wilayah satu

kesatuan dengan nama Desa Kelampayan. namun pada tahun 1987 Desa Kelampayan

dimekarkan menjadi 3 yakni Desa Kelampayan Ulu, Desa Kelampayan Tengah dan Desa

Kelampayan Ilir. Lokasi pengemis sendiri ada di Desa Kelampayan Ulu dan Desa Kelampayan

Tengah, dan dilokasi Desa Kelampayan Ulu dan Tengah ini pulalah terletak makam Syekh

Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dalam proses yang terjadi pada kehidupan masyarakat Desa

Kelampayan dengan praktek mengemisnya dapat dijabarkan beberapa hal yang kemudian

menjadi temuan dalam sejarah dan perkembangn pengemis di Desa Kelampayan.

Sejarah kemunculan pengemis di Desa Kelampayan dimulai sejak dibangunnya kubah

atau kompleks makam dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kelampayan). Sebelum

adanya kubah atau areal kompleks makam, dikatakan belum ada masyarakat Desa Kelampayan
yang mengemis. Benih-benih awal dari kebiasaan mengemis mulai muncul pada masyarakat

Desa Kelampayan saat makam mulai banyak didatangi oleh peziarah. Kubah dan kompleks

pemakaman sendiri dibangun sekitar akhir tahun 1800an hingga awal 1900an. Sehingga

diperkirakan praktek mengemis mulai muncul sekitar awal tahun 1900an.

Pemicu dari munculnya pengemis adalah karena tindakan dari seorang bangsawan

kerajaan yang awalnya berziarah ke makam sang wali sembari membagikan uangnya kepada

penduduk Desa Kelampayan, setelahnya apa yang dilakukan oleh si bangsawan kemudian diikuti

pula oleh peziarah lain yang berkunjung ke makam sang wali di Desa Kelampayan. Semasa

hidupnya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memang menjadi ulama kesayangan serta

panutan dari keluarga Kerajaan Banjar. Hal ini terbukti saat beliau masih kecil karena kelebihan

agama yang dimiliki beliau, Syekh Muhammad Arsyad kecil sudah diangkat menjadi anak dari

Raja Banjar saat itu. Dan ketika beliau remaja, beliau dikirimkan ke Mekkah untuk belajar dan

memperdalam Agama Islam. Saat beliau meninggal pun, beliau masih dihormati dan disayangi,

oleh keluarga Kerajaan salah satunya adalah dengan bentuk kunjungan (ziarah) ke makam beliau

di Desa Kelampayan. Bangsawan dari Kerajaan tersebut tidak hanya berziarah ke Makam Syekh

Muhammad Arsyad Al-Banjari, namun juga membagi-bagikan uang pada masyarakat Desa

Kelampayan. Adapun maksud dari beliau membagi-bagikan uang kepada penduduk Desa pada

awalnya adalah untuk berbagi rezeki (zakat) dan menunaikan nazar. Inilah awal dari pemicu

munculnya praktek mengemis di Desa Kelampayan.

Berbagi rezeki juga merupakan bentuk penteladanan dari sifat Syekh Muhammad

Arsyad Al-Banjari yang semasa beliau hidup dikatakan memiliki sifat pemurah. Diceritakan

bahwa saat beliau masih hidup Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah ulama yang sangat

pemurah dan senang berbagi rezeki pada orang lain, terutama pada kaum fakir miskin. Hal yang
dilakukan oleh para peziarah dalam membagikan uang tersebut adalah untuk mentaati dan

menurut pada sifat pemurah yang merupakan salah satu sifat dan juga ciri khas dari diri seorang

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kelampayan tersebut. hal yang dilakukan oleh

para peziarah dalam membagikan uang pada dasarnya dapat dilihat sebagai sebuah

pengekspresian dari penteladanan sifat seseorang yang dikagumi, bukan hanya atas dasar alasan

rasa kasihan dan prihatin kepada para pengemis. Praktek mengemis sendiri kemudian adalah

menjadi sebuah bentuk dari pengekspresian diri oleh individu pada masyarakat Desa

Kelampayan.

Arus transportasi yang saat zaman dahulu hanya bisa dilewati melalui sungai dengan

menggunakan kapal jukung / kelotok, kemudian juga berpengaruh pada lokasi persebaran

pengemis dan juga cara-cara mengemis yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kelampayan

zaman dahulu. Penduduk yang mengemis pada waktu itu hanya menunggu peziarah di sekitaran

areal makam, yakni seperti di Dermaga dan juga di pelataran pintu masuk makam. Tidak hanya

menunggu di dermaga atau pelataran makam, anak-anak yang ikut mengemis dahulu seperti

yang diceritakan oleh informan, sering kali akan menceburkan dirinya ke sungai hanya untuk

meminta-minta kepada peziarah yang saat itu menggunakan transportasi air.

Dahulu perkembangan pengemis yang ada di Desa Kelampayan menurut penuturan

beberapa orang informan terhitung cukup cepat.Saat era tahun 40an, penduduk yang menjadi

pengemis terhitung masih sedikit. Seiring berjalannya waktu sekitar tahun 50an, jumlah

masyarakat Desa Kelampayan yang kemudian ikut terlibat menjadi pengemis di sekitaran areal

makam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Orang yang mengemis tersebut adalah dari

masyarakat Desa Kelampayan kala itu. Di tahun 60an hingga tahun 90an semakin banyak
penduduk Desa Kelampayan yang menjadi pengemis. Kebiasaan ini terus bertahan hingga saat

ini.

Para pengemis yang hingga saat ini masih mempraktekkan kebiasaan mengemis hanya

tersebar di 2 lokasi Desa Kelampayan, yakni Desa Kelamyan Ulu dan Desa Kelampayan Tengah.

Setidaknya ada 2 faktor ataupun alasan yang dapat menjelaskan mengapa praktek mengemis

tidak sampai ke wilayah Desa Kelampayan Ilir. Pertama adalah seperti yang telah dituliskan di

atas, bahwa wilayah Desa Kelampayan Ilir pada dasarnya adalah wilayah yang tergolong baru

dengan orang-orang atau penduduk didalamnya yang pada dasarnya tidak terbiasa dan juga tidak

terlahir dari lingkungan yang membuat diri mereka menjadi seorang pengemis, karena mereka

adalah orang yang berpindah tempat. Dan hal ini berlanjut kepada keturunan selanjutnya yang

lahir di Desa Kelampayan Ilir, tidak ada penduduk yang mengikuti praktek mengemis seperti

yang terjadi pada masyarakat Desa Kelampayan Ulu dan Desa Kelampayan Tengah. Batas

wilayah antara Desa Kelampayan Tengah dan Desa Kelampayan Ilir berada pada pertigaan jalan

dan terdapat 2 jembatan di antara pertigaan tersebut. Daerah pertigaan jalan ini kemudian

berhubungan dengan alasan atau faktor kedua mengapa praktek mengemis tidak ada di Desa

Kelampayan Ilir. Yakni karena jalan Desa Kelampayan Ilir sangat jarang dilalui oleh mobil atau

kendaraan bermotor dari para peziarah. Banyak dari para peziarah (baik yang menggunakan

kendaraan pribadi maupun jasa angkutan umum seperti taksi) yang biasanya melalui jalan Desa

Kelampayan Tengah kemudian berbelok ke kiri mengambil jalur ke arah Desa Sungai Tuan yang

berbatasan langsung dengan jalan raya antar Kota. Sedangkan jalur yang melalui jalan Desa

Kelampayan Ilir sangat jarang dilalui oleh para peziarah.

Namun terlepas dari hal tersebut, praktek mengemis yang terdapat di Desa

Kelampayan adalah praktek yang telah menjadi kebiasaan dari masyarakatnya yang telah ada
sejak dahulu dan masih bertahan hingga saat ini. Jika dilihat dari konsep dari Engkus Kuswarno

(2009), para pengemis yang ada di Desa Kelampayan dapat dimasukkan ke dalam kategori

pengemis yang berpengalaman. Pengemis yang berpengalaman sendiri dijabarkan sebagai

pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan.

Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif

sebab). Hal ini pula yang terjadi pada kasus di Desa Kelampayan, dimana praktek mengemis

sangat sulit untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakatnya karena telah ada sejak waktu yang

sangat lama.

C. Pengemis Desa Kelampayan Masa Sekarang

Lokasi tempat persebaran pengemis Desa Kelampayan terbagi ke dalam 2 lokasi yakni

jalanan Desa Kelampayan Tengah dan Areal kompleks kubah Makam Syekh Muhammad Arsyad

Al-Banjari. Usia para pengemis pun beragam, yang paling muda tentunya adalah anak-anak

seusia sekolah dasar. Anak-anak yang meminta-minta lebih banyak terlihat di sekitaran makam,

biasanya mereka akan bergerombol bersama anak-anak seusianya. Tidak hanya dari kalangan

anak-anak, mengemis juga dilakukan oleh penduduk yang sudah tua dan bahkan juga orang-

orang yang masih tergolong muda atau remaja.

Beberapa pengemis yang merupakan warga asli Desa Kelampayan mengaku bahwa

mereka menjadi pengemis karena memang tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Hal ini

disebabkan karena mayoritas tingkat pendidikan mereka yang rendah, yang kemudian berimbas

pada rendahnya kesempatan kerja bagi mereka. Para pengemis yang beroperasi di Desa

Kelampayan mayoritas hanyalah lulusan sekolah dasar. Para pengemis juga mengakui bahwa

menjadi pengemis adalah atas keinginan mereka sendiri tanpa adanya ajakan atau paksaan

siapapun. Namun menurut mereka pula, bahwa sebenarnya mereka ingin menjadi pengemis
karena melihat orang-orang sekitar mereka yang mudah untuk mendapatkan uang dengan

menjadi pengemis. Hal ini berarti secara tidak langsung mereka menjadi pengemis pada dasarnya

karena terpengaruh lingkungannya yang penuh dengan orang mengemis.

Selain dari kaum pria, pengemis yang ada di Desa Kelampayan juga ada yang dari

kaum wanita. Beberapa bahkan ada yang membawa serta anaknya ketika mengemis. Hal ini

dimaksudkan untuk menarik perhatian peziarah agar merasa kasihan kepada pengemis sehingga

peziarah kemudian memberikan uangnya kepada pengemis. Selain itu, para pengemis yang ada

di Desa Kelampayan sendiri sebenarnya tidak ada yang mengkoordinir atau sifatnya tidak

terorganisir secara berkelompok. Pengemis yang ada di Desa Kelampayan hanya bekerja sendiri-

sendiri atau secara individual, namun dengan jumlah yang banyak. Sehingga sering kali muncul

dugaan dari orang-orang luar seperti para peziarah bahwa pengemis yang ada di Desa

Kelampayan ada yang mengkoordinir. Padahal kenyataannya tidak ada yang mengorganisir para

pengemis, hal ini seperti yang disampaikan oleh beberapa pengemis bahwa mereka hanya

beroperasi sendiri-sendiri.

Para pengemis yang beroperasi biasanya akan menyesuaikan waktu dengan jam-jam

yang ramai oleh para peziarah. Misalnya ketika hari kerja seperti hari Senin hingga hari Jum’at,

maka juga akan lebih sedikit pengemis yang terlihat beroperasi. Hari yang ramai oleh para

pengemis menurut penuturan beberapa informan jika pada hari biasa adalah pada hari Sabtu dan

hari Minggu. Sedangkan pada hari-hari besar Islam seperti momen Hari Raya, dimana pada saat

hari tersebut juga banyak peziarah yang berkunjung ke makam Syekh Muhammad Arsyad Al-

Banjari, maka juga banyak bermunculan orang-orang yang mengemis. Artinya dalam momen

atau situasi tertentu juga akan muncul para pengemis musiman di Desa Kelampayan. Bahkan

jalanan Desa Kelampayan Tengah akan macet pada saat momen Hari Raya. Kemacetan bukan
hanya disebabkan oleh banyaknya mobil yang lewat dan juga jalan Desa yang tergolong kecil,

tetapi juga karena banyaknya pengemis yang duduk-duduk di sepanjang jalan Desa Kelampayan

Tengah. Dari tahun ke tahun memang dikatakan bahwa jumlah pengemis yang ada di

Kelampayan tidak pernah meningkat drastis, namun sifatnya fluktuatif.

D.Konstruksi Sosial Praktek Mengemis

Konstruksi sosial dari praktek kebiasaan mengemis yang telah langgeng di Desa

Kelampayan pada dasarnya terbentuk dalam proses yang panjang dan berkesinambungan.

Praktek mengemis yang terjadi, mulanya mulanya memang dimulai dari masyarakat Desa

Kelampayan sendiri. Namun karena adanya pemicu dari orang luar Desa Kelampayan. Menurut

Berger (2012), realitas sosial dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak dapat berdiri

sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial

memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu

lain sehingga mamantapkan realitas tersebut secara objektif. Sehingga menurut Berger kenyataan

sosial merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya dari

masa silam, ke masa kini, dan menuju masa depan.

Pada konteks kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, praktek mengemis tidak

yang telah terciptakan sejak lama tidak akan dapat langgeng bertahan hingga sekarang jika bukan

karena individu-individu yang ada di luar maupun di dalam masyarakat Desa Kelampayan

sendiri. Praktek mengemis yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan telah melalui proses yang

panjang dari masa lampu hingga masa sekarang, dan bahkan bisa jadi akan terus langgeng

hingga masa yang akan datang. Artinya praktek mengemis pada dasarnya dapat terus bertahan

karena adanya interaksi yang terjadi antara masyarakat Desa Kelampayan dengan para peziarah

yang dalam hal ini merepresentasikan orang luar Desa Kelampayan. Dalam kehidupannya pun
masyarakat Desa Kelampayan tentu memiliki kenyataan ganda, dimana mereka tentu memiliki

pengalaman mengenai praktek mengemis yang kemudian menjadi kebiasaan, dan juga

pengetahuan yang terkandung dalam praktek mengemis yang dilakukan.

Berger menegaskan konstruksi sosial dalam masyarakat memiliki dimensi-

dimensi subyektif dan obyektif. Realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat

dipandang memiliki kenyataan ganda, tidak hanya kenyataan tunggal. Hal ini karena individu

pada dasarnya memiliki pengalaman dan pemahaman atas realitasnya masing-masing. Bagi

Berger, masyarakat dilihat sebagai realitas obyektif yang memiliki sifat memaksa kepada

individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Secara sederhana, realitas obyektif adalah

realitas yang berada di luar individu. Berger terpengaruh pemikiran Durkheim mengenai fakta

sosial, dimana menurutnya pengalaman adalah sebagai sebuah paksaan eksternal bukan karena

dorongan internal. Dalam kehidupannya, manusia terus menerus melakukan kegiatan timbal

balik antara sesama manusia, proses ini akan berlangsung dalam dialektika eksternalisasi,

obyektivikasi, dan internalisasi.

Selain berhadapan dengan realitas obyektif, Berger juga mengatakan bahwa

manusia akan berhadapan dengan realitas subyektif. Pemikirannya ini sejalan dengan pemikiran

Marx. Ketika realitas obyektif terus menerus terulang dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat,

maka akan muncul subyektivitas yang kemudian dilihat sebagai kenyataan subyektif. Maka dari

itu, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui

proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang

mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, dimana terdapat tesa, anti tesa,

dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk

masyarakat (Berger, 2012).


Praktek mengemis yang telah langgeng sekian lama pada masyarakat Desa

Kelampayan pada dasarnya muncul karena adanya interaksi antara masyarakat Desa Kelampayan

sendiri dengan orang luar Desa yang dalam hal ini adalah para peziarah yang sering kali

mengunjungi dan juga berziarah ke makam Wali yang ada di Desa Kelampayan. Seperti yang

telah dituliskan pada bagian sejarah munculnya mengemis, bahwa awal mula kemunculan

pengemis adalah karena adanya seorang bangsawan Kerajaan yang membagikan uangnya kepada

masyarakat Desa Kelampayan. Dalam teori Berger, cerita masa lalu mengenai bangsawan yang

berbagi rezeki pada masyarakat Kelampayan dapat dilihat sebagai sebuah proses interaksi

langsung yang kemudian memunculkan pengalaman di masa depan.

Bangsawan yang bersangkutan melakukannya tentu dengan tujuan tertentu yang

dalam hal ini tentu memiliki makna bagi dirinya sendiri. Niat membagikan uang yang

merupakan rezeki yang beliau miliki, dimaksudkan untuk menteladanani sifat dari Syekh

Muhammad Arsyad Al-Banjari, yakni mengikut pada sifat pemurah yang beliau miliki semasa

hidup. Hal ini karena rasa hormat dan sayang dari masyarakat kepada sang wali yang

dimakamkan di Desa Kelampayan tersebut.

Hal yang dilakukan oleh para peziarah dalam membagikan uang pada dasarnya

dapat dilihat sebagai sebuah pengekspresian dari penteladanan sifat seseorang yang dikagumi,

bukan hanya atas dasar alasan rasa kasihan dan prihatin kepada para pengemis. Praktek

mengemis sendiri kemudian adalah menjadi sebuah bentuk dari pengekspresian diri oleh

individu pada masyarakat Desa Kelampayan. Hal ini menurut Berger adalah kemampuan

ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektivasi, artinya ia memanifestasikan diri dalam

produk-produk kegiatan manusia. Obyektivasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-

ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Maksudnya
individu yang saling berinteraksi kemudian memiliki pengartian sama terhadap tindakan yang

mereka lakukan.

Berger menyatakan bahwa manusia akan menjelajahi berbagai implikasi dimensi

realitas subyektif dan obyektif, maupun proses dialektis dari obyektivikasi, internalisasi dan

eksternalisasi. Proses dialektika ini merupakan proses yang berjalan terus, di mana internalisasi

dan eksternalisasi menjadi momen dalam sejarah (Poloma dalam Berger, 2004). Ketiga elemen

ini (eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi,) bergerak secara dialektis sehingga

membentuk suatu konstruksi sosial. Sedangkan dalam permasalahan yang diangkat dalam

pembahasan ini, penulis akan memulainya dari proses obyektivasi, kemudian berlanjut pada

internalisasi dan terakhir adalah eksternalisasi.

E. Obyektivasi Praktek Mengemis oleh Penduduk Desa Kelampayan

Proses awal dari konstruksi sosial praktek mengemis di Desa Kelampayan dapat

dilihat dari proses obyektivasi. Obyektivikasi merupakan interaksi seorang individu dengan

dunia intersubjektif yang telah terlembagakan atau mengalami institusionalisasi (Berger, 1991).

Dalam proses ini individu telah membaur dalam realitas kehidupan masyarakat yang telah ada.

Masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif. Dalam sebuah titik pada proses objektifikasi

terdapat sebuah proses mengubah kesadaran menjadi suatu tindakan. Artinya suatu nilai yang

telah dipegang oleh seorang individu dalam masyarakat kemudian menjadi elemen yang tidak

terpisahkan. Sehingga apa yang disadari oleh individu adalah apa yang ia lakukan.

Pada masa sekarang, mengemis adalah bentuk manifestasi mereka terhadap

realitas yang telah ada dan telah terbentuk sejak lama. Contoh konkritnya misalkan adalah ketika

seorang individu kemudian membaur dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, dan ikut
melanjutkan kebiasaan mengemis. Seorang individu tidak akan melakukan praktek mengemis

jika ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Artinya lingkungan adalah salah satu elemen dari

pembentuk kesadaran atau nilai yang dipegang individu mengenai praktek mengemis yang ia

lakukan. Kesadaran tersebut misalnya hadir dalam bentuk bergabungnya individu ke dalam

aktivitas yang telah ada pada masyarakat Desa Kelampayan.

Beberapa pengemis Desa Kelampayan mengakui bahwa mereka menjadi

pengemis karena keinginan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Keinginan mengemis

muncul dari diri mereka sendiri, meski sebenarnya mereka terpengaruh oleh lingkungan

pertemanannya. Para pengemis mengaku bahwa mereka tertarik menjadi pengemis setelah

melihat teman-temannya yang terlebih dahulu mengemis dengan mudah mendapatkan banyak

uang dari mengemis, sehingga kemudian juga muncul keinginan untuk mengemis. Mereka sadar

bahwa mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang memelihara praktek mengemis dan

mereka pun kemudian terpengaruh serta akhirnya memilih untuk mengikuti kebiasaan yang ada.

Dalam pemikiran Berger (2012), masyarakat pada dasarnya memiliki sifat yang memaksa

terhadap realitas yang dihadapi seorang individu. Meski kenyataannya tidak ada yang mengajak

mereka untuk mengemis, tetapi secara tidak sadar lingkungan lah yang kemudian mempengaruhi

dan membentuk pikiran mereka untuk menjadi pengemis.

Praktek mengemis di Desa Kelampayan tidak akan dapat muncul tanpa adanya

tindakan yang dilakukan melalui penegasan yang berulang-ulang, meski di sisi lain juga terdapat

faktor lain yang kemudian membuat masyarakat menjadi pengemis. Maksudnya adalah ketika

para peziarah semakin sering membagikan uangnya maka masyarakat kemudian menjadi terbiasa

dan mulai memanfaatkan tindakan yang dilakukan oleh para peziarah. Antara peziarah dan
pengemis kemudian terbangun sebuah arti mengenai memberi dan menerima. Mengemis adalah

bentuk manifestasi dari tindakan yang dilakukan oleh para peziarah.

Bentuk konkrit dari penegasan berulang-ulang tersebut misalnya adalah ketika dahulu

para peziarah setiap hari membagi-bagikan uangnya kepada penduduk Desa Kelampayan dan

masyarakat Desa Kelampayan kemudian menjadi terbiasa dengan hal ini. Hingga kemudian

praktek mengemis pun akhirnya dilakukan setiap hari, oleh individu-indivdiu yang

melakukannya dengan jam kerja yang mengikut pada aktivitas peziarah. Bahkan para pengemis

juga mengetahui waktu-waktu yang ramai oleh peziarah, maksudnya ketika peziarah ramai,

maka pengemis yang terlihat di kawasan Desa Kelampayan juga akan sangat banyak.

Aktivitas yang telah dilakukan melalui penegesan yang berulang-ulang, kemudian

mengalami proses pembiasaan atau habitualisasi. Aktivitas yang telah menjadi proses

pembiasaan tersebut dijadikan sebagai cara seseorang dalam memaknai situasi dan menjadi dasar

untuk bertindak pada situasi atau moment tertentu. Dari segi makna yang diberikan manusia

kepada kegiatannya, pembiasaan menyebabkan tidak perlunya tiap situasi didefiniskan kembali.

Setiap perilaku sifatnya adalah baku. Hal ini berlaku pula dalam konteks kehidupan masyarakat

Desa Kelampayan dengan pengemisnya. Aktivitas mengemis kemudian menjadi sebuah

kebiasaan karena selalu dilakukan setiap hari dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang

sangat lama. Aktivitas mengemis yang dilakukan tidak lagi memerlukan penjelasan karena telah

terbentuk dan tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Sehingga ketika

ada peziarah yang memberikan uangnya, maka para pengemis tidak akan menolaknya. Sifat

hubungan semacam ini adalah sesuatu yang baku dan dapat diterima. Pembiasaan juga dapat

dilihat dalam hal kehidupan sehari-hari seseorang yang tumbuh dalam lingkungan pengemis

seperti yang terdapat pada kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Seseorang akan menjadi
terbiasa, yang kemudian juga tertanam ke dalam dirinya mengenai lingkungan hidup tempat

tinggalnya yang penuh dengan orang-orang mengemis.

Seperti yang telah dituliskan di atas, manusia pada dasarnya menciptakan proses

tipifikasi yang memaksa pada kesadaran masing-masing individu atas aktivitas dalam

pembiasaan tersebut, sehingga kemudian dapat dipahami bersama dan menghasilkan suatu

kelembagaan. Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-

tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe perilaku. Lembaga pada umumnya mewujudkan

diri pada kolektivitas manusia dalam jumlah yang banyak. Namun menurut Berger, proses

pelembagaan tipifikasi (timbal-balik) juga akan terjadi ketika dua individu saling berinteraksi

untuk pertama kalinya (Berger, 2012). Tipifikasi timbal balik yang terjadi pada kedua individu

tersebut belum dilembagakan namun, pada dasaranya pelembagaan telah terkandung

didalamnya.

Dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, praktek mengemis yang

dilakukan tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang, namun dengan jumlah kolektivitas

manusia yang banyak. Hubungan yang terjalin antara peziarah dan pengemis pun bersifat timbal

balik dan saling menguntungkan. Sehingga kemudian terdapat pengkategorian makna tersendiri

dari praktek yang dilakukan oleh para pengemis yang ada di Desa Kelampayan. Dalam praktek

mengemis yang dilakukan masyarakat Desa Kelampayan sendiri terdapat cara-cara tertentu,

kebiasaan, dan tata kelakukan dari inivdidunya. Hal ini merupakan elemen yang mencirikan

terbentuknya suatu pelembagaan.

Habitualisasi atau proses pembiasaan yang telah terbentuk dalam diri individu

kemudian memunculkan sebuah pengalaman yang tersimpan pada kesadaran, lalu mengendap
menjadi suatu kesadaran individu untuk kemudian dialihkan atau diteruskan dari generasi ke

generasi berikutnya. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan dari setiap individu akan terus

mengendap kemudian terkumpul sebagai ingatan sebuah entitas yang dapat dikenali dan juga

akan diingat kembali. Pengendapan intersubjektif hanya benar-benar dinamakan sosial ketika

telah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda. Artinya, sangat memungkinkan bagi terulangnya

objektifikasi pengalaman-pengalaman bersama yang ada pada suatu masyarakat.

Para pengemis di Desa Kelampayan yang telah terbiasa dengan aktivitas yang

mereka lakukan kemudian menjadi sebuah pengalaman tersendiri yang juga merupakan

kesadaran bagi mereka. Pengalaman yang mereka peroleh dari praktek mengemis tersebut

kemudian dapat diteruskan atau dilanjutkan kepada individu-individu baru. Praktek mengemis

merupakan sebuah kebiasaan yang kemudian dapat dialihkan dan diteruskan serta dapat terulang

kembali di tengah kehidupan masyarakat Desa Kelampayan dengan individu yang berbeda yang

akan melakukannya.

Selain itu, Berger melihat bahwa pengetahuan pada dasarnya terdistribusi dalam

masyarakat. Pengetahuan yang dimaksud oleh Berger adalah realitas sosial masyarakat itu

sendiri. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan

berkembang di masyarakat sebagai sebuah konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai

hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial tidaklah berlangsung dalam ruang hampa seolah

tidak terjadi apa-apa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Berger, 2012). Apa yang

diketahui oleh seseorang, belum tentu kemudian diketahui oleh orang lain. Begitu pula pada

masyarakat Desa Kelampayan, masyarakat tentu memiliki pengetahuan yang tersebar kepada

individu-individu di dalamnya. Menurut Berger pengetahuan dan pengalaman pada diri setiap

manusia pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Manusia saling berinteraksi dalam proses
timbal balik yang terus menerus hingga akhirnya terjadi pertukaran yang membuat pengetahuan

menjadi terintegrasi dan juga terbentuk cadangan pengetahuan yang kemudian dialihkan dari

generasi ke generasi. hal ini juga berlaku pada setiap individu yang ada pada masyarakat Desa

Kelampayan. Pengetahuan setiap individu tentu berbeda satu dengan yang lainnya dan perbedaan

pengetahuan akan menjadi sebuah kesatuan pengetahuan yang terintegrasi ketika individu yang

hidup dalam masyarakat Desa Kelampayan saling berinteraksi. Dalam kehidupan masyarakat

Desa Kelampayan dengan kebiasaan mengemisnya, terdapat individu-individu yang memiliki

pengetahuan mengenai praktek mengemis yang ia lakukan menurutnya adalah benar, dan hal ini

telah tertanam ke dalam dirinya. Namun di sisi lain juga ada masyarakat Desa Kelampayan yang

memiliki pengetahuan lain, yang menganggap bahwa mengemis bukanlah hal yang tepat meski

mereka hidup dalam keadaan berkekurangan. Perbedaan pengetahuan seperti yang diungkapkan

Berger kemudian dialihkan kepada generasi selanjutnya.

Pengalihan yang terjadi dari individu ke individu lainnya tersebut dilakukan

melalui sebuah alat, yakni bahasa yang mengobyektifikasi endapan tersebut dan kemudian akan

diobyektifikasi menjadi sebuah tradisi dari akumulasi pengalaman bersama oleh kolektivitas

masyarakat yang bersangkutan. Artinya kolektivitas mengenai pengalaman praktek mengemis

akan terjalin ketika terdapat individu yang melanjutkan praktek mengemis atau individu lain

yang baru hadir kemudian ikut serta dengan individu yang telah terlebih dahulu melakukan

praktek mengemis, hal ini berarti tradisi mengemis telah terakumulasi.

Selain itu, bahasa juga memberikan cara-cara mengobyektivasi pengalaman-

pengalaman baru, yang memungkinkan pemasukannya ke dalam cadangan pengetahuan yang

sudah ada dan diobyektivasikan ke dalam tradisi kolektivitas bersangkutan. Obyektivasi

pengalaman dalam bahasa memungkinkannya untuk dimasukkan ke dalam suatu himpunan


tradisi yang lebih luas. Baik pengalaman dalam arti yang lebih sempit maupun berupa pengertian

yang lebih luas, lalu dapat diajarkan pada setiap generasi baru (Berger, 2012).

Dalam konteks masyarakat Desa Kelampayan, bahasa adalah alat yang digunakan

dari orang-orang terdahulu untuk memberikan suatu penjelasan kepada generasi selanjutnya

mengenai praktek mengemis yang dilakukan. Penjelasan melalui bahasa berisikan hal-hal

mendasar mengenai cara mengemis yang dapat dilakukan. Misalnya adalah mengenai waktu dan

momen yang tepat kapan mengemis dapat dilakukan. Atau misalnya kemampuan anak-anak

dalam merayu para peziarah agar memberikan uangnya kepada mereka. Melalui sistem

bahasalah kemudian praktek mengemis terus-menerus direproduksi sehingga menjadi kebiasaan

yang langgeng hingga saat ini. Bahasa dalam contoh yang diberikan Berger tidak hanya terbatas

pada suara yang keluar dari mulut seseorang, namun bahasa dapat dimaknai secara luas seperti

misalnya pada gerak tubuh maupun ekspresi bagian tubuh manusia lainnya. Bahasa memiliki

peranan yang sangat vital dalam interaksi sosial. Karena bahasa kemudian dapat menyatukan

semua kalangan sehingga antar manusia dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Tidak hanya itu, bahasa juga dapat menjadi bentuk ekspresi seorang manusia. Kemampuan

ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektivasi, artinya ia memanfisetasikan dirinya ke

dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik bagi produsennya maupun bagi orang

lain sebagai unsur-unsur dunia bersama (Berger, 2012). Bahasa yang dikeluarkan oleh anak-anak

yang mengemis di areal makam Desa Kelampayan, tentu tidak akan keluar dari mulut mereka

sendiri tanpa adanya proses pembelajaran dan pengalihan dari orang-orang yang lebih dewasa.

Dan mereka pada akhirnya tidak hanya tahu harus berkata apa ketika ingin meminta-minta

kepada para peziarah, tetapi anak-anak tersebut juga telah memiliki pengetahuan mengenai
praktek mengemis itu sendiri. Sehingga seperti yang telah dikatakan Berger bahwa bahasa adalah

alat yang dapat mengalihkan pengetahuan.

Pada titik dimana pengetahuan menjadi relevan bagi semua orang inilah, peranan

individu diperlukan dalam tatanan kelembagaan dunia sosial. Asal mula peranan terletak dalam

proses mendasar pembiasaan dan obyektivasi yang sama dengan asal mula lembaga. Peranan

muncul bergitu dimulai proses pembentukan cadangan pengetahuan bersama yang mengandung

berbagai tipifikasi perilaku secara timbal balik. Semua peranan bersifat mengendalikan

pelembagaan. Saat peranan yang hadir dalam tatanan kelembagaan diinternalisasi oleh individu

maka dunia sosial individu bersangkutan secara obyektif menjadi nyata karena pengungkapan

diri individu mencerminkan suatu peran dan tindakan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitarnya. Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan.

Dalam konteks praktek mengemis Desa Kelampayan, peranan yang kemudian

membuat pengetahun mengemis menjadi relevan misalnya adalah karena faktor dari para orang

yang ‘dituakan’ oleh masyarakat Desa Kelampayan juga pernah mengemis dan juga tokoh agama

yang ‘menghalalkan’ praktek mengemis dalam masyarakat Desa Kelampayan sendiri. Tokoh

agama dan tetua atau orang yang dituakan di Desa Kelampayan pada dasarnya tidak

mempermasalahkan praktek mengemis yang ada di desanya. Mereka melihat praktek mengemis

sangat sulit dihilangkan karena memang sudah sangat lama hadir dalam kehidupan masyarakat

Desa Kelampayan.

Peranana juga memunculkan legitimasi, legitimasi memberitahukan kepada

individu mengapa ia harus melakukan suatu tindakan tertentu dan bukan tindakan lainnya. Selain

itu legitimasi juga memberitahukan kepada individu yang hidup dalam masyarakat mengapa

segala sesuatu berlangsung seperti apa adanya. Legitimasi dapat disampaikan melalui beberapa
alat, misalnya menurut Berger dapat dilakukan melalui teologi, seperti dalil-dalil agama, lalu

mitologi (mitos) atau cerita rakyat maupun yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Berger menyatakan bahwa legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai obyketivasi

makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk

mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan. Legitimasi bukan hanya sekedar nilai-

nilai, tapi juga mengimplikasikan pengetahuan.

Dalam sudut pandang agama yang disampaikan oleh seorang tokoh agama Desa

Kelampayan menyatakan bahwa mengemis boleh dilakukan atas dasar-dasar tertentu. Hal ini

seperti yang dituliskan Berger, bahwa pengetahuan bersama yang dimiliki oleh masyarakat pada

tahap selanjutnya memerlukan penjelasan-penjelasan untuk membenarkan pengetahuan tersebut.

Hal ini dilakukan melalui proses legitimasi, yang berfungsi agar segala lembaga yang telah

diobyektifikasi bisa diterima oleh umum dan masuk akan secara individual. Pada masyarakat

Desa Kelampayan agama menjadi alat yang sangat efektif sebagai legitimasi terhadap praktek

mengemis itu sendiri. Selain melalui sudut pandang agama, legitimasi praktek mengemis juga

hadir melalui cerita rakyat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Cerita

rakyat tersebut menyatakan bahwa jika ada orang yang mengganggu atau memarahi dan bahkan

menghina pengemis maka akan kualat tersendiri bagi para pelakunya. Karena mereka

menganggap pengemis muncul karena adanya karomah (berkah) dari wali yang dimakamkan di

desanya. Sehingga keberadaan pengemis dianggap sebagai suatu hal yang sakral dan tidak bisa

diganggu.

Kemudian jika dilihat dari sudut pandang si pemberi atau para peziarah, terdapat

legitimasi agama yang menyatakan bahwa orang yang suka memberi atau bersedekah adalah

orang yang murah rezeki. Maksudnya ketika seseorang peziarah memberikan uangnya kepada
pengemis yang ada di Desa Kelampayan, maka harapannya dari si peziarah adalah agar ia

kemudian mendapatkan rezeki yang lebih dari Allah atas apa yang telah ia berikan kepada si

pengemis. Artinya dalam hal ini, agama telah melegitimasi tindakan para peziarah dalam

memberikan dan membagikan uangnya kepada para pengemis di Desa Kelampayan.

Selain adanya legitimasi yang menguatkan kembali dari keberadaan praktek

mengemis itu sendiri, dogma agama juga memunculkan penggolongan atau pembagian pihak-

pihak mana saja yang kemudian pantas untuk memberi dan menerima. Dalam sudut pandang

agama, mereka yang tidak pantas dan tidak berhak untuk menerima zakat adalah mereka yang

hidup dalam keadaan berkecukupan dan tidak berkekurangan, maka jika melihat pada konteks

Desa Kelampayan contoh tersebut merepresentasikan para peziarah yang senang membagi-

bagikan uangnya. Tujuannya seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, adalah

untuk berbagi rezeki, dan berzakat. Dan memberi atau membagikan uang adalah wujud

penteladanan nyata dari para peziarah kepada kelebihan sifat yang dimiliki oleh Syekh

Muhammad Arsyad Al-Banjari yang dimakamkan di Desa Kelampayan. Harapannya ketika para

peziarah sudah membagikan rezekinya, maka suatu saat Allah akan memberikan rezeki lebih

banyak lagi, dan juga tentunya pengharapan tertinggi adalah adanya balasan surga. Karena

penteladanan dari kelebihan sifat seorang wali yang dicintai tentu adalah agar para peziarah yang

hanya orang biasa dapat mengikuti jejak sang wali yang dekat dengan Tuhan dan dapat tempat di

surga.

Sedangkan dalam sudut pandang agama mengenai mereka yang pantas untuk diberi

atau menerima zakat adalah mereka yang hidup dalam kekurangan, miskin, dan tidak mampu

memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka jika melihat pada konteks Desa Kelampayan, hal ini

merepresentasikan para pengemis yang merupakan penduduk asli Desa Kelampayan sendiri,
dimana mereka kemudian mencitrakan diri mereka dengan pakaian yang kotor, kucel, compang-

camping dan sebagainya. Para pengemis kemudian dapat menjabarkan atau mengartikan sendiri

bahwa mereka adalah pihak yang pantas untuk mendapatkan pemberian dari para peziarah.
E. Internalisasi Praktek Mengemis oleh Penduduk Desa Kelampayan

Berger (2012) menekankan pentingnya hubungan antara individu dengan

masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Setiap orang dapat mengartikan subyketivitas yang

dilakukan oleh individu lain berdasarkan pola pikir orang yang mengobyektivikasi. Individu

yang bersangkutan kemudian dapat memilih apakah ada kesesuaian antara proses satu orang

dengan yang lain. Dalam hal ini individu bersangkutan telah menyaring apa yang menjadi

realitas obyektifnya. Tahapan kedua pasca obyektivasi tersebut adalah tahapan internalisasi.

Berger menyatakan bahwa proses internalisasi akan terus menerus berlangsung seumur hidup

dalam 2 tahapan yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Momen internalisasi yang

dialami individu secara terus menerus dilakukan dengan proses pengidentifikasian timbal balik

yang terjadi antara individu dan masyarakat, hal ini untuk memperkenalkan dan juga

mengukuhkan eksistensi diri individu tersebut ke dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga

dimaksudkan agar keberadaan individu yang bersangkutan dapat diketahui dan dikenal oleh

masyarakat.

A. Sosialisasi Primer

Pada masa kecil atau anak-anak, individu telah mengalami sosialisasi dalam

dirinya, individu dapat mengidentifikasi dirinya melalui orang-orang berpengaruh terhadap

dirinya melalui berbagai cara yang emosional. Orang-orang yang sangat berpengaruh dalam hal

ini sangat mungkin adalah orang tua dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap

sosialisasi anak. Dalam praktek mengemis yang terjadi di Desa Kelampayan, sejak kecil banyak

anak-anak Desa Kelampayan yang telah terbiasa dengan lingkungan pengemisnya, terlebih

dalam proses sosialisasi primer seperti keluarga. Dalam beberapa kasus, terdapat semua anggota

keluarga yang kemudian menjadi pengemis, mulai dari ayah ibu dan anaknya. Sehingga tidak
heran kemudian mengapa mengemis terus menerus menjadi sebuah kebiasaan karena praktek

mengemis telah ditanamkan sejak usia dini.

Sosialisasi primer yang berisi muatan emosi dari orang-orang terdekat

berpengaruh seperti orang tua dan keluarga akan lebih diterima dan akan begitu kuat melekat

dalam diri seorang individu. Individu bersangkutan dapat menginternalisasikan peran dan sikap

orang-orang yang berpengaruh terhadap dirinya tersebut, dan dapat menjadikannya sebagai sikap

dan perannya sendiri. Artinya seperti yang telah dituliskan diatas, seorang anak pada masyarakat

Desa Kelampayan kemudian dapat dengan mudah menjadi pengemis karena terpengaruh dan

mengikut pada peranan serta sikap orang yang dianggapnya berpengaruh secara emosi yakni

seperti orang tuanya sendiri.

Pengidentifikasian diri melalui orang-orang yang berpengaruh kemudian

menempatkan individu pada suatu identitas subyektif yang masuk akal karena merupakan

cerminan yang diambil dari sikap orang-orang berpengaruh bagi si individu yang bersangkutan.

Sosialiasi primer menciptakan suatu abstraksi yang lebih kuat di dalam kesadaran anak

dibandingkan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada

umumnya (Berger, 2011).

Dalam beberapa kasus pada masyarakat Desa Kelampayan, ditemukan beberapa

keluarga yang semua anggota keluarganya mengemis, mulai dari anak, bibi, pamannya, orang

tuanya, hingga kakek neneknya. Tahapan sosialiasi primer merupakan dunia pertama dimana

seorang individu terbentuk, dimana penanaman nilai-nilai dan pengetahuan pada anak sebagai

indivdiu yang diberikan oleh orang tua dan keluarga kepadanya memberikan gambaran yang

lebih kuat yang kemudian tertanam ke dalam dirinya. Dalm tahapan sosialisasi primer juga akan

menyebabkan munculnya perbedaan pada tingkat pemahaman setiap individu dalam masyarakat.
Pengaruh lingkungan dalam sosialisai primer ini sangat penting, yang kemudian menyebabkan

setiap individu dalam masyarakat memiliki dunia yang berbeda menurut pengalaman dan

pemahamannya sendiri. Contoh nyata dari penuturan Berger tersebut misalnya adalah ketika

seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan pengemis seperti yang terjadi di Desa

Kelampayan, dikemudian hari si anak yang telah terbiasa dan terpengaruh oleh orang-orang yang

penting dalam hidupanya (seperti orang tua dan keluarga lain) akan mengharuskannya untuk ikut

serta pula menjadi pengemis.

Sosialisasi Sekunder

Selain sosialisasi primer, pada proses internalisasi juga terdapat sosialisasi

sekunder. Dalam sosialisasi sekunder, Berger menjelaskan bahwa sosialisasi yang terbangun

pada individu misalnya adalah melalui organisasi dalam masyarakat. Sosialisasi sekunder

menjadi diperlukan bagi diri individu untuk kemudian mendistribusikan pengetahuan khusus

yang didapatnya dari sosialisasi primer, karena dalam proses sosialisasi sekunder terdapat proses

internalisasi sejumlah subdunia kelembagaan (Berger dan Luckman, 1990). Berger juga

menyatakan bahwa sosialisasi berisi muatan emosi yang rapuh dan mudah hilang.

Dalam realitasnya, pengemis yang merupakan penduduk asli Desa Kelampayan

menyatakan bahwa mereka menjadi pengemis karena melihat orang lain yang ada di sekitarnya

juga mengemis. Mereka melihat orang lain yang ada disekitarnya dengan mudah mendapatkan

uang tanpa harus bersusah payah, sehingga kemudian juga muncul keinginan untuk turut serta

menjadi pengemis. Meski mereka juga menyatakan menjadi pengemis tanpa adanya ajakan atau

paksaan dari orang lain, namun pada dasarnya ketika mereka telah melihat apa yang dilakukan

orang lain dan kemudian mengikutinya, artinya mereka telah terpengaruh oleh tindakan yang

dilakukan orang lain tersebut. Contoh konkrit dari proses sosialisasi sekunder pada masyarakat
Desa Kelampayan, terjadi pada saat individu bersentuhan dengan lingkungan tempat tinggal

mereka contohnya seperti tetangga dan juga teman sepermainan. Seorang anak yang lahir dan

kemudian besar di Desa Kelampayan, tentu akan terbiasa dengan lingkungan orang-orangnya

yang mengemis. Lambat laun karena telah terbiasa, sangat mungkin individu yang bersangkutan

juga akan mengikuti apa yang telah tejadi di lingkungannya. Selain keluarga proses sosialisasi

sekunder seperti lingkungan pertemanan juga mempengaruhi seorang individu. Seorang individu

dapat terpengaruh dan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain.

Hal ini tentu berbeda dengan konsep Berger yang menyatakan bahwa dalam

proses sosialisasi sekunder sosialisasi yang ada lebih rapuh dan mudah hilang karena tanpa

adanya muatan emosional dan tidak adanya gambaran dari orang yang dianggap penting oleh

seorang individu seperti orang tua dan keluarga. Pandangan Berger mengenai sosialisasi

sekunder ini telah dipatahkan dengan realitas yang ada di kehidupan masyarakat Desa

Kelampayan dengan praktek mengemisnya. Nyatanya proses sosialisasi sekunder juga memiliki

pengaruh dalam proses pembentukan diri seorang individu. Proses yang ada dalam sosialisasi

sekunder pada akhirnya juga dapat menguatkan kembali pengetahuan dan nilai yang telah

didapatkan pada proses sosialisasi sebelumnya atau saat individu melewati proses sosialisasi

primer.

G. Eksternalisasi Praktek Mengemis oleh Penduduk Desa Kelampayan

Manusia sebagai makhluk hidup akan terus tumbuh berkembang dan berinteraksi

untuk kelangsungan hidupnya. Manusia tidak mungkin dapat berkembang jika hidup dalam

keadaan yang terisolasi atau hidup dalam keadaan menyendiri tanpa adanya interaksi. Manusia

tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya hubungan yang bersifat timbal-balik dengan

lingkungannya. Hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan. Begitu


pula dalam kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, masyarakat yang hidup di dalamnya juga

akan terus mengalami perkembangan karena adanya hubungan atau interaksi. Baik itu hubungan

dengan lingkungan alam Desa Kelampayan, maupun antara sesama individu yang ada dalam

kehidupan sosial masyarakat sendiri. Eksternalisasi merupakan proses di mana manusia yang

mengalami sosialisasi yang tidak sempurna secara bersama-sama membentuk suatu realitas baru,

atau juga tetap mempertahankan realitas yang ada.

Dalam konteks kehidupan Desa Kelampayan dengan pengemisnya, proses dimana

manusia melakukan sesuatu untuk menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup dan akhirnya

terpaksa menjadi pengemis karena kebutuhan hidup yang tidak mencukupi adalah sebuah proses

eksternalisasi ulang terhadap nilai lama yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat dilihat juga

sebagai sebuah bentuk penyesuaian dan pencurahan diri individu terhadap realitas yang ada di

hadapannya. Seorang individu yang hidup dalam masyarakat Desa Kelampayan dapat menjaga

eksistensi dirinya dengan ikut serta melanjutkan kebiasaan dari praktek mengemis. Dengan

mengikuti praktek mengemis, keberadaan individu menjadi jelas dalam masyarakat. Jika proses

ini terjadi, berarti telah terjadi proses eksternalisasi ulang atas realitas yang telah ada dalam

kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Para pengemis yang ada di Desa Kelampayan juga

akan terus mengeksternalisasikan dirinya untuk menjadi pengemis, selama para peziarah terus

menerus membutuhkan mereka. Maksudnya adalah, salah satu faktor lain mengapa para

pengemis terus bermunculan salah satunya adalah karena faktor dari para peziarah. Orang-orang

yang berziarah biasanya akan selalu memanjakan para pengemis dengan memberi mereka uang.

Bahkan ketika para pengemis tidak ada mereka akan terus menerus dicari oleh para peziarah. Hal

ini pernah terjadi pada satu kasus pada saat momen Hari Raya Idul Adha lalu, dimana saat itu

tidak ada satupun pengemis yang beroperasi karena maraknya razia dari pihak terkait. Para
peziarah yang ingin berbagi zakat akhirnya harus meminta pertolongan kepada pihak yayasan

makam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam membagikan rezekinya. Karena masih

adanya kebutuhan dari para peziarah dalam menyalurkan zakatnya, para pengemis akhirnya terus

bermunculan, ini artinya terus menerus terjadi eksternalisasi ulang terhadap praktek mengemis.

H. Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran di atas mengenai konstruksi sosial praktek mengemis pada

masyarakat Desa Kelampayan serta beradasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka

didapatkan kesimpulan bahwa yang pertama praktek mengemis pada dasarnya telah ada sejak

lama pada kehidupan masyarakat Desa Kelampayan. Praktek mengemis yang telah bertahan

sangat lama tersebut pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan turun temurun yang sangat sulit

untuk dihilangkan.

Kedua, dalam proses yang telah berlangsung sangat lama tersebut terdapat beberapa

hal yang membuat praktek mengemis dapat terus menerus langgeng dalam kehidupan

masyarakat Desa Kelampayan. Diantaranya yakni karena adanya proses pembiasaan dan

legitimasi dari praktek mengemis itu sendiri, dimana terus menerus terjadi penegasan berulang-

ulang yang membuat pengetahuan dan nilai mengenai mengemis diserap dan tertanam kuat, lalu

disebaran kepada individu lain hingga kemudian menjadi sebuah tindakan komunal pada

masyarkat Desa Kelampayan. Penyebaran mengenai nilai dan pengetahuan praktek mengemis

dilakukan melalui reproduksi pengetahuan yang terjadi dalam interaksi antar individu pada

kehidupan masyarakat Desa Kelampayan, misalnya melalui tahapan sosialisasi dalam keluarga

maupun sosialisasi dalam lingkungan (teman sepermainan, tetangga).

Ketiga, dalam realitasnya praktek mengemis tidak hanya bertahan karena masyarakat

Desa Kelampayan itu sendiri yang tetap mempertahankan kebiasaan mengemisnya, tetapi juga
karena adanya peran dari para peziarah yang berkunjung ke kawasan Desa Kelampayan. Dalam

prosesnya, interaksi antara pengemis dan peziarah kemudian memunculkan sebuah hubungan

yang saling menguntungkan satu sama lain. Para peziarah membutuhkan para pengemis untuk

membagikan rezekinya, sedangakan para pengemis hadir untuk memberikan wadah bagi para

peziarah yang ingin menyampaikan secara langsung rezeki mereka. Para peziarah merasa lebih

puas ketika rezeki yang mereka miliki diberikan langsung kepada para pengemis. Bahkan para

pengemis akan selalu dicari ketika mereka tidak ada, artinya para pengemis tidak hanya

diuntungkan namun juga selalu dibutuhkan oleh para peziarah di Desa Kelampayan. Proses

pemberian rezeki dari para peziarah dan juga karena merasa selalu dibutuhkan serta

mendapatkan hasil yang mudah, membuat para pengemis menjadi merasa nyaman dengan

keadaan yang ada dan pada akhirnya juga memunculkan rasa malas kepada para pengemis di

Desa Kelampayan, sehingga meski mereka telah diberdayakan namun mereka enggan untuk

mencoba usaha atau pekerjaan selain menjadi pengemis.

Daftar Pustaka

Berger, P. L. dan Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the
sociology of knowledge. (Hasan Basari Terj) Jakarta: LP3ES.

Bungin, B. (2001). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Faatchan, A. (2011). Metode penelitian kualitatif: Beserta contoh proposal skripsi, tesis, dan
desertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

Johnson, D.P. (1988). Teori sosiologi klasik dan modern. Jakarta : PT.Gramedia.
Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi: Metode penelitian komunikasi. Bandung: Widya
Padjajaran.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological reaserch methods. California : SAGE Publications

Nazaruddin, S. (1988). Manakib riwayat hidup dan juriyat Datu Kalampayan. Martapura: Al-
Zahra Darussalam.
Tim Sahabat. (2010). 27 ulama berpengaruh Kalimantan Selatan. Kandangan, Kalimantan
Selatan: Sahabat.

Stamboel. A. K. (2012). Panggilan keberpihakan, strategi mengakhiri kemiskinan di Indonesia.


Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Suharto. E. (2008). Pendekatan pekerjaan Sosial dalam Menangani Kemiskinan di Tanah Air.
Jakarta. LP3ES.

Syaifullah, C. (2008). Generasi Muda Menolak Kemiskinan. Klaten. Cempaka Putih.

Jurnal

Nabila, N, et. al. (2013). Teknik minimalisasi pengemis dengan maksimalisasi potensi dan
motivasi melalui konsep brainwashing. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Rukmyanti. Novi. 2010. Etika Pengemis.pdf
Imaddudinn. 2013. http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/539/jbptunikompp-gdl-imaddudinn-
26904-7-unikom_i-i.pdf.

Dokumen Pemerintah
Bagian Perencanaan dan Data Setditjen Pendidikan Islam Departemen Agama Republik
Indonesia. 2008. Pondok Pesantren. Jakarta: Penyusun

Anda mungkin juga menyukai