Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia merupakan suatu gugusan yang terpanjang dan terbesar
didunia, Indonesia salah satu negara dengan masyarakat majemuk dilihat dari
berbagai sudut dan tingkat perkembangan kebudayaan.Keanekaragaman kelompok
atau suku bangsa masing-masing mempunyai kebudayaan sendiri atau disebut multi
etnis.Masyarakat etnis ini telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu, selama itu pula
mereka menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan tradisi mereka.
Salah satu golongan etnis yang ada di Indonesia yaitu suku bangsa
Minangkabau yang mendiami dataran tengah Pulau Sumatera bagian Barat yang
sekarang menjadi Propinsi Sumatera Barat.
Setiap golongan etnis memiliki stereotype berdasarkan cara pandang
masyarakat sendiri. Menurut kamus besar bahasa Indonesia stereotype adalah konsepsi
mengenai sifat suatu golongan berdasakan prasangka subjectif dan tidak
tepat.Berdasarkan pandangan masyarakat Indonesia bahwa stereotipe etnis
Minangkabau itu pelit, kikir dan sebagainya tetapi ada beberapa yang beranggapan
etnis minangkabau itu tidak pelit, kikir dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan sosa budaya pada suku Minang ?
2. Bagaimana konse sehat sakit menurut masyarakat suku minang?

C. Tujuan
1. Mengeahui bagaimana tinjauan sosa budaya pada suku Minang
2. Mengetahui bagaimana konse sehat sakit menurut masyarakat suku minang
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Sosial Budaya


1. Asal Usul Suku Minangkabau
Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah
suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Adat Minangkabau pada
dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa
perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama
disebabkan karena masyarakat Minangkabau sudah menganut sistem garis
keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah
Minangkabau sekarang ini walau orang-orang Minangkabau sangat kuat
memeluk agama Islam. Kekhasan lain yang sangat penting adalah bahwa suku
Minangkabau merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan
tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat
dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar
adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Minangkabau
dipahamkan sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau
yang berpusat di Pagaruyung. Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang
sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda.
Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan,
Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman
kerajaan Pagaruyung (Abidin, 2008).
Suku Minangkabau merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu
(Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok
masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran
sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).
Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minangkabau menyebar ke daerah
pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di
utara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo,
masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia.
Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera
menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka ketika kerajaan
tersebut jatuh ke tangan Portugis (Akauts, 2008).
Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia. Menurut Amir
(2003) sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”
(komunal bezit). Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya.
Sebaliknya, tiap kelompok itu (suku) menjadi milik semua individu yang
menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari
timbulnya rasa setia kawan yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa tolong
menolong.
2. Etimologi Suku Minangkabau
Menurut Hidayah (1997) asal-usul nama Minangkabau sangat beragam,
nama Minangkabau secara umum diambil dari kata manang kabau (menang
kerbau) karena adanya kebiasaan atau adat dalam suatu perayaan diadakan
suatu pertandingan adu kerbau. Namun ada juga yang beranggapan bahwa
kata Minangkabau diambil dari nama sebuah senjata tajam yang dipasang
pada tanduk kerbau. Ada pula yang membantah bahwa asal nama itu bukan
dari adu kerbau, tapi sudah ada sejak dulu. Yang jelas bangunan rumah adat
Minangkabau mencirikan tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara
untuk dipelihara dan untuk korban upacara adat. Orang Minangkabau lebih
suka menyebut daerah mereka Ranah Minang (Tanah Minang) bukan Ranah
Kabau (Tanah Kerbau). Dalam pergaulan antar suku bangsa orang
Minangkabau dengan sesamanya, mereka menyebut diri mereka Urang Awak
(Urang Kita). Orang Minangkabau menggunakan satu bahasa yang sama,
yaitu bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat hubungannya dengan
bahasa Melayu (Sudiharto, 2007).
Beberapa sumber lain yang menyebutkan bahwa nama Minangkabau
sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang
lebih tepat sebelumnya adalah Minangkabau kabwa, Minangkabau akamwa,
Minangkabau atamwan dan Phinangkabhu. Istilah Minangkabau atamwa atau
Minangkabau kamba berarti Minangkabau (sungai) Kembar yang merujuk
pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.
Sedangkan istilah Minangkabauatamwan yang merujuk kepada Sungai
Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu
disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang
melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangkabauatamwan)
yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
3. Pengkajian Transcultural Nursing
Pengkajian transcultural nursing didasarkan pada tujuh komponen yang
terdapat pada “Sunrise Model” yaitu:
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau
contohnya yaitu bentuk desadan bentuk tempat tinggal. Desa mereka
disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari terdiri dari dua
bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari adalah daerah
kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Berbeda dengan
taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang. Di dalam
nagari biasanya terdapat sebuah masjid, sebuah balai adat, dan pasar.
Mesjid merupakan tempat untuk beribadah, balai adat merupakan
tempat sidang-sidang adat diadakan. Sedangkan pasar dan kantor
kepala nagari terletak pada pusat desa atau pada pertengahan sebuah
jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman di sebelah kiri dan
kanannya. Rumah adat Minangkabau biasa disebut rumah gadang dan
merupakan rumahpanggung. Bentuknya memanjang dengan atap
menyerupai tanduk kerbau. Ukuran rumah juga didasarkan kepada
perhitungan jumlah ruang yang terdapat dalam rumah itu. Sebuah
rumah gadang terdiri dari jumlah ruangan dalam bilangan yang ganjil,
mulai dari tiga. Jumlah ruangan yang biasa adalah tujuh, namun ada
sebuah rumah gadang yang mempunyai tujuh belas ruangan. Sebuah
rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan sebagai
kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain
itu beberapa rumah gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng
(anjung) yaitu bagian yang ditambahkan pada ujung rumah dan
dianggap sebagai tempat kehormatan.
Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh sikap tenaga
kesehatan, kebutuhan, serta permintaan masyarakat. Berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi kesehatan ini, perawat perlu mengkaji persepsi
klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari bantuan kesehatan,
persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat, atau mengatasi masalah
kesehatan.
Pusat kebudayaan Minangkabau berada di suatu desa yang terletak
di daerah darek atau darat di kaki gunung Merapi. Mata pencaharian
penduduk terutama berusaha di bidang pertanian. Pengolahan
pertanian umumnya dilakukan secara tradisional. Artinya, penduduk
menggunakan peralatan sederhana dengan menggunakan tenaga
manusia dan hewan. Penggunaan teknologi modern dalam pengolahan
tanah belum begitu tinggi frekuensinya.
Zaman dulu sebelum orang-orang mengenal mobil, kendaraan
pribadi adalah bendi. Mempunyai bendipribadi sudah setara dengan
mempunyai mobil pribadi. Sampai sekarang alat transport yang
digerakkan oleh tenaga kuda ini masih mempunyai pelanggan setia
ditengah maraknya transportasi modern yang tentunya lebih cepat.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Di masyarakat minang mayoritas semua beragama islam sehingga jika
ada masyarakat yang tidak beragama islam berarti dia telah menyalahi
prinsip adat minangkabau dan dengan sendirinya dia dianngap bukan
orang minangkabau. Masyarakat minangkabau merupakan penganut
agama islam yang taat. Mereka bisa dikatakan tidak mengenal unsur-
unsur kepercayaan lain. Berikut ini merupakan contoh dari beberapa
kesamaan faham Islam dan Minangkabau:
1 ) Faham Islam: Menimba ilmu adalah wajib, Faham
Minangkabau: Anak-anak lelaki harus meninggalkan rumah
mereka untuktinggal dan belajar di surau (langgar, masjid).
2 ) Faham Islam: Mengembara adalah kewajiban untuk
mempelajari tamadun-tamadunyang kekal dan binasa untuk
meningkatkan iman kepada Allah sedangkan Faham
Minangkabau: Para remaja harus merantau (meninggalkan
kampunghalaman) untuk menimba ilmu dan bertemu dengan
orang dari berbagai tempatuntuk mencapai kebijaksanaan, dan
untuk mencari penghidupan yang lebih baik.Falsafah merantau
juga berarti melatih orang Minangkabau untuk hidup
mandiri,kerana ketika seorang pemuda Minangkabau berniat
merantau meninggalkankampungnya, dia hanya membawa
bekal seadanya.
3 ) Faham Islam: Tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk
menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai, Faham
Minangkabau: Wanita yang menentukan dengan siapa yang ia
ingin menikah.
4 ) Faham Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih tinggi daripada
bapak sedangkan Faham Minangkabau: Bundo Kanduang
adalah pemimpin/pengambil keputusan di Rumah Gadang.
Upacara-upacara adalah kegiatan ibadah yang berkaitan dengan
hari raya Idul Fitri, hari raya kurban dan bulan ramadhan.
Disamping itu, upacara-upacara lainnya adalah upacara
upacara peringatan kematian Hasan dan Husain di Padang
Karabela (Tabuik), upacara Kitan dan Katam berhubungan
dengan lingkaran hidup manusia, seperti upacara Turun
Tanah/Turun Mandi adalah upacara bayi menyentuh tanah
pertama kali,upacara Kekah adalah upacara memotong rambut
bayi pertama kali, upacara selamatan orang meninggal pada
hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, dan lain-lain.
Dalam kebudayaan minangkabau, karena menjaga prinsipnya
maka dalam pemilihan jodoh masyarakat sangat hati-hati,
umumnya yang menjadi syarat utamanya adalah harus
beragama islam. Seorang calon bayi yang masih berupa janin
di kandungan ibu selalu di doakan oleh kedua orang tuanya.
Sebagai usaha agar anak yang baru lahir nantinya menjadi anak
yang sholeh, juga di kebudayaan minang seorang ayah
berkewajiban untuk mendengarkan adzan ke telinga bayi laki-
laki dan iqamat pada bayi perempuan ketika bayi baru lahir.
Kemudian ketika anak berumur 5 tahun, umumnya anak di
ajari perilaku agama seperti sholat, membaca al-quran,
berpuasa, dan doa-doa pendek. Karena pada dasarnya anak
balita selalu meniru apa yang diperbuat oleh orang tua dan
keluarga lainnya.
Di masyarakat minangkabau pemberian ajaran islam selalu
dilakukan malam hari setelah makan malam, karena pada saat
ini hampir seluruh anggota keluarga berada di rumah setelah
melakukan pekerjaan rutin seharian. Dalam kebudayaan
masyarakat minang bila dalam usia 5 tahun atau lebih, si anak
tidak mau diajari dengan nilai-nilai agama islam, maka
menurut tradisi yang berlaku si anak akan diberikan sanksi
berupa dimarahi dengan kata-kata sampai si anak mau belajar.
Dengan arti kata si anak berkewajiban menuruti perintah orang
tuanya. Tahap selanjutnya pendidikan agama di keluarga
minang diperoleh dari aktvitasnya dalam berinteraksi di tengah
masyarakat dengan serangkaian kegiatan agama yang
dilakukan, contohnya sholat berjamaah di masjid setiap awal
waktu. Saat anak berusia 7 tahun orang tua berkewajiban
memperhatikan anak apakah ia telah mulai sholat. Bila si anak
belum melakukannya, maka orang tua berkewajiban memarahi
dan kalau perlu mereka akan memukul si anak dengan sapu
lidi, sehingga menjadi jera dan tidak mau melakukannya lagi.
Pada masyarakat minangkabau tidak dijumpai anak yang
berusia diatas 15 tahun belum dikhitan, bila hal itu ditemui
maka secara tidak langsung masyarakat akan memberikan
sanksi pada orang tua si anak karena dianggap tidak
bertanggung jawab.
c. Faktor sosial dan kekerabatan keluarga (kinship and social factors)
Dalam adat Minangkabau ada suatu adat yang penerapannya
meluas dalam keluarga adalah baso-basi, sejak anak-anak harus
dibiasakan menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi
mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain,
harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang
disekitarnya secara terus-menerus (interaksi sosial) sehingga orang
Minang mempunyai ajaran tidak boleh individualistis dalam
kehidupannya.
Pada kebudayaan Minangkabau di dapatkan bahwa sistem keluarga
yang dianut adalah sistem keluarga dalam keturunan garis ibunya atau
matrilineal yang menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai
pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada
ibu yang dikenal dengan Samande (seibu). Sedangkan ayah mereka
disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan
diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Keturunan keluarga dalam
masyarakat minangkabau terdiri dari tiga macam kesatuan
kekerabatan, yaitu paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu
keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang
bertindak sebagai niniek mamak. Selain itu juga, jodoh harus dipilih
dari luar suku (eksogami).
Dalam prosesi perkawinan adat minangkabau disebut baralek yang
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan
maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput oengantin
pria), sampai bersandiang (bersanding di pelaminan). Setelah
maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari
pernikahan). Setelah maminang dan pernikahan secara islam yang
biasa dilakukan di mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di
pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab didepan penghulu atau
tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan
pengganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan
memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut
biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir
pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini
tidak berlaku. Dalam adat diharapkan adanya oerkawinan dengan anak
perempuan mamaknya. Perkawinan tidak mengenal mas kawin, tetapi
mengenal uang jemputan yaitu pemberian sejumlah iang dan barang
kepada keluarga mempelai pria. Sesudah upacara perkawinan
mempelai tinggal di rumah istrinya (matrilokal).
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang
istimewa di keluarga seperti dalam peran sentral untuk menentukan
pendidikan, pengamanan dan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Akibat menganut sistem keluarga matrilineal, tidak dapat mempunyai
keluarga inti (nuclear family) yang dibentuk akibat adanya perkawinan
karena suami atau isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari
garis keturunan mereka masing-masing. Pengertian tentang keluarga
inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit
tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh
karena mereka selalu terpusat oleh sistem garis keturunan ibu yang
lebih kuat. Akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis
keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu
serta anggota-anggota lainnya dalam berdampak pada, adanya ikatan
yang lemah atau kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan
peran ayah dalam rumah tangga serta kurannya kekuasaaan ayah
dalam mengatur selalu menjadi akibat dari sistem ini. Adanya hal
tersebut kesenjangan antara keluarga dari garis keturunan laki-laki
dapat terlihat apabila ketika lelaki tidak dilarang berpoligami, bergilir
mengunjungi istrinya, dan lebih jarang bertemu dengan anak-anaknya.
Ikatan itu tambah berkurang lagi bila perceraian terjadi, dalam
keadaan mana dia jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya.
Akhirnya anak tidak mengetahui dan memahami peran seorang ayah
dalam keluarga dan anak menjadi jauh dengan ayahnya.
Peran keluarga Minangkabau dalam membesarkan anak yang masih
balita pada masa-masa menjelang taun pertama bayi, amat dekat
dengan ibunya, karena ibulah yang selalu menyusui. Ayah lebih
banyak mengawasi dan bercanda dengan sang anak. Apalagi keluarga
Minang suami istri biasanya aktif bekerja di ladang jadi seringkali
sang anak biasanya setelah umur 1-1,5 tahun di bawa oleh ibunya di
bawa ke ladang, dan seringnya anak dititipkan oleh tetangga dan
kerabat terdekat atau diasuh kakaknya.
Pemberian ASI umumnya masih mengikuti pola tradisional, yaitu
kapan bayi menangis atau sewaktu bangun tidur. Bagi ibu yang tetap
di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI di
berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah,
biasanya ASI hanya di berikan sebelum mereka pergi bekerja.
Kemudian kembali di berika ASI pada siang hari. Namun bila si Bayi
dianggap kuat maka merekapun membawanya ke ladang. Sebagian
besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada
usia ini anak sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu
lama karena mereka beranggapan ketika umur 2 tahun anak sudah di
anggap terlalu lama dan dianggap dapat mendatangkan penyakit dan
anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Dalam membesarkan anak atau mengasuh anak keluarga Minangkabau
mempunyai beberapa tradisi , antara lain:
1 ) Upacara kehamilan, ketika janin berusia 16 minggu, maka
disaat inilah bebera kalangan masyarakat mengharapkan doa
dari kerabatnya. Pengertian kerabat disini terdirin dari para ipar
dan besan dari masing-masing pasangan isteri untuk
membangun kehidupan baru menjadi pasangan keluarga
sakinah ma waddah wa rahmah memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar awal kehidupan janin membawa harapan yang
dicita-citakan.
2 ) Upacara Karek Pusek (Kerat pusat), upacara pada saat
dilakukan pemotongan tali pusat.
3 ) Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah), memberikan
sesuatu kepada sang bayi sebagai wujud kasih sayangnya atas
kedatangan bayi itu dalam keluarga muda. Umumnya Induk
bako dan kerabatnya akan memberikan perhiasan berupa cincin
bagi bayi laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan serta
pemberian lainnya.
4 ) Upacara Sunat Rasul, bagi anak laki-laki telah cukup umur dan
berkat dorongan kedua orang tuanya, maka seorang anak akan
menjalani khitanan yang di Ranah Minang disebut Sunat Rasul.
Sunah rasul mengandung pengharapan dari kedua orang tuanya
agar anak laki-lakinya itu menjadi anak yang dicita-citakan
serta berbakti kepada kedua orang tua. Anak laki-laki yang
sudah dikhitankan itu didudukkan di sebuah pelaminan seperti
pengantin. Dalam keluarga Minang biasanya ibu memasak
banyak ragam makanan yang lezat untuk kelurganya yaitu
makanan berat yang banyak menggunakan hasil ladang yaitu
kelapa seperti rendang Darek, rendang Paku, rendang Padang,
gulai Paku/pakis, singgang ayam, gulai kambing, katupek
gulai, sate, dan apik ayam.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors)
Kepala suku masyarakat Minangkabau disebut penghulu,
dubalang, dan manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan kampung,
sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan.
Kesatuan dari beberapa kampung disebut nagari. Sistem
pemerintahannya dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
 Laras Bodi-Caniago berhubungan dengan tokoh Datuek
Parapatiek nan Sabatang.
 Laras Koto-Piliang berhubungan dengan tokoh Datuek
Katumenggungan.
Dalam sistem pemerintahan Laras Bodi-Caniago menunjukkan sistem
yang demokratis, karena musyawarah selalu diutamakan.
Berdasarkan Kesepakatan Bersama Kongres Kebudayaan
Minangkabau 2010 Nomor: Kes- 01/Kkm/8/2010 Tentang Ajaran,
Kelembagaan, Akhlak, Dan Kebijakan Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam
Takambang Jadi Guru Untuk Seluruh Keluarga Besar Minangkabau
Di Ranah Minang Dan Di Rantau Dalam Konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada bagian pertama BAB 3 pasal 6 yaitu tolak
ukur lahiriah antara lain:
a. Tolok ukur terwujudnya Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah pada sisi lahiriah adalah:
1 ) Tercapainya taraf hidup yang sejahtera, baik lahir maupun
bathin, baik
secara umum bagi seluruh warga masyarakat Minangkabau,
maupun secara khusus untuk anak-anak, pemuda, kaum
perempuan, penyandang cacat, dan orang tua.
2 ) Terbebasnya masyarakat dari berbagai ancaman penyakit
masyarakat, khususnya narkotika , pornografi, pornoaksi, dan
kejahatan lainnya.
3 ) Terbebasnya masyarakat dari korupsi dan jeratan hutang
piutang berkepanjangan.
b. Untuk mencapai taraf hidup yang sejahtera lahir dan bathin tersebut di
atas, perlu dimanfaatkan berbagai program pembangunan, baik yang
bersifat lokal, nasional maupun internasional.
1 ) Untuk jangka menengah sampai tahun 2015, Tungku Tigo
Sajarangan, Bundo Kanduang dan Kaum Muda sebagai
kepemimpinan sosial masyarakat Minangkabau bekerjasama
dengan para penyelenggara Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk mewujudkan delapan Sasaran Pembangunan
Millenium 2015, yang terdiri dari :
a) Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan.
b) Mewujudkan terpenuhinya pendidikan dasar.
c) Mendorong pemberdayaan kaum perempuan.
d) Mengurangi angka kematian anak.
e) Memperbaiki kesehatan kaum ibu.
f) Menanggulangi penyakit HIV/AIDS , malaria, dan
penyakit-penyakit lainnya.
g) Menjamin kelestarian lingkungan.
h) Mengembangkan kerjasama sejagat untuk
pembangunan.
Pada bagian ketiga bab X pasasal 26 mengenai akhlak
ibu anatara lain:
2 ) Ibu memegang peran sentral dalam hubungan kekerabatan
Minangkabau, oleh karena di bawah pembinaan dan kasih
sayang Ibu diletakkan dan dikembangkan dasar-dasar
kepribadian serta landasan moral seorang anak, yang akan
menentukan jalan hidupnya kelak.
3 ) Kepribadian seorang anak diarahkan untuk tumbuh dan
berkembangnya kemampuan dan bakat kemanusiaannya sesuai
dengan ajaran Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah
dan kaidah-kaidah umum pembinaan kepribadian sesuai
dengan perkembangan zaman.
4 ) Masyarakat perlu membantu pengembangan kemampuan setiap
perempuan untuk memikul tanggung jawab keibuannya dengan
sebaik-baiknya.
c. Pada bagian ketiga BAB X pasal 26 mengenai akhlak anak antara lain:
1 ) Sebagai generasi muda pemilik masa depan, setiap anak harus
mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh dan secara jujur
agar mampu memanfaatkan peluang serta menjawab tantangan
masa depan sehingga ia dapat menjadi warga masyarakat yang
berguna, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi suku,
bagi masyarakat, dan bagi bangsanya.
2 ) Setiap anak Minangkabau harus berjuang sehingga selain
mempunyai kemampuan minimal yang setara dengan anak-
anak lainnya di dunia, juga mampu bersaing dalam mencapai
kebaikan (fastabiqul khairaat).
Pada bagian ketiga BAB XII pasal 34 mengenai pendidikan
dan pelatihan calon ibu dan calon bapak antara lain:
 Agar dapat menunaikan tugas pokoknya dengan
sebaik-baiknya sebagai Ibu dan Bapak dalam
keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah,
diadakan pendidikan dan pelatihan.
 Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap
calon ibu dan calon bapak menjadi tanggung jawab
dari keluarga dan suku masing-masing, dengan
bantuan instansi yang berwenang.
 Pokok-pokok yang harus disampaikan kepada para
calon ibu dan calon bapak adalah: pendalaman
rukun iman dan rukun islam, sistem kekerabatan
berdasar ABS SBK, akhlak, kematangan pribadi,
ekonomi rumah tangga, keluarga berencana,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
 Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan
calon ibu dan calon bapak, diadakan ujian oleh
Forum Adat dan Syarak/Forum Tungku Tigo
Sajarangan, dan mereka yang lulus diberikan
sertifikat
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Pada kebudayaan Minangkabau diketahui bahwa pekerjaan di
daerah sumatera barat rata-rata mengacu pada pertanian sawah dan
ladang. Strategi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga rata-rata memanfaatkan jumlah tanah yang ada dengan
menanam berbagai macam tanaman pangan seperti cabe, umbi jalar,
dll. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat dengan
pesat laki-laki cenderung mengerjakan tindakan berat seperti
mencangkul, membajak, dan sebagainya. Sedangkan para perempuan
cenderung ke hal-hal yang ringan seperti penanaman, penyiraman, dan
lain-lain. Anak yang sudah dewasa bisa membantu pekerjaan orang
tuanya di ladang untuk menambah keuangan keluarga.
Mata pencaharian utama masyarakat minangkabau bagi yang
tinggal di pinggir laut adalah menangkap ikan. Namun, seiring
perkembangan zaman, banyak masyarakat minangkabau yang
mengadu nasib ke kota-kota besar. Selain itu juga, Masyarakat
Minangkabau juga banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang
dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan tersebut merupakan
cenderamata khas dari Minangkabau.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Pendidikan pada kenyataannya telah membagi dua kelompok
masyarakat didesa ini. Pertama adalah kelompok yang mengenyam
bangku pendidikan formal dan kedua kelompok intelektual yang
berpendidikan cukup tinggi. Kelompok pertama adalah yang terbesar,
yaitu mereka yang terlibat sebagai petani, pedagang kecil, tukang,
yang sebagian besarnya adalah orang-orang tua. Kelompok kedua
jumlahnya jauh lebih kecil, dan jarang tinggal di desa. Mereka adalah
pemuda yang biasanya tinggal di kota terdekat dan di rantau.
Kelompok pertama lebih mementingkan tata tertib, nilai, norma
dan agama yang berorientasi tradisi. Kelompok kedua lebih
mementingkan ilmu pengetahuan dan kerja, walaupun demikian
mereka tidak mengabaikan tata tertib dan agama, terutama sekali bila
mereka pulang ke desa. Dapat bertahannya serangkaian nilai etika dan
agama pada kelompok kedua diduga amat berkaitan dengan proses
sosialisasi di masa lampau di mana berbagai aturan, nilai, norma dan
agama telah terinternalisasi dalam si anak. Kekuatan ini pada
gilirannya tetap mampu mempertemukan dan menyelaraskan
hubungan antara kelompok pertama dan kedua, karena harus disadari
bahwa hubungan ini juga melibatkan kepentingan kekerabatan,
kekeluargaan, serta emosi kedaerahan sebagai warga yang berasal dari
daerah yang sama.
Proses saling membantu dan hubungan baik tetap terwujud dalam
keluarga. Misalnya bagi anak-anak yang telah sukses akan membantu
adik-adiknya mengikuti jejaknya atau menolong orang tua dengan
membuatkan rumah, membelikan ternak atau sawah. Pengabdian anak
lebih banyak didasarkan pada bantuan material, karena memang itulah
yang menjadi kendala di desa ini. Namun akibatnya tidak tanggung-
tanggung, karena bantuan tersebut juga bersifat fungsional, yaitu
mengangkat status dan harga diri suatu keluarga. Dan selanjutnya
pendidikan dianggap menjadi tulang punggung untuk sebuah
kesuksesan.
B. Konsep Sehat Sakit
1. Praktik Kesehatan Keluarga
Praktik-praktik keperawatan keluarga Minang dipengaruhi oleh nilai-nilai
ajaran Islam.Sebagi contoh, kelahiran bayi dibantu oleh seorang dukun/bidan
dan ditunggui oleh ibu mertua.Setelah bayi lahir, plasenta bayi tersebut
dimasukan ke dalam priuk tanah dan ditutup dengan kain putih.Penguburan
plasenta dilakukan oleh salah seorang yang dianggap terpandang dalam
lingkungan keluarga.
Pada zaman dahulu, keluarga Minang lebih memilih melahirkan dengan
dibantu dukun beranak daripada pergi ke petugas kesehatan.Karena mereka
beranggapan bahwa melahirkan dibantu dukun beranak atau paraji biasanya
lebih murah.Namun sekarang ini sesuai dengan perkembangan zaman,
keluarga Minang lebih memilih melahirkan di bidan atau Puskesmas.Mungkin
hanya sebagian saja yang masih memilih melahirkan dibantu oleh dukun
beranak, khususnya masyarakat yang masih tinggal di daerah terpencil dan
tenaga kesehatannya terbatas.
KeluargaMinang percaya bahwa penyakit tidak hanya dapat disembuhkan
oleh petugas kesehatan, tetapi juga oleh dukun atau sekarang ini orang lebih
lazim menyebutnya dengan pengobatan alternative.Namun, orang Minang
yang berpendidikan tinggi lebih percaya kepada petugas kesehatan.
2. Implikasi Keperawatan Keluarga pada Etnik Minangkabau
Asuhan keperawatan keluarga pada etnik Minang yang dilkukan dengan
pendekatan budaya (transculutral nursing) memerhatikan iklim dan situasi
setempat. Misalnya, daerah Bukit Tinggi yang sejuk dan dingin berpengaruh
terhadap waktu kunjungan rumah perawat keluarga. Pada sore hari, sekitar
jam 4 atau 5 sore waktu setempat, banyak aktivitas keluarga Minang
dilakukan di dalam rumah sehingga kunjungan rumah akan efektif dilakukan
pada jam tersebut.
Penduduk daerah sekitar Danau Maninjau atau Singkarak memiliki
kebiasaan mengonsumsi ikan dari danau tersebut.Mereka menyebutnya ikan
Bili.Mereka sangat menganjurkan anak balita, ibu hamil, atau orang lansia
mengonsumsi ikan Bili ersebut.Pendekatan budaya dilakukan karena
dipandang lebih sensitif dan sesuai dengan kebiasaan keluarga, keinginan
keluarga, sumber daya keluarga, kemampuan keluarga, serta struktur dan
nilai-nilai yang dianut keluarga. Praktik asuhan keperawatan keluarga
dianjurkan mengimplikasikan hal-hal berikut ini.
3. Menghargai Struktur dan Sistem Nilai yang Dianut Keluarga
Bentuk keluarga Minang didominasi oleh keluarga inti yang berpusat
kepada ibu.Pada waktu melakukan asuhan keperawatn keluarga, seharusnya
melibatkan keluarga inti dan keluarga besar. Pengambilan keputusan yang
berpusat kepada pihak ibu, khususnya paman (dari pihak ibu), mengakibatkan
setiap langkah asuhan keperawatan keluarga perlu serta sistem nilai islam
yang dianut keluarga Minang merupakan tonggak awal yang ditanamkan oleh
perawat keluarga agar menuai keberhasilan . Contoh-contoh implementasi
nilai-nilai Islam ke dalam peraturan adat, antara lain sirkumsisi dan pemilihan
sumber bahan makanan yang halal. Keberhasilan implementasi dinilai dari
tingkat kemandirian keluarga Minangkabau untuk menolong diri mereka
sendiri dalam bidang kesehatan.
4. Mengevaluasi Pemahaman Tentang Batasan Sehat-Sakit Menurut Keluarga
dan Melibatkan Jaringan Keluarga Besar
Pengertian sehar-sakit menurut keluarga perlu dieksplorasi dan di
klarifikasi oleh perawat keluarga sehingga keluarga memiliki budaya sehat
yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh:
keluarga Minang menganggap diri mereka sehat bila masih dapat melakukan
peradangan dan memperoleh untung sehingga dianggap produktif secara
ekonomi. selain, itu, mereka masih dapat mengunjungi famili walaupun ada di
tanah rantau.
Keluarga besar orang Minang biasanya memberikan dukungan emosional
dan bantuan yang besar, teruama pada garis keturunan ibu dan lebih khusus
lagi pada etnik-etnik tertentu sehingga sumber-sumber pendukung ini perlu
dipertimbangkan untuk dilibatkan.Perawat keluarga perlu melakukan
konseling atau pendidikan kesehatan yang dapat melibatkan anggota keluarga
yang seluas-luasnya.Ikatan orangtua-anak biasanya lebih kuat dibanding
ikatan suami-istri. Pada etnik tertentu di Sumatera Barat, seorang lelaki bujang
yang merantau dan menikah dengan orang luar Sumatera Barat atau ia tidak
mendapat hak waris. Ikatan orangtua-anak bersifat seumur hidup menurut
Islam.Namun, apabila anak lelaki tersebut tidak mematuhi peraturan,
hubungan antara anak laki-laki tersebut dan keluarga dapat diputus secara
sepihak.
5. Aktulaisasi praktik kesehatan dalam Keluarga Minang
Keluarga Minang pada kelas sosial yang rendah mempunyai pola mencari
bantuan pertolongn kesehatan keluarga yang sederhana, yaitu dengan pergi ke
dukun.Sejalan dengan perkembangan zaman dan aktivitas ekonomi di
pedesaan, banyak warung yang menjual obat sampai ke pelosok.Oleh karena
itu, bila mereka sakit, biasanya mereka hanya berobat dengan obat warung
saja.Resiko yang dapat terjadi dengan pola mencari bantuan kesehatan seperti
ini adalah terjadi komplikasi atau sakitnya semakin parah.Dampak yang lebih
luas adalah bila datang ke rumah sakit dan tidak tertolong, mereka
menganggap tenaga kesehatan di rumah sakit tidak cekatan sehingga jiwa
anggota keluarga mereka tertolong. Di lain pihak, bila dukun tidak berhasil
menyembuhkan anggotakeluarga mereka, keluarga akan mengatakan belum
berjodoh dengan pengobatan dukun.
Perawat perlu mengidentifikasi sejak dini pola penanganan kesehatan pada
keluarga Minang yang dibina.Perawat juga perlu melakukan penyuluhan atau
konseling keperawatan keluarga dengan melibatkan keluarga yang lebih luas
untuk mengenalkan deteksi dini gangguan kesehatan keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:


1. Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok
tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut
termasuk dalam kelompok tertentu tersebut.
2. Stereotypes budaya MinangkabauBicara tentang Minang berarti bicara tentang Islam.
3. Stereotipe tidak akan dipandang sebagai suatu yang cenderung negatif apabila,
kelompok-kelompok tersebut menggunakannya untuk memudahkan struktur
lingkungan yang kompleks diantara mereka, bukannya makin membesarkan
perbedaan-perbedaan yang ada sehingga menimbulkan konflik.

B. Saran
Dalam pebuatan makalah ini juga penulis menyadari bahwa dalam pebuatan
makalah masi terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta kejanggalan baik dalam
penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Utnuk itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih baik dan penulis berharap kepada
semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih ditingkatkan dalam pembuatan
makalah yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai