Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH TOKSIKOLOGI

KERACUNAN PSIKOTROPIKA

OLEH :

Afwatul Jazilah (P27834120064)

Beti Candra Dewi (P27834120077)

Fifia Istigfarni (P27834120085)

GestieYolandha Prameswari (P27834120088)

Hawariyyin Ayudia Chaerani (P27834120092)

Maulidia Laila Husna Sertita (P27834120104)

Wahyudi Purnomo (P27834120121)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PRODI DIPLOMA IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya yang

telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Toksikologi

tentang “Keracunan Psikotropika” .

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam perkuliahan

Toksikologi Diploma 4 Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Surabaya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon dengan

segala kerendahan hati, pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang

membangun guna kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Penulis

berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca khususnya dan bagi mahasiswa

pada umumnya.

Surabaya, Februari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3

BAB 1 ................................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5

1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 5

BAB 2 ................................................................................................................................. 6

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 6

2.1. Psikotropika ............................................................................................................. 6

2.2 Penyalahgunaan Amphetamine ............................................................................... 13

2.3 Kegunaan dari amfetamin ....................................................................................... 18

2.4 Analisa Zat Amfetamin ........................................................................................... 19

BAB 3 ............................................................................................................................... 28

KESIMPULAN ................................................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 30

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif ( NAPZA) Sudah

menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global. Bagi pengguna

napza, penyalahgunaan berdampak bagi fisik mental, emosional serta sosial(

Kemenkes RI, 2012). Didunia kedokteran dikenal adanya obat-obat tertentu yang

dapat menghilangkan penyakit atau rasa sakit ditubuh, ada pula obat tertentu yang

dapat mempengaruhi sistem saraf yang seringkali menimbulkan perasaan yang

menyenangkan seperti perasaan nikmat yang disebut dengan melayang, aktivitas

luar biasa, rasa mengantuk yang berat sehingga ingin tidur saja, atau bayangan

yang memberi nikamat ( Halusinasi ). Obat-obat semacam itu disebut dengan zat-

zat psikoaktif yang bermanfaat bagi ilmu kedokteran sebagai obat penyakit mental

dan saraf. Akan tetapi bila disalahgunakan maka dapat menyebabkan masalah

serius karena dapat mempengaruhi otak atau pikiran serta tingkah laku

pemakainya, dan biasanya mempengaruhi bagian tubuh lain. Selain itu

penyalahgunaan zat-zat psikoaktif juga menyebabkan ketergantungan fisik yang

lazim disebut dengan ketagiham (adiksi ).

Seringkali Zat-zat psikoaktif tersebut juga menimbulkan kebiasaan

psikologis, yaitu orang akan mengalami kesukaran tanpa zat-zat psikoaktif

tersebut. Salah satu contoh zat –zat psikoaktif yang menyebabkan ketagihan

adalah Amfetamin atau lebih dikenal dengan sebutan sabu-sabu. Amfetamin

merupakan satu jenis narkoba yang dibuat secara sintesis dan kini terkenal

diwilayah asia tenggara.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Zat Amfetamin ?

2. Bagaimana Mekanisme kerja amfetamin dalam tubuh ?

3. Apa dampak bagi tubuh yang mengkonsumsi amfetamin ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari zat amfetamin

2. Mengetahui mekanisme kerja amfetamin dalam tubuh

3. Mengetahui dampak akibar mengkonsumsi amfetamin dalam tubuh

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Psikotropika
Menurut Undang-undang Psikotropika nomor 5 tahun 1997, Psikotropika

adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang

berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Selain

narkotika, psikotropika juga memegang peranan penting dalam pelayanan

kesehatan. Di samping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu

pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran

sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Undang – Undang tentang Psikotropika Upaya untuk mengendalikan

seluruh kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika, maka disahkan UU

Psikotropika nomor 5 tahun 1997. Undang-undang ini mengatur kegiatan yang

berhubungan dengan psikotropika yang berada di bawah pengawasan

internasional, yaitu yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma

ketergantungan dan digolongkan menjadi:

a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: katinon, LSD, psilosibin.

b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:

amfetamin, metamfetamin, metakualon, metilfenidat.

6
c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: amobarbital, flunitrazepam, buprenofrin

d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: diazepam, bromazepam, fenobarbital, alprazolam.

Penggolongan ini sejalan dengan Konvensi Psikotropika 1971, sekalipun

pengaturan psikotropika dalam Undang-undang ini hanya meliputi psikotropika

golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, dan psikotropika

golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi

mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras.

Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras.

Di Indonesia, UU Psikotropika berbeda dengan undang-undang narkotika,

namun UU Narkotika yang terbaru sekarang mempengaruhi UU Psikotropika

yang telah ada. Artinya walaupun berbeda hal yang diatur, dalam hal ini

psikotropika dan narkotika, dengan adanya Undang-Undang Narkotika Nomor 35

tahun 2009, menjadikan pembaharuan pula terhadap UU tentang psikotropika.

Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam

Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika

7
Golongan I menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Sekaitan dengan adanya perubahan pada penggolongan narkotika yang diatur

dengan Permenkes nomor 2 tahun 2017, maka terkait juga dengan perubahan

penggolongan psikotropika yang diatur dengan Permenkes nomor 3 tahun 2017.

Pada Permenkes nomor 3 tahun 2017 ini mengubah jenis Psikotropika golongan II

dan IV.(Rahayu, 2018)

Penggolongan psikotropika juga bisa didasarkan pada penggunaannya,

digolongkan menjadi:

1. Antipsikosis (major trankuilizer, neuroleptik)

2. Anti anxietas (antineurosis, minor tranquilizer)

3. Antidepresan

4. Psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik)

Narkotika dan psikotropika juga dapat digolongkan berdasarkan efek

farmakologisnya, yaitu: depresan, stimulant, opiat dan halusinogen.

a. Depresan

Depresan memperlambat fungsi otak normal. Karena efek ini, depresan

sering digunakan untuk mengobati kegelisahan dan gangguan tidur.

Meskipun obat depresi yang berbeda bekerja secara unik di otak,

namun efeknya pada aktivitas GABA (gamma amino butyric acid=

asam amino gamma butirat) yang menghasilkan efek mengantuk atau

menenangkan. GABA bekerja untuk mengurangi aktivitas otak.

Meskipun resep mereka untuk pengobatan kegelisahan dan gangguan

tidur, depresan juga membawa potensi adiktif tinggi. Efek withdrawl

dari penggunaan depresan jangka panjang dapat mengancam jiwa dan

8
menghasilkan beberapa konsekuensi terburuk dari klasifikasi obat

lainnya. Perlu diingat: ini termasuk alkohol. Contohnya meliputi:

Valium, Librium, dan barbiturat.

b. Halusinogen

Halusinogen adalah obat yang menyebabkan perubahan persepsi dan

perasaan. Halusinogen memiliki efek pengubahan pikiran yang hebat

dan dapat mengubah bagaimana otak merasakan waktu, realitas sehari-

hari, dan lingkungan sekitar. Mereka mempengaruhi daerah otak yang

bertanggung jawab untuk koordinasi, proses berpikir, pendengaran,

dan penglihatan. Mereka bisa menyebabkan orang mendengar suara,

melihat sesuatu, dan merasakan sensasi yang tidak ada. Halusinogen

mengubah cara kerja otak dengan mengubah cara sel saraf

berkomunikasi satu sama lain sehingga memiliki efek mengubah

pikiran yang kuat. Mereka bisa mengubah persepsi otak terhadap

waktu, realitas sehari-hari, dan lingkungan sekitar. Halusinogen

mempengaruhi daerah dan struktur di otak yang bertanggung jawab

atas koordinasi, proses berpikir, pendengaran, dan penglihatan. Hal ini

bisa menyebabkan orang yang menggunakannya mendengar suara,

melihat gambar, dan merasakan sensasi yang sebenarnya tidak ada.

Periset belum yakin bahwa kimia otak berubah secara permanen pada

penggunaan halusinogen, namun beberapa orang yang

menggunakannya tampaknya mengalami gangguan jiwa kronis.

Halusinogen memiliki potensi kecanduan moderat dengan potensi

toleransi yang sangat tinggi, tingkat psikologis yang moderat, dan

9
potensi ketergantungan fisik yang rendah. Sebagian besar risiko yang

terkait dengan penggunaan halusinogen dikaitkan dengan risiko cedera

pribadi dan kecelakaan yang mengancam jiwa. Contohnya meliputi:

LSD, PCP, MDMA (Ekstasi), ganja, mescaline, dan psilocybin.

c. Opiat

Opiat adalah obat penghilang rasa sakit yang sangat kuat. Opiat terbuat

dari opium, getah putih pada tanaman opium. Opiat menghasilkan

perasaan senang yang cepat dan intens diikuti oleh rasa nyaman dan

tenang. Penggunaan opiat jangka panjang mengubah cara kerja otak

dengan mengubah cara sel saraf berkomunikasi satu sama lain. Jika

opiat diambil dari sel otak yang bergantung opiat, banyak dari mereka

akan menjadi terlalu aktif. Akhirnya, sel akan bekerja normal lagi jika

orang tersebut sembuh, namun menyebabkan banyak gejala putus obat

yang mempengaruhi pikiran dan tubuh. Seperti banyak obat lainnya,

opiat memiliki potensi kecanduan yang sangat tinggi. Contohnya

meliputi: heroin, morfin, kodein, dan Oxycontin.

d. Stimulan

Stimulan adalah golongan obat yang meningkatkan mood,

meningkatkan perasaan baik, dan meningkatkan energi dan

kewaspadaan. Stimulan dapat menyebabkan jantung berdetak lebih

cepat dan juga akan menyebabkan tekanan darah dan pernapasan

meningkat. Penggunaan stimulan berulang dapat menyebabkan

paranoid dan permusuhan. Stimulan mengubah cara kerja otak dengan

mengubah cara sel saraf berkomunikasi satu sama lain. Seperti banyak

10
obat lain, stimulan memiliki potensi adiktif yang sangat tinggi.

Contohnya meliputi: kokain, methamphetamine, amfetamin, MDMA

(ekstasi). Nikotin dan kafein tidak termasuk golongan narkotika dan

psikotropika, mempunyai efek stimulant.

Salah satu jenis psikotropika adalah amfetamin. Amfetamin biasanya berupa

bubuk atau tablet warna putih dan keabu- abuan, dapat berupa kapsul atau cairan.

Merupakan senyawa sintetis dengan rumus kimia C9H13N. Amfetamin termasuk

psikotropika golongan II. Digunakan dengan cara oral, injeksi, rektal, inhalasi,

dengan waktu paruh 9 – 15 jam. Selama 10 sampai 15 tahun terakhir,

penyalahgunaan ATS (Amphetamine Type Stimulant), yang melibatkan

amfetamin (amfetamin dan metamfetamin) dan zat dari kelompok "ekstasi"

(MDMA, MDA, MDEA, dll.), telah menjadi masalah global.

2.1.1 Amfetamin

Amfetamin ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu. Sejak itu, obat ini telah

berubah dari obat yang tersedia secara bebas tanpa resep sebagai obat mujarab

untuk berbagai gangguan menjadi Obat Terkontrol yang sangat terbatas dengan

aplikasi terapeutik terbatas pada gangguan attention deficit hyperactivity disorder

(ADHD) dan narkolepsi.Tindakan farmakologis amfetamin yang beragam tidak

hanya diterjemahkan ke dalam kemanjuran terapeutik, tetapi juga ke dalam

produksi efek samping dan tanggung jawab untuk penyalahgunaan rekreasi.

Karenanya, keseimbangan manfaat / risiko merupakan tantangan utama untuk

penggunaan klinisnya. Grafik tinjauan kemajuan dalam pengembangan farmasi

dari pengenalan formulasi amfetamin sekali sehari hingga lisdexamfetamine, d-

prodrug amfetamin disetujui untuk pengelolaan ADHD pada anak-anak, remaja

11
dan orang dewasa. Rute metabolisme yang tidak biasa untuk pengiriman

lisdexamfetamine.

Sebagai molekul dengan pusat kiral tunggal, amfetamin terdapat dalam dua

bentuk optik aktif, yaitu dekstro- (atau d-) dan levo- (atau l-) isomer atau

enansiomer.

12
Smith, Kline dan French mensintesis kedua isomer tersebut, dan pada tahun

1937 mulai memasarkan d- amfetamin, yang lebih kuat dari dua isomer, dengan

nama dagang Dexedrine®. Penjualan Benzedrine dan Dexedrine di toko-toko

apotek tidak dibatasi sampai 1939, ketika obat-obatan ini hanya bisa diperoleh

dengan resep dari seorang praktisi medis terdaftar. Sifat amfetamin yang

meningkatkan kognitif dengan cepat dikenali, dengan laporan Benzedrine

menghasilkan peningkatan dalam tes kecerdasan yang mengarah pada

penggunaannya yang luas untukmengurangi stres dan meningkatkan konsentrasi

dan kinerja intelektual oleh akademisi, pelajar dan profesional medis. Dalam

ulasannya pada tahun 1946, Bett mengomentari penggunaan luas 'pil energi' oleh

pasukan sekutu dalam Perang Dunia II, memperkirakan bahwa 150 juta tablet

Benzedrine dipasok ke personel layanan Inggris dan Amerika selama konflik

global berlangsung. Meskipun ada banyak liputan dalam literatur

medismenggambarkan efek sentral yang kuat dari obat-obatan baru ini, potensi

kecanduan amfetamin sebagian besar diabaikan.

2.2 Penyalahgunaan Amphetamine


Dampak penyalahgunaan amphetamine dalam hal kualitas hidup yang

menurun menempatkan ADHD dalam 10 besar gangguan pada otak di Eropa.

Pengobatan ADHD umumnya tidak memadai, dengan perkiraan menunjukkan

bahwa, paling baik, kurang dari sepertiga pasien dengan diagnosis mendapatkan

pengobatan yang tepat (Gustavsson et al., 2011). Meskipun amfetamin telah

ditetapkan sebagai pengobatan yang efektif untuk ADHD, serta gangguan sistem

saraf pusat (SSP) lainnya seperti narkolepsi selama beberapa dekade,

13
penggunaannya di Inggris (dan dalam konteks Eropa yang lebih luas) agak

terbatas dibandingkan dengan digunakan secara luas di AS.

Alasannya rumit dan terkait dengan sikap sosial dan medis terhadap

kondisi ADHD, kebijakan pemasaran industri farmasi, serta kekhawatiran tentang

penggunaan obat dalam indikasi pediatrik yang dianggap berpotensi tinggi untuk

penyalahgunaan dan menyebabkan kecanduan. Selain itu, pada kesempatan

langka ketika gangguan teridentifikasi, pilihan pengobatan yang disukai adalah

psikoterapi karena sesuai dengan latar belakang psikiater anak dan psikolog yang

bertanggung jawab untuk mengelola pasien. Dalam beberapa tahun terakhir,

psikiater anak juga mulai berperan sebagai resep, sebagian besar menggunakan

sediaan methylphenidate. Amfetamin, yaitu amfetamin rasemat, amfetamin dan

metamfetamin, banyak digunakan untuk meningkatkan kesadaran dalam Perang

Dunia II, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produksi yang besar

yang mengakibatkan surplus besar obat-obatan ini setelah perang. Banyak dari

saham ini masuk ke 'pasar gelap', dan pada tahun 1950-an penyalahgunaan

amfetamin menjadi diakui. Dalam studi klasik periode itu, Connell dari Institute

of Psychiatry melaporkan sekelompok berat pengguna amfetamin yang menjadi

paranoid (Connell, 1966). Ini menandai potensi bahaya psikiatri dari obat ini dan

mungkin telah mendorong para pemberi resep untuk menjauhi amfetamin ke

methylphenidate.

Faktor lainnya adalah penggunaan amfetamin sebagai antidepresan di

tahun 1950-an sebelum ditemukannya inhibitor reuptake monoamine trisiklik.

Ada kasus penyalahgunaan oleh pasien, dan juga tingkat pengalihan yang

signifikan dari obat yang diresepkan ke dalam penyalahgunaan dan / atau

14
penyalahgunaan remaja yang mungkin juga telah berkontribusi pada kewaspadaan

oleh pemberi resep mengenai penggunaan klinisnya. Di Amerika Serikat, Obat

yang mengandung amfetamin, terutama amfetamin MES, telah banyak digunakan

sebagai pengobatan untuk ADHD.

Amfetamin ketika dikonsumsi dalam dosis yang besar, akan meningkatkan

pembentukan spesies oksigen reaktif. Inaktivasi neurotransmitter juga akan

menyebabkan pelapasan spesies oksigen reaktif. Sehingga peningkatan aktivitas

dopamin menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang dapat menyebabkan

kerusakan sel. Efek ini tampak jelas terutama di dalam sitosol. Hal ini dapat

menyebabkan terjadinya defisit persisten dari fungsi neuron dopaminergik.

Terganggunya fungsi neuron dopaminergik akan menyebabkan kerusakan otak

jangka panjang karena terdapat banyak sekali daerah kaya dopamin di bagian-

bagian penting otak terutama area yang mengatur gerakan, belajar, dan memori.

Berbagai studi menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah dopamin transporter

di dalam striata pengguna amfetamin.

Pada tubuh pengguna amfetamin ditemukan penurunan densitas dopamin

transporter pada daerah striata pengguna amfetamin berdasarkan pemeriksaan

dengan positron emission tomography (PET). Penurunan jumlah transporter

dopamin ini menunjukkan adanya penurunan jumlah dopamin di dalam akson dan

akson terminal. Hal ini diperkuat dengan terjadinya penurunan penanda terminal

dopaminergik pada pengguna amfetamin jangka panjang. Selain kerusakan pada

transporter dopamin, penggunaan amfetamin juga menyebabkan kerusakan pada

transporter serotonin. Ditunjukkan dengan terjadinya penurunan densitas

transporter serotonin pada area talamus, nukleus kaudatus, putamen, otak tengah,

15
serebellum, dan korteks serebral pada pengguna amfetamin. Semakin lama

seseorang menggunakan amfetamin maka akan semakin rendah juga densitas

serotonin transporter di dalam otaknya.

Akibat yang ditimbulkan dari degradasi transporter serotonin adalah

meningkatnya level agresivitas pengguna. Efek penggunaan akut amfetamin yang

dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah amfetamin

yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin

menimbulkan efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti

hipertensi, takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu

penggunaan akut amfetamin dapat menyebabkan euforia, meningkatnya energi

dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan kepercayaan diri, perasaan

meningkatnya kapasitas fisik dan mental, serta peningkatan produktivitas.

Efek penggunaan amfetamin dengan rokok atau injeksi akan lebih cepat

dibandingkan dengan secara oral atau hirup. Pemberian secara oral atau hirup

menimbulkan efek yang lebih lambat dan diserap di dalam tubuh lebih lambat.

Waktu paruh amfetamin mencapai 8-13 jam. Penggunaan dosis yang lebih tinggi

secara terus-menerus akan menyebabkan efek menyenangkan dari amfetamin

menjadi semakin berkurang dan akan meningkatkan efek toksiknya. Pengguna

amfetamin akan mengalami kecemasan, mudah marah, insomnia, dan

kebingungan. Gejala putus obat akan terjadi pada penghentian amfetamin antara

lain disforia, depresi, mudah marah, cemas, sulit konsentrasi, hipersomnia,

kelelahan, paranoia, akatisia, dan keinginan yang kuat untuk kembali

mengonsumsi amfetamin.

16
Pengguna amfetamin juga dapat mengalami overdosis. Overdosis

merupakan suatu keadaan emergensi yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat

menyebabkan serangan jantung, stroke, rabdomiolisis, gagal ginjal, hingga

kematian. Gejala yang muncul pada kondisi hiperdosis amfetamin antara lain

ialah:

1. Demam tinggi dan kemerahan pada wajah

2. Nyeri kepala

3. Nyeri dada

4. Gangguan berjalan

5. Kekakuan otot, tremor, spasme, kejang

6. Panik, gelisah

7. Sulit bernapas

8. Gangguan status mental

Pertolongan pertama yang harus dilakukan bagi pasien tersebut adalah

pindahkan pasien pada tempat yang tenang tanpa cahaya berlebih dengan suhu

ruangan yang baik, ganti pakaian pasien yang tebal dan kompres dengan es jika

pasien demam tinggi, jika pasien kejang miringkan ke kiri dan longgarkan bagian

leher pasien untuk mencegah aspirasi dan tercekik. Dilarang meninggalkan pasien

sendirian karena perburukan kondisi pasien dapat terjadi sewaktu-waktu.

Tatalaksana khusus yang harus dilakukan sesuai dengan gejala overdosis yang

muncul. Jika pasien mengalami sindrom koroner akut maka harus diberikan nitrat,

aspirin, opioat, dan oksigen. Jika pasien mengalami agitasi maka harus diberikan

17
benzodiazepin. Jika kejang dan hipertensi maka diberikan benzodiazepin. Jika

mengalami aritmia maka harus diberikan natrium bikarbonat dan amiodaron.

Pasien intoksikasi amfetamin jika mengalami hipertensi tidak boleh diberikan

obat penyekat beta, obat pilihan untuk hipertensi berat pada pasien dengan

intoksikasi amfetamin adalah penyekat alfa.

2.3 Kegunaan dari amfetamin


Amfetamintermasuk dalam obat yang dapat digunakan sebagai antidepresi.

Beberapa dari turunan amphetamin salah satunya adalah ekstasi (MDMA:3,4-

methylenedioxy methamphetamine) yang memiliki efek anti-depresi.

Amphetamin sebagai pengobatan sering digunakan pada orang yang memiliki

gangguan mental komorbid dengan asosiasi kompleks dan dua arah. Amfetamin

kelas d-amphetamin dan methamphetami juga digunakan beberapa negara untuk

mengobati penyakit attention-deficit hyperactive disorder (ADHD), narkolepsi,

dan obesitas karena mampu memberikan efek anoreksi (berkurangnya nafsu

makan).

Amfetamin memberikan beberapa efek diantaranya peningkatan

kewaspadaan, hilangnya rasa kantuk, berkurangnya rasa lelah, perbaikan suasanan

hati, bertambanya inisiatif, keyakinan diri dan daya konsentrasi, rasa gembira

berlebihan, peningkatan aktivitas motorik dan aktivitas bicara. Oleh sebab itu

digunakan untuk obat menunda kelelahan. Dalam hal ini mengurangi hilangnya

perhatian akibat kurang tidur sehingga dapat berkonsentrasi terus-menerus.

18
2.4 Analisa Zat Amfetamin
1. Pengumpulan sampel

No. Sampel Catatan

1. Darah 10 mL (tabung heparin lithium ataut abung EDTA -


gunakan fluoride / oksalat jika dicurigai etanol; gunakan
tabung plastik jika dicurigai paraquat; gunakan tabung
kaca atau plastik dengan headspace minimal jika
dicurigai karbonmonoksida atau senyawa volatil lainnya)
Pada pemeriksaan postmortem, kumpulkan dari vena
femoral atau vena perifer lainnya yang memastikan tidak
ada kontaminasi, masukkan kedalam 2% (w/v) NaF dan
yang lainnya kedalam tabung biasa.

2 plasma/serum 5 ml

3 Urine 20 – 50 ml Biasanya satu-satunya sampel yang


diperlukan untuk penyalahgunaanobat terlarang Natrium
fluorida (2%, b / v) harus ditambahkan jikaetanol
dicurigai dan darah tidak tersedia

2. Pengambilan dan Penanganansampel

1) Penanganan sampel

a. Darah (untuk analisis kualitatif)

Dalam toksikologi analitis, plasma atau serum biasanya digunakan untuk


pengujian kuantitatif. Namun, beberapa racun seperti karbonmonoksida,
sianida dan banyak senyawa organik volatil lainnya, timbal dan logam
berat lainnya, dan beberapa obat, seperti chlortalidone, ditemukan
terutama pada atau terikat dengan eritrosit dan dengan demikian darah
utuh hemolitik harus digunakan untuk pengukuran semacam itu. Jika
sampel telah dikumpulkan dan disimpan dengan benar, biasanya tidak ada
perbedaan signifikan dalam konsentrasi racun antara plasma dan serum.

19
Namun, jika senyawa tidak ditemukan sampai batas tertentu dalam eritrosit
maka menggunakan seluruh darah utuh akan menghasilkan sekitar dua kali
lipat dari spesimen. Darah dengan antikoagulan heparin atau EDTA akan
menghasilkan darah utuh atau plasma yang sesuai. Obat-obat
immunosuppressive ciclosporin, sirolimus, dan tacrolimus adalah kasus
khusus karena redistribusi antara plasma dan eritrosit dimulai setelah
sampel dikumpulkan dan penggunaan seluruh darah hemolitik
diindikasikan untuk pengukuran senyawa ini.

2. Urin

Urin berguna untuk 'uji penyaringan racun' (screening test) karena


sering tersedia dalam volume besar dan mungkin mengandung konsentrasi
obat atau racun lain yang lebih tinggi, atau metabolitnya, daripada darah.
Keberadaan metabolitter kadang membantu identifikasi racun jika teknik
kromatografi digunakan. Spesimen 50 mL dari orang dewasa,
dikumpulkan dalam wadah steril yang disegel, cukup untuk sebagian besar
tujuan. Tidak ada bahan pengawet yang harus ditambahkan. Sampel harus
diperoleh segera setelah keracunan dicurigai, idealnya sebelum ada terapi
obat yang dimulai. Namun, beberapa obat, seperti anti depresan trisiklik
(amitriptyline, imipramine, dll.), menyebabkan retensi urin, dan spesimen
yang sangat awal mungkin mengandung sejumlah obat yang tidak
signifikan. Sebaliknya, sedikit racun mungkin tertinggal dalam spesimen
yang diambil berjam-jam atau berhari-hari setelah terpapar meski pasien
mungkin sangat sakit, misalnya seperti pada keracunan parasetamol akut.

Konsentrasi tinggi beberapa obat atau metabolit dapat memberi


warna khas pada urin. Racun berbau kuat seperti kamper, etchlorvynol,
dan methylsalicy lateter kadang dapat dikenali dalam urin karena
diekskresi sebagian dalam bentuk tidak berubah. Aseton bisa timbul dari
metabolisme 2-propanol. Terapi kronis dengan obat-obatan sulfa seperti
sulfonamide dapat menimbulkan kristal kuning atau hijau / coklat dalam
urin netral atau alkali. Phenytoin, primidone, dan sultiame dapat
menimbulkan kristal dalam urine setelah overdosis. Ciri khas kristal tak

20
berwarna kalsium oksalat dapat terbentuk pada pH netral setelah tertelan
etilenaglikol, asam oksalat, atau oksalat yang larut dalam air. Fluore
sensiurin mungkin karena fluorescein ditambahkan keantibekumobil
(sering mengandung etil englikol dan / atau metanol) dan mungkin untuk
produk lain untuk membantu deteksi kebocoran.

Untuk pemeriksaan postmortem, jika mungkin, sampel urine 2 ×


25 mL harus dikumpulkan dalam wadah plastik steril, satu dengan
pengawet (2%, w/v fluorida). Jika hanya sejumlah kecil urin yang tersedia,
semua harus diawetkan dengan fluorida (tapi lihat catatan keracunan
fluorida di atas) pada tabung plastik atau gelas 5 mL polos. Asam borat
atau thiomersal [thimerosal; natrium 2- (etilmercuriothio) benzoat] tidak
boleh digunakan karena kontaminasi sampel dengan borat dan merkuri.
Spesimen urin yang dikumpulkan post mortem sangat berharga dalam
skrining untuk obat-obatan terutama obat-obatan terlarang, dan sering
digunakan untuk analisis etanol kuantitatif untuk menguatkan hasil analisis
darah (Flanagan, 2007).

Kriteria Wadah spesimen

a. Wadah spesimen urin, serum, darah, cairan lambung, harus dari bahan
yang tidak mudah pecah, seperti dari polietilen yang kuat, tidak bocor,
bersih dan kering.

b. Tertutup rapat (tutupnya berulir), bermulut lebar.

21
b. Pengambilan sampel

No Dugaan Urin Darah/Serum


Penggunaan
Waktu Jumlah Waktu Jumlah Sampel
perkiraan zat Sampel perkiraan zat
masih terdeteksi (mL) masih
(Hari) terdeteksi
(Hari)

1. Amfetamin 1-4 5,0 2-48 10 darah

5 Serum

3. JenisPemeriksaan
1. PemeriksaanKonvensional
a. TES WARNA (COLOUR TEST)
Tes warna (kadang-kadang disebut tes kimia) digunakan oleh ahli
toksikologi dan analis obat-obatan sebagai salah satu cara pertama untuk
identifikasi obat-obatan dan racun. Tes warna ini paling banyak digunakan
untuk obat-obatan dan residu, serta cairan biologis seperti isi perut, dan
urin. Tes ini digunakan untuk menempatkan senyawa yang tidak diketahui
kedalam kelas senyawa tertentu. Tes warna ini tetap popular karena
berbagai alasan, mudah dilakukan, penggunaan reagen minimal, murah dan
member hasil yang bias dilihat dengan mata telanjang (tidak memerlukan
alat khusus). Beberapa tes juga dapat digunakan sebagai penanda bercak
kromatografi lapis tipis (KLT). Pereaksi diaplikasikan dengan cara
menyemprot atau mencelupkan (Moffat, 2011).
A. Metode Marquis
a. Prinsip: Pembentukan senyawa berwarna antara zat yang
diperiksa dengan formal dehid dalam suasana asam sulfat pekat
b. Alat : 1) Plate tetes 2) Pipet 3) Vortex mixder 4) Sentrifus
c. Reagen :

22
1) Pereaksi Marquis (Formaldehid 34-38% dan asam sulfat
pekat 1:9 v/v)
2) Eter
3) Natrium hidroksida (NaOH) 4N
4) Etanol 95%
d. Cara Kerja untuk sampel urin :
1) Masukkan 2 ml urin kedalam tabung sentrifus
2) Tambahkan NaOH 4N sampai pH 9-10
3) Ekstraksidengan 5 ml eter, masukkan dalam vortex mixer dan
di sentrifus
4) Ekstraketer dipisahkan dan diuapkan sampai kering
5) Residu dilarutkan dalam 1 ml etanol 95% (secukupnya),
keringkan lagi
6) Tambahkan 1 tetes larutan perekasi
e. Interpretasi Hasil :Oranye/ Coklat

B. Metode Frohde
a. Prinsip Pembentukan senyawa berwarna antara zat yang
diperiksa dengan asam molibdat/natrium molibdat dalam
suasana asam sulfat pekat
b. Alat : pipet tetes, pipet, vortex mixer, sentrifus
c. Reagen:
1) Pereaksi Frohde : 1,0 gram asam molibdat/natrium molibdat
larutkan dalam 100 mL asam sulfat pekat panas, larutan akhir
harus tak berwarna
2) Eter
3) Natrium hidroksida (NaOH) 4 N
4) Etanol 95 %
d. Cara Kerja untuk sampel urin :
1) Masukkan 2 ml urin ke dalam tabung sentrifus
2) Tambahkan NaOH 4N sampai pH 9-10
3) Ekstraksidengan 5 ml eter, masukkan dalam vortex mixer dan
disentrifus

23
4) Ekstra keter dipisahkan dan diuapkan sampai kering
5) Residu dilarutkan dalam 1 ml etanol 95% (secukupnya),
keringkan lagi
6) Tambahkan 1 tetes larutan perekasi
e. Interpretasi Hasil : Merah

2. Pemeriksaan Modern :
A. Tes Immunoassay
Perangkat yang lebih baru untuk skrining obat terlarang
didasarkan pada immunoassays aliran lateral (immunoassays lateral
flow=ILF) (Gambar 4.1). Bentuk strip biasanya memiliki sumbu untuk
dicelupkan kedalam sampel atau reservoir (sumur) kedalam sampel
yang dipipetisasi. Saat sampel bermigrasi di sepanjang jalur, antibodi
yang diberi label dengan emaskoloid, manik-manik lateks atau label
visualisasi lainnya yang sesuai, dibawa dalam aliran cairan. Antigen yang
diimobilisasi, yang biasanya terikat sebagai garis pada strip pada jarak
yang sesuai dari titik asal, akan menangkap antibody terikat non drug
untuk menghasilkan garis antibody berlabel yang terlihat. Intensitas
garis akan maksimal bila tidak ada obat dalam sampel. Bila ada cukupan
analit dalam sampel untuk mengikat semua antibodi, tidak ada garis
yang akan terlihat. Dengan demikian, dengan menentukan jumlah
antibodi yang tepat, perangkat dapat diproduksi untuk memberikan nilai
cut-off yang dibutuhkan.
Prinsip ILF didasarkan pada 2 pendekatan utama yaitu format
pengujian langsung (sandwich) dan format uji kompetitif.
1) Format sandwich : analit ditangkap di antara dua antibody
komplementer. Salah satu antibody ini dikonjugasikan kereagen
deteksi dan ditahan di pad pelepasan konjugasi, sedangkan antibody
lainnya diimobilisasi pada garis uji pada membran. Setiap kelebihan
antibody berlabel akan ditangkap pada garis kontrol. Intensitas
warna yang terlihat pada garis uji dapat menunjukkan jumlah analit
yang ada dalam sampel. Jenis tes ini umumnya digunakan untuk
analisis yang lebih besar dengan beberapa sisi antigenik.

24
2) Format kompetitif digunakan untuk analit yang lebih kecil yang
memiliki satu determinan antigenic tunggal dan oleh karena itu tidak
dapat mengikat dua antibody secara bersamaan. Dalam jenis format
assay ini, antigen biasanya diimobilisasi pada garis uji. Jika analit ada
dalam sampel akan bereaksi dengan antibody pendeteksi yang
kemudian tidak dapat mengikat pada garis uji. Oleh karena itu,
kurangnya sinyal pada garis uji mengindikasikan hasil

25
positif.

Strip control sering disertakan di luar antigen terikat. Reaksi positif


menunjukkan bahwa sampel telah mencapai zona (sampel cukup) dan
reaktan berfungsi dengan baik. Beberapa antigen dapat ditempatkan
pada satu strip, memberikan serangkaian tes. Satu system
menggunakan turunan obat berlabel, antibody immobilisasi terikat ke
membran, sehingga hasilnya positif ditunjukkan oleh munculnya garis.
Dengan kedua jenis perangkat tersebut, garis samar harus dibaca
sebagai negatif.
A. Cara Kerja
Siapkan Card/Strip Test untuk pemeriksaan masing-masing obat
1) Card Test
a) Teteskan 3 tetes spesime nurin pada lubang spesimen yang
terdapat dalam masing-masing card test
b) Tunggu beberapa saat sesuai dengan petunjuk manual
2) Strip Test
a) Celupkan strip test kedalam urin sampai batas yang
ditentukan

26
b) Tunggu beberapa saat sesuai dengan petunjuk manual.
B. Pembacaan Hasil :
1) Card Test
a) Hasil - (negatif) bilatampak 2 garis pada huruf C dan T
b) Hasil + (positif) bilatampak 1 garis pada huruf C
c) Atau sesuai petunjuk manualnya

2) Strip Test

a) Hasil - (negatif) bila tampak 2 garis pada huruf C dan T

b) Hasil + (positif) bila tampak 1 garis pada huruf C

c) Atau sesuai petunjuk manualnya

Pemilihan metode, peralatan serta reagen untuk skrining haruslah yang


mempunyai batas deteksi sama atau lebih rendah dari batas deteksi (cut
off) yang direkomendasikan pada amfetamin 1000 ng/mL.

Catatan:

1. Pemeriksaan skrining yang memberikan hasil negatif tidak dilanjutkan


dengan pemeriksaan konfirmasi.

2. Bila hasil pemeriksaan Card/Strip Test Positif belum menjamin +


(positif) untuk spesimen yang diperiksa, pemeriksaan harus
dilanjutkan dengan uji konfirmasi.

3. Untuk pemeriksaan penyidikan / penegakan hukum, pemeriksaan


konfirmasi yang diakui adalah yang menggunakan metoda GC-
MS/HPLC.

4. Untuk menjaga mutu pemeriksaan setiap 10 kali pemeriksaan


spesimen urin dilakukan pemeriksaan minimal terdapat 1 kontrol urin
positif dari jenis zat yang diperiksa dan kontrol negatif (blanko urin).

27
BAB 3

KESIMPULAN

1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Penggolongan psikotropika meliputi psikotropi
kagolongan I, psikotropi kagolongan II, psikotropi kagolongan III, dan
psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi
digolongkan sebagai obat keras.
2. Amphetamin merupakan senyawa sintetis dengan rumus kimia C9H13N
yang termasuk Psikotropika golongan II. Amphetamin biasanya berupa
bubuk atau tablet warna putih dan keabu-abuan, dapat berupa kapsul atau
cairan. Biasanya digunakan dengan cara oral, injeksi, rektal, inhalasi.
3. Amphetamin termasuk dalam obat yang dapat digunakan sebagai
antidepresi. Amphetamin sebagai pengobatan sering digunakan pada orang
yang memiliki gangguan mental komorbid dengan asosiasi kompleks dan
dua arah. Amphetamin kelas d-amphetamin dan methamphetami juga
digunakan beberapa negara untuk mengobati penyakit attention-deficit
hyperactive disorder (ADHD), narkolepsi, dan obesitas karena mampu
memberikan efek anoreksi (berkurangnya nafsu makan), sering digunakan
untuk obat menunda kelelahan. Dalam hal ini mengurangi hilangnya
perhatian akibat kurang tidur sehingga dapat berkonsentrasi terus-menerus.
4. Penggunaan amfetamin menimbulkan efek akut berupa gangguan system
simpatetik saraf otonom seperti hipertensi, takikardia, hipertermia,
takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin dapat
menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan,
meningkatnya libido dan kepercayaan diri, perasaan meningkatnya
kapasitas fisik dan mental, serta peningkatan produktivitas. Pada
penghentian amphetamin, gejala putus obat akan terjadi antara lain

28
disforia, depresi, mudah marah, cemas, sulit konsentrasi, hipersomnia,
kelelahan, paranoia, akatisia, dan keinginan yang kuat untuk kembali
mengonsumsi amfetamin.
5. Dalam analisa zat Amphetamin, sampel yang dapat digunakan yaitu
darah/serum dan urine. Dalam toksikologi analitis, plasma atau serum
biasanya digunakan untuk pengujian kuantitatif. Urine berguna untuk 'uji
penyaringan racun' (screening test) karena sering tersedia dalam volume
besar dan mungkin mengandung konsentrasi obat atau racun lain yang
lebih tinggi, atau metabolitnya, dari pada darah. Keberadaan metabolitme
mbantu identifikasi racun jika pemeriksaannya menggunakan teknik
kromatografi.
6. Pemeriksaan Amphetamine ada yang secara konvensional (tes warna) dan
secara modern (tes ImmunoAssay). Tes warna (kadang-kadang disebut tes
kimia) digunakan oleh ahli toksikologi dan analis obat-obatan sebagai
salah satu cara pertama untuk identifikasi obat-obatan dan racun.
7. Dalam tes warna pemeriksaan Amphetamin, terdapat 2 metode yaitu
- Metode Marquis dengan prinsip pembentukan senyawa berwarna
antara zat yang diperiksa dengan formal dehid dalam suasana asam
sulfat pekat dan Amphetamine (+) ditandai dengan senyawa berubah
warna menjadi oranye/coklat.
- Metode Frohde dengan prinsip pembentukan senyawa berwarna antara
zat yang diperiksa dengan asam molibdat/natrium molibdat dalam
suasana asam sulfat pekat dan Amphetamine (+) ditandai dengan
senyawa berubah warna menjadi merah.
8. Dalam Tes ImmunoAssay, didasarkan pada immunoassays aliran lateral
(immunoassays lateral flow = ILF). Prinsip ILF didasarkan pada 2
pendekatan utama yaitu format pengujian langsung (sandwich) dan format
uji kompetitif. Format sandwich: analit ditangkap di antara dua antibody
komplementer. Format kompetitif digunakan untuk analit yang lebih kecil
yang memiliki satu determinan antigenic tunggal dan oleh karena itu tidak
dapat mengikat dua antibody secara bersamaan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Çelik, A. Y. (2018). Journal of Material Processing Technology. Diambil kembali


dari http://dx.doi.org/10.1016/j.cirp.2016.06.001%0A

Heal, D. J. (2013). Amphetamine, past and present - a pharmacological and

clinical perspective. https://doi.org/10.1177/0269881113482532

Ningrum, S. W., Sutarno, S., & Abdul, G. (2016). Penyalahgunaan Narkotika,


Psikotropika, dan Zat Adiktif Sebagai Faktor Risiko Gangguan Kognitif pada
Remaja Jalanan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.

Rahayu, M. (2018). bahan ajar Toksikologi.

Regina, T., & Novita, C. (2017). Gangguan Fungsi Kognitif Akibat


Penyalagunaan Amfetamin. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung , 7 (1).

RI, K. (2012). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika .


Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Sasangka, H. (2003). Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana.


Bandung: Mandar Maju.

30

Anda mungkin juga menyukai