Anda di halaman 1dari 23

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN ANAK

TINJAUAN PUSTAKA
PENUGASAN TUMBUH KEMBANG

OLEH
Fitria Rizqifiera Octavia
H1A 016 032

PEMBIMBING
dr. Titi Pambudi Karuniawaty, M.Sc, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan petunjuk,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan naskah Tinjauan Pustaka Penugasan Tumbuh
Kembang ini tepat pada waktunya. Tugas ini merupakan salah satu prasyarat dalam rangka
mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.
Tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik dari dalam
institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram dan jajaran
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB. Melalui kesempatan ini penulis megucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Titi Pambudi
Karuniawaty, M.Sc, Sp.A selaku pembimbing dan juga seluruh pihak yang membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Mataram, 23 Juni 2020

Penulis
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang
ditandai dengan manifestasi berupa gangguan sosial dan komunikasi serta perilaku yang
terbatas atau berulang. Kondisi ini sering ditemukan pada anak-anak. Autisme merupakan
suatu gangguan spektrum dengan gejala yang sangat bervariasi. Kondisi kelainan
perkembangan pada kasus ASD biasanya ditandai dengan adanya kesulitan berinteraksi
secara sosial, masalah komunikasi verbal dan nonverbal, disertai dengan pengulangan tingkah
laku dan ketertarikan yang dangkal dan obsesif.1
Kelainan perkembangan ini dapat secara pasti dideteksi saat anak berusia 3 tahun dan
pada beberapa kasus pada usia 18 bulan tetapi tanda-tanda yang mengarah ke gangguan ini
sudah dapat terlihat sejak umur 8 bulan hingga 1 tahun. Autisme dapat membawa dampak
pada anak dan juga pada keluarga. Dampak pada anak berupa prestasi sekolah yang buruk,
gangguan sosialisasi, gangguan aktivitas, dan peningkatan risiko kecelakaan. Dampak pada
keluarga berupa timbulnya stress dan depresi berat baik pada orang tua dan pengasuh
sehingga dapat memengaruhi keharmonisan keluarga. Gangguan Autisme ini bersifat kronik
sehingga memerlukan tenaga dan biaya yang besar dalam usaha penanganannya. Selain itu,
penanganan pada Autisme tidak memberikan garansi tercapainya hasil pengobatan yang
diharapkan. Anak dengan Autisme memerlukan bantuan, bimbingan, dan pengertian baik dari
orang tuanya, pembimbing, maupun sistem pendidikan anak. Anak-anak dengan Autisme
dapat memperoleh keuntungan dari program-program intervensi apabila terdeteksi dini dan
cepat ditangani.1

B. Epidemiologi
Prevalensi anak-anak dengan ASD mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor termasuk adanya perluasan kriteria
diagnostik dengan revisi berkelanjutan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM). Definisi lebih inklusif yang diadopsi Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Edisi Keempat (DSM-IV) pada tahun 1994 meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang gangguan dan gejalanya. Selain itu terdapat rekomendasi skrining
universal untuk ASD, intervensi dini, dan layanan pendidikan untuk anak-anak dengan ASD.
Meningkatnya jumlah anak-anak dengan diagnosis ASD mencerminkan adanya revisi
diagnostik dan adanya pengakuan ASD pada anak-anak yang sebelumnya didiagnosis dengan
cacat intelektual atau sindrom genetik yang terjadi bersamaan. Faktor biologis juga
menyebabkan peningkatan prevalensi ASD.1
Menurut CDC, autisme terjadi 1 dari 166 kelahiran. Berdasarkan data statistik
Departemen Pendidikan Amerika Serikat, angka pertumbuhan autisme adalah 10-27 persen
per tahun. National Institute of Mental Health Amerika (NIMH) menyebutkan antara 2 dan 6
per 1000 orang menderita autisme. Insiden autisme konsisten di seluruh dunia. Prevalensi
laki-laki empat kali lebih besar daripadapada perempuan.2,3

C. Patofisiologi
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan otak. Perkembangan otak yang
salah menyebabkan jaringan otak mengalami gangguan fungsi visual, motorik, intelektual,
dan fungsi-fungsi vital dalam tubuh. Penelitian post-mortem membuktikan adanya
abnormalitas di daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang
autisme. Pada sebagian orang dijumpai pula adanya abnormalitas substansia grisea yang
mengandung lebih sedikit neuron meskipun memiliki volume normal. Kadar kimia otak yang
memiliki kadar abnormalitas paling jelas pada anak dengan autisme adalah Serotonin 5-
Hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter yang bekerja sebagai pengantar sinyal di
sel-sel saraf. Anak-anak penyandang autisme memiliki kadar serotonin 30-50% lebih tinggi
dalam darah.1,2,4

D. Gejala Klinis
Gejala neurologis ASD muncul dalam bentuk karakteristik perilaku yang berbeda
tergantung pada usia, tingkat bahasa, dan kemampuan kognitif. Gejala inti dibagi dalam 2
domain, yaitu komunikasi/ interaksi sosial dan pola perilaku berulang yang terbatas. Hal ini
dijelaskan dalam DSM-V terkait area fungsional yang berkontribusi terhadap gejala ASD.1
Manifestasi ASD berupa abnormalitas fungsi pemahaman, berkurangnya kontak mata,
penggunaan bahasa atipikal, dan pemahaman tentang gestur. Ketertarikan terhadap
permainan pura-pura maupun berkurangnya minat pada anak lain merupakan gejala lain
penderita ASD. Gejala ASD lebih lanjut adalah adanya defisit imitasi dan pemrosesan
informasi di seluruh modalitas sensorik seperti penglihatan (gesture) dan pendengaran
(bahasa). Perilaku berulang dan semangat berlebih mungkin terkait dengan abnormalitas
pemrosesan informasi indera atau mencerminkan keinginan untuk menanamkan
prediktabilitas ketika tidak memahami maksud orang lain.1
Seperempat anak-anak dengan ASD mengalami keterlambatan perkembangan yang
tampak sebelum usia 3 tahun. Hendaya kualitatif dalam interaksi sosial berupa tidak adanya
apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio-emosional tampak sebagai kurangnya respon
terhadap emosi orang lain dan/ atau kurangnya modulasi terhadap perilaku sosial; gangguan
penggunaan isyarat sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional dan
komunikatif. Selain itu, hendaya kualitatif dalam komunikasi berupa kurangnya interaksi
sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam permainan imajinatif dan imitasi
sosial; kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; gangguan fleksibilitas dalam
bahasa ekspresif; relatif mengalami kekurangan kreativitas dan fantasi dalam proses pikir;
kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain; hendaya
dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat
tubuh. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas.
Seringkali anak-anak dengan ASD memiliki ketertarikan abnormal terhadap benda yang tidak
lembut. Anak dengan ASD dapat melakukan kegiatan rutin yang sepertinya tidak perlu dan
dapat mengalami pre-okupasi stereotipik untuk tanggal, rute, dan jadwal ataupun gejala
stereotipik motorik yaitu seringkali menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur
samping dari suatu benda seperti bau dan rasa.1

E. Diagnosis
DSM adalah acuan penetapan diagnosis gangguan mental dan perilaku. DSM-IV
membagi gejala ASD menjadi 3 area yaitu penurunan frekuensi timbal balik sosial, gangguan
komunikasi, dan adanya perilaku terbatas dan berulang. Pada DSM-5 gejala utama dibagi
menjadi 2 domain yaitu sosial komunikasi dan adanya batasan interaksi sosial, serta pola
perilaku yang berulang. Kriteria diagnostik ASD menggunakan DSM-5 mengharuskan
adanya 3 gejala afektif sosial selain 2 dari 4 gejala restriktif dan perilaku yang berulang.
Tabel 1 menjelaskan gejala ASD yang terkait dengan pemrosesan sensorik, seperti hiper- atau
hiporeaktivitas input sensorik atau minat abnormal pada aspek sensorik lingkungan.
Contohnya yaitu adanya ketidakpedulian terhadap rasa sakit atau suhu; kepekaan terhadap
suara, rasa, atau tekstur; dan minat visual yang kuat pada objek atau gerakan. DSM-5
menetapkan kriteria diagnosis untuk kelompok usia yang lebih tua yaitu ketika tuntutan sosial
atau lingkungan sekolah dapat mengalami gangguan fungsional. DSM-IV digunakan untuk
mendiagnosis gangguan autis atau Sindrom Asperger dan DSM-5 digunakan untuk
mendiagnosis ASD. Kriteria DSM-5 digunakan untuk mengidentifikasi ASD pada usia yang
lebih muda ataupun yang memiliki gejala. Anak-anak dengan gejala kognitif dan adaptif
cenderung mengalami perubahan signifikan dengan intervensi dini. DSM-5 memperkenalkan
pendekatan untuk tingkat keparahan (Tabel 2.).1
DSM-5 juga digunakan untuk mendeteksi perhatian dan adanya gangguan intelektual,
gangguan bahasa, katatonia, adanya kondisi medis tertentu, dan etiologi genetik atau faktor
lingkungan. Pasien dengan sindrom Rett tidak lagi secara otomatis dianggap memiliki
diagnosis ASD menurut DSM-5. Gen spesifik penyebab ASD harus dicatat spesifik untuk
individu dengan ASD. Gangguan komunikasi pragmatis sosial adalah diagnosis baru yang
dijelaskan dalam DSM-5 untuk individu yang mengalami gejala gangguan sosial dan
penggunaan bahasa fungsional tetapi tidak memiliki kebiasaan atau perilaku berulang.1

Tabel 1. Kriteria Diagnosis ASD Menurut DSM-5


Domain Kriteria: Defisit Contoh
Abnormalitas pendekatan
sosial dan kegagalan
percakapan; berkurangnya
Hubungan timbal balik
minat, emosi, atau pengaruh;
sosial-emosional
kegagalan untuk memulai
atau merespons interaksi
sosial
Komunikasi verbal dan
nonverbal yang kurang
Defisit persisten dalam
terintegrasi; kelainan kontak
komunikasi dan interaksi Perilaku komunikatif
mata dan bahasa tubuh atau
sosial di berbagai konteks; nonverbal untuk interaksi
defisit dalam pemahaman
harus mempunyai 3 gejala di sosial
dan motorik; kurangnya
domain ini
ekspresi wajah dan
komunikasi nonverbal.
Kesulitan menyesuaikan
perilaku agar sesuai dengan
Mengembangkan, berbagai konteks sosial;
memelihara, dan memahami kesulitan dalam permainan
hubungan imajinatif atau dalam
berteman; tidak adanya
minat pada teman sebaya
Pola perilaku berulang, Stereotipik atau gerakan Stereotipik motorik
berulang; penggunaan sederhana, echolalia, frasa
benda, atau ucapan istimewa
Kesulitan ekstrem pada
Tidak fleksibel pada
perubahan kecil, kesulitan
perubahan, adanya rutinitas,
dengan transisi, pola
atau pola perilaku ritual baik
berpikir yang kaku, ritual
nonverbal maupun verbal.
ucapan ataupun perilaku.
minat terbatas; setidaknya 2 Keterikatan yang kuat atau
dari 4 manifestasi baik keasyikan dengan objek
Ketertarikan/ fokus sangat
berdasarkan riwayat maupun yang tidak biasa, dibatasi
terbatas.
keadaan saat pemeriksaan. secara berlebihan atau
perseveratif.
Ketidakpedulian terhadap
Hiper- atau hiporeaktif nyeri/ suhu, secara
terhadap masukan atau berlebihan menanggapi
minat sensorik yang tidak bunyi, bau, atau tekstur
biasa. tertentu, daya tarik visuall
terhadap lampu atau gerakan

Tabel 2. Gejala ASD Berdasarkan Tingkat Keparahan


Tingkat Keparahan Aspek Sosial-Afektif Perilaku Berulang
Perilaku tidak fleksibel
Jika tidak ada bantuan,
menyebabkan gangguan
terdapat defisit dalam
fungsi yang signifikan
Level 1.“Membutuhkan komunikasi sosial yang
terhadap satu atau lebih
dukungan" menyebabkan gangguan
aktivitas, pergantian tingkat
yang signifikan. Kesulitan
kesulitan kegiatan, masalah
memulai dan penurunan
organisasi dan perencanaan
minat terhadap interaksi
yang kemudian menghambat
sosial.
kemandirian.
Level 2. “Membutuhkan Defisit dalam komunikasi Gangguan fleksibilitas
dukungan substansial ” sosial verbal dan nonverbal. perilaku, kesulitan
Gangguan sosial bahkan mengatasi perubahan,
dengan dukungan. Interaksi perilaku terbatas dan
sosial terbatas dan berulang muncul cukup
sering dan jelas dalam
berkurang atau tanggapan berbagai aktivitas.
abnormal terhadap tawaran Kesusahan dan/ atau
sosial dari orang lain. kesulitan mengubah fokus
atau tindakan.
Defisit signifikan dalam
komunikasi sosial verbal
Perilaku tidak fleksibel,
Level 3 “Sangat dan non-verbal yang
kesulitan dalam menghadapi
membutuhkan dukungan menyebabkan gangguan
perubahan, atau perilaku
substansial ” fungsi yang sangat terbatas,
terbatas dan berulang yang
gangguan inisiasi interaksi
sangat mengganggu di
sosial, dan respons minimal
semua bidang.
terhadap tawaran sosial dari
orang lain.

Beberapa instrument skrining Autisme adalah sebagai berikut:


1. CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale).
2. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) yaitu alat skrining yang digunakan untuk
autisme pada usia 18 bulan.
3. Autism Screening Questionnaire digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas untuk
mengevaluasi kemampuan berkomunikasi dan fungsi sosial.5

F. Skrining
AAP merekomendasikan skrining semua anak-anak dengan gejala ASD melalui
kombinasi pengawasan perkembangan dan tes skrining autisme khusus pada usia 18 dan usia
24 bulan di sekolah dasar. Anak-anak dengan ASD dapat diidentifikasi sejak balita sehingga
dapat dilakukan intervensi lebih awal. Skrining dapat dilakukan secara berkala pada usia 9,
18, dan 30 bulan. Alat skrining dirancang untuk membantu pengasuh mengidentifikasi dan
melaporkan gejala yang diamati pada anak-anak dengan risiko tinggi ASD. Manifestasi awal
dari gejala defisit berkaitan dengan komunikasi sosial. Salah satu alat skrining risiko ASD
disebut dengan “red flags” (Tabel 3.).1

Tabel 3. Red Flags: Gejala Dini ASD


Gejala
12 bulan Tidak menanggapi ketika dipanggil.
14 bulan Tidak menunjuk objek untuk menunjukkan minat.
18 bulan Tidak bermain pura-pura
Menghindari kontak mata dan mengingini kesendirian
Memiliki kesulitan memahami perasaan orang lain atau berbicara
tentang perasaan mereka sendiri
Keterampilan berbicara dan bahasa mengalami keterlambatan
Mengulang kata atau frasa (echolalia)
Memberikan jawaban yang tidak terkait dengan pertanyaan
Umum Marah karena perubahan kecil
Memiliki minat obsesif
Membuat gerakan berulang seperti mengepakkan tangan,
mengayun, atau berputar-putar
Memiliki reaksi yang tidak biasa pada suara, bau, rasa, penampilan,
atau rasa

Beberapa instrumen skrining ASD yang didasarkan pada usia adalah sebagai berikut:
1. Anak-anak usia <18 bulan: Diagnosis ASD yang lebih dini sehingga intervensi dapat
lebih awal diberikan. M-CHAT adalah alat yang paling banyak digunakan untuk
skrining balita dengan ASD.
2. Anak-anak usia 18 hingga 30 bulan: Alat skrining berbasis kuesioner yang paling
umum digunakan adalah M-CHAT. Instrumen ini telah lebih jauh divalidasi dan skor
telah dimodifikasi untuk kemudahan administrasi. Intervensi lebih dini dilakukan
untuk anak-anak usia 16 hingga 30 bulan. The Modified Checklist for Autism in
Toddlers, Revised with Follow-Up (Questions) (M-CHAT-R/ F) menghilangkan 3
pertanyaan dari versi sebelumnya. Anak-anak memiliki skor ≥8 berisiko tinggi
mengalami ASD atau gangguan perkembangan lainnya dan harus segera dirujuk
untuk penilaian diagnostik.
3. Anak-anak usia >30 bulan: Tidak ada yang alat skrining yang telah divalidasi untuk
digunakan dalam praktik pediatrik dan belum ada rekomendasi alat skrining universal
oleh AAP untuk kepentingan skrining ASD. Sosial Communication Questionnaire
(SCQ) sedang dipelajari dalam kelompok umur yang berbeda. Namun, kuesioner ini
dapat mengidentifikasi gejala yang tumpeng tindih dengan kondisi lainnya, seperti
ADHD.

G. Evaluasi Etiologi
Anak-anak dengan diagnosis ASD harus dinilai etiologi dan ko-eksistensi umum.
Pada laporan klinis AAP 2007 tentang Autisme, dilakukan pemeriksaan kariotipe dan
pengujian DNA untuk Sindrom X Fragile. Segera setelah itu, Microarray Cromosom (CMA)
dilakukan sebagai tes awal yang paling tepat untuk melakukan evaluasi etiologi anak-anak
dengan ASD.1
Pengujian Genetik
CMA dan sequencing genetik dilakukan untuk mengidentifikasi etiologi genetik
sehingga dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang prognosis dan risiko kekambuhan
dan dapat membantu mengidentifikasi dan mengobati atau mencegah terjadinya kondisi
medis tertentu, membimbing pasien dan keluarga, dan menghindari melakukan pemeriksaan
yang tidak diperlukan (Tabel 4.). Investigasi dimulai dengan memeriksa perilaku
perkembangan medis, tanda bahaya, sejarah keluarga, serta fisik dan neurologis yang
menyeluruh. Riwayat keluarga termasuk potensi paparan sebelum melahirkan (seperti obat-
obatan, alkohol, narkoba) dan faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko untuk ASD.
Pemeriksaan fisik mencakup penilaian pertumbuhan relatif (lingkar kepala, fitur dismorfik,
organomegali, manifestasi kulit, gangguan neurokutan (sclerosis tuberous dan
neurofibromatosis), dan kelainan neurologis.
Tabel 5. menjelaskan pedoman praktis untuk melakukan evaluasi etiologi genetik.
Sindrom klinis lain yang terkait dengan ASD juga dilakukan pemeriksaan. Pengujian mutasi
genetik juga dilakukan dengan menguji mutase/ delesi/ duplikasi MECP2 yaitu gen terlibat
dalam sindrom Rett. ASD dengan tanda makrosefali dan memiliki makula pada penis yang
berpigmen menjadi indikasi dilakukan sequencing dan analisis delesi atau duplikasi gen
PTEN. Wholeexome Sequencing (WES) dilakukan untuk mengidentifikasi varian nukleotida
tunggal, termasuk adanya mutasi fungsi pathogen dan missense.
Kompleksitas uji genetik meningkatkan tuntutan dilakukan konsultasi dengan seorang
spesialis. Pemeriksaan etiologi klinis disesuaikan dengan keadaan individu dan
mempertimbangkan informasi riwayat dan pemeriksaan fisik.
Neuroimaging
Neuroimaging klinis khusus masih jarang dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan
ASD dibandingkan dengan yang lain. Korelasi abnormalitas spesifik didasarkan data klinis,
etiologi, atau aspek patofisiologis dari ASD. Temuan insidental sering terjadi dalam studi
neuroimaging. Kebutuhan MRI klinis harus didasarkan oleh anamnesis dan pemeriksaan
fisik. MRI dapat mengevaluasi regresi atipikal, mikrosefali, makrosefali, kejang, manifestasi
intrakranial genetik, pemeriksaan neurologis abnormal, atau indikasi klinis lain.
Pengujian Metabolik
Pengujian metabolisme rutin dilakukan untuk anak-anak dengan ASD ringan dan
tidak direkomendasikan untuk penggunaan reguler. Pemeriksaan metabolik didasarkan pada
riwayat penyakit, riwayat keluarga, gejala, dan, sebagai tambahan yang tidak rutin,
pemeriksaan pengukuran kadar asam amino plasma puasa, kadar asam organik urin, dan
kadar metabolit acylcarnitine, dan lain-lain. Sejarah regresi atipikal (<2 tahun, regresi
motorik, atau regresi berganda), riwayat keluarga, kematian anak usia dini atau diagnosis
gangguan metabolisme, dan gangguan fisik, seperti hipotonia, gangguan visual dan
pendengaran, serta, adanya fitur dysmorphic mengindikasikan perlunya konsultasi dengan
spesialis untuk memandu evaluasi metabolisme atau gangguan mitokondria. Menurut
rekomendasi AAP, anak-anak dengan keterlambatan motorik seharusnya dilakukan evaluasi
terhadap creatine kinase dan uji hormon rangsang tiroid.
EEG
Anak-anak dengan ASD cenderung mengalami peningkatan risiko kejang. EEG
dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan yang umum terlihat pada kejang klinis. EEG
tidak direkomendasikan sebagai evaluasi dasar rutin tanpa adanya indikasi seperti kecurigaan
klinis kejang, regresi atipikal, atau gejala neurologis lain yang ditemukan pada riwayat atau
pemeriksaan. Keterlambatan/ hilangnya bahasa atipikal, diamati dalam status kelistrikan
epileptikus pada saat tidur dan dievaluasi dengan EEG durasi semalam.

Tabel 4. Manfaat Potensial Evaluasi Genetik


Meningkatkan akurasi konseling yang diberikan kepada pasien dan keluarga:
- Prognosis atau perjalanan klinis yang diharapkan,
- Risiko kambuh untuk keluarga dan individu,
Memberikan dukungan keluarga, seperti:
- Meningkatkan psikososial pasien dan keluarga (misalnya, pengetahuan dan dukungan,
kualitas hidup orang tua).
Mencegah morbiditas dan mengobati kondisi medis yang terkait dengan genotip, seperti:
- Kondisi atau kelainan yang mungkin terjadi pada saat diagnosis,
- Kondisi yang mungkin berkembang kemudian.
Opsi perawatan penyulingan, termasuk:
- Menghindari intervensi terapeutik yang didasarkan pada teori etiologi yang tidak
berdasar,
- Menghindari perawatan yang tidak efektif atau berpotensi berbahaya,
- Menyediakan akses ke perawatan spesifik etiologi yang baru muncul,
- Memfasilitasi perolehan layanan yang diperlukan dan akses ke protokol penelitian,
- Menghindari tes diagnostik tambahan, yang mungkin tidak perlu, mahal, dan/ atau tidak
nyaman.

Tabel 5. Pemeriksaan Etiologi Genetik Pasien dengan ASD


Langkah Pemeriksaan Evaluasi Genetik
1 Pertimbangkan rujukan untuk evaluasi genetika anak.
2 Penggalian riwayat secara komprehensif (termasuk sejarah keluarga 3 generasi
terakhir dengan ditekankan pada kelainan ASD dan diagnosa perkembangan,
perilaku dan/ atau kejiwaan, dan neurologis lainnya).
Pemeriksaan fisik (termasuk dismorphology, parameter pertumbuhan, dan
pemeriksaan kulit).
- Jika dicurigai ada sindrom atau gangguan metabolisme, kembali ke langkah 1
(evaluasi genetika dan/ atau rujukan pemeriksaan metabolik) dan/ atau uji
target yang sesuai.
- Jika tidak, lanjutkan ke langkah 3
3 Pemeriksaan laboratorium:
- Diskusikan dan tawarkan analisis CMA
- Diskusikan dan tawarkan analisis sindrom X-Fragile;
Jika riwayat keluarga diindikasikan adanya riwayat intelektual terkait cacat
kromosom.
Jika pasien perempuan, pertimbangkan evaluasi untuk sindrom Rett, tes
MECP2
Jika studi ini tidak mengungkapkan etiologi, lanjutkan ke langkah 4
4 Pertimbangkan rujukan genetika, termasuk WES.

H. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana anak dengan ASD adalah untuk (1) meminimalkan defisit
(komunikasi sosial dan interaksi atau perilaku dan minat berulang), maupun adanya gangguan
penyerta; (2) memaksimalkan independensi fungsional untuk memfasilitasi pembelajaran dan
akuisisi keterampilan adaptif; dan (3) menghilangkan, meminimalkan, atau mencegah
masalah perilaku yang dapat mengganggu keterampilan fungsional. Hukum pendidikan
internasional yang melibatkan individu penyandang cacat diatur dalam Undang-Undang
Peningkatan Pendidikan tahun 2004 (IDEA) (Hukum Publik 108-446) dan No Child Left
Behind Act of 2001 (Hukum Publik 107–110) dan Hukum Publik 114-95 sebagai revisi.
Intervensi untuk anak-anak dengan ASD dilakukan bersamaan dengan praktik pendidikan,
terapi perkembangan, dan intervensi perilaku. Strategi perawatan dapat bervariasi menurut
umur, kekuatan, dan kelemahan anak. Misalnya, intervensi untuk balita dengan diagnosis
ASD mencakup perilaku dan pendekatan perkembangan (secara individu atau dalam konteks
komprehensif).
ABA
ABA adalah proses penerapan intervensi secara sistematis berdasarkan prinsip-prinsip teori
untuk meningkatkan perilaku sosial yang signifikan dan intervensi didasarkan peningkatan
perilaku. Penggunaan metode ABA untuk mengobati gejala ASD menunjukkan bahwa
perilaku dapat diubah secara terprogram. ABA menargetkan pengembangan keterampilan
baru (misalnya, keterlibatan sosial) dan/ atau meminimalkan perilaku (misalnya, agresi) yang
dapat mengganggu kemajuan seorang anak.
Fokus Hubungan dan Pembangunan Interaksi
Intervensi pada ASD dapat difokuskan pada hubungan antara tingkat responsivitas
pengasuh dan perkembangan komunikasi sosial anak. Melalui interaksi dengan orang lain,
anak-anak belajar untuk berkomunikasi dan mengatur emosi, serta membangun fondasi untuk
pemikiran yang semakin kompleks dan interaksi sosial. Karena itu, model intervensi yang
dikembangkan dirancang untuk menginisiasi hubungan sosial pada anak-anak dengan ASD
dan pengasuhnya melalui pembinaan untuk membantu meningkatkan responsivitas terhadap
orang dewasa (yaitu, intervensi orang tua atau pengasuh) melalui meniru, berkembang, atau
bergabung dengan kegiatan bermain anak-anak. Pendekatan ini dapat mengatasi gejala inti
ASD.
Fokus Perkembangan Perilaku Naturalistik
Naturalistic Developmental Behavioral Interventions (NDBI) memasukkan unsur-
unsur ABA dan prinsip pengembangan, seperti penekanan pada pengembangan target belajar
dan dasar keterampilan belajar sosial, dengan konteks intervensi kegiatan sosial yang terjadi
secara alami dalam lingkungan alami. Episode pengajaran diprakarsai oleh anak, peluang
terjadi secara alami untuk belajar, dan interaksi. Pendekatan berbasis ABA dengan tujuan
yang terukur.

Pendekatan Gabungan
Pendekatan gabungan meliputi penggunaan prinsip ABA untuk memperkuat
pengembangan keterampilan; pendekatan sistematis dengan pedoman untuk melatih praktisi
yang mau menggunakan intervensi dalam mode standar; perawatan individual untuk anak;
dan pendekatan natural.
Pendekatan Orang Tua atau Pelatihan Manajemen Orang Tua
Semakin banyak bukti intervensi terfokus yang disampaikan oleh orang tua terlatih
atau pengasuh lain yang dapat menjadi bagian penting dari program terapeutik. Pelatihan
manajemen orang tua dibagi menjadi 2 kategori: dukungan utama dan mediasi intervensi oleh
orang tua. Dukungan intervensi pada orang tua berfokus pada pengetahuan dan memberikan
manfaat tidak langsung untuk anak, termasuk koordinasi perawatan dan psikoedukasi.
Intervensi Pendidikan
Pendekatan Berbasis Kelas
Anak usia sekolah akan dididik di pengaturan ruang kelas dengan dukungan yang
memberikan efek luas pada gejala ASD dan defisit terkait. Siswa dengan ASD di lingkungan
biasanya membutuhkan program individual yang dimodifikasi untuk memenuhi
Individualized Education Program (IEP) dengan tujuan yang ditetapkan oleh keluarga, siswa,
dan tim sekolah. Beberapa siswa yang tidak memenuhi syarat untuk IEP oleh kriteria
pendidikan mungkin dapat didukung dengan akomodasi atau dengan akomodasi kelas.
Banyak siswa dengan ASD dididik di kelas inklusif dengan dukungan. Anak-anak usia
sekolah lainnya dan kaum muda mendapat manfaat dari gangguan-gangguan khusus. Contoh
lain pendekatan berbasis kelas termasuk Learning Experiences and Alternative Programs for
Preschoolers and their Parents (LEAP) dan TEACCH.
Pendidikan Lingkup Terkecil
Lingkungan Pendidikan
Dokter anak memiliki peran penting dalam advokasi untuk anak-anak dan remaja
dengan kebutuhan perawatan kesehatan khusus, termasuk ASD, dalam bidang pendidikan.
Siswa berhak mendapatkan pendidikan publik yang tepat. Program pendidikan untuk anak-
anak usia sekolah dengan ASD harus didasarkan pada pengembangan bahasa, akademik,
adaptif, dan pengembangan serta persiapan keterampilan sosial. Sebagian besar siswa dengan
ASD membutuhkan pendidikan di bawah bimbingan IEP yang ditentukan oleh tim
multidisiplin sekolah dalam hubungannya dengan keluarga.
Instruksi Keterampilan Sosial
Defisit keterampilan sosial dapat muncul berbeda tergantung pada kemampuan
berbahasa, tingkat perkembangan, dan usia. Contoh defisit keterampilan sosial adalah sebagai
berikut:
- tantangan pembangunan, mempertahankan, dan keluar dari interaksi;
- kesulitan menghadiri, memahami, dan menggunakan isyarat sosial nonverbal dan verbal,
seperti kontak mata, wajah ekspresi, dan gerak tubuh;
- kesulitan dalam memahami aturan sosial "tidak tertulis" dari lingkungan hidup;
- tidak memahami perspektif lain;
- berjuang dengan negosiasi, kompromi, dan konflik resolusi; dan
- memiliki permasalahan dengan permainan interaktif atau partisipasi dalam kegiatan
rekreasi.
Pengajaran dan pembinaan interaksi sosial melibatkan terapi perilaku, terapi wicara, dan
pendekatan bahasa.
Lain-Lain
Intervensi Bicara dan Bahasa
Keterlambatan berbahasa adalah masalah awal bagi banyak anak yang didiagnosis
dengan ASD, termasuk gejala komunikasi dalam kriteria DSM-5 untuk ASD yang
mencerminkan defisit inti dalam komunikasi sosial dan interaksi, seperti kegagalan hubungan
timbal balik, defisit dalam komunikasi nonverbal (seperti tatapan mata dan penggunaan
gerakan), kesulitan menyesuaikan perilaku agar sesuai dengan konteks sosial, pembatasan
perilaku berulang yang mengarah ke vokal perseverative, echolalia, dan keasyikan tersendiri
terhadap topik yang menarik. Semua anak dengan ASD harus memiliki dokumentasi spesifik
dan diagnosa bahasa sehingga memungkinkan adanya intervensi yang tepat.
Terapi Motorik
Anak-anak dengan ASD mungkin memiliki tonus otot lemah atau perkembangan
gangguan koordinasi, walaupun usia untuk duduk dan berjalan tidak berbeda antara anak-
anak dengan ASD dan anak-anak dengan gangguan pengembangan tipikal. Keterampilan
motorik mungkin mengalami penundaan pada anak-anak usia prasekolah dengan ASD.
Terapi okupasi mungkin dapat diindikasikan untuk pengembangan motorik halus dan
keterampilan adaptif, termasuk perawatan diri, penggunaan mainan, dan tulisan tangan.
Hampir dua pertiga anak usia prasekolah dengan ASD menerima terapi okupasi.
Terapi Sensorik
Pada 2012, AAP meluncurkan sebuah klinik “Sensory Integration Therapies for
Children With Developmental and Behavioral Disorders” yang didasarkan pada informasi
latar belakang dan rekomendasi untuk dokter anak. Sejak dipublikasikan, kriteria DSM-5
termasuk gejala sensorik di kriteria diagnostik untuk ASD memiliki fakta bahwa individu
dengan ASD memiliki tantangan sensorik yang mungkin terkait dengan pengulangan dan
perilaku menantang lain. Gejala sensorik yang diperlihatkan seperti pemilihan makanan,
menutupi telinga mereka suara-suara tertentu, dan aspek visual objek. Sasaran sensorik
dimasukkan dengan tujuan pengobatan anak-anak dengan ASD. Pendekatan yang diarahkan
orang dewasa melalui intervensi sensorik dapat dimasukkan dalam konteks motorik dan
perilaku. Intervensi sensorik yang biasa digunakan termasuk menyikat kulit, stimulasi
proprioseptif dengan menggunakan rompi khusus, atau stimulasi kinestetik (seperti berayun
atau menggunakan tempat duduk khusus, seperti bola terapi, untuk memodulasi tingkat
gairah), namun stimulasi ini masih memerlukan penelitian peer-review lebih lanjut.
Intervensi untuk Keadaan Komorbid
Kondisi komorbid, seperti kejang, gangguan tidur, gangguan gastrointestinal (GI),
gangguan makan, obesitas, katatonia, dan lainnya, memiliki efek signifikan pada kesehatan
dan kualitas hidup anak-anak dan remaja dengan ASD dan keluarga mereka. Kondisi yang
ada diamati pada anak-anak dan remaja dengan ASD. Panduan antisipatif dan strategi
manajemen penyedia layanan utama harus mempertimbangkan keadaan ini.

Tabel 6. Pertimbangan Pemberian Intervensi


 Tidak adanya pengobatan yang dapat memperbaiki gejala sosial dan gejala inti ASD
 Diagnosis yang akurat dari terapi psikiatrik bersamaan dengan obat-obatan yang
diberikan.
 Gangguan kesehatan penyerta (misalnya, ADHD, gangguan suasana hati, atau
gangguan kecemasan)
 Perilaku atau gejala terkait yang menyebabkan gangguan dan kesulitan yang
signifikan
Contoh: agresi, perilaku mencederai diri sendiri, gangguan tidur, mood lability,
kecemasan, hiperaktif, impulsif, kurang perhatian
 Obat-obatan dipertimbangkan setelahnya
 Perhitungan yang cermat tentang kapan perilaku dimulai dan apa faktor
perburukannya
 Penilaian perilaku fungsional yang memandu pengembangan rencana perawatan di
lingkungan sekolah
 Pertimbangkan apakah perilaku tersebut menimbulkan kesulitan/ penolakan
berkomunikasi
 Pertimbangkan rujukan terapi perilaku di luar sekolah untuk menilai alasan perilaku,
memberikan usulan strategi kepada keluarga, dan berkolaborasi
 Riwayat dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk mencari faktor medis yang dapat
menyebabkan atau memperburuk perilaku yang menantang (misalnya, refluks
gastroesofagus dan akut, nyeri, seperti otitis media, cedera gigi, patah tulang, dan
lain-lain)
 Pertimbangkan pengobatan setelah kondisi medis dapat diobati dan faktor perilaku
yang dinilai serta intervensi yang tidak mengatasi gejala
 Libatkan keluarga dan pasien dalam pengambilan keputusan bersama yang
mempertimbangkan tujuan dan nilai-nilai

Tabel 7. Pemilihan Terapi Psikotropika untuk Mengatasi Gejala


I. Keadaan Terkait
Gangguan Perilaku Mengganggu: Agresi, Perilaku Melukai Diri Sendiri, dan Tantrum
Perilaku yang mengganggu, seperti agresi, melukai diri sendiri, dan tantrum, dapat
menyulitkan lingkungan dan komunitas individu dengan ASD. Ledakan perilaku dapat terjadi
dalam menanggapi peristiwa stres di lingkungan, sebagai reaksi terhadap kondisi medis,
komunikasi fungsional, atau sebagai gejala yang mendukung diagnosis keadaan mental
komorbid (Tabel 8.). Analisis perilaku fungsional dan strategi implementasi perilaku menjadi
awal yang penting dalam manajemen. McGuire mengusulkan intervensi untuk tantrum pada
ASD. Perilaku yang mengganggu berfungsi sebagai komunikasi untuk melarikan diri dari
permintaan atau situasi yang tidak diinginkan. Timbulnya perilaku baru yang parah
membutuhkan pertimbangan potensi alasan medis. Perawatan farmakologis harus
dipertimbangkan jika tidak ada etiologi medis yang diidentifikasi dan jika perilaku tersebut
terkait dengan lekas marah, tidak responsif terhadap intervensi perilaku yang tersedia, atau
terkait dengan kondisi komorbid, gangguan kesehatan, seperti kecemasan, dan suasana hati
yang buruk.
OCD
Meski perilaku terbatas dan berulang adalah gejala ASD, beberapa individu dengan
ASD juga mungkin dapat berdampingan OCD. Obsesi yang berulang, tidak diinginkan, dan
pikiran yang gigih. Perilaku kompulsif berulang atau pemikiran dengan aturan yang kaku
dilakukan untuk mengurangi kecemasan. Tidak seperti perilaku stereotip ASD, kompulsi
biasanya diikuti obsesi, kecemasan, dan diinginkan oleh individu atau dianggap
menyenangkan. Berdasarkan DSM-5, gangguan terkait OCD termasuk gangguan kompulsif,
gangguan eksoriasi (memetik kulit), trikotilomania, zat- atau obsesif-kompulsif yang
diinduksi oleh obat dan gangguan terkait, dan obsesif-kompulsif yang terkait kondisi medis
lain. Kecemasan, fobia, dan/ atau depresi dapat terjadi berdampingan dengan OCD pada
anak-anak dengan ASD.

J. Rekomendasi Pediatrik
Untuk memberikan perawatan yang tepat anak-anak dan keluarga yang terkena
dampak ASD, sistem kesehatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat perlu berkolaborasi
dan terintegrasi, dengan dana memadai.
a. Identifikasi awal dan pengobatan:
Skrining dan pengawasan dilakukan untuk menjelaskan identifikasi awal yang akurat,
serta biaya efektif, dan diagnosis tepat waktu. Implementasi yang cepat dari intervensi
berbasis bukti, dan penghapusan kesenjangan akses perawatan untuk anak-anak dengan ASD.
Dokter harus merespons keluarga atau memiliki kecurigaan klinis terhadap hasil skrining
untuk menghindari keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.
b. Kolaborasi sistem perawatan: Anak-anak dengan ASD diharapkan dapat mendapatkan
intervensi untuk mengatasi masalah sosial, akademik, dan kebutuhan perilaku di rumah dan
sekolah; akses ke perawatan kesehatan anak dan mental yang sesuai; layanan adekuat; dan
kegiatan untuk mengisi waktu luang.
c. Merencanakan masa remaja dan transisi ke sistem perawatan orang dewasa:
masyarakat harus membangun layanan untuk mempromosikan keterampilan sosial yang
sesuai untuk pekerjaan dan pendidikan sekunder, akses yang sesuai untuk kesehatan medis
dan perilaku layanan, pengembangan keterampilan kerja, dan peluang rekreasi komunitas.
Dokter anak perlu terlibat dengan keluarga untuk merencanakan transisi medis remaja dan
orang dewasa.
d. Pengasuh dan keluarga yang diberi informasi: Dokter anak dapat mengedukasi anak-
anak dengan ASD dan keluarga tentang bukti intervensi, rujukan keluarga untuk
kemungkinan
partisipasi dalam penelitian klinis, rujukan keluarga untuk dukungan komunitas, dan
persiapkan keluarga untuk masa transisi.
e. Penyedia informasi kesehatan anak: Dalam melayani pasien dan keluarga yang
terdampak ASD, perawatan dokter untuk anak-anak dan remaja dengan ASD harus
menyadari masalah yang terkait dengan diagnosis sehingga dapat hidup berdampingan
dengan kondisi medis dan perilaku, dan dampak ASD pada keluarga sehingga dapat
mengatasi pembangunan kapasitas secara aktif untuk perawatan anak-anak dan remaja
dengan ASD.

K. Prognosis
Prognosis anak-anak dengan ASD biasanya tidak bisa diprediksi pada saat diagnosis.
Namun, sebagian besar anak-anak (≥80%) yang didiagnosis dengan ASD setelah evaluasi
komprehensif <3 tahun mendapatkan diagnosis yang tetap. Gejala-gejala ringan ASD pada
anak <3 tahun lebih sulit dikenali, terutama jika memiliki kemampuan kognitif rata-rata atau
di atas rata-rata. Anak usia dini dapat mengalami pengembangan keterampilan komunikasi
dan gejala afektif sosial, perilaku berulang dapat berubah yang mencerminkan maturitas dan/
atau keberhasilan intervensi. Secara umum, anak-anak dengan ASD dengan keterlambatan
berbahasa memiliki lebih banyak kesulitan sosial daripada anak-anak dengan ASD tanpa
gangguan bahasa. Anak-anak dengan ASD dan cacat intelektual memiliki kesulitan besar
untuk mengembangkan kompetensi sosial. Prognosis untuk anak-anak dengan ASD
dipengaruhi oleh faktor fenotipik dan demografis subkelompok (mis. anak perempuan, ras,
dan subkelompok etnis, ataupun anak-anak dengan makrosefali). Sekitar 9% anak-anak yang
didiagnosis dengan ASD lebih dini mungkin tidak memenuhi kriteria diagnostik ASD dewasa
muda. Anak-anak dengan ASD lebih cenderung memiliki riwayat keterampilan kognitif yang
lebih tinggi pada usia 2 tahun dengan intervensi lebih dini, dan menunjukkan penurunan
perilaku berulang dari waktu ke waktu. Perubahan dalam diagnosis klinis (misalnya, ke
ADHD atau OCD) lebih mungkin terjadi pada anak-anak yang didiagnosis ASD sebelum usia
30 bulan atau sudah diagnosis PDD-NOS berdasarkan DSM-IV. Penghitungan skor
keparahan dilakukan di usia muda berdasar peningkatan tes IQ verbal. Kesulitan fungsi
eksekutif dikaitkan dengan fungsi adaptif yang lebih buruk, terlepas dari IQ. Kecerdasan
terukur (misalnya, IQ) dan kemampuan bahasa di masa kecil cenderung memprediksi hasil di
masa dewasa. Kualitas hidup orang dewasa dengan ASD terkait dengan adanya dukungan
keluarga dan komunitas. Intervensi dini yang tepat dan terprogram serta adanya pelayanan
pendukung memengaruhi hasil pada penderita autisme. Autisme tidak fatal dan tidak
memengaruhi harapan hidup normal. Penderita autis yang dideteksi dini serta langsung
mendapat perawatan dapat hidup mandiri tergantung dari jenis gangguan autistik yang
diderita dan usia saat terdeteksi.1,2
SUMBER PUSTAKA

1. Hyman, Susan L., Susan E. Levy, and Scott M. Myers. Executive Summary:
Identification, Evaluation, and Management of Children With Autism Spectrum
Disorder. Pediatrics 145.1. 2020.
2. National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). NINDS Autism
Information Page. 2006.
3. National Institute of Mental Health (NIMH). Autism Spectrum Disorders (Pervasive
Developmental Disorders). 2006.
4. ---. Finding Adds Another Piece to Autism Puzzle. MedlinePlus. 2006.
5. Autism Society of America (ASA). Living with Autism. 2005.

Anda mungkin juga menyukai